Balapan F1 tahun ini telah berakhir. Seperti roda yang berputar, begitu pun halnya dengan balapan F1 tahun ini. Banyak kejadian-kejadian tak terduga terjadi sejak balapan dimulai di Australia dan bersama matahari yang tenggelam di Abu Dhabi, sirkus F1 tahun ini pun berakhir. Dan aku sebagai seorang penggemar F1 ingin mencoba membuat sebuah review mengenai tim dan pembalap yang telah meramaikan panggung F1 setahun ini.
Brawn-Mercedes : 172 poin
pic taken from : www.topgear.com
Pencapaian Brawn GP sebagai debutan tahun ini memang bisa dibilang spektakuler. Padahal sebelum GP Australia dimulai, nasib tim ini masih tak menentu usai Honda, pemilik tim ini memutuskan mengundurkan diri dari F1 hingga akhirnya Ross Brawn, ex techincal director Ferrari yang sempat menyepi sejenak setelah keluar dari Ferrari membeli tim ini.
Setiap orang tahu siapa Ross Brawn, mekanik kesuksesan Michael Schumacher dalam merebut tujuh gelarnya dan salah satu pahlawan Ferrari yang turut membantu tim kuda jingkrak mereguk masa-masa keemasannya.
Kali ini Ross Brawn dengan namanya sendiri terpampang pada tim asuhannya kembali memperlihatkan kepiawaiannya dalam menciptakan bintang baru. Di tangannya, tim Honda yang pada awal kemunculannya di F1 ingin mengulang kesuksesan mereka merebut gelar dunia tapi hingga mereka pensiun, sukses yang mereka harapkan tak kunjung mereka dapatkan, justru setelah tim ini berganti nama tanpa embel-embel nama salah satu pabrikan mobil terbesar asal Jepang itu, malah berhasil meraih gelar ganda.
Tim Brawn memang debutan di F1 tapi tim ini sebelum berganti wajah menjadi Brawn GP sudah seperti lelucon di F1.
Awalnya, tim ini berdiri atas prakarsa Craig Pollock, manager Jacques Villeneuve, juara dunia 1997 dengan dukungan kuat dari dua pabrikan tembakau Inggris dan Amerika, BAT. Tim dengan berbiaya besar ini digadang-gadang merupakan tim Ferrarinya Jacques. Ya, Jacques memang ingin sekali memiliki tim yang sepenuhnya mendukungnya seperti Ferrari terhadap Schumi. Tapi bertahun-tahun, tim ini tak juga memperlihatkan hasil memuaskan sementara dana yang dikeluarkan sudah sangat banyak. Akhirnya, Pollock ditendang dan Jacques yang tak akur dengan David Richards, pengganti Pollock pun segera mengikuti jejak mantan managernya itu. Akibat peraturan anti rokok di F1 maka BAT pun cabut dan Honda yang sudah menyuplai tim ini sejak lama segera mengambil alih. Sayangnya nama besar Honda tak mampu membuat tim ini bersinar hingga akhirnya Honda pun memutuskan melepas tim ini dan kemudian Ross Brawn membeli tim ini dan membuat sejarah baru di F1.
From zero to hero. Begitulah suratan bagi tim debutan ini. Para kru tim yang hampir putus asa kehilangan pekerjaan ketika Honda memutuskan keluar dari F1 tapi di akhir musim ini, mereka berpesta merayakan kesuksesan mereka meraih gelar dunia konstruktor dan pembalap.
Berbekal diffuser ganda, tim ini mampu membelalakkan mata jutaan penggemar F1 di seluruh dunia dengan tampil mendominasi di race-race pada awal musim. Para pesaing mereka yang semula mengecam diffuser ganda mereka tapi kemudian berbalik mengadopsi diffuser ganda milik mereka setelah FIA melegalkannya. Di pertengahan musim keperkasaan mereka sedikit melemah seiring dengan kemajuan yang berhasil dibuat tim-tim lawan mereka yang memiliki budget lebih besar namun hal itu ternyata tak mampu menghalangi mereka mencatat sejarah baru. Di Brazil dengan menyisakan satu seri, mereka berhasil mengawinkan gelar dunia konstruktor dan pembalap.
1. Jenson Button : 95 poin
Fastest lap : GP Malaysia & Turki
Pole : 4 (Australia, Malaysia, Spanyol, & Monaco)
Akhirnya penantian Jenson terbayar sudah. Bertahun-tahun ia mengalami masa pasang surut sepanjang karirnya di F1, tapi tahun ini Jenson membuktikan bahwa ia bisa meraih gelar juara dunia. Dan ia pantas menyandang gelar juara dunia itu. Ia memang hanya memenangi enam GP tapi bukan berarti ia tak layak menjadi juara dunia. Ia memang sempat melemah di pertengahan musim tapi bukan berarti semangatnya untuk meraih juara dunia memudar. Ia tetap menjaga konsistensinya. Ia hanya sekali gagal finish yaitu di GP Belgia, di mana ia terpaksa mengakhiri balapannya lebih cepat setelah mengalami tabrakan dengan rookie dari Renault, Roman Grosjean dan juara dunia tahun lalu, Lewis Hamilton. Dua kali ia sempat gagal menembus Q2 yaitu di GP Belgia dan Brazil dan secara statistik penampilannya di kualifikasi memang kalah dari rekan setimnya tapi konsistensinya di balapan membuatnya lebih unggul dari rekan setimnya yang lebih senior itu.
Apapun ucapan orang, sikap skeptis mereka yang meragukan pembalap Inggris ini namun satu hal yang pasti, Jenson telah membuktikan kemampuannya. Dan jangan lupa pula, meski di pertengahan hingga akhir musim, lawan-lawannya melesat lebih kencang darinya, namun hanya ia yang berhasil meraih kemenangan terbanyak musim ini.
Tak dipungkiri, untuk menjadi juara dunia, skill seorang pembalap harus sangat mumpuni, namun jangan lupakan pula faktor keberuntungan dan konsistensi dari si pembalap. Dan terutama adalah konsistensi.
Sejak kemenangannya di Turki, memang penampilan Jenson Button sedikit melemah tapi ia tetap memperlihatkan konsistensinya. Ia terus berjuang meraih poin demi poin hingga di Brazil, dengan menyisakan satu seri, di usianya yang ke-29 tahun, di tahunnya yang kesembilan di F1, Jenson Button berhasil meraih gelar juara dunia pertamanya.
2. Rubens Barrichello : 77 poin
Fastest Lap : GP China & Spanyol
Pole : 1 (Brazil)
pic taken from : sport.in.msn.com
Malang memang nasib Rubens Barrichello. Bertahun-tahun ia hanya mampu menjadi pendamping Schumi meraih gelar dunia, dan ketika tahun ini ia menjadi kompetitor berat Jenson dalam merebut gelar dunia hingga di GP Brazil tapi strategi pitnya yang tak berjalan sempurna bukan hanya ia gagal menjegal jalan Button merebut mahkota juara tapi posisi keduanya pun akhirnya lepas di penghujung musim.
Tak sedikit yang berpendapat bahwa Rubens jauh lebih baik dari Jenson karena penampilan Jenson yang melempem di pertengahan musim. Hanya keberuntungan saja mungkin yang belum menghampiri pembalap veteran asal Brazil ini. Hingga menjelang GP Brazil, ia merupakan pesaing terdekat Jenson Button, rekan setimnya tapi di akhir race, ia yang hanya mampu finish di tempat kedelapan bukan hanya kehilangan kesempatan meraih gelar juara dunia tapi posisi keduanya pun terancam oleh Vettel, jagoan Red Bull, yang kemudian benar-benar berhasil merebut juara kedua dari tangan Rubens di GP Abu Dhabi.
Memang tak dapat ditampik, Rubens merupakan pembalap yang bagus. Bahkan seorang Michael Schumacher pun mengakui peran pembalap gaek Brazil ini dalam meraih lima gelar juara dunianya. Karena itu meski ia gagal meraih gelar juara dunia tahun ini, tak menghalangi seorang Frank Williams untuk merekrut pembalap tertua di F1 tahun ini untuk memperkuat skuad tim Willi ini tahun depan sekaligus berharap sang sepuh ini mampu menjadi mentor bagi bintang muda Williams asal Jerman, Nico Hulkenberg.