Total Tayangan Halaman

Translate

Rabu, 01 April 2009

Kampanye Pemilu = Perebutan Takhta Formula One ?




Kampanye pemilu memang bisa jadi menyebalkan. Sticker banyak ditempel di sana-sini yang bikin dinding-dinding putih di jalan makin kusam berbaur bersama coretan-coretan grafiti anak-anak SMP, SMU atau STM. Belum lagi jalanan macet, ditambah beberapa waktu lalu ketika banyak karyawan yang terlambat kerja hanya karena bis yang biasa dinaiki sedang diborong oleh salah satu partai untuk berkampanye. (iih, katanya mementingkan kepentingan rakyat, belum apa-apa dah nyengsarain rakyat ...???)

Apalagi setelah kampanye yang tersisa sampah bekas makanan (di televisi terlihat jelas kotak-kotak makanan berlabel Hoka-Hoka Bento) dan botol-botol air mineral berserakan setelah kampanye akbar partai berakhir.

Uuuh, intinya kampanye bikin sebel deh. Padahal katanya pesta rakyat tapi kok bikin rakyat makin merasa nelangsa dibanding gembira ya ...?

Ah, pokoknya dibanding nonton kampanye lebih seru nonton formula one deh. Menjerit-jerit di depan tivi sambil ngebego-begoin pembalap. Ga bikin jalanan macet, ga ngerusak keindahan kota dengan tempelan stiker, baliho yang kadang bukan memperindah malah bikin sebel, ataupun kibaran bendera-bendera partai yang banyak bertebaran di sepanjang jalan. Terus pembalap-pembalap formula one juga ga cuma bisa menebar janji alias omdo alias omong doang. Emang sih, ada juga pembalap yang bermulut gede tapi ga bakal pernah didengar karena yang dibutuhkan di formula one adalah bakat, kerja keras dan keberuntungan. Meski begitu, meraka gak sampai mengobral janji untuk memikat para penggemar.

Tapi ... kampanye bisa juga seseru formula one juga ternyata. Terlebih bila melihat persaingan partainya Pak Presiden dengan partai mantan Bu Presiden. Asyik juga deh. Aneh juga sih dengar komentar beberapa pihak yang meminta agar dalam berkampanye tak saling menjatuhkan. Ih, namanya juga kampanye kok mesti saling memuji? (kayak lagu Saling Memuji-nya Shanti sama siapa gitu, lupa)

Apalagi mendengar komentar yang bilang bahwa sebagai negara yang santun kita mesti memperhatikan etika norma-norma kesusilaan dalam berkampanye jadi seyogyanya tak saling menjelekkan satu sama lain (hi... hi... hi... negara yang santun tapi kok terkenal sebagai negara terkorup???)

Udah deh, bukan politiknya yang bikin aku seneng sama kampanye kali ini. Tapi melihat persaingan partai Pak Presiden yang didominasi warna biru alias blue dan partainya mantan Bu Presiden yang merah menyala jadi inget sama serunya persaingan perebutan juara dunia formula one 2006 antara Michael Schumacher dengan tim merah Ferrarinya dan Fernando Alonso di Renault yang waktu itu masih didominasi warna biru.

Waktu itu juga kan, Michael Schumacher berniat merebut kembali takhtanya yang hilang direbut Fernando Alonso pada tahun 2005. Saking sengitnya mereka sama-sama kena penalti di Grand Prix Hungaria 2006. Kejadiannya saat sesi latihan Jum’at Alonso yang lebih dulu mendapatkan penalti karena pertikaiannya dengan Robert Doornbos mengabaikan bendera kuning yang dikibarkan. Schumacher mendapatkan penaltinya kemudian karena melewati tiga mobil, Alonso, Kubica, dan David Coulthard saat sesi latihan Sabtu pagi ketika bendera merah dikibarkan setelah Honda-nya Jenson Button mengalami gagal mesin. Karena mengabaikan bendera merah akhirnya Michael mendapatkan penalti dua detik pada hasil qualifikasi.

Musim 2006 adalah musim balap formula one yang takkan pernah kulupakan. Meski Michael tak berhasil merebut gelar dunianya yang kedelapan tapi aksi yang ditampilkan Michael sepanjang musim layak menjadikannya sebagai pembalap terbaik sepanjang masa meski sedikit tercoreng oleh insiden qualifikasi Monaco (yang menurutku merupakan taktik Michael yang brilian dan bukti bahwa Michael bukan hanya membalap dengan bakatnya saja tapi juga otak, sayangnya taktiknya gagal total dan ia bukan saja kena penalti sehingga ia akhirnya harus balapan dari pit tapi juga kembali ia dicerca habis-habisan). Tapi bagaimanapun aksi Michael di Brazil mampu menghapus semua dosa dan celanya itu. Di Brazil Michael benar-benar menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang maestro dan aksinya di Brazil akan selalu dikenang para pendukungnya maupun orang-orang yang selalu mencerca dan mengkritiknya.

Namun pemilu tetap saja berbeda dengan formula one. Siapapun pembalap yang berhasil menjadi juara dunia tak berpengaruh pada hajat hidup orang banyak sementara politisi yang memenangi pemilu berpengaruh pada kehidupan rakyat banyak. Seandainya waktu itu Hitler tak berhasil memenangi pemilu Jerman (padahal dia orang Austria tapi entah mengapa ia bias menjadi kanselir Jerman dan mengapa pula orang Jerman memilihnya?) maka kisah Nazi dan Manifesto Hitam-nya selamanya tersimpan dalam lacinya atau mungkin sudah menjadi bungkus kacang dan perang dunia dua takkan pernah terjadi.

Lalu akankah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 karena bukankah para pemuda waktu itu memanfaatkan kekosongan politik di Indonesia yang diakibatkan perang dunia kedua itu untuk memproklamirkan kemerdekaannya? Entahlah …. Sejarah yang telah berbicara. Hitler memenangi pemilu, perang dunia kedua meletus berbarengan dengan keberanian Jepang mengebom Pearl Harbor. Indonesia dengan cerdik melihat celah dan langsung meraih kemerdekaannya. Yang jelas, kita beruntung karena telah merdeka !!! Semuanya memang sudah jadi sejarah, namun sejarah bukan hanya sekedar kejadian masa lalu pada tahun yang telah lampau. Sejarah sejatinya merupakan cermin bagi kita di masa kini dalam melangkah demi sebuah masa depan yang lebih baik.

Musim 2006 sudah berlalu. Persaingan Schumi dan Alonso pun sudah usai seiring dengan pensiunnya Michael. Renault pun kini sudah berganti warna dari Biru menjadi kuning putih meski Ferrari tetap setia dengan merah menyalanya. Tapi formula one memang berbeda dengan kampanye meski kampanye penuh warna seperti lintasan trek formula one yang dipenuhi jet-jet darat aneka warna.

Siapapun yang memenangi pemilu nanti semoga saja merupakan orang-orang yang pantas karena mereka bukan seperti juara dunia formula one yang bertarung demi dirinya sendiri dan untuk membayar pengorbanan seluruh kru timnya dan seorang pembalap berhasil menjadi juara dunia bukan karena mendapat suara terbanyak!

Dan semoga formula one dapat terus kita nikmati di bumi nusantara ini. Serem sekali bila membayangkan negara kita seperti negara fasis Korea Utara yang stasiun televisinya senantiasa hanya menayangkan acara-acara propaganda yang mendengungkan keagungan pemimpin besar mereka Kim Yong Sun yang telah wafat dan kini digantikan putranya Kim Yong-il. Jangankan menonton formula one sepertinya sinetron pun akan sulit ditonton di negara ini dan kalaupun ada film pastinya kisah dalam film tersebut pun penuh puja puji berlebihan pada pemimpin besar tercinta mereka itu.

Ah, semoga siapapun yang terpilih nanti benar-benar bisa merepresentasikan keinginan para pendiri bangsa ini, para pejuang yang telah gugur demi nusantara tercinta ini. Jadi semoga yang akan duduk di kursi dewan rakyat nanti benar-benar bisa merakyat alias mengerti kesulitan rakyat dan benar-benar bisa mensejahterakan rakyat bukan hanya berniat dan obral janji saja. Semoga ….

Tidak ada komentar: