Sebatang pohon besar, berdiri anggun menatap langit. Meski tak seluas langit namun si pohon besar memiliki kuasa atas hidup makhluk-makhluk kecil yang bernaung padanya.
Ada rumput-rumput kecil, ilalang dan beberapa rumpun-rumpun tanaman merambat yang menikmati keteduhan dari kerimbunan dedaunan si pohon besar namun tetap mendapat limpahan sinar sang surya demi proses fotosintesisnya.
Pun ada cacing-cacing dalam tanah yang menikmati gemburnya tanah di sekitar akar-akar gemuk si pohon besar. Seperti gemuknya akar-akar itu, demikian pula cacing-cacing tanah yang begitu menikmati kekayaan unsur hara dari tanah gembur tempat si pohon besar berpijak.
Hei, lihat! Ada pula sarang semut di sana... wuih... semut-semut besar dan kecil begitu nyaman membangun sarang bagi ratu mereka. Hiiii... gatal sekujur badan melihat koloni makhluk kecil yang giat bekerja ini.
Seperti semut, burung-burung pun gemar membangun sarang di atas dahan-dahan kokoh si pohon besar. Meski terkadang si anak kost ini nakal, mematuk-matuk induk semangnya, namun si induk semang merasa terhibur tatkala mendengar senandung merdu burung-burung yang menumpang di dahannya.
Si pohon besar bersahabat dengan angin. Terkadang angin sepoi-sepoi berhembus, membisikkan rayuan maut yang membuat daun-daun rimbun si pohon besar terlena, melengut seperti anak kecil menikmati gula-gula.
Hujan juga sahabat si pohon besar. Seperti angin sepoi-sepoi yang lembut mengipasi kegerahan si pohon besar disengat sinar mentari, rinai lembut air hujan yang menetesinya membuat dedaunan hijaunya riuh berpesta.
Namun seperti musuh dalam selimut, terkadang angin dan hujan berkolaborasi, bersekutu dengan petir dan halilintar, mencoba menaklukkan si pohon besar yang tetap berdiri anggun menatap langit.
Berkali-kali kolaborasi angin dan hujan tak membuahkan hasil. Si pohon besar tetap tegak berdiri. Sementara kumpulan makhluk hidup di sekitar si pohon besar bersyukur atas ketangguhan si pohon besar.
Namun seperti Korea Utara yang mengerut ketakutan tatkala saudara kandungnya, Korea Selatan bersekutu menggelar latihan perang bersama paman dari negeri nun jauh di seberang samudra, Amerika Serikat, begitu pula si pohon besar. Namun tak seperti Korea Utara yang lantas ngamuk tak jelas dan sok pamer membuang rudal, syukur-syukur kalau berhasil sehingga membuat negeri matahari terbit, tetangganya itu ikut ketar-ketir, lha, kalau rudal-nya malah seperti kerupuk bantet, bukannya melesat perkasa malah seperti balon kempes, sambil mengeluarkan bunyi pssssstttttt..., bukannya malah bikin malu saja?
Ah, si pohon besar ini mungkin keturunan bangsawan sehingga ia emoh mengikuti tingkah kekanakan bocah ingusan, berponi lucu, anak sekaligus cucu pemimpin besar negeri ginseng bagian utara itu. Si pohon besar berjiwa anggun dan aristokrat. Ia percaya bahwa segala sesuatu ada masanya.
Dan ternyata masanya itupun tiba juga.
Seperti pemanah amatir yang bila terus-menerus berlatih nyatanya berhasil pulalah menembak seekor rusa yang berlari kencang. Demikian pun kolaborasi angin dan hujan di malam gelap basah berangin itu. Sesekali kilatan petir dan halilintar menghiasi langit, menambah efek dramatis seperti di panggung Broadway kala menampilkan Romeo yang memilih bunuh diri karena mengira Juliet, pujaan hatinya telah wafat.
Si pohon besar tumbang, menimpa beberapa rumput kecil di bawahnya juga beberapa bagian tanaman merambat di sekitar ikut tertindih tubuh besarnya. Semua kehidupan di sekitar si pohon besar seketika nyaris terhenti.
Namun seperti roda pedati yang terus berputar. Ternyata kehidupan terus berjalan. Life must go on.
Kehidupan di sekitar si pohon besar kacau-balau, namun berusaha move on, tak mau menangis berlebihan meratapi tumbangnya si pohon besar. Mereka mencari kehidupan baru di tempat yang lain.
Sementara si pohon besar rebah dengan anggunnya sambil tetap memandangi langit.