Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 19 Agustus 2014

Wisata Keliling Museum : Jejak Peradaban dan Sejarah Bangsa di Museum Nasional Republik Indonesia

Seperti janjiku sebelumnya, kali ini aku akan membahas acara jalan-jalanku ke Museum Gajah alias Museum Nasional. Nama resmi museum yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat ini adalah Museum Nasional Republik Indonesia, tapi museum ini kerap disebut Museum Gajah, hal ini dikarenakan keberadaan patung gajah yang menghiasi bagian depan gedung museum yang terletak tepat di samping kantor Kementerian Sekretariat Negara ini. Patung gajah ini rupanya bukanlah patung gajah biasa. Patung gajah berbahan perunggu ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand (dulu bernama Siam) pada tahun 1871 saat berkunjung ke Batavia.


Gedung Museum Nasional yang sangat dipengaruhi bentuk arsitektur Eropa ini dibangun pada tahun 1862 oleh pemerintah Hindia Belanda. Nama Museum Nasional Republik Indonesia mulai resmi digunakan sejak 28 Mei 1979. 

Dibanding Museum Sejarah Jakarta, pengelolaan di Museum Nasional bisa dibilang jauh lebih modern. Dalam museum ini terdapat dua gedung yaitu gedung lama (Unit A) dan gedung baru (Unit B). 

Kami lebih dulu memasuki gedung lama (Unit A). Di sini terdapat banyak sekali koleksi patung atau arca yang sebagian besar peninggalan dari masa Kerajaan Majapahit. Kebanyakan adalah arca dewa Siwa, dewa utama dan yang paling dipuja dalam agama Hindu. Tapi yang paling menarik perhatian adalah arca Bhairawa dengan Nomor Inventaris 6470. Bagaimana tidak menarik, patung ini bisa dibilang merupakan yang tertinggi di sini. Patung yang terbuat dari batu andesit ini sangat mencolok perhatian karena tingginya yang mencapai 4,41 meter dengan berat 4 ton. 


Bhairawa adalah dewa raksasa dalam aliran Hindu-Buddha atau Tantrayana. Dikisahkan Bhairawa merupakan pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha sebagai raksasa yang menakutkan. Namun arca Bhairawa ini dianggap merupakan perwujudan Adityawarman yang merupakan penganut Buddha aliran Tantrayana Kalachakra. 

Nah, Adityawarman ini adalah salah seorang bangsawan Majapahit keturunan Melayu yang diangkat menjadi raja di Sumatra. Konon Adityawarman disebut-sebut memiliki hubungan darah dengan keluarga Kerajaan Majapahit. Bahkan setelah Jayanegara, raja kedua Majapahit meninggal tanpa meninggalkan anak, Adityawarman yang merupakan sepupu Jayanegara, dikatakan merupakan salah satu calon pewaris tahta Kerajaan Majapahit. Tapi seperti yang diketahui kemudian, Ratu Tribhuwanottunggadewi, adik dari Jayanegara yang akhirnya naik takhta menggantikan ibunya, satu-satunya permaisuri dari Raden Wijaya yang masih hidup namun lebih memilih menjadi pertapa, meninggalkan hiruk-pikuk keduniawian. 

Pada tahun 1343, di masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi, Adityawarman disebut-sebut turut membantu Gajah Mada menaklukkan Bali. Setelah itu Adityawarman yang juga dikenal dengan panggilan Mpu Aditya kembali ke Sumatera dan mengangkat dirinya sebagai maharaja namun tetap tunduk dan mengakui kebesaran Kerajaan Majapahit. 

Penggambaran arca Bhairawa ini bisa dibilang cukup mengerikan. Bagaimana tidak, arca ini berupa pria yang berdiri di atas mayat seorang manusia cebol dengan deretan tengkorak di sekelilingnya. Di tangan kanannya ia memegang cangkir yang terbuat dari tengkorak sementara tangan kirinya memegang belati. Di bagian perutnya terpahat seraut wajah yang rupanya merupakan ukiran kepala Kala. 

Arca Bhairawa ini ditemukan di Padang Roco, Sungai Langsat, Sumatra Barat dan diperkirakan berasal dari abad ke-14. Arca ini dikabarkan pernah roboh dan terkubur dalam tanah. Hanya sisi bagian lapik (alas) yang menyembul ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tak mengetahui bahwa yang menyembul itu adalah bagian dari sebuah arca menjadikan batu yang menyembul itu sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang atau lesung untuk menumbuk padi. Pada tahun 1935 arca Bhairawa ini diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda ke Kebun Margasatwa Bukittinggi kemudian pada 1937 arca Bhairawa ini dibawa ke Batavia dan ditempatkan di Museum Nasional sampai sekarang. 

Selain arca Bhairawa, yang juga menarik perhatianku adalah arca dewa Agni. Dalam kisah Mahabharata, seperti yang tengah rutin ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi nasional, Arjuna, putra ketiga Raja Pandu dengan dewi Kunti atas karunia dari dewa Indra, meminta bantuan dari dewa Agni yang juga dikenal sebagai dewa api untuk membakar hutan Kandhawa. 


Selain arca Siwa, arca Parwati, istri dewa Siwa juga banyak sekali. Tapi ada satu arca Parwati dengan nomor inventaris 256a/103b/2082 yang sangat menarik perhatianku. Pada label keterangan yang menyertai arca ini dijelaskan bahwa arca Parwati yang berasal dari Candi Rimbi, Jombang, Jawa Timur ini merupakan perwujudan dari Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani, ibunda dari Raja Hayam Wuruk yang memerintah Majapahit pada tahun 1328-1351 Masehi. 

Arca Parwati yang dianggap perwujudan Ratu Tribhuwanottunggadewi yang memerintah Majapahit pada tahun 1328-1351.

Di bagian lain ada pula sebuah arca yang merupakan perwujudan dari Raja Kertarajasa Jayawardhana, pendiri sekaligus raja pertama Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309. Raja Kertarajasa yang juga dikenal dengan nama Raden Wijaya merupakan ayah dari Ratu Tribhuwanottunggadewi. Arca tersebut adalah arca Harihara dengan nomor inventaris: 256/103a/2082. Arca ini juga sangat menarik. Pada label keterangannya dijelaskan bahwa Harihara adalah persatuan dewa Siwa (Hara) dan dewa Wisnu (Hari). Arca ini berasal dari Candi Sumberjati, Simping, Blitar, Jawa Timur. 

Harihara, persatuan dewa Siwa dan dewa Wisnu. Arca ini dianggap perwujudan Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit.

Bagi pecinta sejarah atau penggemar kisah-kisah wayang, mungkin gedung arca ini merupakan tempat yang sangat menarik mengingat begitu banyak arca yang juga menjadi tokoh-tokoh dalam kisah-kisah wayang. Ada satu kejadian menarik yang kusaksikan di sana. Saat tengah mengamati arca-arca dan membaca label-label keterangan dari arca-arca tersebut, ada seorang pria yang dengan telatennya memberitahu putrinya kisah-kisah di balik tokoh-tokoh arca yang diamatinya. Putrinya dengan antusias mengamati arca-arca yang ditunjuk ayahnya dan sesekali mengajukan pertanyaan yang dengan fasih dapat dijawab oleh ayahnya. Mungkin bagi beberapa orang kejadian ini merupakan hal biasa. Tapi bagiku ini adalah kejadian menarik. Karena alih-alih mengajak anaknya jalan-jalan tanpa juntrungan ke mall, seperti umumnya di masa kini, si ayah ini justru membawa anaknya ke museum dan dengan pengetahuannya soal kisah-kisah dunia perwayangan membuat si anak sangat antusias mendengar kisah-kisah yang dituturkan ayahnya sambil mengamati tiap-tiap arca yang ditunjuk ayahnya. 

Koleksi arca di gedung Museum Nasional ini bisa dibilang sangat banyak. Ada beberapa arca Ganesha, dewa pengetahuan yang sangat bisa dikenali karena bentuk kepalanya yang berupa seperti gajah ini. Sayangnya ada beberapa arca Ganesha yang bagian belalainya sudah hilang atau keropos. 

Patung Ganesha juga termasuk salah satu patung yang banyak terdapat di Museum Nasional ini. Patung Ganesha ini adalah salah satunya.

Pada bagian belakang gedung ini terdapat Taman Prasejarah. Di sini kita bisa melihat berbagai macam contoh sarkofagus, peninggalan masa pra sejarah yang sering sekali kita dengar dalam pelajaran sejarah tapi tak pernah kita lihat bentuk rupanya. Yang juga selalu kuingat dari pelajaran sejarah saat sekolah adalah menhir. Sama seperti sarkofagus, menhir juga kerap muncul dalam pelajaran sejarah saat aku sekolah tapi sama sekali tak diperlihatkan contoh bentuk rupanya seperti apa. Nah, di Museum Nasional ini barulah aku melihat bentu rupa dari kedua objek sejarah tersebut 

Salah satu contoh menhir di museum ini adalah menhir gada yang berasal dari Danau Poso, Sulawesi Tengah. 

Menhir Gada yang berasal dari Danau Poso, Sulawesi Tengah. Salah satu koleksi di Taman Prasejarah Museum Nasional. Sedangkan patung di belakangnya tak disertai label keterangan, tapi bentuknya dan pahatannya menarik perhatianku.

Keluar dari gedung ini, kami beranjak ke gedung di sampingnya. Di sini ada empat lantai. Tapi kami hanya sempat menyusuri sampai ke lantai dua saja. 

Di gedung ini terdapat banyak benda-benda kebudayaan dari seluruh nusantara. Di bagian awal terdapat peta besar Indonesia. Masuk ke dalamnya ada ruang pamer masa pra sejarah di mana terdapat patung manusia purba. 

Patung keluarga manusia purba yang terdapat di gedung Unit B. Di gedung ini banyak dipamerkan sejarah peradaban manusia dan berbagai koleksi budaya Indonesia.

Salah satu yang menarik di sini adalah cetakan otak Homo Erectus Progresif. Cetakan otak ini diambil dari fosil tengkorak Homo Soloensis IV dengan volume sebesar 1.100cm3. Homo Soloensis adalah jenis manusia purba paling progresif di antara kelompoknya. Pada dinding dekat ruang pamer ini terdapat penjelasan mendetail mengenai evolusi manusia hingga jenis Homo Erectus Progresif ini. Jika mampir di sini, cobalah membaca mengenai Pohon silsilah manusia sekadar untuk menambah pengetahuan kita mengenai evolusi manusia. 

Di sebelahnya ada fosil gading Stegodon (Elephas sp.). Beberapa langkah di seberangnya ada replika tengkorak manusia Flores. Dijelaskan bahwa otak manusia Flores adalah jenis otak terkecil. 

Fosil Gading Stegodon , jenis gajah purba. Di sampingnya adalah cetakan otak manusia purba jenis Homo Erectus Progresif. Salah satu jenis manusia purba yang paling maju (progresif) dalam tingkatan evolusi Homo Erectus.

Di tempat ini ada pula beberapa perhiasan serta jimat-jimat dari daerah-daerah di nusantara ini. Beberapa perlengkapan yang digunakan untuk upacara di beberapa daerah. Salah satunya adalah anyaman yang dibuat dari daun lontar yang bernama Cili. Anyaman yang bisa juga dibuat dari daun pandan selain daun lontar ini berupa seorang wanita yang menjadi simbol "Dewi Sri" dan ditempatkan di atas sesaji untuk dibawa saat upacara tertentu seperti upacara panen atau sebagai hiasan pada lamak (salah satu dekorasi bebantenan di Bali). 

Cili (kiri), anyaman dari daun lontar yang menyerupai seorang wanita sebagai simbol "Dewi Sri" untuk upacara panen. Di sebelahnya adalah Ketu atau penutup kepala sebagai pelengkap pakaian pendeta tinggi (pedanda) dalam agama Hindu yang digunakan dalam upacara di Bali.

Berada ruangan ini kita seperti disadarkan akan kekayaan budaya bangsa ini. Ada pula beberapa benda-benda tekstil dengan pola khas budaya dari daerah-daerah asalnya. 

Dalam gedung ini terdapat pula beberapa prasasti di antaranya Prasasti Mulawarman, peninggalan dari Kerajaan Kutai. Prasasti ini juga disebut yupa merupakan peninggalan tertua dari kerajaan Hindu di Indonesia. Prasasti yang berbentuk tinggi lurus seperti tiang ini ditemukan di hulu sungai Mahakam, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti yang berisi tulisan dalam bahasa Sansekerta ini diperkirakan berasal dari sekitar tahun 400 Masehi. Isinya menceritakan Raja Mulawarman memberikan sumbangan yang sangat besar berupa sapi kepada kaum Brahmana. 

Prasasti Mulawarman, salah satu prasasti tertua di Indonesia, peninggalan Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia.

Di ruang lain, kita juga bisa menemukan Prasasti Telaga Batu yang juga tak kalah menarik. Prasasti yang dibuat dari batu andesit dengan tinggi 118 cm dan lebar 148 cm ini berbentuk seperti setengah lingkaran. Bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala kobra sementara bagian bawahnya ada semacam legokan kecil yang setelah aku browsing dari internet ternyata cerat sempit itu untuk mengalirkan air pembasuh. Aku sangat tertarik dengan bentuk prasasti ini, namun setelah aku browsing di internet ternyata prasasti ini berasal dari Kerajaan Sriwijaya, tapi yang membuatku terkejut ternyata di balik keindahan prasasti ini, isi dari prasasti ini adalah kutukan bagi siapapun yang melakukan kejahatan di Kedatuan Sriwijaya dan yang tak taat pada perintah Datu. Tulisan dalam prasasti ini menggunakan huruf Pallawa, bahasa Melayu kuno. 

Prasasti Telaga Batu, peninggalan kerajaan Sriwijaya. Bentuknya terlihat indah dan menarik, tapi siapa sangka ternyata isinya adalah kutukan.

Di depan Prasasti Telaga batu, ada sebuah patung yang juga sangat menarik. Patung itu adalah Pancuran Samudramanthana dengan nomor inventaris : 383a/4385 berasal dari Sirah Kencong, Wlingi, Blitar, Jawa Timur. Baik bentuk dan relief patung yang berasal dari abad abad ke- 13-14 Masehi ini sangat menarik perhatian kami. Ternyata pula setelah aku mencari tahu di internet, kisah di balik patung ini benar-benar menarik. 

Pancuran Samudramanthana. Relief yang menggambarkan pergulatan para dewa demi mendapatkan amerta "air kehidupan". Di balik bentuknya yang menarik ini ternyata memiliki kisah yang tak kalah menariknya.

Pancuran Samudramanthana mengisahkan perseteruan antara para dewa dan raksasa dalam memperebutkan amerta yaitu 'air kehidupan' yang bisa membuat siapapun yang meminumnya akan hidup abadi. Konon air kehidupan ini tersembunyi di dasar samudra dan dijaga sejumlah naga. Para dewa lalu bersatu padu untuk mengambil air kehidupan ini. Dikisahkan dewa Wisnu sampai menjelma menjadi kura-kura yang sangat besar sementara dewa Wasuki menjelma jadi seekor ular yang amat panjang yang melilit Gunung Mandara yang digunakan para dewa untuk mengaduk samudra demi mengeluarkan amerta dari pusat samudra ini. Para raksasa turut dilibatkan dalam proyek besar ini. Kaum raksasa memegang bagian kepala ular sementara bagian ekor ular dipegang oleh para dewa. Silih berganti mereka menarik "tali" dari ular jelmaan dewa Wasuki tersebut hingga akhirnya keluarlah dari dalam samudra Dhanwantari yaitu tabib kehidupan dari dalam kehidupan menjinjing sebuah guci berisi amerta yang mereka cari. Celakanya Dhanwantari keluar menuju kepala ular jadi para raksasalah yang mengambil dan membawa lari guci amerta tersebut. 

Para dewa pun berusaha merebut kembali guci amerta tersebut dari tangan kaum raksasa. Dewa Brahma bahkan sampai menjelma jadi bidadari yang amat cantik untuk memperdayai para raksasa yang tengah berpesta pora merayakan keberhasilan mereka merebut guci amerta. Singkat cerita akhirnya Dewa Brahma pun berhasil merebut guci amerta itu dari tangan para raksasa. 

Kisah itu merupakan cerita yang diambil dari kitab resi India Adiparwa-Mahabharata. 

Sementara kisah Pancuran Samudramanthana versi Indonesia agak sedikit berbeda namun tak kalah seru dan menarik. 

Dalam versi Indonesia yang terdapat dalam kitab Tantu Panggelaran dikisahkan rencana memindahkan Gunung Mahameru dari India ke Pulai Jawa. Dalam cerita, keadaan pulau Jawa ketika itu masih belum tetap kedudukannya karena terombang-ambing oleh gelombang laut. Agar pulau Jawa tetap berada di tempatnya, Bhatara Guru memerintahkan para dewa dan raksasa memindahkan Gunung Mahameru dari India ke Jawa sebagai alat pemberat. Untuk mengangkat Gunung Mahameru ini tentu saja sangat sulit. Untuk itu Dewa Wisnu pun menjelma jadi kura-kura besar dan puncak Mahameru diletakkan di atas punggungnya. Sementara Dewa Brahma menjelma jadi ular yang sangat panjang sehingga bisa digunakan sebagai 'tali' untuk menarik gunung tersebut sehingga akhirnya puncak Mahameru berhasil dibawa ke pulau Jawa. Awalnya gunung ini diletakkan di sebelah barat pulau tapi malah mencuat dan miring sehingga akhirnya dibawalah gunung tersebut ke sebelah timur. Selama perjalanan menuju arah timur, bagian-bagian gunung tersebut berceceran dan kemudian menjadi deretan gunung-gunung di pulau Jawa. Sisanya diletakkan di bagian timur pulau Jawa dan menjadi Gunung Semeru. Nah adegan inilah yang kemudian menjadi relief dari patung Pancuran Samudramanthana ini. 

Perjalanan kami di Museum Nasional terpaksa dihentikan karena keterbatasan waktu. Tak puas memang hati ini karena kami belum sempat mengelilingi seluruh ruangan di dalam gedung ini. Sambil membatin dalam hati, suatu hari kami akan kembali lagi ke sini untuk menjelajah lebih jauh, akhirnya kami melangkah keluar dan menyempatkan diri berfoto-foto di depan patung Gajah persembahan Raja Siam yang menjadi maskot gedung Museum Nasional Republik Indonesia ini. Pendek kata, sedikit berpromosi nih;) jika ingin liburan yang lain dari biasanya, cobalah berkunjung ke museum sambil mengajak anak-anak Anda, ajaklah anak-anak mengenal jejak dari negeri ini dengan berwisata ke museum karena jejak di sana adalah jatidiri kita di masa kini.

Salah satu koleksi di Taman Prasejarah Museum Nasional. 
Tak ada label yang menyertai koleksi ini.

Selasa, 12 Agustus 2014

Wisata Keliling Museum : Oleh-oleh Dari Museum Sejarah Jakarta

Liburan selalu menjadi saat-saat yang amat dinantikan bukan hanya oleh pelajar tapi juga para pekerja. Rutinitas dan tumpukan tugas kadang membuat pikiran dan tubuh terasa penat. Berlibur jadi saat bagi tubuh dan pikiran mendapatkan pelepasan dari segala kepenatan itu dengan harapan setelah berlibur dengan pikiran dan tubuh yang terasa lebih segar memberi energi baru untuk kembali memulai aktivitas sehari-hari. Selain itu liburan juga merupakan saat istimewa bagi orang tua bersama anak-anaknya, mengingat sehari-hari orang tua kerap disibukkan dengan pekerjaannya sehingga tak terlalu banyak waktu yang dimilikinya untuk bersama anak-anaknya. Itu pula sebabnya, berlibur dewasa ini menjadi salah satu agenda wajib sampai-sampai disiapkan budget khusus untuk berlibur. 

Di Jakarta sendiri ada banyak tempat wisata yang bisa dijadikan pilihan sebagai tempat mengisi liburan. Umumnya mall yang memang banyak tersebar di Jakarta menjadi pilihan sebagai tempat berlibur tapi kerap kali keluar masuk mall menjadi hal yang membosankan. Nah, bila bosan berlibur di mall atau tempat-tempat liburan pada umumnya, kenapa tidak mencoba berlibur ke museum? 

Dewasa ini berlibur ke museum sepertinya sudah menjadi budaya yang amat menggembirakan. Berlibur ke museum bukan hanya memberikan nilai rekreasi tetapi juga ada nilai-nilai edukasi budaya dan sejarah yang bisa digunakan bagi orang-orang tua untuk memberikan nilai-nilai pendidikan bagi putra-putrinya. 

Beberapa waktu lalu, aku bersama sahabat-sahabatku menyempatkan diri mengisi liburan kami dengan mengunjungi Museum Sejarah Jakarta atau dikenal juga dengan nama Museum Fatahillah dan Museum Gajah alias Museum Nasional. Sebenarnya kami berniat mengunjungi beberapa museum tapi sayangnya kami baru bisa menyempatkan diri ke dua museum ini saja. Untuk yang pertama akan kubahas adalah Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah di kawasan wisata kota tua Jakarta. 

Pertama kali aku berkunjung ke Museum Jakarta adalah saat aku masih sekolah jadi rasanya sudah lama sekali. Kesan pertamaku saat itu, museum adalah tempat yang sangat suram dan sunyi dengan hanya sedikit pengunjung. Tapi saat aku kembali berkunjung ke Museum Fatahillah saat liburan kemarin, terus terang aku cukup terkejut karena ternyata pengunjungnya kini lumayan banyak. Antrian untuk masuk bahkan lumayan panjang. Hal ini bisa dimaklumi, karena lantai 1 dan lantai 2 museum dibatasi hanya 500 orang dalam waktu bersamaan sehingga antrian di luar jadi lumayan panjang. Untung saat kami datang, meski hari sudah cukup terang tapi belum terlalu terik, jadi meski harus mengantri lama tak sampai membuat kami kepanasan apalagi dehidrasi. Halaman museum pun kini menjadi jauh lebih luas. Sayangnya di halaman museum yang luas ini banyak diisi oleh pedagang-pedagang kaki lima, padahal kalau saja halaman luas museum ini tak terlalu banyak diokupasi para PKL, pengunjung museum pasti bisa lebih leluasa menikmati kunjungan ke museum ini. 

Untuk masuk ke dalam museum, harga tiketnya tak terlalu mahal. Anak-anak hanya perlu membayar dua ribu rupiah saja, mahasiswa hanya perlu membayar tiga ribu rupiah sedangkan untuk umum (dewasa) dikenai tiket seharga lima ribu rupiah. Bagi wisatawan asing dikenai biaya masuk sebesar sepuluh ribu rupiah. Harga yang sangat bersahabat. Berlibur tanpa harus membuat kantong bolong 

Setelah masuk ke dalam museum, setiap pengunjung diminta mengganti alas kakinya dengan sandal yang disiapkan oleh pihak museum. Kebijakan ini memang terbilang baru. Sejak bulan Maret 2014 setiap pengunjung yang memasuki bangunan utama Museum Sejarah Jakarta diharuskan mengenakan alas kaki yang telah disediakan oleh pihak museum. Hanya saja menurut pendapat pribadiku, alas kaki yang disediakan pihak museum memang kurang terasa nyaman. Selain kotor, alas kaki yang kudapat terasa sedikit lengket sehingga terus terang, aku pribadi jadi tak terlalu menikmati acara jalan-jalan keliling Museum Sejarah Jakarta ini. 

Museum Sejarah Jakarta yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 1, Jakarta Barat ini di masa penjajahan Belanda merupakan balai kota yang disebut Staadhuis. Pada 10 Maret 1974 gedung balaikota peninggalan Belanda ini diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta kala itu. Luas gedung ini sekitar lebih dari 1.300 meter persegi. Gedung ini dibangun pada 1620 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoen Coen. Gambar foto sang Gubernur Jenderal ini bisa kita jumpai di dalam museum ini. Salah seorang sahabatku yang mengira semua orang Belanda biasanya memiliki nama tengah van, sama sekali tak mengira jika sang Gubernur Jenderal ini merupakan orang Belanda, karena nama Coen di belakangnya itu, malah seorang sahabatku ini mengira ia adalah salah seorang Tionghoa 

Masuk ke dalam museum, di bagian kiri pintu masuk terdapat sebuah lukisan besar karya pelukis Indonesia S. Sudjojono yang mengisahkan penyerangan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung ke Batavia. 

Di ruangan sebelahnya terdapat replika Gereja Belanda lama yang di masa lalu terletak di samping gedung balai kota, kini Gereja Belanda lama ini dijadikan sebagai gedung Museum Wayang yang terletak tepat di samping Gedung Museum Sejarah Jakarta. Arsitektur Gedung Gereja Belanda lama ini cukup menarik. Dengan kubah bulat ala gedung-gedung gereja Ortodoks yang biasanya terdapat di negara-negara Eropa Timur seperti Rusia sedangkan Belanda merupakan bagian dari Eropa Barat. 

Di ruangan selanjutnya terdapat pula maket-maket kota Batavia dan alur perdagangan Batavia dengan pedagang-pedagang Portugis. Ada pula keterangan mengenai sejarah Meriam Sijagur yang merupakan salah satu ikon dari Museum Sejarah Jakarta ini. Di mana dituliskan bahwa Meriam Sijagur dibuat dan dikirimkan dari Makao atas pesanan Portugis. Sijagur sendirimemiliki bentuk yang cukup unik (kalau tak mau dibilang nyeleneh) yang mana bentuknya ini memiliki makna pelambang kesuburan yang dalam bahasa Portugis berarti mano in piga. Meriam Sijagur memiliki berat 3,5 ton dengan panjang lebih dari 3 meter. 

Di ruangan lainnya terdapat patung besar Pangeran Jayakarta atau Fatahillah yang merebut Sunda Kelapa dan menamainya Jayakarta, cikal bakal dari sejarah terbentuknya kota Jakarta. 

Beranjak sedikit dari sana terdapat batu-batu prasasti di antaranya Prasasti Tugu. Di bagian lain ruangan terdapat keterangan mengenai Prasasti-prasasti bersejarah seperti Prasasti Kebon Kopi dan Prasasti Ciareuteun. 

Di lantai dua yang di masa lalu mungkin merupakan gedung pengadilan di Batavia. Di lantai ini lebih banyak dipamerkan keramik-keramik dari Jepang dan Tiongkok. Tapi sebagian besar yang dipamerkan di lantai ini adalah barang-barang kayu seperti meja, tempat tidur, dan lemari dari jaman Belanda. Yang paling menarik perhatian adalah sebuah meja bulat besar dengan diameter 2,25 meter tanpa sambungan. Ada pula sebuah cermin besar dengan bingkai kayu yang sangat kokoh. Seorang sahabatku, Selvia Lusman mengajak berfoto di dekat cermin ini, tapi aku dan sahabatku lainnya yang sama-sama penakut tak menyetujui usul ini. Karena terus terang saja, cermin itu memang terlihat seperti cermin-cermin dalam film horor. Sementara menurut Selvia, cermin besar itu seperti cermin yang ada di film Harry Potter And The Sorcerer's Stone

Di ruangan ini banyak terdapat furnitur yang sangat menarik. Di antaranya ada sebuah lemari kaca besar. Saat mengambil foto di dekat lemari kaca ini, sahabatku, Selvia Lusman, bahkan dengan gaya bak fotografer kawakan, berhasil mengambil foto seolah-olah kami tengah berada di depan sebuah gedung pencakar langit dan bukannya di depan sebuah lemari kaca besar  

Pada bagian samping lemari kaca besar ini terdapat sebuah ukiran kepala, entah apakah itu kepala dari tokoh mitologi atau bukan, tapi ukiran tersebut juga cukup menarik. Sebagian besar furnitur peninggalan Belanda ini memang banyak dihiasi oleh ukiran-ukiran tokoh mitologi Yunani. Di antaranya sebuah partisi yang terbuat dari logam, ada yang dihiasi ukiran seperti medusa, tokoh mitologi Yunani yang terkenal dengan rambut-rambut ularnya dan siapapun yang melihatnya akan berubah menjadi batu. Sebuah partisi logam lainnya juga terdapat ukiran seperti seorang serdadu Romawi. 

Puas berkeliling di lantai dua, kami kembali ke lantai bawah menuju pintu keluar yang mengarah ke halaman belakang museum. Di bagian bawah dekat pintu keluar ini terdapat deretan lukisan-lukisan yang menggambarkan keadaan Batavia atau Jakarta tempo dulu. Di antaranya ada lukisan taman pemakaman yang terdapat di daerah Tanah Abang, kawasan ini kemudian menjadi Museum Taman Prasasti yang memajang nisan-nisan bekas pemakaman orang-orang Belanda dan beberapa tokoh tanah air, di antaranya nisan istri dari Raffles selain itu ada juga tokoh dari tanah air seperti Soe Hok Gie. Rencananya kami juga ingin mengunjungi museum tersebut tapi sayang, waktu kami tak cukup. Semoga saja di lain waktu kami bisa mengunjungi museum ini. 

Di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta ada sebuah patung Hermes, salah satu tokoh mitologi Yunani. Dulunya patung ini menghiasi jembatan di kawasan Harmoni, tapi suatu hari patung ini sempat hilang dicuri. 

Setelah selesai berkeliling museum dan puas berfoto-foto ria, tanpa terasa rupanya sudah tengah hari, perut kami sudah keroncongan, maka kami pun memutuskan mencari tempat makan untuk memuaskan cacing-cacing di perut kami. Perjalanan mengunjungi Museum Sejarah Jakarta pun berakhir. Selanjutnya aku akan membahas perjalanan kami menuju Museum Nasional alias Museum Gajah