“Gentlemen, for the pride of your country … start your engines now…!”
Begitulah sepenggal pembukaan ajang balap single seater terbaru, A1 GP yang diprakarsai oleh seorang Sheikh dari Dubai, Sheikh Maktoum Hasher Maktoum Al Maktoum. Awalnya ia merasa kecewa karena tim-tim yang berlaga di Formula One, ajang balap paling bergengsi di dunia yang telah merambah ke negerinya ternyata tak mempresentasikan sebuah negara tertentu alias bukan demi membawa nama dan bendera negaranya seperti para atlit yang berlaga di olimpiade. Contohnya meski Michael Schumacher merupakan orang Jerman dan saat ia berdiri di podium tertinggi lagu kebangsaannya dikumandangkan namun lagu kebangsaan Italia yang merupakan negara asal timnya ikut dikumandangkan setelah lagu kebangsaan Jerman, jadi dengan kata lain kemenangan Michael bukan murni merupakan kemenangan Jerman secara keseluruhan meskipun mungkin seluruh warga Jerman ikut bergembira dengan kemenangan Michael.
Namun membuat sebuah tim yang keseluruhannya menampilkan suatu negara dalam Formula One sama mustahilnya seperti mencari sebuah jarum di antara tumpukan jerami meski pernah ada yang membangun tim Formula One seperti impian Sheikh Maktoum ini.
Jauh sebelum Sheikh Maktoum mengemukakan impiannya ini, Alain Prost, juara dunia f1 empat kali pernah mencoba membuat tim Perancis di mana pembalap, mesin dan pimpinannya (dalam hal ini ia sendiri) merupakan orang Prancis. Dengan sokongan mesin dari Peugeot yang berasal dari Perancis dan Jean Alesi sebagai driver-nya ditambah Prost sendiri jadilah tim All French impiannya. Tapi sang Profesor (julukan bagi Prost yang diberikan karena kejeniusannya dalam membalap. Pernah ia mendorong mobilnya yang mogok ketika hanya tinggal beberapa meter saja dari garis finish sehingga ia tetap mendapat poin. Waktu itu dalam regulasi FIA tak melarang pembalap mendorong mobilnya yang mogok untuk mencapai garis finish) tak mampu mengembangkan tim All French impiannya ini untuk berbicara lebih banyak di kancah ajang Formula One yang terkenal kompetitif dan keras ini. Tim Prost akhirnya hanya tinggal nama dalam sejarah Formula One setelah pengadilan Perancis menyatakan tim sang juara dunia F1 tiga kali ini pailit alias bangkrut.
Beberapa tahun kemudian seorang mantan pembalap Formula One yang lain juga mendirikan tim impiannya seperti Alain Prost. Tapi kali ini bukan Perancis melainkan Jepang. Adalah Aguri Suzuki, pembalap kebanggaan Jepang yang memiliki mimpi mendirikan tim yang mencirikan negerinya. Sama seperti Prost, ia mendapat dukungan dari pabrikan senegaranya dalam hal ini Honda berbaik hati memberikan mesin sebagai dapur pacu mobil andalannya. Dan Takuma Sato yang sebelumnya membalap untuk BAR Honda bersama Jenson Button pun ditarik sebagai pembalapnya. Jadilah tim All Japan impian Aguri Suzuki namun tim impiannya ini pun akhirnya mengalami nasib yang sama seperti Prost. Tahun 2006, tim Jepang milik Suzuki ini pun terpaksa harus mengakhiri karirnya di Formula One karena kesulitan dana.
Namun baik tim Prost maupun tim Super Aguri ini tak sepenuhnya bisa dikatakan mempresentasikan negara mereka secara keseluruhan. Memang pemilik tim, pemasok mesin dan pembalap utama mereka berasal dari negara mereka tapi engineer-engineer mereka, kru tim, test driver, dan pembalap kedua mereka bukan berasal dari negara yang sama dengan mereka. Jadi sebutan All French atau All Japan sebenarnya kurang tepat juga.
Demi menghindari kejadian seperti yang menimpa Prost dan Aguri yang kandas akibat kekurangan dana, maka A1 GP, ajang balap single seater impian Sheikh Maktoum ini membuat regulasi yang membatasi tim-tim yang berlaga dalam melakukan pengembangan mobil agar tak gila-gilaan seperti tim Formula One yang akhirnya mematikan tim-tim kecil beranggaran minim. Maka diaturlah semua tim yang berlaga menggunakan mesin yang sama yang untuk musim ini Ferrari menjadi pemasok mesin bagi seluruh tim A1 GP.
Sebagai sebuah ajang single seater, A1 GP ternyata dapat menjadi ajang pembuktian bibit-bibit muda yang akhirnya berhasil menggapai impian mereka, membalap di formula one, mungkin sebagai test driver sebagai permulaan tapi tak menutup kemungkinan menjadi pembalap utama seperti yang terjadi pada Nelson Piquet, jr, putra Nelson Piquet, juara dunia Formula One tiga kali (1981, 1983, dan 1987) namun karena Piquet, jr tak jua menampilkan aksi spektakuler seperti ayahnya, nasibnya di Renault kini berada di ujung tanduk dan ada rumor yang mengatakan bahwa dalam tiga seri berikutnya bila ia tak juga memperlihatkan bakat ayahnya, ia akan ditendang dari jabatannya sebagai team mate juara dunia dua kali, Alonso.
Ternyata pula, ajang A1 GP menjadi tempat berlabuh pembalap-pembalap yang gagal menghadapi kerasnya dunia Formula One. Dan tak sedikit pula dari mereka yang berhasil di ajang single seater impian Sheikh Maktoum ini.
Jos Verstappen adalah salah satu contohnya. Pembalap yang lama malang melintang di Formula One ini, bahkan ia pernah menjadi rekan setim Michael Schumacher ketika masih membalap di Benetton pada tahun 1994 (tahun di mana Michael meraih gelar dunia pertamanya) dan karir balap Verstappen di Formula One berakhir kala Arrow yang menjadi pelabuhan terakhirnya di Formula One dijual karena lagi-lagi, mengalami kesulitan dana.
Karir Verstappen di Formula One boleh dibilang tak terlalu cemerlang. Bahkan rekan setimnya di Arrow, Enrique Bernoldi lebih mencuri perhatian publik ketika di GP Monaco 2000 membuat David Coulthard ketar ketir dan geregetan di dalam kokpit silver arrow-nya (julukan untuk tim McLaren waktu itu). Tidak percaya, lihat saja aksi Bernoldi versus DC di youtube.
Di A1 GP, pembalap andalan negeri kincir angin ini akhirnya bisa menampilkan kelasnya sebagai pembalap handal. Dan Verstappen menjadi salah satu pembalap yang diperhitungkan di A1 GP.
Alex Yoong, pembalap andalan negeri Jiran Malaysia ini pernah dipermalukan habis-habisan di Formula One. Tiga kali ia terpaksa absen dari balapan (di Imola, Silverstone, dan Hockenheim) karena catatan waktu qualifyingnya tak mencapai 107 persen dari catatan waktu pembalap tercepat yang waktu itu merupakan ketentuan dalam regulasi FIA.
Seperti Verstappen, ajang A1 GP menjadi ajang pelipur lara sekaligus pembuktian Yoong bahwa ia benar-benar tahu cara membalap. Bahkan kini ia menjadi seat holder tim Malaysia di A1 GP.
Yang terbaru adalah Narain Karthikeyan. Masih segar di ingatan bukan karir Narain di Formula One yang hanya seumur jagung dan tanpa prestasi yang cukup berarti. Di Brand Hatch, yang menjadi seri penutup setelah Meksiko batal menggelar balapan A1 GP karena pandemik flu babi di negara itu, Narain Karthikeyan berhasil mencuri perhatian para pemirsa dengan meraih podium kedua saat feature race.
Boleh dibilang A1 GP merupakan ajang pembuktian baik bagi pembalap-pembalap muda yang bermimpi membalap di Formula One dan bagi mereka yang pernah merasakan kerasnya persaingan di ajang balap single seater paling bergengsi di dunia itu.
Bila akhirnya Lewis Hamilton terpental keluar dari Formula One karena kasus kebohongannya saat GP Australia, mungkin A1 GP bisa menjadi pelabuhannya. Yang pasti juara dunia F1 2008 ini pasti takkan mengalami hambatan di ajang yang satu ini dan siapa tahu ia berhasil menjadi juara dunia A1 GP selama tujuh kali seperti Michael atau lima kali berturut-turut seperti Juan Manuel Fangio (meski mungkin bukan di F1). Yang jelas tanpa harus melakukan kecurangan atau membohongi steward, seorang Lewis Hamilton akan bisa tampil dominan di ajang balap yang satu ini terlebih tim Great Britain, negara asal Lewis Hamilton belum jua memberikan gelar dunia untuk negeri yang mengklaim sebagai home of motorsport ini (terbukti dari beberapa tim Formula One bermarkas di negara Ratu Elizabeth II ini dan beberapa engineer jenius seperti Brawn merupakan anak bangsa negeri kecil yang bahasanya menjadi bahasa internasional ini).
Aku sendiri baru beberapa kali saja menonton A1 GP. Waktu itu hanya sebagai tontonan alternatif saja setelah Schumi pensiun dan aku cukup terhibur ketika melihat aksi Nico Hulkenberg, rising star dari Jerman yang seperti Michael pada suatu waktu dulu pernah mendominasi Formula One, anak muda dari Jerman ini pun tampil memukau dan mendominasi hampir di semua seri A1 GP sehingga akhirnya gelar dunia A1 pun berhasil disabet tim Jerman.
Memang dibanding hingar bingar dunia Formula One, ajang A1 GP ini terkesan jauh lebih sederhana dan bersahabat. Tak ada intrik-intrik politik tingkat tinggi seperti dalam dunia Formula One. Tapi sebagai sebuah tontonan, A1 GP cukup menarik pula untuk pecinta dunia balap single seater.
Aksi para pembalap A1 memang tak sehebat para pilot di mobil-mobil Formula One yang penuh dengan logo sponsor tim sebagai bayaran karena mereka telah merogoh kocek mereka dalam-dalam demi membiayai pengembangan mobil-mobil spektakuler tersebut. Memang ada beberapa di antara pembalap A1 itu merupakan pembalap-pembalap yang dianggap gagal di Formula One tapi sebenarnya mereka adalah orang-orang yang berani bangkit dari kegagalan mereka. Boleh saja orang menertawakan kegagalan mereka di ajang Formula One, tapi mereka tak terpuruk dan tenggelam dalam kegagalan mereka. Life must go on... Meski mereka harus menurunkan tingkatan tapi mereka tetap berani untuk bangkit dari kegagalan dan memetik hasil manis meski pada tingkatan yang berbeda. Namun, mereka telah menunjukkan kualitas seorang juara sejati dalam diri mereka. Bukankah berani bangkit dari kegagalan merupakan sebuah perjuangan? Dan perjuangan itu tak mudah!
Satu hal yang kupetik dari ajang A1 GP adalah dunia ini ternyata cukup luas bagi kita untuk menggali potensi diri kita. Dalam perjalanan kita mungkin kita akan gagal dan terjatuh. Dan saat itu kita pasti akan malu, kecewa, marah dan merasa putus asa tapi kegagalan bukanlah akhir dari dunia. Dan dunia takkan pernah bersikap ramah pada orang-orang yang hanya menangisi kegagalannya tanpa mau berusaha untuk bangkit kembali. Bangkit adalah sebuah kata mujarab untuk menghadapi hidup dan pantang menyerah merupakan kata kunci untuk menaklukkan dunia yang keras ini.
Mereka, Verstappen, Yoong, Karthikeyan, dan mungkin akan ada lagi pembalap-pembalap muda yang gagal memenuhi mimpinya di Formula one tapi mereka mau bangkit dari kegagalan mereka dan berusaha menggali potensi mereka lebih dalam lagi dan menunujukkan pada dunia bahwa kegagalan tak berarti bagi mereka. Dan dunia senantiasa memberikan ruang bagi kita yang ingin terus mengukir sebuah kenangan demi memberi arti bagi hidup kita yang singkat ini. Demi sebuah mimpi. Itu yang disampaikan mereka pada kita.
Jadi teringat sepenggal lirik Hero yang dipopulerkan oleh Mariah Carey …
Lord knows dreams are hard to follow
but don’t let anyone tear them away
Hold on, there will be tomorrow
In time you’ll find a way...
1 komentar:
bener jg ya.. trus ngapain bw negara ya hihi.. aku brenti nonton F1 begitu montoya hengkang, dah ga seru,ga ad yg bawel n bandel lg, ga seru :)
Posting Komentar