Total Tayangan Halaman

Translate

Kamis, 24 Juni 2010

Bayang-bayang....

pic taken from here


 di satu sudut ia menyepi sendiri
bergelut dalam gelap walau
cahaya berpendar menyinari namun
geram menutup jiwanya yang kelam....

galau hati menyelimuti jiwanya
terbalut amarah tanpa rupa
membelitnya hingga tak berdaya
terkapar jiwanya dalam kebencian
sementara bayang-bayang tertawa mengejeknya....

Minggu, 20 Juni 2010

Michael.... oh, Michael....

 pic taken from here

Melihat apa yang menimpa Michael di GP Kanada kemarin, aku jadi benar-benar iba pada juara dunia tujuh kali ini. Michael yang biasanya tampak perkasa saat bersama tim asal Maranello berbaju merah itu musim ini benar-benar harus mengalami penderitaan berada di tim papan tengah yang keberadaannya di F1 sejak musim lalu benar-benar tak jelas. Musim lalu tim bekas milik pabrikan Jepang, Honda itu mengawali musim dengan kebimbangan dan perasaan putus asa karena hanya dlaam jangka waktu beberapa bulan saja sebelum musim 2009 dimulai, bos mereka yang asal Jepang mengatakan bahwa mereka mengundurkan diri dari F1.

Beruntung Ross Brawn yang telah ikut bersama tim Jepang ini sejak tahun 2008 akhirnya mau merogoh kocek untuk membeli tim itu dari bos Jepangnya yang tentunya memberikan korting besar-besaran. Kepastian mereka untuk ikut balapan pun menjadi semakin cerah setelah pabrikan mobil asal Jerman, Mercedes mau menyuplai mesin untuk memberikan tenaga bagi pacuan kedua pebalap mereka saat itu, Jenson Button dan Rubens Barrichello. Beruntung pula di awal musim lalu tim-tim papan atas macam McLaren dan Ferrari yang pada musim sebelumnya harus bertempur sampai titik darah penghabisan sehingga pengembangan mobil mereka untuk musim 2009 agak terlambat. Keadaan ini pun membuat Brawn GP, sang tim debutan yang sempat terombang-ambing, tampil perkasa lewat aksi spektakuler pebalap Inggris mereka, Jenson Button yang tampil mendominasi di awal musim dengna menjuarai enam balapan dari tujuh race di awal musim. Meski kemudian tim-tim lawan mereka akhirnya bisa bangkit di pertengahan musim sehingga membuat mereka tak secemerlang di awal musim tapi toh semua itu tak mampu menghambar mereka meraih gelar juara dunia ganda yaitu gejar juara dunia pebalap untuk Jenson Button dan gelar dunia konstruktor. From zero to hero. Segala puja puji untuk mereka pun dilayangkan setinggi langit tapi mereka tetap harus membumi dan menyadari bahwa semua kesuksesan dan kegemilangan mereka itu ternyata tak mampu menghindarkan mereka dari berbgai persoaaln yang terus mendera tim baru ini.
Juara dunia mereka, Jenson Button yang merasa tak mendapatkan kepastian di tim yang membawanya meraih gelar dunia itu pun akhirnya terpaksa hengkang ke tim papan atas asal Woking, Inggris, McLaren yang juga menggunakan mesin Mercedes  bertandem dengan sesama rekannya asal Inggris, sang juara dunia 2008, Lewis Hamilton. Sementara itu bekas timnya yang tak memiliki dana berlimpah seperti tim milik Ron Dennis itu akhirnya mendapatkan dukungan besar dari Mercedes, pabrikan mesin asal Jerman yang selama ini sangat identik dengan McLaren yang memiliki julukan Silever Arrows itu, karena cemerlangnya performa Brawn GP dengan pasokan mesin dari Mercedes pada musim lalu. Nama Brawn pun berganti menjadi Mercedes GP. Bila McLaren-Mercedes memiliki ujung tombak dua juara dunia asal Inggris maka Mercedes pun memasang dua jagoan asal Jerman sebagai "pendekar" mereka yaitu Michael Schumacher, sang juara dunia tujuh kali dengan Nico Rosberg, calon juara dunia Jerman berikutnya sekaligus anak dari juara dunia F1 asal Finlandia, Keke Rosberg.

Kehadiran Michael Schumacher di Mercedes pun menjadi buah bibir bagi para penggemar F1. Ada pro juga ada kontra. Bahkan di kalangan pebalap pun ada yang setuju namun juga ada yang tidak setuju dengan kehadiran kembali juara dunia yang telah mengundurkan diri dari F1 pada 2006 lalu ini. Jenson Button yang tempatnya di Brawn digantikan oleh Michael Schumacher pun bersuara dan mengatakan bahwa masa keemasan sang juara dunia tujuh kali itu telah berlalu, era telah berganti. Ya, F1 jaman sekarang mungkin memang telah berbeda dengan F1 di masa keemasan Michael dan suami Corinna Betsch ini pun pasti menyadari kenyataan tersebut. Tapi toh demi permintaan sahabatnya, Ross Brawn yang telah membantunya meraih tujuh gelar sejak di Benetton dan Ferrari, Michael pun rela turun gunung dan kemblai mengenakan overall balapnya untuk bertarung bersama pebalap-pebalap muda dan mengambil resiko dipermalukan oleh junior-juniornya di atas sirkuit. Semua itu pastinya sudah dipertimbangkan secara matang oleh Michael Schumacher tapi berhubung ia sangat mencintai balapan seperti ia mencintai hidup dan demi persahabatannya dengan Brawn ditambah awal karir balapnya sebenarnya adalah berkat Mercedes juga, maka akhirnya Michael pun menerima pinangan Mercedes GP dan sahabatnya, Ross Brawn untuk menjadi pebalap tim asal Jerman ini.

Michael sendiri pastinya menyadari keadaan di Mercedes ketika ia datang ke tim itu sebelum akhirnya memutuskan untuk bergabung. Ia pasti paham kesulitan tim ini untuk bertarung dengan tim-tim papan atas lainnya. Namun Michael rela mengorbankan semua reputasinya sebagai juara dunia tujuh kali dan rela bila nantinya ia akan dipermalukan saat menunggangi mobil balapnya yang payah dan tak sehebat F2002 atau F2004. Tapi Michael adalah seorang inovator. Ia bukan hanya sekadar seorang pebalap yang tak terlalu hirau dengna masalah teknik atau pengembangan mobil. I abukanlah pebalap yang berpikir bahwa dirinya hanya seornag pebalap yang tugasnya adlaah membalap dan memberikan masukan sekadarnya untuk pengembangan mobil. Michael adalah pebalap yang terlalu banyak ingin tahu seluruh isi perut mobilnya. Ia adalah seorang makhluk perfeksionis yang ingin memahami sepenuhnya tunggangannya sehingga bisa tampil padu dengan pacuannya agar bisa meraih hasil optimal, dan itu pastinya butuh waktu dan takkan bisa tercapai hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Itulah Michael. Seorang fighter yang takkan pernah mempedulikan apapun resiko yang akan ia hadapi karena yang ada dalam benaknya hanya bertarung hingga tetes darah penghabisan, mengorbankan seluruh jiwa, raga, dan pikirannya demi sebuah kesempurnaan.

Sejak keikutsertaan Michael di F1 pada GP Belgia 1991 bersama Jordan, Michael telah memperlihatkan dirinya merupakan pebalap yang pantang menyerah. Saat itu meski Michael masih merupakan seorang pebalap muda namun ia sangat memahami apa yang benar-benar diinginkannya walaupun ia sesungguhnya buta mengenai sirkuit Spa Franchorchamps, namun demi bisa mengisi kursi di tim Jordan yang kosong setelah pebalap mereka, Bertrand Gachot dipenjara karena menyemprotkan gas CS ke wajah seorang supir di London bernama Eric Court pada Desember 1990, Michael yang tampil mengesankan pada sesi test yang dilakukan Jordan di Silverstone pun terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa ia mengenal sirkuit di Belgia itu. Menyadari bahwa takdirnya dimulai di ajang perdananya ini, maka Michael pun mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Di masa ketika teknologi simulasi belum tercipta sempurna, Michael pun "berkenalan" dengan sirkuit yang terkenal angker dan kerap merenggut nyawa pebalap-pebalap hebat ini dengan cara mengelilingi sirkuit Spa Franchorchamps dengan sebuah sepeda sewaan. Michael mencoba mengenal setiap sudut sirkuit dan merekam setiap tikungan dalam otaknya sambil membayangkan dirinya berada di atas mobil balap F1. Hasilnya ia tampil mempesona di debut F1-nya itu. Ia berhasil membawa Jordan Ford 191-nya meraih P7 di kualifikasi, sayangnya saat race ia harus retire di lap pertama karena alasan teknis di mobilnya.

Meski gagal memperlihatkan bakatnya lebih lama di race tapi ternyata debut Michael itu sudah cukup membuat bos tim Benetton-Renault, Flavio Briatore kepincut. Ia pun segera membuang pebalapnya, Roberto Moreno yang payah demi memberi tempat pada superstar baru asal Jerman ini. Dengan bantuan Bernie Ecclestone yang juga sudah terpesona oleh kehebatan putra sulung Rolf dan Elizabeth Schumacher itu, Flav pun "menculik" Michael dari Jordan setelah balapan pertama Michael, membuat Eddie Jordan berang karena mutiarnya dicuri oleh lain. Di penampilan keduanya kali ini bersama Benetton, Michael berhasil memperlihatkan bakat cemerlangnya yang membuat Wili Weber, manajernya, rela menginvestasikan hartanya pada mutiara dari Kerpen, Jerman ini. 

Di Monza, Italia, Mihcael bukan hanya berhasil meraih poin pertamanya dengan finish di P5 tapi ia juga telah mengalahkan Nelson Piquet baik di sesi kualifikasi maupun race, bahkan di sesi kualifikasi, Piquet sempat melintir dan itu adalah hal yang pertama kalinya terjadi pada juara dunia tiga kali asal Brazil ini.

Sejak itu kehadiran Michael bukan hanya fenomenal tapi semua aksinya menerbitkan decak kagum sekaligus cercaan karena berbagai aksinya kerap dinilai unfair, namun bagaimanapun tindakan Michael yang dinilai tak sportif, segala upayanya menunjukkan kecerdasannya. Seperti ketika ia meraih kemenangan dari pit saat ia menjalani penalti stop and go, namun ia berkat bantuan timnya, yang dengan cerdiknya melihat celah dalam regulasi, berhasil memenangkan race, membuktikan hukuman sekalipun tak mampu menghambat laju Michael meraih kemenangan. Atau ketika ia dituduh melakukan kecurangan saat meraih gelar juara dunia pertamanya bersama Benetton pada 1994. Saat itu, penimbangan badan hanya dilakukan saat awal dan pertengahan musim dan bukannya di setiap akhir balapan seperti sekarang, dan Michael diduga telah menguruskan badannya hampir sepanjang musim, supaya mobilnya bisa terasa ringan dan akibatnya ia pun bisa membuat mobilnya melesat layaknya sebuat pesawat jet, saat ada penimbangan badan, barulah Michael menambah berat badannya kembali agar sesuai dengan batas yang ditetapkan. Namun bukankah hal itu membuktikan bagaimana beratnya perjuangan Michael yang bukan hanya harus bertempur di atas sirkuit tapi ia juga harus berperang melawan keinginan dagingnya, bayangkan bagaimana beratnya seorang wanita berdiet demi bisa mengurangi beberapa pon lemak dalam tubuhnya untuk mendapatkan berat badan ideal, dan semua itu merupakan perjuangan yang tak mudah. Tak ada perjuangan yang tak meminta pengorbanan. Michael juga telah mengorbankan kenikmatan sensasi lidahnya dan menahan diri untuk tak menjadi pelahap segala macam rasa demi menjaga berat badannya. 

Suksesnya Michael tampil meraih dua gelar beruntun bersama Benetton membuat Ferrari yang meski memiliki nama besar dalam sejarah F1 tapi sejak 1979 mengalami inflasi gelar. Berderet nama pebalap beken direkrut mereka seperti Alain Prost dan Jean Alessi, tapi tak satupun gelar berhasil direngkuh pasukan Maranello ini. Pemboikotan Ferrari terhadap Michael sendiri menimbulkan kemarahan terhadap Flav, sang bos tim, yang sebelumnya juga telah "mencuri" Michael dari bosnya yang terdahulu di Jordan. Masa-masa awal Michael bersama Ferrari bagaikan sebuah mimpi buruk setelah ia tampil cemerlang di Benetton. Namun Michael yang sejak pertama tercipta sebagai seorang pemimpin sejati, tak sepatah katapun mengeluarkan kalimat yang membuat timnya makin terpuruk. Ia tak pernah menyalahkan tim. Semua kegagalannya ditelannya sendiri sambil berusaha mencari solusi terbaik. 
Saat Michael memutuskan pindah ke Ferrari pun ia sudah mendapatkan kabar mengenai Ferrari dari berbagai pihak. Dan Michael pastinya sadar terlalu berlebihan bila ia membayangkan bisa meraih gelar dunia pertamanya bersama Ferrari di awal kebersamaan mereka. Karenanya ketika gelar dunianya akhirnya direbut oleh seterunya, Damon Hill yang tampil perkasa bersama Williams-Renault, Michael hanya bisa pasrah sambil terus berusaha membangun sebuah mobil juara bersama timnya. 
Walau tunggangannya sangat buruk tapi Michael percaya pada mimpinya saat ia memutuskan bergabung dengan tim elit asal Italia ini. Ia yakin Ferrari akan menjadi satu bagian terindah dalam karir balapnya. Namun semua itu ada waktunya. Dan bila saatnya tiba, ia yakin ia akan bisa meraih "dunia" yang dijanjikan oleh Luca di Montezemolo, petinggi Ferrari yang dipercaya oleh Gianni Agnelli pada awal 1990-an untuk mengangkat Ferrari dari keterpurukan. Agnelli sendiri adalah bos FIAT group, perusahaan induk Ferrari.
Michael sadar untuk mencapai sebuah sukses dibutuhkan kerja keras. Meski ia telah meraih dua gelar juara dunia, tapi semua itu tak membuatnya menjadi tinggi hati dan menganggap remeh semua yang ada di Ferrari. Ia tanpa sungkan mau bergabung dengan para mekanik dan teknisi Ferrari demi membangun sebuah mobil balap yang bisa membuat lawan-lawannya ngeri. Michael bahkan rela  merendahkan diri ketika ia bersama para mekanik Ferrari asyik bekerja hingga tengah malam, Michael dengan sukahati rela menerobos pekatnya malam mencari resto yang masih buka untuk membeli makan malam bagi dirinya dan seluruh mekanik Ferrari yang masih bekerja. Ia memborong selusin kotak pizza, membawanya ke pabrik dan tanpa sungkan menyantap pizza itu bersama para mekanik dan engineer. Kesederhanaan jiwa dan kehangatan Michael yang menganggap semua mekaninknya sebagai bagian dari keluarganya pun tentu saja membuahkan penghargaan yang sangat istimewa dari para kru Ferrari terhadap sosok pebalap yang saat di lintasan kerap dinilia arogan tapi sebenarnya ia memiliki hati yang hangat dan ramah ini.

Michael si pekerja keras yang selalu mengejar kesempurnaan ini hampir memetik hasil dari usaha keras yang dilakukannya bersama para mekaniknya ketika ia hampir saja meraih gelar dunia ketiganya (yang pertama untuknya dan Ferrari) pada 1997. Sayang sebuah insiden kecil dengan Jacques Villeneuve menghempaskan mimpi indahnya itu. Ia saat itu begitu bersemangat untuk meraih gelar dunia dan Jacques, si anak pebalap legendaris Ferrari, Gilles Villeneuve ini merupakan rival terberatnya dalam klasemen musim itu dan membuat perjalanannya meraih gelar dunia ketiganya tak mudah. Ada yang mengatakan bahwa tindakan Michael yang menabrakan mobilnya ke Williams-nya Jacques merupakan usaha licik Michael untuk mengamankan posisinya untuk meraih gelar dunia. Michael adalah seorang petarung, karenanya ia kerap berusaha sekeras mungkin untuk meraih kemenangan sampai tak memikirkan bahwa tindakannya ini akan membuat karir balapnya ternoda. Akibat aksinya itu, Michael pun didiskualifikasi sehingga rivalnya, si pemuda Kanada, Jacques Villeneuve itu yang akhirnya meraih gelar dunia semata wayangnya pada 1997. Michael sendiri sangat menyesali kejadian ini. Ia telah membayar mahal atas "upah dosanya" ini jadi tak semestinya pula media terus menerus mengungkapkan cela dan aib Michael ini untuk terus menekan dan menjatuhkannya. Michael sendiri telah berulangkali dalam beberapa kali wawancara menyatakan penyesalannya atas aksinya itu, dan bila waktu bisa diulang, ia sungguh berharap bisa kembali mengulang balapan di Jerez 1997 itu. Bukan tak mungkin seandainya saja ia tak menabrak Jacques maka ia yang akan berhasil meraih gelar dunia ketiga dan karir balapnya pun tak ternoda.

Namun sepahit-pahitnya sebuah kenyataan, Michael tak ingin tenggelam dan terus meratap. Ia melupakan kejadian di akhir musim 1997 dan menatap musim berikutnya dengan sebuah harapan dan pembelajaran baru. Michael telah melewati berbagai fase dalam karir balapnya. Ia telah bersaing dengan sederet pebalap terhebat di seluruh dunia mulai dari Andrea de Cesaris, team mate pertamanya di F1, yang sebelas tahun lebih berpangalaman darinya namun dilumatnya tanpa ampun hanya dalam satu penampilan saja hingga kini Nico Rosberg yang jauh lebih muda namun kali ini Michael yang harus berjuang untuk menaklukan pemuda Jerman, juniornya ini.

Berderet nama pebalap hebat pernah terlibat konflik dengan Michael. Mulai dari Nelson Piquet, rekan setim kedua Michael di F1, yang "ngeper" dengan bakat luar biasa ayah Gina Maria dan Mick Schumacher ini, hingga Jenson Button yang di musim 2004 merupakan pesaing terberat Michael dalam meraih gelar dunia tapi tetap tak mampu mengalahkan Super Schumi, namun kini Button jauh lebih bersinar dari The Old General ini, namun semua itu adalah perjalanan hidup. Michael yang sangat menyukai lagu My Way karena sarat akan filosofi mengenai kehidupan ini pun menyadari bahwa hidup adalah perputaran sempurna sang waktu di mana manusia bisa belajar dari setiap kisah hidupnya. Michael mungkin sudah tua, tapi bukan berarti Michael kehilangan kekuatannya. Michael masih sangat fit dan ia takkan pernah membiarkan tubuhnya menjadi malas dan lengah, namun Michael selalu setia pada waktu yang berjalan. Ia percaya semua itu membutuhkan waktu.

Bertahun-tahun lamanya malang melintang di dunia F1, tentunya segala kesuksesan dan kegagalan telah puas direguk oleh pebalap yang kabarnya suka menonton film sedih bersama istrinya saling saling berbagi tissue saat menangis oleh jalinan kisah sedih dalam film. Berbagai insiden dalam balapan pun telah kenyang dilahapnya. Bahkan Michael pernah mengalami kecelakaan parah yang hampir saja merenggut karir balapnya. Ya, kecelakaan itu terjadi saat GP Inggris di Silverstone pada 1999 di mana saat itu Michael tengah memacu Ferrarinya bersaing dengan Irvine, rekan setimnya di Ferarri dan ketika memasuki tikungan Stowe di Silverstone, Michael kehilangan kendali atas mobilnya sehingga tabrakan keras pun tak bisa dihindarinya. Kaki Michael patah, dan Michael sebenarnya telah menyadari kakinya patah tapi kalimat pertama yang keluar dari mulutnya saat berbicara lewat radio pit ke timnya, Michael bukannya mengeluhkan kakinya malah memberitahu bahwa remnya rusak. Itulah Michael. Seorang pejuang yang selalu berjuang hingga titik akhir yang terkadang terlalu keras pada dirinya sendiri.
Sepanjang karir balap Michael yang panjang di F1 peran Dewi Fortuna pun bisa dibilang memiliki peranan yang amat penting, meski semua itu sebenarnya merupakan hal kesekian karena yang paling utama adalah ketekunan dan kerja keras Michael yang lebih keras dari pebalap manapun demi meraih sebuah kesuksesan. Saat Michael mengalami kecelakaan parah di Silverstone 1999 itu, mungkin bila tak ada seorang dokter bernama Dr. Bill Ribbans mungkin, karir Michael di dunia balap F1 benar-benar akan berakhir, dan dunia takkan pernah bisa melihat pencapaian luar biasa dari seorang Michael Schumacher. 

Dr. Bill Ribbans yang biasa menjadi konsultan bedah ortopedik di RS Northampton ini kebetulan melihat tayangan kecelakaan hebat yang menimpa Michael, ia pun meyakinkan pebalap kebanggan Jerman ini bahwa kakinya masih bisa diselamatkan dan ia masih bisa melanjutkan karir balapnya. Bersama Professor Saillant, seorang ahli bedah Perancis yang mengawasi proses pemulihan Michael dari cedera patah kakinya, kedua dokter yang hebat ini telah memberikan keajaiban bagi Michael sehingga ia bisa kembali melanjutkan karir balapnya dan menciptakan berbagai rekor yang amat sangat mengesankan dalam sejarah F1. 

Pebalap pertama yang harus merasakan kehebatan Michael yang telah pulih dari cederanya adalah Mika Hakkinen. Michael yang karena kecelakaan parah itu harus mengambil cuti panjang dan terpaksa absen hampir separuh musim sehingga membuatnya terlempar dari perebutan gelar kembali membalap di GP Malaysia 1999, GP perdana di negerinya Siti Nurhaliza itu. Kali ini Michael turun sebagai pebalap nomor dua dan tugasnya adalah membantu rekan setimnya, Irvine yang memiliki kans lebih besar dalam perebutan gelar bersaing dengan Mika Hakkinen dari McLaren. Saat race jelas terlihat Michael lebih kencang dari Irvine, tapi karena ia bertugas untuk membantu rekan setimnya maka iapun mengalah dan memberikan kemenangan untuk rekan setimnya itu. Tugas Michael adalah menghambat laju Mika, pesaing Irvine, karena itu sepanjang balapan Michael terus mengerjai Mika yang benar-benar mengalami mimpi buruk karena sepanjang balapan ia dibuat frustasi oleh Michael. Di podium wajah Mika yang kelelahan tampak jelas terlihat frustasi bersanding dengan Irvine di podium pertama yang menyadari kemenangannya itu merupakan "hadiah" dari rekan setimnya yang istimewa. Dan Michael? Ia tersenyum simpul di podium kedua, puas karena berhasil mengerjai sohib sekaligus seteru abadinya itu. Di Sepang itu, Michael telah memperlihatkan "kekuatan" nya yang telah pulih. Mika pun mentahbiskan Michael sebagai pebalap nomor satu sekaligus nomor dua yang terhebat. 

Sepanjang tahun 2000-2004 merupakan masa-masa keemasan Michael dan Ferrari. Kesuksesan dan dominasi mereka membuat lawan-lawannya seperti sekumpulan anak-anak sekolah tekhnik yang tengah belajar merakit mobil tapi tak jua berhasil menandingi ketangguhan si kuda jingkrak. Namun dominasi Ferrari dan Michael ternyata telah menciptakan kejenuhan bagi publik yang mulai bosan dengan kemenangan Michael dan Ferrari meskipun seharusnya keberhasilan mereka mendapatkan apresiasi karena kesuksesan yang mereka raih bukanlah kesuksesan dalam waktu semalam. Mereka telah lama berjuang dan bekerja keras untuk menciptakan masa-masa keemasan itu, dan tak seharusnya keberhasilan mereka kemudian malah dianggap sebagai sebuah momok bagi F1. 

Sebagai seorang pebalap yang memiliki kemampuan super komplet, Michael kerap tak lepas dari berbagai kritik dan pujian. Sepanjang karir balapnya, kesuksesan yang diraih Michael selalu diikuti oleh bermacam kontroversi. Contohnya adalah kasus team order di GP Austria. Kala itu Michael yang belum pernah menang di GP A1 Ring, Austria mendapatkan "bantuan" dari rekan setimnya, Rubens Barrichello yang diperintahkan timnya untuk memberikan posisi pertamanya pada Michael. Tentu saja aksi team order ini membuat publik berang dan mencela sang juara dunia lima kali itu yang dinilai oleh publik telah menciderai nilai-nilai sportifitas dalam olahraga. Padahal masalah team order bukanlah hal baru dalam dunia F1. Mika Hakkinen pun pernah mengalami kemanisan dari team order ketika David Coulthard dipaksa menyerahkan posisinya kepada Mika yang kemudian mengantarkan Mika meraih gelar dunia pertamanya pada 1998. Tapi publik saat itu tidak protes. Atau ketika Fangio mendapatkan kemudahan dari Peter Collins, rekan setimnya yang merelakan mobilnya setelah mobil Fangio mogok sehingga pebalap Argentina itu bisa terus melenggang ke garis finish dan meraih gelar dunia sementara Collins mendapatkan pujian sebagai seorang gentleman sejati tapi Fangio yang mendapatkan kemurahan hati Collins tak dicerca dan dihujat oleh publik. Namun F1 sepertinya telah bergerak ke era yang baru. Mungkin karena kejenuhan atas dominasi Michael Schumacher membuat publik mulai bosan dengan kemenangannya sehingga mereka beraksi negatif ketika Michael mendapatkan keistimewaan seperti itu dari timnya. Tapi semua itu bukan salah Michael sepenuhnya. Michael adalah pebalap utama Ferrari dan ia yang memiliki kans lebih besar untuk meraih gelar dunia sehingga tentu saja tim lebih mendukung penuh dirinya daripada rekan setimnya. Bagaimanapun bukankah Michael Schumacher-lah yang telah ikut membangun tim Italia ini hingga mencapai puncaknya sementara rekan setimnya baru beberapa tahun saja menjejakkan kakinya di markas besar tim kuda jingkrak itu dan ia tak seperti Michael yang harus jatuh bangun dalam membangun tim yang solid dan kokoh itu. Kondisi yang dihadapi Rubens tak seburuk seperti yang dialami Michael ketika ia pertama kali bergabung dengan tim besar ini.

Mungkin seandainya team order itu bukan dilakukan Ferrari dan Michael, reaksi publik takkan sekeras seperti insiden di Austria itu. Kebosanan publik melihat dominasi Michael dan Ferrari ditambah kelompok anti Schumi yang telah terbentuk sejak berbagai insiden yang dilakukan Michael terhadap Damon Hill dan Jacques Villeneuve sepanjang tahun 1996-1997. Dan tentu saja kejadian memalukan di Austria itu pun seolah menjadi sebuah ajang pengesahan bagi kelompok Anti Schumi untuk mencaci pebalap utama Ferrari ini. Michael dan Ferrari tentunya tak menyangka team order yang diberlakukan mereka itu bisa menimbulkan reaksi negatif sekeras itu.

Dunia memang mengagumi segala pencapaian Michael, tapi dunia yang bergerak tentu saja tak bisa terus menerus menerima dominasi seseorang dalam jangka waktu lama. Begitu lah yang menimpa Michael. Meski dunia sangat mengagumi sepak terjang dan keberhasilan Michael tapi dunia berharap bisa melihat lawan tanding yang setara bagi Michael demi menciptakan sebuah persaingan yang lebih seru dan menarik. Namun apakah dunia benar-benar mencintai seorang Michael Schumacher? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Toh, ketika pada musim 2004 Michael kembali tampil mendominasi, tampil dengan poin penuh di setiap balapan, publik kembali merasakan kebosanan, setelah sebelumnya publik sempat bergairah melihat Michael harus terseok-seok meraih gelar dunia keenamnya pada 2003 yang baru bisa diperolehnya di race terakhir di Suzuka, Jepang. Itulah sebabnya juga, ketika di GP Monaco, Michael keluar dari terowongan dengan tiga roda saja, karena saat di terowongan ternyata ia ditabrak oleh pebalap lain, para kelompok anti Schumi menemukan moment untuk bersorak gembira sementara kubu Ferrari dan pendukung Michael kecewa bukan kepalang. Tapi Schumi yang sudah biasa menghadapi berbagai masalah di lintasan, tak berniat menyalahkan pebalap lain itu yang telah menabraknya dan membuatnya tersingkir dari arena. Ia malah mengatakan bahwa itu adalah bagian dari balapan. Dan dalam balapan semua hal memang bisa terjadi. Michael menerimanya dengan lapang dada. Namun begitu, Jean Todt, sang bos tim Ferrari yang juga sahabat Michael sangat kecewa dengan sorak sorai kelompok anti Schumi atas keapesan yang menimpa pebalap jagoannya. Todt memang berhak kecewa karena publik tak menyadari bahwa Michael dan Ferrari sudah berusaha sangat keras untuk mencapai tempat mereka di puncak. Puluhan tahun mereka harus berjuang membawa tim mereka meraih kembali puncak kesuksesan. Puluhan tahun mereka harus menelan kekalahan demi kekalahan dan menepuk dada menenangkan diri kala melihat pacuan mereka kalah dari lawan-lawan mereka dan ketika mereka berhasil mencapainya, ternyata segala usaha keras dan pengorbanan mereka selama bertahun-tahun seolah tak mendapatkan apresiasi.

Michael memang merupakan pribadi yang unik dan kompleks. Tak ada pebalap yang menerima cacian sebanyak Michael tapi juga tak ada pebalap yang berhasil meraih pencapaian seperti Michael. Sederet prestasi dan catatan rekor ditorehkan Michael sehingga membuatnya mendapat banyak puja dan puji sebanding dengan serentetan caci maki untuknya. Michael memang tokoh yang sungguh kompleks. Dicintai sekaligus dibenci. Puji dan caci beriringan menyertainya. 

Saat Michael berada di tengah hegemoni kekuasaannya, banyak yang berharap ia jatuh, tapi ketika Michael tengah terpuruk, justru banyak juga yang merindukannya meraih kemenangan seperti di musim 2005 di mana Michael dan Ferrari terpuruk dalam lembah paling kelam dalam sejarah kebersamaan mereka. Buruknya performa Bridgestone di Ferrari mereka yang kalah bersaing dengan Michellin, membuat kesuksesan mereka merajai F1 pada musim 2004 seolah tak berbekas. Satu-satunya kemenangan yang berhasil diraih Michael dan Ferrari hanya di GP USA, itupun karena semua pebalap Michellin mogok balapan sehingga balapan hanya diisi oleh enam orang pebalap pengguna Bridgestone. 

Bertahun-tahun media berspekulasi mengenai kapan Michael akan pensiun dan ketika Michael akhirnya mengumumkan pensiunnya usai menjuarai GP Italia pada 2006, media yang selama ini bersikap sedikit keras pada Michael menunjukkan sedikit simpati padanya. Dan di GP pamungkasnya bersama Ferrari di Sao Paolo, Brazil, Michael menunjukkan kembali bakat istimewanya yang telah membuat dunia F1 mencintainya pada awal kedatangannya di F1. Di GP terakhirnya bersama Ferrari itu, Michael tak seperti biasanya mengalami kesialan bertubi-tubi. Sejak di sesi kualifikasi hingga race, Michael terus didera masalah bahkan ia sempat melorot jauh di urutan belakang, tapi Michael tak ingin meninggalkan F1 dalam kegetiran. Ia tunjukkan kualitasnya sebagai seorang juara dunia tujuh kali. Dari belakang, Michael membalap dengan gayanya yang telah membuat banyak orang jatuh hati padanya. Meski Michael gagal meraih kemenangan di GP terakhirnya itu dan hanya mampu finish di tempat keempat, di depan Raikkonen, pebalap yang menggantikan posisinya di Ferrari, namun Michael meninggalkan F1 dengan terhormat membuat semua orang yang bisa menghargai arti sebuah perjuangan mau tak mau terharu dengan perjuangan Michael merasakan penderitaan yang dilakukan Michael untuk meraih puncak dan menghargainya sebagai sebuah pribadi utuh yang selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Meski Michael telah memutuskan untuk pensiun dari F1 namun tentunya tak mudah bagi Michael yang telah memiliki begitu banyak kenangan manis maupun pahit di dunia olahraga yang telah membesarkan namanya ini. Michael terlahir sebagai seorang pebalap dengan jiwa yang selalu ingin tampil kompetitif, maka tak heran bila kemudian ia merasakan kembali kerinduannya untuk membalap. Setelah sukses di atas empat roda, Michael mencoba peruntungannya di dunia balap dua roda. Meski hanya sebentar dan tak bisa dijadikan barometer keberhasilannya, namun penampilan Michael di ajang balap motor tak terlalu buruk meski ia sempat mengalami kecelakaan parah di ajang balap dua roda itu yang mengakibatkan lehernya cedera dan akibatnya mengandaskan kesempatannya untuk tampil kembali bersama Ferrari di musim lalu untuk menggantikan bekas team mate-nya, Felipe Massa setelah The Brazilian itu mengalami cedera parah di sesi kualifikasi Hungaria.

Tiga tahun Michael telah keluar dari arena persaingan F1, meski ia masih kerap terlihat di beberapa balapan karena perannya sebagai Super Assistent di Ferrari, namun pastinya Michael merindukan kembali tampil di dalam mobil balap dan menggebernya hingga batas paling klimaks. Dan kesempatan itu akhirnya kembali datang dari sahabatnya yang telah membangun timnya sendiri. Entah apa yang menyebabkan Michael memutuskan untuk bergabung dengan tim sahabatnya itu. Michael pasti tahu keberadaan tim sahabatnya itu yang tak sebaik keadaan di timnya sebelumnya meski tim barunya ini mendapat pasokan energi dari Mercedes yang selama ini telah meraih banyak keberhasilan bersama McLaren. Entah apakah karena demi persahabatannya dengan Brawn hingga akhirnya ia akhirnya setuju untuk membantu sahabatnya dan Mercedes, pabrikan yang telah membinanya sebagai seorang pebalap junior ataukah karena Michael begitu mencintai balap dan merindukan suasana balap dan aroma kompetitifnya hingga akhirnya ia memutuskan untuk bergabung? Namun yang pasti, sejak awal Michael tahu bahwa ia akan mengalami musim yang buruk dan tak banyak yang bisa diharapkannya di penampilan comeback-nya bersama Mercedes GP ini.

Perkiraan Michael memang tak meleset. Timnya tak sehebat Red Bull dan McLaren tapi yang sempat membuat publik terhenyak adalah di beberapa balapan Michael malah dikalahkan oleh rekan setimnya. Tentu saja ini mengejutkan mengingat betapa hebatnya Michael selama ini dalam melumat rekan setimnya sejak debutnya di Jordan pada 1991. Setelah di empat seri pembuka, Michael dipermalukan oleh rekan setimnya yang jauh lebih muda, Michael bangkit di Catalunya, Spanyol dan Turki. Namun di Montreal minggu lalu, Michael kembali harus terhempas. Di Malaysia sebenarnya Michael memiliki peluang meraih hasil yang lebih baik terlebih di sesi latihan bebas Michael tampil kompetitif bersaing dengan para pebalap Red Bull dan McLaren bahkan di latihan bebas ketiga, Michael berhasil mengalahkan rekan setimnya. Meski di kualifikasi Michael kembali kalah dari rekan setimnya yang sukses meraih P2 di belakang Webber dari Red Bull, namun bukan tak mungkin bila Michael bisa mencatat hasil yang lebih baik kalau saja ia tak mengalami masalah dengan baut rodanya yang membuatnya terhempas dari balapan. 

Di sesi kualifikasi Michael memang lebih banyak dikalahkan oleh rekan setimnya, tapi di race sebenarnya Michael bisa tampil jauh lebih baik kalau saja ia tak didera berbagai kendala yang mungkin diakibatkan oleh dirinya sendiri. Di Monaco yang penuh drama, balapan Michael sebenarnya jauh lebih baik dari rekan setimnya. Sepanjang balapan ia membuntuti Alonso, kompetitornya dalam perebutan gelar di 2005  dan 2006 hingga menjelang final lap, sesaat sebelum garis finish, Michael berhasil menyalip Alonso untuk merebut tempat keenam tapi sayangnya aksi Michael itu dianggap melanggar regulasi sehingga akhirnya ia terkena penalti dan menyebabkan posisinya melorot ke P12 sementara rekan setimnya mendapatkan keuntungan dari  penalti yang diterimanya dengan meraih P7 di belakang Alonso. Tambahan enam poin untuk Rosberg sementara Michael tak mendapat tambahan satu poin pun alias nol. 

GP Kanada minggu lalu pun menyisakan kegetiran bagi Michael. Di sesi kualifikasi ia gagal menembus Q3 sehingga ia harus puas memulai startnya di grid ke-13 di belakang duet Williams, Barrichello dan Hulkenberg sementara rekan setim Michael mengisi grid ke-10. Tapi selepas start Michael berhasil terbang ke urutan ke-8 sementara Rosberg, rekan setim Michael ganti terpuruk di urutan ke-13. Saat duo McLaren dan pebalap lain di depannya masuk pit untuk mengganti ban, Michael pun menyodok naik ke P3 tapi itu tak berlangsung lama karena Michael harus masuk pit juga di lap 13 dan rejoin kembali di urutan ke-7 di depan Kubica dan Sutil. Namun saat ia keluar dari pit, ia sempat harus bertempur dengan Kubica untuk mempertahankan posisinya. Michael pun harus kembali ke pit karena mengalami kerusakan dengan mobilnya, posisinya pun kembali melorot jauh hingga ke P12. Mendekati lap-lap terakhir, saat Michael tengah berusaha mengendalikan Mercedes-nya yang payah agar bisa tetap berada di urutan sepuluh besar untuk menjaga peluangnya mendapat poin, Michael harus mendapat serangan bertubi-tubi dari para pesaingnya yang ingin merebut tempatnya. Di lap 64 Michael harus menghadapi serangan serius dari mantan team mate-nya di Ferrari, Felipe Massa, tapi Michael tak mau menyerah begitu saja meskipun ia sadar mobilnya kalah jauh dari Ferrari-nya Massa. Dengan semua kemampuan yang dimilikinya ditambah pengalamannya yang kaya, Michael pun berusaha mempertahankan posisinya. Akibat bersinggungan dengan Michael, Massa pun harus kembali ke pit untuk mengganti nose mobilnya untuk yang kedua kalinya setelah sebelumnya Massa juga sudah sempat mengganti nose-nya akibat bertabrakan dengan Liuzzi di tikungan pertama saat balapan baru saja dimulai. Insiden antara Michael dan Massa itu hampir saja berbuah penalti kembali untuk Michael meski sebenarnya menurutku aksi Michael merupakan bagian yang umum terjadi dalam balapan dan Michael tak melakukan tindakan yang pantas diganjar dengan penalti. Untungnya setelah pemeriksaan dan peninjauan Stewart, kedua pebalap itu bebas dan aksi itu pun dinilai bersih.

Lepas dari Massa, Michael harus menghadapi gempuran dari duet Force India yang berebut ingin mengambil posisinya di urutan kesembilan. Michael pun kembali harus bekerja ekstra keras mengendalikan Mercedes-nya yang payah demi mengimbangi solidnya pacuan Liuzzi dan Sutil. Tapi Michael akhirnya harus menyerah juga di lap terakhir. Liuzzi dan Sutil berhasil menyalipnya dan membuat Michael terdampar di posisi ke-11 dan tak satu pun poin yang berhasil diraih Michael.

Bagi pebalap papan tengah biasa mungkin apa yang dialami Michael di paruh pertama musim balap ini takkan terlalu menarik perhatian tapi lain halnya bila semua yang terjadi itu menimpa seorang Michael Schumacher, seorang juara dunia tujuh kali yang telah menorehkan banyak catatan sejarah yang luar biasa dalam dunia F1. Michael Schumacher yang dari debut pertamanya di F1 bersama Jordan telah tampil mengesnkan dan menggentarkan baik rekan setimnya seperti Andrea de Cesaris yang sebelas tahun lebih berpengalaman darinya atau bahkan Nelson Piquet yang saking gemetarnya bersanding dengan Michael sampai melintir saat sesi kualifikasi di GP Italia. Michael Schumacher yang sempat membaut geram Ayrton Senna saat McLaren-Honda-nya dihantam Benetton-Ford-nya Michael di Magny Cours pada 1992 sehingga membuat juara dunia tiga kali asal Brazil itu berang dan mengatainya bajingan. Tapi Michael selalu menanggapi semuanya dengan tenang. Segala caci maki ia telah seorang diri, pun ketika Senna menyenggol Benetton-nya Schumi di Kyalami 1993 saat Schumi mencoba menyalip Senna dari dalam. Aksi Senna itu membuat Schumi spin tapi Schumi tak mengumbar emosinya secara berlebihan seperti yang dilakukan The Master dari Brazil itu. Ia menganggap hal itu sebagai sebuah pelajaran yang akan memperkaya perjalanan hidup dan karirnya. Meski oleh banyak orang ia dianggap arogan tapi Michael sendiri mengaku ia adalah orang yang membenci konflik karenanya ia tak pernah suka mengacungkan tinju ke orang lain, meski ia sempat sangat marah pada David Coulthard ketika ia hampir celaka oleh aksi pebalap McLaren itu. Michael menyadari kadangkala hidup tak terlalu ramah di lintasan tapi ia selalu tahu cara memisahkan apa yang terjadi di lintasan dengan kehidupan sehari-hari.

Media memang terkadang terlalu kejam terhadap pria yang satu ini. Itu pula sebabnya ia sering bersikap kaku di hadapan pers karena ia benar-benar merasa tak nyaman berada di bawah sorotan kamera dan pandangan menyelidik para wartawan yang senantiasa siap menerkamnya saat ia melakukan kesalahan, namun ia bisa sangat sangar saat berada di balik kemudi, melibas setiap tikungan di atas sirkuit. Dari balik helmnya, ia bisa menyembunyikan dirinya dari keberingasan media. Di balik helm dan di atas mobilnya, ia seperti menemukan dunianya yang nyaman dan ia sendiri menganggap bahwa berada di atas tungangannya, ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri. "Where I'm really at home," ujarnya mengenai kenyamanan yang dirasakannya kala berada di balik helm dan di atas tunggangannya. Dari balik helmnya ia bisa melihat dunianya dan merancang berbagai taktik untuk memenangkan balapan. Betapapun kerasnya aksi Michael di lapangan dalam melumat lawannya tak bisa sepenuhnya menjadi justifikasi untuk menghakimi Michael dan menganggapnya sebagai pebalap yang arogan dan kasar. Michael adalah seorang pebalap dan tak ada seorang pebalap pun pastinya yang dengan murah hati memberikan posisinya pada orang lain. Begitu pun dengan Michael meski ia terkenal sebagai dermawan yang rajin beramal bagi kegiatan kemanusiaan namun ia takkan pernah bermurah hati pada lawan-lawannya di lintasan. 

Membicarakan Michael rasanya takkan cukup diungkapkan dalam satu buku tebal beratus-ratus halaman sekalipun karena Michael merupakan orang yang kompleks. Ia bisa bersikap hangat dan ramah. Ia bahkan mengenal setiap nama para pekerja di timnya, mulai dari bos tim, engineer, sampai tukang sapu, bukan karena ia suka sok kenal sok akrab, tapi ia selalu menganggap orang-orang yang bekerja dengannya adalah bagian dari keluarganya. Namun ia juga bisa sangat sangar dan menggentarkan para lawannya saat tengah bertarung di atas trek sirkuit yang panas demi memperebutkan gelar dunia hingga ia kerap dicap sebagai orang yang arogan dan kasar meski sebenarnya apa yang dilakukan Schumi juga kerap dilakukan oleh lawan-lawannya. Senna misalnya, ia juga kerap bersikap keras dan kasar di sirkuit hingga pernah membahayakan Prost dan Mansell tapi tak satupun yang mencelanya secara keras seperti yang mereka lakukan terhadap Schumi, mungkin karena Schumi memiliki karir balap yang lebih panjang dibanding Senna yang harus mati muda karena kecelakaan di Imola atau mungkin juga karena Schumi merupakan sosok yang istimewa sehingga mendapatkan begitu banyak sorotan dan caci maki yang diterimanya pun sebanyak puja puja atas kebrilianannya di atas sirkuit.

Saat ini memang Michael kembali harus membuktikan kehebatannya yang belum berhasil diperlihatkannya sejak aksi comeback-nya di Bahrain pertengahan Maret lalu. Masih banyak yang perlu dilakukannya dan ia pun harus mulai bisa beradaptasi dengan suasana F1 yang sekarang yang pastinya memiliki aturan yang berbeda pada masa keemasannya dulu. Namun itu semua bukanlah mimpi buruk bagi Michael karena ia pernah menghadapi situasi seperti ini. Saat bergabung dengan Ferrari, kondisi tim besar itu sangat buruk tapi Michael bisa membangun tim itu menjadi tim super power yang nyari tak terkalahkan. Dan "sihir" Michael di Ferrari itulah yang diharapkan bisa kembali terjadi di Mercedes, tim yang pernah berjaya bersama Juan Manuel Fangio pada 1955. Ya, faktor usia Michael yang telah beranjak menua memang bisa menjadi kendala tapi juga jangan lupa bahwa sebelum Michael telah ada juara dunia lain yang berhasil meraih gelarnya di usia yang tak bisa dibilang muda. Giuseppe Farina, juara dunia F1 yang pertama, meraih gelar dunianya saat berumur 43 tahun lebih 10 bulan 3 hari pada 1950 sementara Juan Manuel Fangio meraih gelar dunia kelimanya di usianya yang ke-46 lebih 1 bulan dan 11 hari pada 1957. Jadi usia bukanlah sebuah hambatan untuk mengukir sebuah cataan sejarah terlebih bila pencatat sejarah itu adalah Michael Schumacher yang pencapaiannya di F1 seperti sebuah mitos bernama kesuksesan dan kesempurnaan.

Michael memang bukanlah manusia sempurna sehingga Jackie Stewart pernah berkomentar bahwa Michael adalah juara dunia yang paling banyak melakukan kesalahan, dan Michael sendiri menyadari bahwa ia tak sempurna namun ia selalu berusaha untuk mengejar kesempurnaan itu karena Michael adalah seorang manusia yang tak pernah puas dalam batasan sempit akal manusia. Namun tetap di atas semua itu, Michael adalah seorang manusia biasa yang memiliki hati dan jiwa. Terdiri dari daging dan darah yang memiliki emosi dan rasa. Di balik kearoganannya di atas trek, Michael sebenarnya merupakan pribadi yang sensitif, sentimentil, rentan, dan memiliki kerendahan hati di mata mereka yang mengenalnya. Semua itu karena Michael juga adalah manusia biasa tapi semua pencapaiannya membuatnya menjadi seorang manusia yang luar biasa. 

Sebagai seorang penggemar berat Michael Schumacher, tentu saja penampilan kembali Michael di F1 tak memuaskanku, namun aku tetap percaya Michael Schumacher adalah seorang Michael Schumacher, dan ia takkan pernah menyerah begitu saja. Ia pasti bisa kembali bangkit dan memperlihatkan bakat luar biasanya yang telah mempesona jutaan penggemar F1 lainnya sejak debutnya di Spa 1991. So, I'll keep believe that Michael will shine again in some race....

Deep inside my heart, I trully wish Michael would find again his golden moment. Go for it, Michael...!

pic taken from this site

Rabu, 09 Juni 2010

Elizabeth I = The Virgin Queen

pic taken from here

Tag dari : Selvia Lusman & Alicemop

Perjalanan Elizabeth I menuju takhtanya bisa dibilang cukup berliku. Ia sempat dibuang oleh ayahnya sendiri yaitu Raja Henry VIII dan kehilangan statusnya sebagai putri raja setelah ibu Elizabeth, Anne Boleyn yang merupakan istri kedua Henry VIII dipenggal karena dituduh berzinah. Bahkan setelah kematian ibunya, Elizabeth dinyatakan sebagai anak haram. Saat ayahnya wafat, adik laki-lakinya, Edward VI naik takhta menjadi raja tapi tak lama karena Edward VI meninggal pada 6 Juli 1553 diduga akibat penyakit tuberkulosis.

Setelah adik Elizabeth meninggal, anehnya bukan anak-anak Henry VIII yang lain yang menjadi penerus takhta. Penerus takhta malah diserahkan kepada Lady Jane Grey, cucu Mary, Duchess of Suffolk yang adalah adik perempuan Henry VIII. Tentu saja takhta Lady Jane ini tak mendapat sambutan dan dukungan dari banyak pihak yang menganggap bahwa takhta seharusnya menjadi milik Mary, putri pertama Henry VIII dengan istri pertamanya, Catherine of Aragon yang diceraikannya karena Henry mendambakan anak laki-laki dan telah kadung jatuh cinta pada Anne Boleyn, ibu Elizabeth yang dikira bisa memberikannya seorang putra mahkota. 

Usia takhta Lady Jane pun hanya bertahan selama sembilan hari untuk kemudian digulingkan. Mary, putri tertua Henry VIII dan Elizabeth yang sempat terbuang setelah ibu mereka disingkirkan oleh sang raja yang juga adalah ayah mereka, pun akhirnya kembali ke London

Kehidupan dan latar belakang Ratu Elizabeth I sebenarnya sangat rumit. Ia lahir di tengah keluarga yang bisa dibilang amburadul. Ayahnya doyan sekali kawin hanya karena ingin memiliki putra mahkota sebagai pewaris takhtanya. Belum lagi intrik politik antar kelompok agama di sekeliling takhta yang telah ikut berpengaruh dalam perjalanan hidup Elizabeth, dari sejak lahirnya hingga akhirnya ia ditahbiskan sebagai ratu. 

Elizabeth lahir di Greenwich Palace di Chamber of Virgins pada 7 September 1533. Ia merupakan anak satu-satunya Anne Boleyn dan Raja Henry VIII namun Elizabeth merupakan anak kedua Henry VIII yang telah mendapatkan seorang putri dari pernikahan terdahulunya dengan Catherine of Aragon yang dianulirnya demi bisa menikahi Anne dan membawa Anne meraih kursi ratu dari Catherine of Aragon. 

Namun setelah ternyata Anne tak jua berhasil memberikan seorang putra mahkota, cinta dan hati sang raja pun mulai berpaling dari Anne. Dengan berbagai intrik politik di sekitar takhta, Anne pun dijebak dan dikenakan tuduhan palsu. Pada 2 Mei 1536, Anne ditahan di Greenwich atas tuduhan berselingkuh dan berencana membunuh raja. Dan bukan hanya Anne yang ditahan. George Boleyn, kakak kandung Anne yang bergelar Lord Rochford juga ditahan. Pada 17 Mei 1536, George dipenggal di Tower Hill.
Anne sendiri berusaha membuktikan bahwa ia tak bersalah namun sang raja sudah tak lagi berkenan kepada ratunya ini sehingga mengacuhkan pembelaan diri dari sang ratu. Terlebih setelah gagal memberikan seorang putra mahkota baginya, sang raja pun mengalihkan cintanya pada seorang wanita muda, Jane Seymour. Saat melihat cinta sang raja padanya sudah luntur, Anne pun menyadari bahwa ia takkan bisa lagi mempertahankan posisinya.
Padahal dulunya, sang raja kabarnya sangat mencintai Anne Boleyn. Raja yang diketahui paling benci menulis surat tapi ternyata belakangan ditemukan ada tujuh belas pucuk surat cinta dari sang raja untuk Anne yang menunjukkan betapa sebenarnya ia sangat mencintai Anne, tapi sayangnya cinta sang raja itu ternyata tak abadi sehingga Anne harus mengalami nasib yang amat tragis. Surat-surat cinta dari sang raja ini kabarnya sampai sekarang masih tersimpan dengan rapi di perpustakaan Vatikan.
Anne Boleyn pun mengalami nasib seperti kakaknya. Ia dipenggal pada 19 Mei 1536 di Tower Green. Padahal setelah melahirkan Elizabeth, Ratu Anne hampir saja melahirkan putra mahkota yang didambakan oleh Raja Henry VIII namun sayangnya ia mengalami keguguran sampai dua kali. Yang pertama ia mengalami keguguran pada 1534 dan keguguran yang kedua terjadi di awal tahun 1536. Beberapa bulan setelah keguguran, Anne malah harus menghadapi intrik politik dari orang-orang di sekitar raja untuk menyingkirkannya yang membuatnya bukan hanya kehilangan posisinya sebagai ratu tapi juga nyawanya.
Saat ibunya dipenggal, usia Elizabeth belum genap tiga tahun. Mengingat pernikahan pertama raja dengan Catherine of Aragon berdasarkan tata cara gereja Katolik Roma dan Roma tak pernah mengakui perceraian sang raja dengan Catherine maka Elizabeth yang merupakan buah cinta sang raja dengan Anne Boleyn pun tak dianggap sehingga Elizabeth pun disebut sebagai anak haram. 
Kematian ibunya membuat Elizabeth mengalami nasib seperti kakak tirinya, Mary yang dibuang oleh ayahnya sendiri dan kehilangan statusnya sebagai seorang putri raja.  Sementra ayah Elizabeth yaitu sang raja sepertinya tak pernah merasakan kesedihan apalagi kehilangan atas kematian ratunya yang tewas akibat hukuman pancung yang diberikan olehnya sendiri karena sebelas hari setelah kematian Anne Boleyn, ayah Elizabeth, Henry VIII menikah lagi dengan Jane Seymour, wanita yang akhirnya berhasil memberikan seorang putra mahkota yang diidam-idamkan Henry. Namun tragisnya, dua belas hari setelah melahirnya putranya, Jane Seymour meninggal.

Sementara itu Elizabeth yang telah kehilangan statusnya sebagai putri raja berada di bawah pengasuhan beberapa orang wanita bangsawan. Lady Mistress Elizabeth yang pertama adalah Lady Margaret Bryan yang menulis bahwa Elizabeth merupakan anak yang paling bersahaja yang pernah dikenalnya dalam menghadapi berbagai masalah. Pada musim gugur 1537 pengasuhan Elizabeth berpindah ke Blanche Herbert atau yang juga disebut Lady Troy hingga awal tahun 1546.

Selain kedua wanita itu, Elizabeth juga memiliki beberapa guru yang membantu perkembangan intelektualitasnya yang kemudian berguna saat ia menjadi seorang pemimpin. Bahkan seorang guru wanita Elizabeth tetap menjadi teman Elizabeth hingga ia dianggat menjadi ratu. Ia adalah Catherine Champernowne yang setelah menikah namanya menjadi Catherine Ashely atau yang dikenal dengan nama panggilan Kat Ashley. Ia ditunjuk menjadi guru bagi Elizabeth pada 1537 dan mereka tetap berteman sampai Kat meninggal pada 1565.

Blanche Parry kemudian dipilih untuk memberikan pendidikan bagi Elizabeth yang melakukan tugasnya dengan baik untuk pendidikan awal Elizabeth. Pada 1544 William Grindal menjadi tutor Elizabeth. Di bawah pengajaran Grindal yang dinilai sebagai seorang tutor yang sangat berbakat dan cakap, Elizabethyang sebelumnya telah menguasai bahasa Inggris, Latin, dan Italia mendapat tambahan perkembangan bahasa asing yaitu Perancis dan Yunani. Setelah Grindal meninggal pada 1548, pendidikan Elizabeth dipercayakan kepada Roger Ascham, seorang guru yang berbeda jauh dengan Grindal. Ascham merupakan guru yang simpatik dan menganggap belajar seharusnya merupakan kegiatan yang menyenangkan. Ketika Elizabeth menyelesaikan pendidikan formalnya pada 1550, ia dianggap sebagai wanita berpendidikan terbaik pada generasinya.

Usia Elizabeth belum genap 14 tahun ketika ayahnya, Raja Henry VIII meninggal dunia pada 1547. Setelah kematian ayahnya, Edward VI, adik tiri Elizabeth pun naik takhta menggantikan ayahnya. Sementara istri Henry yang terakhir, Catherine Parr menikah lagi dengan Thomas Seymour of Sudeley, paman Edward VI tak lama setelah kematian Henry. Pasangan baru ini kemudian membawa Elizabeth ke rumah mereka di Chelsea. Di sinilah Elizabeth mengalami pelecehan seksual dari suami baru ibu tirinya ini yang mungkin mempengaruhi krisis emosionalnya hingga akhir hayatnya.

Thomas Seymour, suami baru dari ibu tiri Elizabeth ini meskipun telah berumur 40 tahun tapi kabarnya memiliki karisma dan daya tarik bagi lawan jenisnya. Namun Thomas Seymour juga dikenal sebagai orang yang licik dan sangat haus akan kekuasaan.

Suatu hari Catherine Parr, ibu tiri Elizabeth yang tengah mengandung memergoki suaminya sedang berasyik masyuk dengan Elizabeth, anak tirinya. Akibatnya, Elizabeth pun diusir dari rumahnya pada Mei 1548. Catherine Parr sendiri meninggal karena demam setelah melahirkan putri pertamanya dengan Seymour pada 5 September 1548. Seymour yang licik ini tetap melanjutkan rencana busuknya untuk menguasai keluarga kerajaan. Setelah kematian istrinya, ia kemblai mendekati Elizabeth dan bahkan berencana menikahinya.

Sifat ambisius Thomas untuk meraih kekuasaan pun membawa dirinya dan Elizabeth mengalami dakwaan. Mereka dituduh berencana menjatuhkan raja yang juga adalah adik tiri Elizabeth. Namun karena tak terbukti bersalah, Elizabeth pun akhirnya dibebaskan. Sementara Seymour yang iri dengan kakaknya, Lord Protector yang menjadi wali Raja Edward VI dan sangat berambisi untuk menyingkirkannya harus menemui akhir hidup yang tragis. Pada 20 Maret 1549 Thomas Seymour dipenggal kepalanya atas tuduhan pengkhianatan.

Sementara itu peluang Elizabeth meraih takhta kerajaan hampir terbuka ketika adiknya, Edward VI meninggal dunia pada 6 Juli 1553, diduga karena tuberkulosis dalam usianya yang ke-15. Namun Edward yang hanya bertakhta sebagai raja selama 6 tahun saja, ternyata telah meninggalkan wasiat sebelum ia wafat yang isinya menyatakan bahwa penerus takhtanya adalah Lady Jane Grey, cucu Mary, Duchess of Suffolk yang merupakan adik ayahnya sendiri, Raja Henry VIII dan menyingkirkan kedua kakaknya sendiri, Mary dan Elizabeth dari tampuk kekuasaan tertinggi kerajaan. Sesuai dengan wasiat Edward VI tersebut maka Lady Jane pun segera dilantik sebagai ratu tapi banyak pihak yang tak menyetujui penobatannya sebagai ratu karena menganggap Mary sebagai putri sulung Raja Henry VIII dengan Catherine of Aragon adalah sosok yang lebih tepat untuk mewarisi takhta Edward VI.

Dengan banyaknya dukungan itu, Mary dengan didampingi oleh Elizabeth, adik tirinya itu pun kembali ke London untuk merebut takhta kerajaan dari Lady Jane yang hanya bertakhta selama sembilan hari saja. Lady Jane Grey dan suaminya, Guilford Dudley pun dipenjarakan. Begitu pula dengan ayah Guilford, John Dudley dan saudara-saudara Guilford termasuk Robert Dudley yang merupakan teman masa kecil Elizabeth ikut dipenjarakan dengan berakhirnya takhta Lady Jane yang singkat itu.

Hubungan Elizabeth dengan Mary, kakaknya mulai memburuk setelah Mary yang merupakan penganut Katolik membantai orang-orang Protestan sementara Elizabeth merupakan penganut Protestan dan sejak kecil dididik dalam ajaran tersebut. Tindakan pembantaian Mary terhadap orang-orang Protestan pun menyebabkan popularitasnya menyusut. Dukungan terhadap Mary makin surut setelah ia memilih menikah dengan Pangeran Philip, putra Raja Charles V dari Spanyol.

Ketidak puasan dan perasaan tak senang terhadap Mary pun dengan cepat segera meluas ke seluruh negeri dan banyak pihak kemudian melihat Elizabeth merupakan sosok yang tepat untuk menyingkirkan Mary dengan kebijakan religiusnya itu. Pemberontakan pun pecah pada Januari dan Pebruari 1554 di beberapa daerah di Inggris dan Wales menentang pemerintahan Mary. Aksi pemberontakan yang dipimpin oleh Thomas Wyatt ini kemudian dikenal sebagai pemberontakan Wyatt.

Untuk meredakan pemberontakan, Lady Jane Grey yang telah dipaksa turun takhta pun dijadikan tumbal. Pada 12 Pebruari ia dieksekusi di Menara London. Tentu saja tindakan ini ditentang oleh Elizabeth yang menganggap Lady Jane tidak bersalah. Ia pun mengajukan keberatan dan dengan keras memprotes keputusan tersebut. Akibatnya Elizabeth pun ditangkap dan diinterogasi. Pada 18 Maret ia ditahan di Menara London, tempat dimana Lady Jane dieksekusi.

Sementara itu dukungan untuk Elizabeth pun makin kuat. Beberapa orang penting pun mulai mendekati Elizabeth. Hal ini kemudian dipandang sebagai bahaya bagi takhta Mary. Seorang yang sangat dekat dan merupakan orang kepercayaan Mary, Simon REnard beranggapan bahwa takhta sang ratu takkan pernah aman selama Elizabeth masih hidup. Karena itulah Stephen Gardiner ditugaskan untuk membawa Elizabeth ke dalam persidangan. Namun para pendukung Elizabeth di dalam pemerintahan termasuk Lord Paget meyakinkan Mary agar melepaskan adiknya. Pada 22 Mei, alih-alih dibebaskan, Elizabeth malah dipindahkan dari Menara London ke Woodstock. Di tempat inilah selama hampir setahun lamanya Elizabeth menjalani tahanan rumah di bawah pengawasan Sir Henry Bedingfield.

Pada 17 April 1555, Elizabeth kembali dipanggil ke pengadilan sementara peluangnya untuk menjadi ratu mulai menjadi perbincangan. Kemungkinan Elizabeth untuk menjadi ratu akan musnah apabila Mary kakaknya berhasil melahirkan seorang anak. Namun bila Mary dan anaknya kemudian meninggal maka bisa dipastikan Elizabeth akan naik takhta menggantikan kakak tirinya itu. Ketika diketahui bahwa Mary sepertinya tidak akan pernah memiliki anak, peluang Elizabeth untuk naik takhta pun makin jelas dan pasti.

Kepastian inilah yang kemudian membuat dukungan terhadap Elizabeth makin besar dan bahkan Philip II, suami Mary sendiri yang kemudian menjadi raja Spanyol pada 1556, menyadari kenyataan politik baru ini. Ia pun kemudian memperkuat hubungan dengan Elizabeth dan lebih memilih Elizabeth sebagai pengganti istrinya daripada pilihan lainnya yaitu Mary, Ratu Skotlandia yang tumbuh besar di Perancis dan bertunangan dengan Dauphin of France.

Sikap Philip yang condong kepada Elizabeth ini bahkan telah terlihat ketika Mary, istrinya jatuh sakit pada 1558. Saat itu Philip mengirim Count of Feria untuk berkonsultasi dengan Elizabeth. Dan mulai bulan Oktober, Elizabeth pun mulai membuat rencana untuk pemerintahannya bila kelak ia benar-benar naik takhta menggantikan kakaknya.

Pada 6 Nopember, Mary akhirnya mengakui Elizabeth sebagai penerus takhtanya. Ketika Mary meninggal pada 17 Nopember 1558 di St. James's Palace, Elizabeth mendengar berita kematian kakaknya ini di Old Palace, Hatfield House. Sebelas hari setelah kematian kakaknya, Elizabeth, sang putri terbuang dan sempat kehilangan kesempatannya menjadi pewaris takhta inipun akhirnya di usianya yang kedua puluh lima dinobatkan sebagai ratu menggantikan Mary, kakaknya.

Pada 15 Januari 1559, Elizabeth dimahkotai dan diurapi sebagai Ratu baru di Westminster Abbey. Rakyat pun menyambut gembira penobatan Elizabeth sebagai ratu baru mereka. Dan pada 20 Nopember 1558, Elizabeth mengucapkan pidatonya dan di sinilah pertama kali muncul istilah "two bodies (dua tubuh)" yang menjadi gaya bahasa khas Elizabeth yang kerap digunakannya dalam pidato-pidatonya. Kalimat 'dua tubuh' yang diucapkan Elizabeth itu mengacu pada tubuh badani dan tubuh politik.

"Tuan-tuan sekalian, tentu saja secara alami aku merasa berduka atas apa yang terjadi pada kakakku. Apa yang telah terjadi ini membuatku takjub dan menyadari bahwa aku sesungguhnya hanyalah ciptaan Tuhan sehingga sudah seharusnya aku mematuhi perintah-Nya. Sepenuh hatiku aku menyadari bahwa aku ini hanyalah alat-Nya yang telah ditetapkan oleh karena kemurahan-Nya untuk menjadi pengemban amanat-Nya sebagaimana yang telah ditetapkan untukku ini. Dan inilah aku dengan tubuh badaniahku ( a body natural) sepenuhnya menyadari, bahwa atas kehendak-Nya memberikanku tubuh politik (a body politic) untuk menjalankan pemerintahan, sebagaimana yang telah dipercaykan oleh Anda sekalian kepadaku, karena itulah kuharap aku dengan keputusan-keputusanku dan Anda sekalian dengan kesetiaan dan pelayanan Anda berkenan di hadapan Allah yang Maha Kuasa yang akan memberikan kedamaian bagi kita dan anak cucu kita di bumi ini. Aku berjanji akan menjalankan tugasku dengan sebaik-baiknya."

Berbeda dengan kakaknya, Elizabeth> memberikan ketenangan dan kedamaian baik untuk kelompok Protestan maupun Katolik. Dalam mengambil keputusan,Elizabeth dan para penasihatnya selalu menjaga agar tak melukai kelompok Protestan dan Katolik. Meski begitu, Elizabeth tidak pernah membierkan toleransi kepada beberapa kelompok Puritan yang radikal yang mendesaknya untuk melakukan reformasi besar-besaran.

Meskipun telah diketahui bahwa Elizabeth dididik dan dibesarkan dalam ajaran Protestan, namun bagi beberapa ahli sejarah, keyakian atau agama Elizabeth secara pribadi tak pernah diketahui secara pasti. Kebijikan religius Elizabeth sendiri dinilai pragmatis oleh beberapa sejarawan.

Ketika mewarisi takhta dari kakaknya, Elizabeth menghadapi keadaan negara yang bisa dibilang sangat kritis baik dari segi ekonomi maupun kekuatan politik dalam negeri yang terpecah belah akibat kebijakan religius Ratu Mary. Ditambah lagi pemerintahannya harus menghadapi peperangan melawan Perancis dan beberapa negara lainnya, warisan masalah dari pemerintahan kakaknya. Ditambah hubungan dengan Skotlandia dan Spanyol yang memburuk. Tambahan lagi keuangan negara yang tak terlalu baik dan semua permasalahan itu membutuhkan penanganan segera dari sang ratu baru sekaligus batu ujian bagi Elizabeth yang bila berhasil melewatinya maka takhtanya bisa dipastikan akan kokoh.

Meski semua permasalahan warisan dari pemerintahan kakaknya membutuhkan tindakan sesegera mungkin dari Elizabeth tak bisa bertindak sembarangan yang nantinya akan berimbas pada buruknya kepercayaan rakyat terhadapnya.

Mengingat permasalahan agama di dalam negeri telah sangat buruk yang berakibat pada perpecahan bangsa akibat kebijakan religius sang kakak, maka Elizabeth pun memilih untuk mengatasi kemelut agama ini sebagai prioritas utama dalam pemerintahannya. Terlebih masalah pertentangan agama di Inggris itu sempat membahayakan keberadaan Elizabeth yang merupakan penganut Protestan. Pada tahun 1570 Paus Pius V sempat mengucilkan dan memerintahkan Elizabeth untuk turun takhta. Bahkan pada 1580 Paus Gregory XIII mengeluarkan pengumuman yang isinya menyatakan bahwa tidaklah berdosa membunuh Elizabeth. Meski begitu, Elizabeth mendapatkan banyak dukungan dari kelompok Protestan yang selama masa pemerintahan Mary sangat menderita akibat kebijakan religiusnya itu.

Karena itu pulalah, maka Elizabeth memilih perselisihan agama di dalam negeri merupakan hal pertama yang harus ditangani. Tak lama setelah naik takhta, Elizabeth langsung mengeluarkan Undang-Undang tentang "Supremasi dan Persamaan" yang disahkan pada 1559. Dalam UU tersebut, Anglikan ditetapkan sebagai agama resmi negara. Hal yang dinilai merupakan keputusan yagn tepat dan memuaskan kelompok Protestan Moderat sementara kelompok puritan menghendaki perubahan yang lebih drastis dan radikal.

Dengan didampingi oleh orang-orang yang cakap sebagai penasihatnya, Elizabeth pun berhasil membawa Inggris menuju babak baru. Bahkan dalam sejarah Inggris, Elizabeth I bisa dianggap sebagai raja paling terkemuka. Dalam masa 45 tahun pemerintahannya, Inggris berhasil mencapai kemakmuran dalam berbagai bidang. Selain kemakmuran dalam bidang ekonomi, dunia kesusastraan Inggris yang dimotori oleh William Shakespeare dan Christopher Marlowe mulai berkembang pesat.

Walaupun beberapa sejarawan menilai Elizabeth merupakan orang yang temperamen dan tidak tegas dalam mengambil keputusan namun perbaikan ekonomi disertai menguatnya kekuatan militer Inggris berhasil meningkatkan Elizabeth yang bahkan membuatnya menjadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh di dunia.

Dengan makin menguatnya kekuatan Inggris dalam peta perpolitikan global, maka masalah pnerus takhta Elizabeth pun mulai menjadi bahan perbincangan terlebih sang ratu tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan menikah. Mengingat apa yang terjadi dengan kakaknya, Elizabeth menyadari bahwa memilih siapa yang akan dinikahinya bukanlah hal yang bisa ditetapkan secara sembarangan dan memerlukan pemikiran yang cermat, karena itulah Elizabeth bersikap hati-hati dalam memilih siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. Padahal selama 25 tahun Elizabeth telah menerima lamaran dari para pangeran Eropa untuk bisa menikahinya tapi tak satupun lamaran dari para pangeran Eropa itu dipilihnya.

Elizabeth sendiri sebenarnya memiliki hubungan yang sangat erat dengan teman masa kecilnya Lord Robert Dudley, ipar dari Lady Jane Grey. Hubungannya dengan Robert makin dekat hingga awal 1559 di mana hubungan persabahatan antara Elizabeth dengan Dudley mulai berubah menjadi cinta. Namun Robert telah menikah sehingga hal ini tidak memudahkan langkah Elizabeth untuk menikah dengannya. Ketika Amy Robsard, istri Dudley tewas saat jatuh dari tangga pada 1560, jalan untuk pernikahan antara Elizabeth dan Dudley pun nyaris terbuka tapi rencana pernikahan mereka ini mendapat hambatan dan pertentangan keras dari para penasihat Elizabeth.

Hubungan Elizabeth dengan Dudley memang bisa dibilang sangat pelik. Robert Dudley adalah anak dari John Dudley, Lord of Northumberland yang pada saat Edward VI wafat berusaha menempatkan Lady Jane Grey, menantunya untuk naik takhta menggantikan Edward VI. Namun karena tak mendapatkan banyak dukungan, takhta Lady Jane tak bertahan lama. Dengan tersingkirkan Lady Jane, ia beserta seluruh keluarga Dudley pun dipenjarakan. Robert Dudley sebagai ipar dari Lady Jane, ratu yang hanya bertakta selama sembilan hari, ditahan di Menara London dan terancam hukuman mati bersaya ayah dan empat saudara laki-lakinya. Namun ia diselamatkan oleh teman masa kecilnya, Elizabeth yang juga adalah adik tiri dari Ratu Mary yang merebut takhta Lady Jane.

Sayangnya, nasib baik Robert tak diikuti oleh ayah dan adiknya, Guilford Dudley yang adalah suami dari Lady Jane Grey. Guilford Dudley dieksekusi pada Pebruari 1554, sama seperti istrinya. Sementara saudara laki-lakinya yang lain akhirnya juga dibebaskan pada musim gugur. Iparnya, Henry Sidney adalah teman pangeran Philip II dari Spanyol yang kemudian menjadi suami Ratu Mary. Dan Philip lah juga yang kemudian membantu pembebasan Robert Dudley.

Mungkin masa lalu dan latar belakang Robert inilah yang menjadi sumber keberatan para penasihat Elizabeth seperti William Cecil, Nicholas Throckmorton, dan beberapa politisi lain yang mengingatkan Sang Ratu bahwa keputusannya itu bisa menjadi sebuah batu sandungan dan bumerang yang dapat mengancam dirinya seperti yagn terjadi pada kakaknya, Ratu Mary ketika memutuskan untuk menikah dengan Philip II dari Spanyol.

Meskipun Elizabeth mematuhi nasihat dari para penasihatnya dan membatalkan rencananya untuk menikah dengan Robert Dudley namun ia tetap memberikan posisi yang bagus untuk Dudley dalam pemerintahannya hingga akhirnya Robert berhasil meraih berbagai gelar kebangsawanan dan memiliki banyak tanah yang meningkatkan harta kekayaan pribadinya. Robert sendiri akhirnya menikah kembali pada 1578 dengan Lettice Knollys.

Pernikahan kedua Dudley ini sendiri tak menyenangkan sang ratu yang tak menyukai Lettice, istri kedua Robert Dudley. Pada 1583, Elizabeth bahkan menyebut Lettice Dudley "She-wolf (serigala betina)". Sementara Robert Dudley disebutnya sebagai seorang "pengkhianat" dan "cuckold (suami yang istrinya tidak setia)".

Meski begitu, Dudley ternyata tetap menempati ruang istimewa dalam hati Elizabeth. Setelah kematian Elizabeth, ditemukan sebuah surat dari Dudley yang meninggal pada 1588 tak lama setelah Armada. Surat tersebut menunjukkan betapa dekatnya hubungan mereka yang tetap terjalin. Di surat tersebut terdapat tulisan tangan Elizabeth yang menandakan surat itu sebagai "surat terakhir" Robert Dudley.

Selain Dudley, sebenarnya Elizabeth juga sempat memikirkan lamaran dari beberapa pangeran Eropa lainnya seperti Archduke Charles of Austria yang adalah sepupu Philip II dari Spanyol. Namun sayangnya hubungannya dengan Habsburg memburuk pada 1568 hinnga akhirnya lamaran itupun tak bisa ditanggapi oleh Elizabeth hingga ke jenjang pernikahan.

Untuk memperkuat posisi politiknya demi menghadapi Spanyol, pada 1572 sampai 1581 Elizabeth juga sempat mempertimbangkan lamaran dari dua pangeran Perancis, kakak beradik Duke of Anjou, Henri dan adiknya Francois tapi keduanya ternyata tak mampu meluluhkan hati sang ratu yang akhirnya memilih untuk tetap melajang.

Dalam menjalankan politik luar negerinya, Elizabeth dikenal luwes, cerdik, cermat, dan berpandangan jauh. Hubungan diplomatik Elizabeth bukan hanya terjalin di sekitar daerah Eropa saja, namun ia memperluasnya hingga ke Jepang. Adalah William Adams, seorang Inggris pertama yang berhasil tiba di Jepang. Ia adalah mantan pegawai Barbary Company yang didirikan pada 1585. Pada Agustus 1600 ia menapakan kakinya di Jepang sebagai pilot dari Dutch East India Company. Ia kemudian memainkan peran kunci yang sangat penting bagi hubungan diplomatik pertama antara Inggris dan Jepang.

Selain itu Elizabeth juga berhasil menciptakan hubungan yang baik dengan kekaisaran Ottoman di Maroko. Hubungannya dengan Maroko memiliki peranan penting dalam upaya Elizabeth dalam menghadapi kekuatan Armada Spanyol.

Namun hubungan luar negeri Elizabeth dengan Rusia sempat terganggu ketika Feodor, putra Tsar Ivan IV naik takhta menggantikan ayahnya. Padahal hubungan Elizabeth dengan Tsar Ivan sebelumnya sudah sangat baik dan Inggris berhasil memetik banyak keuntungan dari hubungan bilateral antar kedua negara tersebut. Ketika Feodor naik takhta, ia tak lagi mengistimewakan hubungan antara Inggris dengan Rusia seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Feodor bahkan memecat duta besar Inggris, Sir Jerome Bowes sehingga Elizabeth harus mengirimkan  Dr. Giles Fletcher sebagai duta besar Inggris yang baru untuk Rusia.

Di Irlandia, meskipun negeri ini adalah bagian dari kerajaanya, namun di sini Elizabeth sempat menghadapi masalah besar dengan mayoritas penduduk negeri ini yang sebagian besar adalah Katolik, keadaan yang sduah pasti menempatkan Elizabeth sebagai musuh dan hal ini pun menjadi kendala bagi Elizabeth dalam mencegah penyerangan Spanyol terhadap Inggris. Kebijakan Elizabeth di tempat inipun tak bisa dibilang cemerlang karena ia mengakibatkan sekitar tiga puluh ribu orang Irlandia kelaparan hingga akhirnya mati kelaparan pada 1582.

Antara 1594 dan 1603 Elizabeth menghadapi ujian paling berat di Irlandia yang kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Tyrone atau Perang Delapan Tahun (Nine Years War). Pada musim semi 1599, Elizabeth mengirimkan Robert Devereux, 2nd Earl of Essex untuk meredakan pemberontakan. Namun sayangnya tak banyak kemajuan yang bisa dilakukannya sehingga tanpa ijin lagi, ia akhirnya kembali ke Inggris. Charles Blount atau Lord Mountjoy pun akhirnya dipilih untuk menggantikan Devereux. Ia ternyata berhasil mengalahkan para pemberontak dalam waktu tiga tahun. Hugh O'Neill atau Earl of Tyrone, sang pemimpin pemberontakan pun akhirnya menyerahkan diri pada 1603, beberapa hari setelah kematian Elizabeth.

Hubungan Elizabeth dengan Skotlandia pun bisa dibilang cukup rumit. Kebijakan Elizabeth atas Skotlandia awalnya adalah untuk mencegah keberadaan Perancis di sana. Ia takut bila Perancis akan menginvasi Inggris dan menempatkan Mary, Ratu Skotlandia yang oleh banyak pihak dianggap merupakan pewaris takhta kerajaan Inggris yang lebih pantas dari Elizabeth. Karena itu Elizabeth mengirimkan bantuan untuk pemberontak Protestan di Skotlandia. Pada Juli 1560 akhirnya tercipta kesepakatan Edinburg yang memulihkan kembali perdamaian Inggris dengan Skotlandia.

Namun ketika Mary akhirnya kembali ke Skotlandia pada 1561 untuk meraih kembali kekuasaannya, negaranya ternyata telah dikuasai oleh gereja Protestan dan parelemen pun diisi oleh para bangsawan Protestan yang didukung oleh Elizabeth sehingga Mary menolak ratifikasi perjanjian tersebut.

Untuk menaklukan Mary bahkan Elizabeth pernah menjodohkannya dengan Robert Dudley, pria yang dicintainya. Namun Mary menolaknya dan malah memilih Henry Stuart, Lord Darnley yang dinikahinya pada 1565. Namun pernikahan Mary ini dinilai merupakan awal dari kesalahan Mary yang menyebabkan Elizabeth dan kelompok Protestan Skotlandia meraih kemenangan. Darnley yang mengklaim takhta Inggris telah membuat dirinya sendiri tak disukai di Skotlandia terlebih setelah terjadi pembunuhan terhadap David Rizzio, orang Italia yang merupakan sekretaris Mary. Darnley menduga Mary, istrinya telah berselingkuh dengan Rizzio.

Konspirasi untuk membunuh Darnley yang diketuai oleh James Hepburn, Earl of Bothwell pun menyeruak. Pada Februari 1567 Darnley benar-benar dibunuh oleh kelompok konspirasi ini. Tak lama setelah kematian suaminya, pada 15 Mei 1567 Mary malah menikah dengan Bothwell, orang yang diduga merupakan pembunuh suaminya. Elizabeth pun mengirimkan surat padanya yang isinya mempertanyakan keputusan Mary menikahi seorang yang merupakan tersangka atas pembunuhan suaminya sendiri itu.

Akibat kecerobohan Mary itu, ia pun menghadapi masalah serius yang mengakibatkannya kehilangan takhtanya. Para bangsawan Skotlandia menentangnya dan memaksanya turun takhta. James, putra Mary yang dilahirkan pada Juni 1566 menjadi calon yang lebih disukai untuk menggantikan takhtanya. James kemudian dibawa ke Stirling Castle untuk dibesarkan sebagai seorang Protestan. Sementara Mary dipenjarakan di Loch Leven Castle. Namun pada 1568 Mary berhasil melarikan diri dari Loch Leven dan melarikan diri ke Inggris, ia merasa yakin akan mendapatkan dukungan dari Elizabeth. Namun meskipun Elizabeth sebenarnya sangat menyayangi Mary dan ingin memulihkan kerajaan Mary tapi Elizabeth dan parlemen Ingris akhirnya lebih memilih untuk mencari aman.

Karena terlalu riskan untuk mengembalikan Mary ke Skotlandia meskipun dengan kawalan tentara Inggris sekalipun. Sementara itu tak mungkin pula mengirimkan Mary ke Perancis dan membiarkannya bergabung dengan kelompok Katolik yang merupakan musuh Inggris. Karena itulah Mary pun akhirnya tetap ditahan di Inggris selama delapan belas tahun.

Kehadiran Mary di Inggris ternyata menjadi ancaman serius bagi takhta Elizabeth. Dengan keberadaan Mary, kelompok Katolik pun jadi memiliki seorang kuat untuk menyingkirkan Elizabeth yang merupakan pembela kaum Protestan. Pada 1569 muncul rencana untuk membebaskan Mary dan menikahkannya dengan Thomas Howard, Duke of Norfolk. Elizabeth pun segera mengambil langkah tegas dengan menyingkirkan Howard. Hal ini menyebabkan Paus Pius V mengeluarkan keputusan kepausan pada 1570 yang menyatakan "Elizabeth adalah ratu Inggris palsu dan merupakan pelayan kejahatan". Katolik Inggris pun melihat Mary yang merupakan penganut Katolik sebagai pewaris takhta Inggris yang sesungguhnya.

Elizabeth sendiri sebenarnya enggan menjatuhkan hukuman atas Mary tapi setelah Sir Francis Walsingham, agen mata-mata Elizabeth menyakinkannya bahwa Mary benar-benar telribat untuk menjatuhkan Elizabeth dan ingin merebut takhtanya akhirnya Elizabeth pun dengan berat hati mengesahkan hukuman atas Mary. Pada 8 Pebruari 1587, Mary dipenggal di Fortheringhay Castle, Northamptonshire dalam usianya yang ke-44 tahun.

Setelah hubungannya dengan Skotlandia dan Perancis berhasil diselesaikan, ternyata Inggris memiliki musuh baru yaitu Spanyol. Pertentangannya dengan Spanyol berawal dari peristiwa Le Havre pada 1562-1563 di mana Spanyol menekan kelompok Protestan Belanda. Untuk mencegah makin meluasnya kekuasaan Spanyol maka Elizabeth pun mengirimkan tentara Inggris untuk membantu para pemberontak Protestan Belanda melawan Philip II, raja Spanyol, yang pernah menjadi iparnya. Dengan kematian Pangeran Kerajaan Belanda, William The Silent, dan Francois, Duke of Anjou ditambah dengan menyerahnya beberapa kota di Belanda ke tangan Alexander Farnese, Duke of Parma yang adalah gubernur yang ditempatkan Philip II dari Spanyol di Belanda, makin memperkuat kedudukan Spanyol di Kerajaan Belanda. Pada Desember 1584 terbentuk persekutuan antara Philip II dengan kelompok Katolik Perancis di bawah kepemimpinan Henry III of France sehingga makin memperbesar dominasi Spanyol di Perancis. Hal ini tentu saja makin menguatkan posisi Spanyol atas teluk Perancis dan mengancam posisi Inggris sehingga Elizabeth melihat bahwa ia harus segera bertindak untuk menyelamatkan negaranya dan takhtanya.

Pada Agustus 1585 terbentuklah Perjanjian Nonsuch dan Elizabeth menjanjikan dukungan militer untuk Belanda. Perjanjian inilah yang mengawali perang antara Inggris dengan Spanyol (Anglo-Spanish War) yang berlangsung hingga tercipta Kesepakatan London pada 1604.

Spanyol yang semula sangat percaya diri dan meyakini kemenangan mereka atas Inggris tak menyangka bahwa ternyata Armada Inggris sangat tangguh. Spanyol kalah telak dari Armada Inggris. Dalam masa ini muncullah nama Sir Francis Drake, seorang pelaut Inggris yang sangat terkenal karena berhasil mengalahkan pasukan Spanyol di Karibia pada 1585 dan 1586. Bahkan pada 1587 ia berhasil melakukan serangan di Cadiz yang menghancurkan armada Spanyol dan menciptakan kekalahan besar atas pasukan Philip II itu.

Pada 1588 akhirnya Spanyol pun menyerah kalah terhadap Inggris. Armada Inggris sendiri kemudian terkenal sebagai angkatan laut terkuat hingga berabad-abad lamanya.

Untuk memperingati kemenangan besar tersebut, ada sebuah potret Elizabeth dengan latar belakang kekalahan Armada Spanyol pada 1588 itu sementara tangan Elizabeth bersandar pada sebuah bola dunia yang melambangkan kekuatan wanita luar biasa yang satu ini dalam menaklukan dunia.

Namun kesuksesan kepemimpinan Elizabeth ini senantiasa dihantui dengan pertanyaan dan tekanan dari berbagai pihak terhadap sang ratu yang tak kunjung menikah agar menyebutkan siapa yang akan mewarisi takhtanya kelak. Terlebih setelah Elizabeth sempat menderita sakit cacar pada 1562 yang meski ia akhirnya berhasil sembuh dari sakitnya namun hal ini membuat tekanan terhadapnya untuk menyebutkan nama pewaris takhtanya untuk berjaga-jaga bila ia tiba-tiba saja wafat.

Meski menghadapi berbagai tekanan namun Elizabeth seolah tak peduli. Ia tetap bungkam dan tak menyebutkan satu pun nama yang dianggapnya pantas untuk mewarisi takhtanya. Alasan Elizabeth untuk bungkam sebenarnya adalah untuk menjaga keamanan politik dalam kerajaannya. Ia takut bila ia menyebutkan nama pewarisnya maka akan terjadi pemberontakan untuk merebut takhtanya.

Tekanan terhadap Elizabeth mengenai dirinya yang tak kunjung menikah sempat membaut Elizabeth merasa lelah sehingga suatu kali ia pernah mengatakan bahwa seandainya saja ia bisa menemukan cara suksesi tanpa harus menikah, maka ia akan melakukannya. 

Status Elizabeth yang tetap tak menikah hingga masa tuanya pun kemudian menciptakan pemujaan terhadap virginity atau keperawanan. Dalam puisi dan berbagai lukisan, Elizabeth bahkan digambarkan secara berlebihan sebagai seorang dewi perawan (goddess of virgin).Elizabeth
sendiri pada 1559 mengatakan bahwa ia akan hidup dan mati sebagai seorang perawan. Pada 1599 Elizabeth mengatakan bahwa "Rakyatnya adalah suaminya." Hal ini pulalah yang menginspirasi sebuah lukisan tentang dirinya yang menggambarkannya menikah dengan kerajaannya.

Pada 1590-an Elizabeth mulai kehilangan para penasihatnya yang hebat. Diawali dengan kematian Earl of Leicester pada 1588, berturut-turut para politikus yang sangat penting dalam pemerintahan Elizabeth pun ikut meninggal dunia. Sir Francis Walsingham meninggal pada 1590 dan setahun kemudian Sir Christopher Hatton pada 1591. Sementara penasihat utama Elizabeth yang paling dipercayanya, William Cecil, Lord Burghley meninggal dunia pada 4 Agustus 1598. Putra Burghley, Robert Cecil yang kemudian meneruskan kiprah sang ayah.

Salah satu tugas yang dibebankan pada Cecil adalah menyiapkan cara yang halus dan aman untuk pewaris takhta Elizabeth. Dan Cecil pun secara diam-diam menyiapkan James VI, raja Skotlandia sebagai pewaris takhta Elizabeth. Ia berusaha meyakinkan Elizabeth bahwa James merupakan orang yang tepat sebagi pewarisnya. Nasihatnya ternyata berhasil diterima oleh Elizabeth karena sesaat sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, akhirnya sang ratu mengucapkan nama James of Scotland sebagai pewarisnya.

Pada musim gugur 1602 kembali Elizabeth harus merasakan kehilangan atas kematian beberapa teman dekatnya yang menimbulkan kesedihan amat mendalam bagi sang ratu. Pada bulan Maret 1602 Elizabeth jatuh sakit dan pada 24 Maret 1603 ia wafat di Richmond Palace antara jam dua atau tiga pagi. Westminster Abbey, tempat dimana jenazah Elizabeth disemayamkan pun dengan segera dipenuhi oleh rakyat banyak yang merasa sedih dan kehilangan atas kematian sang ratu.

Beberapa jam setelah kematian sang ratu, Robert Cecil dan parlemen Inggris pun segera menyiapkan rencana suksesi dan menyatakan James VI dari Skotlandia sebagai raja Inggris yang baru sesuai dengan mandat sang ratu sesaat sebelum ia meninggal. Namun sayangnya, Raja James yang sebenarnya mendapatkan ekspektasi yang sangat tinggi tak berhasil menyami kiprah sang ratu, pendahulunya ini.

Masa pemerintahan Elizabeth kerap disebut sebagai Elizabethan Era. Karena ia tak menikah hingga akhir hayatnya, maka Elizabeth kerap kali disebut sebagai Virgin Queen. Elizabeth sendiri memiliki banyak julukan lain untuknya. Di antaranya adalah Gloriana, Oriana, atau Gcod Queen Bess yang kesemuanya menggambarkan kebesaran Elizabeth.


Meskipun Elizabeth hanyalah seorang wanita, seperti yang diungkapkan oleh Paus Sixtus V namun Elizabeth telah membuat dirinya menjadi lawan yang sangat disegani oleh negara-negara besar lainnya seperti Spanyol, Pernacis, dan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya. Keberhasilan Elizabeth ini membuatnya menjadi Tudor pertama yagn diakui dan mendapat dukungan dari rakyatnya. Elizabethsendiri merupakan pewaris terakhir dari Dinasti Tudor namun ia berhasil menjadi yang paling gemilang dari para pendahulunya.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Elizabeth selalu menunjukkan kerjasamanya dengan anggota parlemen dan para penasihat yang sangat dipercayanya. Sikap kooperatif Elizabeth dengan anggota parlemen dan penasihatnya pun dicontoh oleh penerusnya, Raja James dalam menjalankan pemerintahannya.

Meskipun Elizabeth telah mencapai banyak kesuksesan dalam pemerintahannya tapi ia tetap menunjukan bahwa dirinya merupakan orang yang sangat percaya pada Tuhan. Ia bahkan menganggap Tuhan sebagai penasihatnya yang paling jujur dan Tuhan pulalah yang menjadi alasan utama dari semua peraturan dan ketetapan yang dibuatnya dalam masa pemerintahannya. Dalam doanya senantiasa mengucap syukur atas kemurahan Tuhan terhadapnya.

"Ketika perang dari perselisihan yang menimbulkan penyiksaan yang sangat mengerikan mendera hampir semua raja dan negara di sekelilingku, kerajaanku dipenuhi oleh kedamaian. Dan sementara kecintaan rakyatku begitu kukuh sehingga membuat para musuhku frustasi...," demikian ucapan syukur sang ratu kepada Tuhan, Penasihat sejatinya.

Sabtu, 05 Juni 2010

Perang Mesin di 2010

Musim balapan ini tercatat ada empat pabrikan penyuplai mesin-mesin untuk memberikan tenaga bagi tunggangan 12 tim yang berlaga di tahun ini. Cosworth merupakan pabrikan yang memiliki konsumen tim berbanyak namun sayangnya pengguna mesinnya merupakan tim-tim gurem dan hanya Williams sjaa yang bisa lebih berbicara banyak di papan tengah mewakili tim-tim pengguna mesin Cosworth lainnya.

Sementara Ferrari dan Mercedes, selain menyuplai untuk timnya sendiri juga memasok mesin mereka untuk dua tim lain. Namun bila Mercedes memasok untuk tim papan atas seperti McLaren dan sebuah tim papan tengah yaitu Force India, tak demikian halnya dengan Ferrari yang memasok untuk Toro Rosso dan Sauber yang mana keduanya bukanlah tim papan atas seperti McLaren ataupun Red Bull yang mendapat sumbangan tenaga dari mesin Renault.

Dari dua tim yang menerima pasokan mesin Ferrari rasanya hanya Toro Rosso yang meskipun merupakan tim kecil tapi lebih bisa mengoptimalkan kinerja mesin dari tim elit asal Italia berjuluk kuda jingkrak itu. Sejauh ini Sauber belum mencapai hasil memuaskan. Di GP Bahrain, kedua pebalap mereka, Pedro de la Rosa dan Kamui Kobayashi sama-sama gagal finish karena masalah hidraulik sementara di Melbourne, meski gagal meraih poin, namun Pedro masih berhasil membawa Sauber Ferrarinya melintasi garis finish di urutan ke-12 sementara Kobayashi yang sempat mencuri perhatian di penampilan perdananya bersama Toyota pada beberapa race terakhir di musim lalu harus lebih cepat mengakhiri balapan akibat kecelakaan selepas start yang juga menyeret seorang pebalap penggunan Ferrari lainnya, Sebastian Buemi yang membalap untuk Toro Rosso-Ferrari.

Di Malaysia, masalah engine mengandaskan balapan kedua pebalap Sauber-Ferrari itu sementara di China, masalah engine kembali menghempaskan De la Rosa sementara Kobayashi harus mengakhiri balapannya lebih awal karena kecelakaan. Di Monaco kedua pebalap itu kembali harus gagal finish, Kobayashi karena masalah gearbox sedangkan Pedro lagi-lagi karena masalah hidraulik.

Berbeda dengan Sauber yang belum berhasil memaukan kekuatan mesin Ferrari dengan mobil mereka, Toro Rosso yang merupakan "adik" dari tim Red Bull Racing masih lebih berhasil mengoptimalkan kinerja mesin Ferrari meski mereka masih belum segemilang aksi Red Bull, "sang kakak". Jaime Alguersuari pada GP Turki yang lalu sempat mencatatkan fastest lap mengalahkan duet McLaren.

Dari kesemua pemasok mesin, sepertinya Mercedes merupakan pemasok mesin yang harusnya bisa meraih hasil paling baik tahun ini. Tiga juara dunia yang berlaga pada musim balap tahun ini mengendarai mobil dengan dukungan dari mesin dari pabrikan mobil mewah asal Jerman ini. Jadi wajar bila tim-tim pemasok Mercedes mendapatkan ekspektasi yang lebih tinggi dari tim-tim lainnya dan bisa lebih banyak menghiasi podium di semua race sepanjang tahun ini. Namun sayangnya, kekuatan Mercedes ternyata masih kurang tangguh dibanding Renault yang telah mengantarkan dua pebalap Red Bull yang berhasil mengoptimalkan kekuatan mesin asal pabrikan Perancis itu dengan settingan mobil mereka sehingga menjadi paket yang komplet dan berhasil mengantarkan kedua pebalap mereka meraih pole position di tujuh race yang telah digelar di musim ini.

Berdasarkan analisa asal-asalan ini, aku pun jadi menarik kesimpulan, sepertinya musim balap tahun ini merupakan perang gengsi antara Renault dan Mercedes. Terlebih kedua pabrikan ini yang sepertinya bisa berbicara lebih banyak dibanding pemasok mesin lainnya.

Bila di Shanghai, podium diisi oleh ketiga pendekar pengguna Mercedes yaitu Jenson Button, Lewis Hamilton, dan Nico Rosberg. Button dan Hamilton membalap untuk McLaren-Mercedes sementara Rosberg mewakili tim Mercedes GP.

Keberhasilan Mercedes itu pun membuat Renault tak mau kalah. Mereka pun membalasnya di GP Monaco, di mana ketiga pebalap pengguna mesin asal pabrikan Perancis itu memetik hasil sempurna lewat kedua jagoan Red Bull Racing, Mark Webber dan Sebastian Vettel yang sukses meraih finish pertama dan kedua disusul oleh Robert Kubica yang membalap untuk tim Renault.

Berdasarkan hasil GP Monaco itu, akupun jadi tergelitik untuk membuat perbandingan kekuatan antar kedua pemasok tersebut. Berhubung Renault hanya memasok untuk Red Bull dan timnya sendiri, Renault, maka akupun membuat perbandingannya dengan dua tim teratas yang menerima pasokan mesin Mercedes yaitu McLaren-Mercedes dan Mercedes GP supaya hasilnya bisa sedikit lebih berimbang.

Ternyata kekuatan dua mesin pemasok tim besar F1 ini bisa dibilang hampir berimbang tapi untuk menjuarai balapan memang tak melulu hanya mengandalkan pada kekuatan mesin semata meski kekuatan pasokan mesin merupakan hal yang sangat vital tapi keahlian pakar aerodinamika dari masing-masing tim sepertinya merupakan kunci sukses untuk menghasilkan tunggangan yang paling sempurna. Untuk saat  ini memang kerja Adrian Newey untuk Red Bull yang berhasil menyulap tunggangan dua tim minuman berenergi itu terlihat paling komplit dengan kesuksesan mereka merajai setiap sesi kualifikasi tapi rasanya tim-tim pemasok Mercedes seperti McLaren dan Mercedes pastinya takkan mau tinggal diam dan membiarkan Red Bull terus meraja di sepanjang musim balap tahun ini. Mengingat musim 2010 ini masih panjang, maka agaknya perkembangan yang terus dilakukan empat tim tangguh ini akan membuat peta persaingan perebutan gelar juara dunia 2010 akan menjadi makin panas. Sepanas cuaca di Jakarta saat musim kemarau mendera....