Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 18 Maret 2014

Resensi Buku: Perempuan Dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih - Reni Nuryanti

Berbicara soal sejarah Indonesia, tak bisa tidak, nama Ir. Sukarno tentunya tabu dilewatkan. Betapa tidak, dalam perjalanan menuju Indonesia, nama Bung Karno bergema bukan hanya di tanah air bahkan dengan kemampuannya berorasi hingga mendapat julukan Singa Podium dan betapa rakyat Indonesia sangat mendengarkan suaranya, membuat pemerintah Hindia Belanda belingsatan. Berkali-kali Sukarno seperti juga tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia lainnya seperti Bung Hatta, Syahrir dan banyak lainnya, dimasukkan ke penjara dan hidup menderita dalam pengasingan, semua itu dilakukan pemerintah Hindia Belanda demi membungkam Sukarno dan menjauhkannya dari rakyat. Tapi semua penderitaan itu tak pernah mampu memadamkan api semangat dalam jiwa Sukarno untuk memerdekaan Indonesia. Dan berbicara soal pergulatan Sukarno dalam masa-masa pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia ada nama seorang wanita sederhana bersahaja yang begitu tulus dan setia mendampingi Sukarno muda melewati masa-masa sulit di penjara dan pengasingan. Dialah Inggit Garnasih. 

Banyak memang wanita yang ada di sekitar Presiden pertama republik ini, namun, tanpa niat mengesampingkan peran wanita-wanita lainnya, rasanya memang hanya Inggit Garnasih-lah, sebagaimana yang dikisahkan dalam buku ini bersumber dari banyak buku-buku sejarah lainnya, wanita yang lebih banyak mengalami kepahitan dan kesulitan dalam menemani Sukarno muda sejak masih merupakan mahasiswa Technische Hooge School (sekarang ITB), di Bandung, mendampingi saat Sukarno ditangkap dan dipenjarakan bahkan sampai dibuang ke Ende, Palembang, dan Padang, kembali ke Palembang sebelum akhirnya ke Jakarta dan kembali ke Bandung. Namun, Inggit tanpa pamrih hanya bisa pasrah saat Sukarno mencintai wanita lain, Sukarno tak ingin menceraikan Inggit, menyadari begitu besar pengorbanan dan ketulusan Inggit untuknya, tapi Inggit, wanita yang sangat tegar dan begitu kukuh memegang prinsip, memilih dicerai daripada harus dimadu. 

Jadilah, Inggit yang selama ini mendampingi Soekano melewati masa-masa sulit dalam perjuangan pergerakan menuju Indonesia Merdeka tak bisa memetik buah pengabdiannya saat Sukarno menjadi Presiden pertama republik ini. Inggit tak pernah menjadi First Lady negeri ini dan menikmati hidup dalam Istana Negara, tapi di hati Sukarno nama dan peran Inggit Garnasih mungkin takkan pernah bisa digantikan.

Inggit Garnasih, perempuan Sunda bersahaja ini adalah anak dari pasangan Ardjipan, biasa dipanggil Bapak Jipan dengan Ibu Amsi. Inggit lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada tanggal 17 Februari 1888. Tak banyak catatan sejarah yang mengisahkan masa kecil Inggit Garnasih, begitu pun dengan buku ini. Hanya diceritakan Inggit Garnasih dilahirkan dengan nama Garnasih, nama Inggit yang kemudian disandangnya berasal dari kisah di masa mudanya, di mana diceritakan banyak yang menyukainya dan ia kerap diberi uang seringgit. Dari situlah nama Inggit dilekatkan padanya. Inggit dari kata seringgit.

Inggit sejak kecil memang memiliki wajah cantik yang menimbulkan rasa sayang di hati siapapun yang melihatnya. Saat remaja, ada seorang pemuda bernama Sanusi yang menyukainya, dan rupanya Inggit pun menyukainya. Tapi suatu hari Inggit mendengar Sanusi akan menikah dengan gadis lain. Dibakar rasa cemburu, Inggit yang memang merupakan kembang desa karena parasnya yang cantik itu, tanpa pikir lagi menerima pinangan dari seorang Kopral Residen Bandung bernama Nata Atmadja. Namun pernikahan Inggit dengan Nata Atmadja hanya seumur jagung. Pada tahun 1904, setelah empat tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Inggit dan Nata Atmadja memutuskan bercerai. Dari pernikahan ini mereka tak dikaruniai anak. 

Sementara itu rupanya Sanusi yang telah menikah dan memiliki dua orang putra dari pernikahannya itu pun telah bercerai. Inggit dan Sanusi yang rupanya masih sama-sama saling mencintai ini memutuskan menyambung kembali kisah cinta mereka dan menikah. Awalnya kehidupan rumah tangga mereka berjalan harmonis. Sanusi adalah seorang saudagar mebel. Bisa dibilang kehidupan rumah tangga mereka tak berkekurangan. Terlebih Inggit yang sejak dulu suka bekerja, tak pernah berpangku tangan, sehingga meski sebenarnya seluruh keperluannya sudah tercukupi oleh Sanusi, tapi Inggit tetap suka bekerja menjahit baju perempuan dan anak-anak, ia juga piawai meramu jamu dan bedak. Namun sayangnya, keharmonisan rumah tangga ini tak berlangsung lama. Inggit belum juga dikaruniai anak dari pernikahannya ini dan di sisi lain, Sanusi belakangan suka keluar malam dan bermain bilyar. Kegersangan rumah tangga Inggit dengan Sanusi ini makin runyam saat seorang pemuda tampan, mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung (Technische Hoogeschool) datang dan menumpang di rumah mereka. Pemuda tampan ini bernama Sukarno.

Sukarno adalah menantu H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam. Saat Sukarno akan melanjutkan pendidikan di Bandung, Tjokroaminoto meminta bantuan Sanusi yang juga anggota Sarekat Islam untuk mencarikan tempat kost bagi menantu dan putrinya, Siti Oetari. Inggit yang sering ditinggal Sanusi merasa senang ada yang menemani, jadi ia memutuskan menerima Sukarno dan Oetari tinggal di rumahnya. Namun ternyata rumah tangga Sukarno dan Oetari pun rupanya tengah bermasalah. Oetari masih terlalu belia dan belum memahami sepenuhnya peran istri. Ia masih merupakan seorang remaja yang gemar bermain dengan teman-teman sepermainan, maklum saat menikah gantung dengan Sukarno pada tahun 1921, usia Oetari baru 16 tahun sementara Sukarno berumur 20 tahun. 

Inggit sendiri mencoba menengarai perselisihan dalam rumah tangga muda ini kendati rumah tangganya sendiri bermasalah. Tapi rupanya, Sukarno yang sejak pertemuan pertamanya dengan Inggit sudah jatuh hati pada ibu kostnya yang cantik dan dewasa ini. Ia sering mengeluh pada Inggit tentang perasaannya pada Oetari yang lebih dianggapnya sebagai adik. Di sisi lain Sukarno juga iba pada Inggit yang kerap ditinggal Sanusi bermain bilyar tiap malam. 

Pada tahun 1923 Soekarno bercerai dengan Oetari. Setelah memulangkan Oetari kepada ayahnya di Surabaya, Sukarno kembali ke Bandung. Perasaan Sukarno terhadap Inggit rupanya tak lepas dari pengamatan Sanusi, suami Inggit. Namun alih-alih marah, Sanusi malah menganjurkan Inggit menerima Sukarno. 

Sukarno dinilai sebagai pemuda yang cerdas dan bersemangat, harapan bangsa untuk keluar dari cengkeraman penjajah. Sanusi yang walaupun menyayangi Inggit berpikir bahwa Sukarno muda, calon pemimpin bangsa ini membutuhkan sosok Inggit, perempuan dewasa keibuan yang diharapkan dapat membimbing Sukarno. Sementara Inggit yang belakangan lelah dan kecewa dengan kebiasaan buruk Sanusi, suaminya yang suka keluar malam, nyatanya memang menaruh hati juga pada pemuda yang usianya terpaut jauh darinya ini. 

Pada tahun 1923, pernikahan Inggit dengan Sanusi juga berakhir. Di tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 24 Maret 1923 Inggit dan Sukarno menikah. Usia Inggit saat itu 35 tahun sementara Sukarno berumur 22 tahun. Berbeda dengan ketika bersama Sanusi, di mana sebagai pengusaha, Sanusi bisa mencukupi kebutuhan materi bagi Inggit sementara bersama Sukarno yang masih seorang mahasiswa, Inggit harus bekerja seorang diri memenuhi kebutuhan mereka. 

Sudah lama Inggit ingin memiliki anak. Dari dua kali pernikahan sebelumnya, Inggit tak pernah dikaruniai anak, begitu pun pada pernikahan ketiganya ini dengan Sukarno, Inggit tak juga dikaruniai anak. Pada 4 Mei 1923, Murtasi, kakak perempuan Inggit melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Arawati. Saat anak ini berumur 40 hari, Inggit membawa Arawati ke rumahnya. Karena Arawati sering sakit, akhirnya Sukarno mengganti namanya menjadi Ratna Juami yang akrab dipanggil Omi. Baik Inggit maupun Sukarno sangat menyayangi Omi.

Kegiatan politik yang ditopang kemampuan Sukarno berorasi sudah kerap kali membuat Pemerintahan Hindia Belanda gerah. Tahun 1926 Sukarno lulus dari THS dan meraih gelar insinyur. Pada 4 Juli 1927 PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) didirikan dengan Sukarno sebagai ketuanya. Pada bulan Mei 1928 nama Perserikatan Nasional Indonesia diubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuan utama PNI adalah kemerdekaan Indonesia. 

Pergerakan politik PNI ditambah pidato-pidato Sukarno membuat pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap dengan menekan Sukarno tapi Sukarno tak pernah hirau hingga akhirnya Sukarno beserta beberapa tokoh PNI ditangkap pada 29 Desember 1929. Selama masa persidangan, Sukarno dan kawan-kawannya ditempatkan di Penjara Banceuy selama 8 bulan. 

Di masa-masa ini sulit ini, Inggit berperan sangat besar untuk membangkitkan kembali semangat Sukarno yang sempat hancur karena harus hidup dalam jeruji besi. Inggit bekerja lebih keras. Ada kalanya Inggit harus berjalan kaki demi mengunjungi Sukarno di penjara dan membawakan buku-buku seperti yang diminta Sukarno untuk dibawakan. Inggit bahkan sempat harus berpuasa selama tiga hari agar buku yang diminta Sukarno bisa disisipkan di perutnya tanpa menimbulkan kecurigaan dari penjaga penjara. Selama dalam penjara inilah, Sukarno menulis naskah pidato "Indonesia Menggugat", yang sangat melegenda dan yang digunakannya sebagai pembelaannya di persidangan. 

Putusan pengadilan menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara bagi Sukarno. Ia dipindahkan ke sebuah penjara baru yan dikenal dengan nama Penjara Sukamiskin. 

Penjara nyatanya tak pernah memudarkan semangat Sukarno untuk memerdekakan bangsanya. Ia terus melakukan kegiatan politiknya yang membuat pemerintah Hindia Belanda geram dan memutuskan mengasingkannya ke Ende, Flores. Inggit lagi-lagi berperan sangat besar di masa-masa ini. Ia menjual rumahnya di Bandung dan bersama ibunya, Ibu Amsi dan putri angkatnya, Ratna Juami mendampingi Sukarno hidup dalam pengasingan di Ende, Flores, daerah yang sangat asing bagi mereka.

Selama hidup dalam pengasingan di Ende ini jiwa seni Sukarno berkembang. Sukarno sempat mendirikan kelompok sandiwara. Ia menulis dan menyutradarai beberapa sandiwara. Selain itu Sukarno juga suka melukis. Namun hobi melukisnya ini memerlukan biaya besar untuk membeli kanvas dan cat tapi Inggit tanpa mengeluh, selalu memenuhi keinginan Sukarno. Seperti saat di Bandung, di Ende pun Inggit tak pernah berpangku tangan. Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia suka berjualan kain yang dipesannya dari kerabatnya di tanah Jawa untuk dikirimkan ke Ende. 

Di Ende ini, Inggit dan Sukarno mendapat tambahan satu lagi anak angkat yang bernama Soekarti. Orangtua kandung Soekarti adalah pasangan Jawa yang tinggal di Ende. Ayah kandung Soekarti bernama Atmo Soedirjo. Oleh Sukarno nama Soekarti diubah menjadi Kartika.

Saat di Ende, Inggit harus kehilangan ibunda yang sangat dicintainya. Pada 1935 ibu Amsi, ibunda Inggit meninggal dunia akibat penyakit malaria. Tak lama berselang Sukarno pun jatuh sakit karena penyakit yang sama dan hampir saja merenggut nyawanya. Tapi kabar Sukarno yang sakit parah ini sampai ke tanah Jawa. Tokoh-tokoh pejuang Indonesia di Jakarta, di antaranya Mohammad Husni Thamrin yang juga adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat), mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan Sukarno dari Ende. Atas desakan ini akhirnya pada 1938 pemerintah Hindia Belanda memutuskan memindahkan Sukarno ke Bengkulu.

Saat di Bengkulu inilah rumah tangga Inggit dan Sukarno yang selama ini kukuh berdiri mulai goyah oleh kehadiran seorang gadis cantik, putri dari Hasan Din, tokoh Muhamadiyah setempat. Nama gadis itu adalah Fatmawati. Ironisnya Fatmawati adalah kawan sepermainan Ratna Juami, atau Omi, putri angkat Sukarno dan Inggit. Fatmawati bahkan juga merupakan anak angkat Inggit dan Sukarno dan sempat tinggal di rumah mereka. 

Meski Sukarno jatuh cinta pada Fatmawati dan berniat menikahinya tapi ia tak ingin menceraikan Inggit. Di hatinya, Inggit masih tak tergantikan. Ia menyadari peran besar dan pengorbanan Inggit baginya selama ini, tapi di sisi lain, Sukarno mendambakan keturunan langsung dari dirinya sendiri. Ia ingin memiliki anak. Anak kandungnya sendiri, hal yang tak bisa dipenuhi Inggit. Tentu saja hal ini menghancurkan hati Inggit. Selama ini pernikahannya bersama Sukarno berjalan harmonis, walau mereka tak memiliki anak kandung namun mereka sangat menyayangi dua anak angkat mereka, Omi dan Kartika. Tapi sejak bertemu Fatmawati, gadis manis putri Hasan Din, ketua ranting Muhamadiyah cabang Bengkulu, hati Sukarno tergetar yang juga menggoyahkan biduk rumah tangganya bersama Inggit. Walau Sukarno bersikeras tak ingin bercerai, namun ia juga tetap kukuh pada pendiriannya untuk menikahi Fatmawati. Dan bagi Inggit yang berhati teguh, ia tak rela dimadu. Baginya lebih baik mati daripada dimadu. Maka ia pun memberi ultimatum pada Sukarno, bila ia tetap bersikukuh pada pendiriannya untuk menikahi Fatmawati maka ia harus terlebih dahulu menceraikan Inggit. Tak dinyana, Sukarno memilih menceraikan Inggit demi bisa menikahi Fatmawati. Namun satu permintaan Inggit, ia meminta perceraian dilakukan saat mereka sudah kembali ke Pulau Jawa, karena Inggit merasa setidaknya di tanah Jawa tepatnya di Bandung, ia memiliki banyak kerabat sehingga ia merasa tak sendirian tidak seperti di Bengkulu yang sama sekali asing baginya.

Perang Dunia kedua dan kabar mengenai kedatangan Jepang ke Indonesia membuat Belanda melakukan antisipasi. Sukarno dan keluarga kecilnya dibawa pergi dari Bengkulu. Mereka menyusuri hutan-hutan belantara Sumatera hingga akhirnya sampai ke Padang. Dari Padang ini sedianya mereka akan berlayar menuju Pulau Jawa. Di tengah keadaan yang tak menentu ini, hubungan Sukarno dan Inggit justru sedikit membaik. Dalam hati Inggit merasa bahagia, karena Sukarno untuk sementara terpisah dari Fatmawati. Ia berharap bisa segera tiba kembali ke tanah Jawa dan takkan pernah lagi bertemu Fatmawati. Tapi tak dinyana, saat mereka tengah menunggu kapal yang akan membawa mereka ke pulau Jawa datang berita bahwa Jepang sudah memasuki kota Padang. Jepang mengetahui peran Sukarno dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pihak Jepang pun menawarkan kerjasama pada Sukarno. Berbeda dengan harapan Inggit yang tak ingin kembali ke Bengkulu, nyatanya dalam perjalanan ke tanah Jawa, mereka kembali dibawa menuju Bengkulu terlebih dahulu. Dan seperti yang bisa diduga, Sukarno kembali menemui Fatmawati dan menegaskan janjinya untuk menikahi Fatmawati.

Setibanya di Bandung, setelah 20 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, pada 1943 pernikahan Inggit dan Sukarno berakhir. Sejarah kemudian menggariskan Sukarno menjadi Presiden pertama Republik Indonesia dan Fatmawati yang akhirnya benar-benar dinikahi Sukarno menjadi ibu negara. Sementara Inggit yang sejak mudanya selalu bekerja keras, kembali berjuang sendirian memenuhi kebutuhan hidupnya dan Kartika, anak angkatnya. Ia kembali membanting tulang membuat bedak dan jamu juga menjahit pakaian untuk wanita dan anak-anak. Meski kecewa dan patah hati tapi tak setitik pun benci dan dendam bertahta di hatinya. Dengan keluhuran budinya, Inggit menerima semuanya sebagai suratan takdirnya. Di dalam hatinya, Sukarno tetap merupakan kesayangannya. Foto Sukarno bahkan masih terpasang di kamarnya. Nyatanya pula Sukarno tak pernah menafikan peran Inggit Garnasih sebagai mitra seperjalanan merintis kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1961 Sukarno menganugrahi Inggit tanda kehormatan "Satyalancana Perintis Pergerakan Kemerdekaan."

Saat Sukarno mengunjunginya, dua puluh tahun setelah perceraian mereka, Sukarno meminta maaf pada Inggit karena telah menyakiti hatinya, tapi dengan bijak, Inggit berujar, "Tidak usah diminta Ngkus, sudah lama Nggit maafkan Ngkus. Ngkus pimpinlah negara dan rakyat dengan baik seperti cita-cita kita dulu (hal. 340)." Sukarno dan Inggit memang memiliki panggilan kesayangan masing-masing. Inggit memanggil Sukarno dengan nama Kusno, nama kecil Sukarno namun karena waktu kecil ia suka sakit-sakitan maka ayahnya mengganti namanya dengan nama Sukarno, yang diambil dari nama tokoh wayang kesukaannya, Karna. Sementara Sukarno memanggil Inggit dengan panggilan Nggit.

Pada 1960 saat Sukarno kembali datang ke Bandung, ia pun sempat mengunjungi Inggit yang kala itu sudah berusia 72 tahun. Saat itu Inggit sedang sakit. Pertemuan ini menjadi pertemuan terakhir mereka. Pada 21 Juni 1970 Sukarno meninggal dunia. 

Fatmawati pun sempat datang mengunjungi Inggit. Awalnya Ali Sadikin yang adalah Gubernur DKI Jakarta terlebih dahulu mengunjungi Inggit menjajaki perasaan Inggit, bilamana masih ada rasa sakit di hati Inggit pada Fatma. Namun nyatanya Inggit sudah lama memaafkan dan melupakan kejadian di masa silam itu. Bahkan dengan tangan terbuka ia menyambut Fatmawati yang datang bersama Guntur dan Megawati, anak-anaknya bersama Sukarno. Pada kesempatan ini, Fatmawati menangis dan bersujud sambil mencium kaki Ibu Inggit tapi Inggit dengan arifnya berkata, "Ibu maafkan semua kesalahanmu dari dahulu, dan sampai sekarangpun engkau masih anak ibu (hal. 343)" Tiga bulan setelah pertemuan mereka ini, pada 14 Mei 1980 Fatmawati meninggal dunia dalam usia 57 tahun.

Pada September 1982 Inggit terserang sakit bronchitis. Seiring waktu kesehatannya makin menurun. Pada 13 April 1984 Inggit Garnasih menghembuskan nafas terakhirnya. Pada 11 Agustus 1997, Presiden Soeharto menganugrahinya tanda kehormatan "Bintang Mahaputra Utama." 

Peran Inggit Garnasih dalam sejarah kemerdekaan Indonesia mungkin tak sebingar tokoh pejuang kemerdekaan lainnya, namun kesederhanaan dan ketulusannya serta kebesaran jiwanya adalah teladan sempurna bagi bangsa ini. Bahkan ada satu kejadian menyentuh saat Inggit didatangi oleh seorang wartawan, tak lama setelah kematian Sukarno. Wartawan ini bertanya pada Inggit, "Apa yang Ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak?" Inggit menjawab, "Negara kita ini, untuk kita semua, untuk seluruh rakyat, dan untuk semua keturunan bangsa kita." Jawaban yang sama sekali tak disangka. Wartawan ini mengira Inggit akan menerima harta secara materi dari Sukarno mengingat peran Inggit dalam hidup Sukarno. Si wartawan itu pun menegaskan maksud pertanyaannya, "Yang saya maksudkan harta pusaka untuk Ibu pribadi?" Dan lagi-lagi Inggit menjawab dengan jawaban yang sama sekali tak diduga. Ia berkata, "Kenangan yang tak terlupakan, yang Ibu simpan di dalam hati, yang akan menemani Ibu masuk ke dalam kubur (hal. 341)."