KEPAK CAMAR YANG PATAH
Oleh: Herny S. Yahya
Oleh: Herny S. Yahya
Begitu aku memasuki ruangan bercat putih itu, pandanganku langsung tertumbuk pada tubuh yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Tubuh itu tampak kurus dan lemah. Matanya yang tertutup tampak biru dan lebam. Aku bahkan tak percaya bahwa tubuh yang terbaring lemah itu benar-benar Calista, sahabatku sejak kecil yang tumbuh bersamaku, yang memiliki mimpi yang sama denganku dan memiliki semangat hidup yang membara.
Aku dan Calista sebenarnya merupakan sepupu jauh. Kami tumbuh besar bersama. Aku sering menginap di rumahnya demikian juga sebaliknya. Apalagi setelah orang tuaku bercerai, dan ibuku pindah ke luar kota, akupun tinggal di rumah Calista. Kebetulan, Tante Sisil, ibunya Calista merupakan kerabat ibuku. Aku dan Calista bisa dibilang sudah seperti kakak beradik. Calista sangat senang jika aku datang ke rumahnya, karena ia merupakan anak perempuan satu-satunya. Dua kakak laki-lakinya lebih sering menggoda dan mengerjainya daripada mengajaknya bermain.
Kemanapun kami selalu bersama, bahkan juga di sekolah karena kami selalu sekelas. Sehingga semua orang menjuluki kami seperti anak kembar yang tak terpisahkan. Aku sangat mengenal Calista demikian juga sebaliknya. Kami saling mengenal kebaikan dan keburukan masing-masing dari kami. Pokoknya tak ada rahasia di antara kami berdua.
Kami juga sama-sama menyukai film bertema hukum seperti law And Order, The Practise, Ally Mac Beal, dan banyak lagi. Kami sama-sama merupakan penggemar buku-buku karya John Grisham dan semua film-film yang dibuat berdasarkan buku-buku tersebut telah pula kami tonton.
Karena kesukaan akan film-film dan buku-buku bertema hukum, kami sama-sama masuk fakultas hukum, dan kami memiliki mimpi yang sama, bekerja di biro hukum terkenal atau membuka biro hukum bersama. Kami sudah berencana setelah lulus, kami akan melanjutkan ke Harvard.
Namun, setelah menikah Calista ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Ia ingin merawat suami dan anak-anaknya. Aku tak menentangnya, karena bukankah menjadi ibu rumah tangga merupakan tugas mulia seorang wanita. Orang tuanyapun tidak menentangnya. Akhirnya, hanya aku yang berangkat ke Amerika seorang diri.
“Aku pasti akan merindukanmu, Na. Akhirnya hanya kau yang melanjutkan impian kita. Kau harus melanjutkan impianku juga, Na. Aku percaya padamu. Suatu hari nanti kau pasti akan menjadi seorang ahli hukum yang hebat seperti yang selalu kita impikan selama ini,” ujar Calista seraya memelukku saat mengantarku di bandara.
Biasanya kami selalu bersama ke sekolah. Tak pernah sekalipun kami bersekolah di tempat yang berbeda. Tapi kini, hanya aku seorang diri yang bersekolah di tempat yang jauh pula.
“Kau juga akan menjadi ibu yang baik, anak-anakmu pasti akan menjadi anak-anak yang hebat, karena mereka memiliki ibu yang luar biasa,” bisikku seraya memeluknya.
Aku tak mengerti, mengapa cinta bisa membuat orang menjadi berubah. Calista memang seorang wanita yang lembut hati, namun bukan berarti ia lembek dan tak memiliki keinginan yang kuat. Padahal, ia lebih berambisi daripadaku untuk melanjutkan kuliah di Harvard. Namun, setelah ia menikah, ia rela melepaskan semua mimpi-mimpinya demi suami dan anak-anak yang akan dimilikinya kelak.
Kutatap mata Calista yang masih tertutup dan tampak lebam. Rasanya baru kemarin aku melihat matanya yang bulat berbinar indah ketika ia mengatakan padaku dengan pipi yang memerah, “Na, Raymond melamarku.”
Jika orang bilang, wajah orang yang jatuh cinta sangat cantik, kupikir memang benar. Calista yang memang sebenarnya sangat cantik menjadi lebih cantik dan mempesonakan semua orang saat ia bersanding dengan Raymond (yang juga tampan dan merupakan idola kampus) di pelaminan.
Semua tamu bahkan berdecak mengagumi kecantikan dan ketampanan kedua mempelai. Semuanya menganggap bahwa mereka merupakan pasangan serasi dan bisa membuat iri siapapun.
Namun, saat ini semua itu seolah tak berbekas di wajah Calista yang terbaring lemah. “Sudah seminggu ia koma, Na. Kenapa Raymond tega berbuat begitu. Bukankah mereka saling mencintai, Na? Tante benar-benar tak percaya Raymond dapat melakukan hal itu. Corina, apakah Calista pernah menceritakan padamu mengenai perilaku kasar Raymond? Bukankah kalian sangat dekat?” tanya tante Sisil sambil menangis.
“Oh, Corina, tante takut sekali akan kehilangan Calista,” lanjut tante Sisil. Kupeluk tante Sisil, yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri seraya membisikkan kata-kata penghiburan, meski kutahu tak satupun kata yang benar-benar dapat menghibur. Kulihat wajah tante Sisil yang biasanya bermake up rapi tampak kuyu dan tua. Ia tampak kelihatan lelah dan putus asa. Kubujuk tante agar ia sebaiknya pulang dan istirahat, Aldo, kakak laki-laki tertua Calista juga membujuk ibunya untuk pulang dan memintaku untuk menjaga Calista dulu, sementara ia mengantarkan ibunya pulang.
“Sebentar lagi Bernard juga akan datang,”ujar Aldo seraya memapah ibunya keluar. Aku mengangguk lemah seraya menyaksikan mereka keluar.
Aku sendiri sebenarnya sangat lelah, karena dari bandara, aku meminta Pak Min, supir keluarga Calista yang menjemputku di Bandara (dulunya sering mengantar kami ke sekolah) agar segera mengantarku ke rumah sakit. Sejak aku mendengar kabar dari om Peter, ayah Calista yang memberitakan Calista koma, aku sudah panik (aku memang orang yang mudah panik, lain dengan Calista yang berpembawaan tenang. Calista pernah meledekku karena sifatku yang mudah panik. Katanya, “Bagaimana kau bisa menangani kasus, jika kau mudah panik seperti itu? Pengacara itu mesti tenang dan berkepala dingin baru bisa memenangkan kasus,” ledeknya). Sepanjang perjalanan aku tidak tenang sebelum aku melihat Calista yang tampak lebih menyedihkan dari yang kubayangkan.
Dari tante Sisil, aku mengetahui bahwa Raymond memukul kepala Calista setelah sebelumnya ia menjambak dan membenturkan kepala Calista ke tembok dalam pertengkaran mereka. Tante Sisil bilang, “Ternyata bukan sekali ini saja Raymond melakukan kekerasan fisik terhadap Calista. Setiap kali bertengkar, Raymond selalu memukul Calista.” Seringkali tante Sisil mendapati mata Calista yang lebam, tapi Calista tak pernah menceritakan yang sebenarnya pada ibunya. Ia selalu mengatakan bahwa ia terjatuh di kamar mandi.
Tante Sisil baru tahu semua perangai buruk Raymond itu setelah Calista terbaring koma dari pembantu yang biasa bekerja di rumah Calista dan Raymond. Pembantu itu sebelumnya tidak pernah cerita mengenai perilaku majikan prianya itu, mungkin ia takut karena diancam Raymond, atau mungkin malah Calista yang melarangnya? Karena sifat Calista memang tertutup, ia lebih suka menyimpan segala masalah untuk dirinya sendiri. Hanya padaku sajalah Calista suka menceritakan masalahnya, mungkin karena usia kami yang sebaya, atau mungkin karena hubungan kami yang memang dekat. Raymond sendiri entah dimana. Saat ia melihat Calista yang terbaring tak bergerak, ia menjadi panik dan lari begitu saja meninggalkan Calista dan putri semata wayang mereka, Ally. (Calista sangat suka tokoh Ally Mac Beal, sehingga ia menamai putrinya dengan nama tokoh utama dari film seri favoritnya itu.)
Aku membelai wajah Calista yang tampak lebih tirus sambil menceritakan kenangan-kenangan masa kecil kami. Aku ceritakan kuliahku di Harvard. Aku juga menceritakan bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan pria dari daratan tempatku menuntut ilmu. “Namanya Michael. Matanya coklat tua bukan biru langit seperti warna favoritku, Lis. Rambutnya juga berwarna coklat kehitaman. Aku sering menceritakan tentang kau padanya, dan ia ingin sekali bertemu denganmu. Tadinya ia ingin ikut denganku ke Indonesia, tapi karena ia masih ada urusan, ia tidak bisa pergi. Tapi ia titip salam untukmu.”
Aku terus bercerita banyak hal pada Calista. Dan baru kusadari, ternyata sudah lama sekali kami tidak saling bicara begini seperti dulu. Padahal dulu kami selalu saling curhat. Memang kami suka saling bertukar cerita lewat telpon. Namun, karena pembicaraan interlokal biayanya sangat mahal, maka tidak banyak yang kami bicarakan lewat telepon.
Kalau mau dibilang, sebenarnya perangai Raymond yang kasar itu telah terlihat saat mereka masih pacaran. Aku ingat, suatu hari Calista pernah mengeluhkan sifat cemburu Raymond yang terlalu besar. “Mulanya sih aku senang dia cemburu, karena kan cemburu itu tanda cinta. Tapi, kalo cemburu buta seperti itu lama-lama aku jadi muak, Na,” keluhnya dulu ketika suatu hari Calista bertegur sapa dengan seorang teman pria yang bertemu di jalan.
“Raymond tiba-tiba menarik tanganku, aku sampai nggak enak hati sama Sam. Padahal Sam kan sahabat dia sendiri. Dan Sam pula yang memperkenalkan kami. Kau juga kenal Sam anak Arsitek yang sekelas sama Ray, kan?” lanjutnya.
Aku juga pernah menyaksikan perilaku kasar Raymond pada Calista, dan aku menasihati Calista agar sebaiknya memutuskan saja hubungan mereka. Tapi sepertinya Calista benar-benar mencintai Raymond dan berpikir cintanya dapat mengubah sifat buruk Raymond seperti dalam novel-novel percintaan. Ah, Calista betapa kita para wanita begitu bodoh, terlalu banyak berkhayal dan terpengaruh oleh novel-novel dan cerita-cerita romantis percintaan, batinku sedih seraya menatap Calista yang terus terpejam.
Entah sudah berapa lama aku terlarut dalam masa lalu, aku terus berbicara pada Calista meski ia tetap mengatupkan matanya, namun aku yakin ia dapat mendengarku, hingga kurasakan bahuku ditepuk seseorang. Kupalingkan wajahku dan melihat Bernard, kakak Calista yang kedua berdiri di sana.
“Sebaiknya kau pulang saja, Na. Kau pasti lelah karena jet lag, kan? Barang-barangmu sudah di bawa Pak Min ke rumah. Kau tidur di rumah kami saja. Kamar kalian juga masih seperti dulu, dan tidak ada yang menempati. Mama selalu menyuruh Mbok Nem membersihkannya setiap hari, karena siapa tahu kau pulang liburan ke Indonesia. Calista biar aku yang jaga” ujar Bernard. (Orang tua Calista menamai anak-anak mereka sesuai urutan abjad. Mungkin agar anak-anaknya dapat cepat menghafal abjad, sayangnya hanya sampai C, coba Tante Sisil melahirkan dua puluh enam orang anak, dari a sampai Z).
Saat berjalan di selasar rumah sakit, aku disambut oleh kesibukan rumah sakit, suara-suara erangan orang sakit, dan kesibukan para suster. Tiba-tiba mataku tertuju oleh sesosok tubuh yang didorong di atas brankar. Tubuhnya tampak melepuh dan wajahnya hampir tak dapat lagi dikenali sebagai manusia.
“Suaminya menyiramnya dengan minyak tanah dan mencoba membakarnya hidup-hidup. Suaminya cemburu karena ia diantar pulang oleh rekan kerjanya. Mereka bertengkar dan menuduhnya selingkuh kemudian memaksa istrinya mengaku, tentu saja istrinya bilang ia tidak selingkuh. Suaminya kalap dan gelap mata, lalu terjadilah peristiwa itu. Tapi, suaminya memang kasar, mana cemburuan lagi. Istrinya memang cantik sih. Sebenarnya suaminya tidak suka istrinya bekerja, dia takut istrinya main mata dengan rekan-rekan kerjanya, tapi kalau ngandalin hidup dari uang gajinya saja, mana cukup. Jadi wanita memang susah. Sudah capek ngurus rumah, anak-anak dan suami, ditambah harus kerja buat bantu-bantu nambah uang belanja, eh, masih dicemburui suami pula,” cerita seorang ibu pada suster yang mendorong brankar itu menjelaskan.
“Anda keluarganya?” tanya suster itu.
“Saya tetangganya, saya tidak tahu di mana keluarganya. Habis suaminya langsung kabur, sus. Saya tak tahu bagaimana menghubungi keluarganya,” jawab ibu itu.
Aku menghela napas. Rupanya Calista tidak seorang diri. Memang banyak kasus wanita yang dianiaya oleh suami-suaminya yang dibakar cemburu atau mungkin merasa egonya terusik oleh kelebihan yang dimiliki istrinya. Bukankah pria paling tidak suka dikalahkan oleh wanita, terlebih wanita itu merupakan istrinya.?!
Aku segera disergap udara malam yang dingin begitu aku keluar dari gedung rumah sakit. Reflek aku menengadah menatap langit, seperti kebiasaanku saat hatiku sedang gundah. Kulihat langit gelap menyelimuti kota. Sekelam hari-hari para wanita seperti Calista. Sebenarnya berapakah harga yang harus dibayar oleh seorang wanita dalam pernikahannya? Dapatkah pada akhirnya nanti para pria menghargai nilai sebuah pernikahan tanpa harus menyakiti para istrinya? Mungkin suatu saat nanti, akan ada titik terang bagi nasib para wanita.
Kuhirup lagi udara malam yang segera mengisi rongga dadaku, terbayang wajah Calista saat kami masih kuliah, dengan wajah ceria dan mata berbinar menceritakan Raymond. Setiap hari ada saja yang diceritakannya tentang Raymond, sampai-sampai aku bosan mendengarnya. Saat kuledek, wajahnya segera memerah dan ia pura-pura merengut. Dapatkah kutemukan kembali Calista yang dulu? Bila esok Calista bangun, apakah aku akan menemui Calista yang seperti saat kami sekolah dulu ataukah akan kutemui Calista yang berbeda, yang menyimpan segala duka lara dan kesedihan dalam hatinya seorang diri? Menyimpan semua derita dan kepedihannya dalam hatinya rapat-rapat. Apakah Calista akan menjadi pribadi yang tertutup bahkan padaku, sahabat satu-satunya? Hatiku merasa sedih jika mengingat penderitaan Calista. Sambil memandang langit, kuucapkan doa dalam hati, agar Calista dapat sadar kembali dan agar aku dapat kembali menemukan Calistaku yang dulu. Aku berharap Calista tak akan pernah berubah karena penderitaannya. Untuk kesekian kalinya kuucapkan doaku sambil menatap bintang-bintang di langit yang tampak sangat jauh, seperti Calista yang saat ini kurasakan sangat jauh dariku. Ah, Calista, mungkin benar seperti yang kau bilang, wanita itu seperti burung Camar yang tak akan pernah dapat pergi jauh. Karena kemanapun Camar pergi, ia selalu kembali ke dermaga, karena di sanalah tempatnya. Betapapun kokohnya sayap seorang wanita dan tak peduli seberapa jauh wanita terbang melayang melintasi angkasa namun wanita selalu mencari tempat berlabuh pada pria yang dicintainya sebagai dermaganya. Namun, apakah kau telah benar-benar menemukan dermaga yang tepat untuk melepaskan penatnya sayap-sayapmu, Calista? batinku seraya berjalan menembus malam.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar