“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah…” Catatan Harian Soe Hok Gie, 20 Agustus 1968.
Entah apa yang akan dirasakan Soe Hok Gie seandainya saja ia masih hidup….
Gie, jiwa yang selalu gelisah dan mencari keadilan. Cerdas, berani, dan kritis. Gie yang begitu membenci pemerintahan Orde Lama bahkan berani mencerca Presiden Soekarno manakala ia melihat seorang bapak tua memakan kulit mangga tak jauh dari Istana Negara, kediaman Sang Presiden.
Gie begitu gemas melihat kelaparan merajalela sampai-sampai seorang tua memakan kulit mangga padahal tak jauh dari sana, mungkin Sang Presiden tengah bersenang-senang dengan istri-istrinya yang cantik.
Gie membenci korupsi yang merajalela di masa Orde Lama. Ia bahkan sampai menulis, “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”
Gie menjadi salah satu motor dari serangkaian aksi mahasiswa bersama massa pasca peristiwa berdarah di malam 30 September 1965 yang berujung jatuhnya Soekarno dari tampuk kekuasaannya sebagai Presiden Seumur Hidup. Orde Lama tumbang dan Orde Baru tumbuh bersama Letkol Soeharto, panglima KOSTRAD, saat itu, pengemban SUPERSEMAR yang naik posisi hingga menjadi Presiden selama 32 tahun.
Tumbangnya Orde Lama dan bangkitnya Orde Baru ternyata tak membuat jiwa Gie yang selalu gelisah itu menjadi tenang. Jiwanya kembali terusik manakala begitu banyak pembantaian terjadi dengan dalih menumpas habis Partai Komunis Indonesia dan pengikutnya hingga ke akar-akarnya karena dianggap sebagai dalang dari peristiwa berdarah di malam 30 September 1965 tersebut.
Gie membenci ideologi Komunis. Ia bahkan bersuara lantang meminta penghapusan Partai Komunis Indonesia dari bumi nusantara ini. Namun, jiwa Gie yang selalu gelisah sungguh terusik manakala pembantaian ini begitu massif, bukan hanya pentolan, pengikut atau simpatisan partai berlambang palu arit itu yang mengalami pembantaian. Namun tak sedikit pula, mereka yang tak ada kaitannya dengan partai tersebut ikut terseret dalam pembantaian. Masyarakat nusantara yang terkenal ramah ini mendadak menjadi beringas dan menjadi mesin pembunuh tanpa nurani.
Pena tajam Gie kembali mengkritisi situasi yang dianggap Gie tidak adil tersebut. Kekritisan Gie ini bahkan sempat membuat jiwanya terancam. Namun Gie tak pernah mampu diam. Ia tetap kritis. Karena ia tak pernah mampu mengkhianati hati nuraninya.
Seandainya Gie masih hidup hingga kini, mungkin jiwa Gie akan kembali gelisah. Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi takkan pernah mampu memadamkan kegelisahan Gie. Seandainya Gie masih hidup hingga kini, mungkin ia akan lebih terasing. Generasinya yang dengan lantang diyakininya sebagai generasi yang akan menumpas generasi tua yang korup nyatanya justru ikut terbenam dalam lumpur korupsi dan kepalsuan yang begitu dibenci Gie.
Seperti yang dikatakan Gie, di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Aku sendiri ragu bila Gie memilih yang kedua. Mungkin Gie akan sangat kecewa dan jiwanya jauh lebih gelisah tapi Gie pasti lebih memilih mati daripada harus menggadaikan idealismenya.
Beruntung Gie mati muda. Bersama Idhan, ia tewas dalam dekapan Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Lebih beruntung lagi, abu, sisa-sisa jasadnya disebarkan di gunung Pangrango, meski jasadnya sempat dimakamkan di TPU Tanah Abang.
Ah, betapa irinya aku pada Gie yang mati muda….