Seperti janjiku sebelumnya, kali ini aku akan membahas acara jalan-jalanku ke Museum Gajah alias Museum Nasional. Nama resmi museum yang terletak di Jalan Medan Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat ini adalah Museum Nasional Republik Indonesia, tapi museum ini kerap disebut Museum Gajah, hal ini dikarenakan keberadaan patung gajah yang menghiasi bagian depan gedung museum yang terletak tepat di samping kantor Kementerian Sekretariat Negara ini. Patung gajah ini rupanya bukanlah patung gajah biasa. Patung gajah berbahan perunggu ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand (dulu bernama Siam) pada tahun 1871 saat berkunjung ke Batavia.
Gedung Museum Nasional yang sangat dipengaruhi bentuk arsitektur Eropa ini dibangun pada tahun 1862 oleh pemerintah Hindia Belanda. Nama Museum Nasional Republik Indonesia mulai resmi digunakan sejak 28 Mei 1979.
Dibanding Museum Sejarah Jakarta, pengelolaan di Museum Nasional bisa dibilang jauh lebih modern. Dalam museum ini terdapat dua gedung yaitu gedung lama (Unit A) dan gedung baru (Unit B).
Kami lebih dulu memasuki gedung lama (Unit A). Di sini terdapat banyak sekali koleksi patung atau arca yang sebagian besar peninggalan dari masa Kerajaan Majapahit. Kebanyakan adalah arca dewa Siwa, dewa utama dan yang paling dipuja dalam agama Hindu. Tapi yang paling menarik perhatian adalah arca Bhairawa dengan Nomor Inventaris 6470. Bagaimana tidak menarik, patung ini bisa dibilang merupakan yang tertinggi di sini. Patung yang terbuat dari batu andesit ini sangat mencolok perhatian karena tingginya yang mencapai 4,41 meter dengan berat 4 ton.
Bhairawa adalah dewa raksasa dalam aliran Hindu-Buddha atau Tantrayana. Dikisahkan Bhairawa merupakan pengejawantahan Siwa sekaligus Buddha sebagai raksasa yang menakutkan. Namun arca Bhairawa ini dianggap merupakan perwujudan Adityawarman yang merupakan penganut Buddha aliran Tantrayana Kalachakra.
Nah, Adityawarman ini adalah salah seorang bangsawan Majapahit keturunan Melayu yang diangkat menjadi raja di Sumatra. Konon Adityawarman disebut-sebut memiliki hubungan darah dengan keluarga Kerajaan Majapahit. Bahkan setelah Jayanegara, raja kedua Majapahit meninggal tanpa meninggalkan anak, Adityawarman yang merupakan sepupu Jayanegara, dikatakan merupakan salah satu calon pewaris tahta Kerajaan Majapahit. Tapi seperti yang diketahui kemudian, Ratu Tribhuwanottunggadewi, adik dari Jayanegara yang akhirnya naik takhta menggantikan ibunya, satu-satunya permaisuri dari Raden Wijaya yang masih hidup namun lebih memilih menjadi pertapa, meninggalkan hiruk-pikuk keduniawian.
Pada tahun 1343, di masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottunggadewi, Adityawarman disebut-sebut turut membantu Gajah Mada menaklukkan Bali. Setelah itu Adityawarman yang juga dikenal dengan panggilan Mpu Aditya kembali ke Sumatera dan mengangkat dirinya sebagai maharaja namun tetap tunduk dan mengakui kebesaran Kerajaan Majapahit.
Penggambaran arca Bhairawa ini bisa dibilang cukup mengerikan. Bagaimana tidak, arca ini berupa pria yang berdiri di atas mayat seorang manusia cebol dengan deretan tengkorak di sekelilingnya. Di tangan kanannya ia memegang cangkir yang terbuat dari tengkorak sementara tangan kirinya memegang belati. Di bagian perutnya terpahat seraut wajah yang rupanya merupakan ukiran kepala Kala.
Arca Bhairawa ini ditemukan di Padang Roco, Sungai Langsat, Sumatra Barat dan diperkirakan berasal dari abad ke-14. Arca ini dikabarkan pernah roboh dan terkubur dalam tanah. Hanya sisi bagian lapik (alas) yang menyembul ke permukaan tanah. Penduduk setempat yang tak mengetahui bahwa yang menyembul itu adalah bagian dari sebuah arca menjadikan batu yang menyembul itu sebagai batu pengasah parang dan membuat lubang lumpang atau lesung untuk menumbuk padi. Pada tahun 1935 arca Bhairawa ini diangkut oleh pemerintah Hindia Belanda ke Kebun Margasatwa Bukittinggi kemudian pada 1937 arca Bhairawa ini dibawa ke Batavia dan ditempatkan di Museum Nasional sampai sekarang.
Selain arca Bhairawa, yang juga menarik perhatianku adalah arca dewa Agni. Dalam kisah Mahabharata, seperti yang tengah rutin ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi nasional, Arjuna, putra ketiga Raja Pandu dengan dewi Kunti atas karunia dari dewa Indra, meminta bantuan dari dewa Agni yang juga dikenal sebagai dewa api untuk membakar hutan Kandhawa.
Selain arca Siwa, arca Parwati, istri dewa Siwa juga banyak sekali. Tapi ada satu arca Parwati dengan nomor inventaris 256a/103b/2082 yang sangat menarik perhatianku. Pada label keterangan yang menyertai arca ini dijelaskan bahwa arca Parwati yang berasal dari Candi Rimbi, Jombang, Jawa Timur ini merupakan perwujudan dari Ratu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani, ibunda dari Raja Hayam Wuruk yang memerintah Majapahit pada tahun 1328-1351 Masehi.
Arca Parwati yang dianggap perwujudan Ratu Tribhuwanottunggadewi yang memerintah Majapahit pada tahun 1328-1351.
Di bagian lain ada pula sebuah arca yang merupakan perwujudan dari Raja Kertarajasa Jayawardhana, pendiri sekaligus raja pertama Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309. Raja Kertarajasa yang juga dikenal dengan nama Raden Wijaya merupakan ayah dari Ratu Tribhuwanottunggadewi. Arca tersebut adalah arca Harihara dengan nomor inventaris: 256/103a/2082. Arca ini juga sangat menarik. Pada label keterangannya dijelaskan bahwa Harihara adalah persatuan dewa Siwa (Hara) dan dewa Wisnu (Hari). Arca ini berasal dari Candi Sumberjati, Simping, Blitar, Jawa Timur.
Harihara, persatuan dewa Siwa dan dewa Wisnu. Arca ini dianggap perwujudan Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana, pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Majapahit.
Bagi pecinta sejarah atau penggemar kisah-kisah wayang, mungkin gedung arca ini merupakan tempat yang sangat menarik mengingat begitu banyak arca yang juga menjadi tokoh-tokoh dalam kisah-kisah wayang. Ada satu kejadian menarik yang kusaksikan di sana. Saat tengah mengamati arca-arca dan membaca label-label keterangan dari arca-arca tersebut, ada seorang pria yang dengan telatennya memberitahu putrinya kisah-kisah di balik tokoh-tokoh arca yang diamatinya. Putrinya dengan antusias mengamati arca-arca yang ditunjuk ayahnya dan sesekali mengajukan pertanyaan yang dengan fasih dapat dijawab oleh ayahnya. Mungkin bagi beberapa orang kejadian ini merupakan hal biasa. Tapi bagiku ini adalah kejadian menarik. Karena alih-alih mengajak anaknya jalan-jalan tanpa juntrungan ke mall, seperti umumnya di masa kini, si ayah ini justru membawa anaknya ke museum dan dengan pengetahuannya soal kisah-kisah dunia perwayangan membuat si anak sangat antusias mendengar kisah-kisah yang dituturkan ayahnya sambil mengamati tiap-tiap arca yang ditunjuk ayahnya.
Koleksi arca di gedung Museum Nasional ini bisa dibilang sangat banyak. Ada beberapa arca Ganesha, dewa pengetahuan yang sangat bisa dikenali karena bentuk kepalanya yang berupa seperti gajah ini. Sayangnya ada beberapa arca Ganesha yang bagian belalainya sudah hilang atau keropos.
Patung Ganesha juga termasuk salah satu patung yang banyak terdapat di Museum Nasional ini. Patung Ganesha ini adalah salah satunya.
Pada bagian belakang gedung ini terdapat Taman Prasejarah. Di sini kita bisa melihat berbagai macam contoh sarkofagus, peninggalan masa pra sejarah yang sering sekali kita dengar dalam pelajaran sejarah tapi tak pernah kita lihat bentuk rupanya. Yang juga selalu kuingat dari pelajaran sejarah saat sekolah adalah menhir. Sama seperti sarkofagus, menhir juga kerap muncul dalam pelajaran sejarah saat aku sekolah tapi sama sekali tak diperlihatkan contoh bentuk rupanya seperti apa. Nah, di Museum Nasional ini barulah aku melihat bentu rupa dari kedua objek sejarah tersebut
Salah satu contoh menhir di museum ini adalah menhir gada yang berasal dari Danau Poso, Sulawesi Tengah.
Menhir Gada yang berasal dari Danau Poso, Sulawesi Tengah. Salah satu koleksi di Taman Prasejarah Museum Nasional. Sedangkan patung di belakangnya tak disertai label keterangan, tapi bentuknya dan pahatannya menarik perhatianku.
Keluar dari gedung ini, kami beranjak ke gedung di sampingnya. Di sini ada empat lantai. Tapi kami hanya sempat menyusuri sampai ke lantai dua saja.
Di gedung ini terdapat banyak benda-benda kebudayaan dari seluruh nusantara. Di bagian awal terdapat peta besar Indonesia. Masuk ke dalamnya ada ruang pamer masa pra sejarah di mana terdapat patung manusia purba.
Patung keluarga manusia purba yang terdapat di gedung Unit B. Di gedung ini banyak dipamerkan sejarah peradaban manusia dan berbagai koleksi budaya Indonesia.
Salah satu yang menarik di sini adalah cetakan otak Homo Erectus Progresif. Cetakan otak ini diambil dari fosil tengkorak Homo Soloensis IV dengan volume sebesar 1.100cm3. Homo Soloensis adalah jenis manusia purba paling progresif di antara kelompoknya. Pada dinding dekat ruang pamer ini terdapat penjelasan mendetail mengenai evolusi manusia hingga jenis Homo Erectus Progresif ini. Jika mampir di sini, cobalah membaca mengenai Pohon silsilah manusia sekadar untuk menambah pengetahuan kita mengenai evolusi manusia.
Di sebelahnya ada fosil gading Stegodon (Elephas sp.). Beberapa langkah di seberangnya ada replika tengkorak manusia Flores. Dijelaskan bahwa otak manusia Flores adalah jenis otak terkecil.
Fosil Gading Stegodon , jenis gajah purba. Di sampingnya adalah cetakan otak manusia purba jenis Homo Erectus Progresif. Salah satu jenis manusia purba yang paling maju (progresif) dalam tingkatan evolusi Homo Erectus.
Di tempat ini ada pula beberapa perhiasan serta jimat-jimat dari daerah-daerah di nusantara ini. Beberapa perlengkapan yang digunakan untuk upacara di beberapa daerah. Salah satunya adalah anyaman yang dibuat dari daun lontar yang bernama Cili. Anyaman yang bisa juga dibuat dari daun pandan selain daun lontar ini berupa seorang wanita yang menjadi simbol "Dewi Sri" dan ditempatkan di atas sesaji untuk dibawa saat upacara tertentu seperti upacara panen atau sebagai hiasan pada lamak (salah satu dekorasi bebantenan di Bali).
Cili (kiri), anyaman dari daun lontar yang menyerupai seorang wanita sebagai simbol "Dewi Sri" untuk upacara panen. Di sebelahnya adalah Ketu atau penutup kepala sebagai pelengkap pakaian pendeta tinggi (pedanda) dalam agama Hindu yang digunakan dalam upacara di Bali.
Berada ruangan ini kita seperti disadarkan akan kekayaan budaya bangsa ini. Ada pula beberapa benda-benda tekstil dengan pola khas budaya dari daerah-daerah asalnya.
Dalam gedung ini terdapat pula beberapa prasasti di antaranya Prasasti Mulawarman, peninggalan dari Kerajaan Kutai. Prasasti ini juga disebut yupa merupakan peninggalan tertua dari kerajaan Hindu di Indonesia. Prasasti yang berbentuk tinggi lurus seperti tiang ini ditemukan di hulu sungai Mahakam, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Prasasti yang berisi tulisan dalam bahasa Sansekerta ini diperkirakan berasal dari sekitar tahun 400 Masehi. Isinya menceritakan Raja Mulawarman memberikan sumbangan yang sangat besar berupa sapi kepada kaum Brahmana.
Prasasti Mulawarman, salah satu prasasti tertua di Indonesia, peninggalan Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai adalah kerajaan Hindu tertua di Indonesia.
Di ruang lain, kita juga bisa menemukan Prasasti Telaga Batu yang juga tak kalah menarik. Prasasti yang dibuat dari batu andesit dengan tinggi 118 cm dan lebar 148 cm ini berbentuk seperti setengah lingkaran. Bagian atasnya terdapat hiasan tujuh ekor kepala kobra sementara bagian bawahnya ada semacam legokan kecil yang setelah aku browsing dari internet ternyata cerat sempit itu untuk mengalirkan air pembasuh. Aku sangat tertarik dengan bentuk prasasti ini, namun setelah aku browsing di internet ternyata prasasti ini berasal dari Kerajaan Sriwijaya, tapi yang membuatku terkejut ternyata di balik keindahan prasasti ini, isi dari prasasti ini adalah kutukan bagi siapapun yang melakukan kejahatan di Kedatuan Sriwijaya dan yang tak taat pada perintah Datu. Tulisan dalam prasasti ini menggunakan huruf Pallawa, bahasa Melayu kuno.
Prasasti Telaga Batu, peninggalan kerajaan Sriwijaya. Bentuknya terlihat indah dan menarik, tapi siapa sangka ternyata isinya adalah kutukan.
Di depan Prasasti Telaga batu, ada sebuah patung yang juga sangat menarik. Patung itu adalah Pancuran Samudramanthana dengan nomor inventaris : 383a/4385 berasal dari Sirah Kencong, Wlingi, Blitar, Jawa Timur. Baik bentuk dan relief patung yang berasal dari abad abad ke- 13-14 Masehi ini sangat menarik perhatian kami. Ternyata pula setelah aku mencari tahu di internet, kisah di balik patung ini benar-benar menarik.
Pancuran Samudramanthana. Relief yang menggambarkan pergulatan para dewa demi mendapatkan amerta "air kehidupan". Di balik bentuknya yang menarik ini ternyata memiliki kisah yang tak kalah menariknya.
Pancuran Samudramanthana mengisahkan perseteruan antara para dewa dan raksasa dalam memperebutkan amerta yaitu 'air kehidupan' yang bisa membuat siapapun yang meminumnya akan hidup abadi. Konon air kehidupan ini tersembunyi di dasar samudra dan dijaga sejumlah naga. Para dewa lalu bersatu padu untuk mengambil air kehidupan ini. Dikisahkan dewa Wisnu sampai menjelma menjadi kura-kura yang sangat besar sementara dewa Wasuki menjelma jadi seekor ular yang amat panjang yang melilit Gunung Mandara yang digunakan para dewa untuk mengaduk samudra demi mengeluarkan amerta dari pusat samudra ini. Para raksasa turut dilibatkan dalam proyek besar ini. Kaum raksasa memegang bagian kepala ular sementara bagian ekor ular dipegang oleh para dewa. Silih berganti mereka menarik "tali" dari ular jelmaan dewa Wasuki tersebut hingga akhirnya keluarlah dari dalam samudra Dhanwantari yaitu tabib kehidupan dari dalam kehidupan menjinjing sebuah guci berisi amerta yang mereka cari. Celakanya Dhanwantari keluar menuju kepala ular jadi para raksasalah yang mengambil dan membawa lari guci amerta tersebut.
Para dewa pun berusaha merebut kembali guci amerta tersebut dari tangan kaum raksasa. Dewa Brahma bahkan sampai menjelma jadi bidadari yang amat cantik untuk memperdayai para raksasa yang tengah berpesta pora merayakan keberhasilan mereka merebut guci amerta. Singkat cerita akhirnya Dewa Brahma pun berhasil merebut guci amerta itu dari tangan para raksasa.
Kisah itu merupakan cerita yang diambil dari kitab resi India Adiparwa-Mahabharata.
Sementara kisah Pancuran Samudramanthana versi Indonesia agak sedikit berbeda namun tak kalah seru dan menarik.
Dalam versi Indonesia yang terdapat dalam kitab Tantu Panggelaran dikisahkan rencana memindahkan Gunung Mahameru dari India ke Pulai Jawa. Dalam cerita, keadaan pulau Jawa ketika itu masih belum tetap kedudukannya karena terombang-ambing oleh gelombang laut. Agar pulau Jawa tetap berada di tempatnya, Bhatara Guru memerintahkan para dewa dan raksasa memindahkan Gunung Mahameru dari India ke Jawa sebagai alat pemberat. Untuk mengangkat Gunung Mahameru ini tentu saja sangat sulit. Untuk itu Dewa Wisnu pun menjelma jadi kura-kura besar dan puncak Mahameru diletakkan di atas punggungnya. Sementara Dewa Brahma menjelma jadi ular yang sangat panjang sehingga bisa digunakan sebagai 'tali' untuk menarik gunung tersebut sehingga akhirnya puncak Mahameru berhasil dibawa ke pulau Jawa. Awalnya gunung ini diletakkan di sebelah barat pulau tapi malah mencuat dan miring sehingga akhirnya dibawalah gunung tersebut ke sebelah timur. Selama perjalanan menuju arah timur, bagian-bagian gunung tersebut berceceran dan kemudian menjadi deretan gunung-gunung di pulau Jawa. Sisanya diletakkan di bagian timur pulau Jawa dan menjadi Gunung Semeru. Nah adegan inilah yang kemudian menjadi relief dari patung Pancuran Samudramanthana ini.
Perjalanan kami di Museum Nasional terpaksa dihentikan karena keterbatasan waktu. Tak puas memang hati ini karena kami belum sempat mengelilingi seluruh ruangan di dalam gedung ini. Sambil membatin dalam hati, suatu hari kami akan kembali lagi ke sini untuk menjelajah lebih jauh, akhirnya kami melangkah keluar dan menyempatkan diri berfoto-foto di depan patung Gajah persembahan Raja Siam yang menjadi maskot gedung Museum Nasional Republik Indonesia ini. Pendek kata, sedikit berpromosi nih;) jika ingin liburan yang lain dari biasanya, cobalah berkunjung ke museum sambil mengajak anak-anak Anda, ajaklah anak-anak mengenal jejak dari negeri ini dengan berwisata ke museum karena jejak di sana adalah jatidiri kita di masa kini.
Salah satu koleksi di Taman Prasejarah Museum Nasional.
Tak ada label yang menyertai koleksi ini.