gbr dipinjam dari situs ini
Namun meskipun ia tak sempat mengenyam pendidikan formal yang jauh lebih tapi ia merupakan wanita Indonesia pertama yang berhasil menembus dunia Hollywood. Ia bahkan diketahui menguasai banyak bahasa namun Dewi Dja pernah kehilangan kesempatan meraih peran dalam salah satu film Hollywood karena ia masih kurang fasih dalam bahasa Inggris, hal yang amat disesalkannya sehingga ketika anaknya, Ratna tidak melanjutkan perannya di dunia film di Hollywood, padahal sempat bermain bersama bintang ternama kala itu, Steve McQueen dan Dustin Hoffman dalam film "Papilon", membuat Dewi Dja amat menyesali keputusan anaknya yang sebenarnya fasih berbahasa Inggris tak seperti dirinya. "Kesempatan luar biasa yang dibuang begitu saja," komentar sang ibu seperti yang ditulis Ramadhan K dalam buku biografi yang ditulisnya mengenai Dewi Dja berjudul "Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella".
Dewi Dja lahir pada 1 Agustus 1914 di Yogyakarta dengan nama Misra yang kemudain berganti menjadi Soetidjah. Seperti yang diungkapkan oleh Ramadhan K, dunia seni dikenal Dewi Dja lewat kakek dan neneknya. Ia suka menguntit kakeknya, Pak Satiran dan memegang ujung kebaya neneknya, Bu Sriatun, berkeliling, ngamen, memetik siter.
Meski tak tamat sekolah rendah dan hidup dalam kemiskinan namun perjuangan hidupnya itu justru telah memperkaya hidupnya hingga ia tumbuh menjadi sosok luar biasa yang memiliki semangat nasionalisme tinggi meski ia terpaksa hidup di negeri orang, namun kecintaannya pada Indonesia, tanah tumpah darah, yang kelahirannya turut disaksikannya itu, tetap membara dalam darahnya.
Awal mula bergabungnya Dewi Dja atau yang saat itu masih bernama Soetidjah dengan Dardanella dimulai saat ia bertemu dengan Pedro, seorang anak pemain sirkus Rusia yang berkeliling dunia. Saat itu Pedro bersama ibunya singgah di Karesidenan Besuki, di sinilah ia dan Soetidjah bertemu. Pedro kemudian menikahi Soetidjah dan mengajaknya bergabung dengan rombongannya yang kemudian diberi nama Dardanella. Saat bersama Dardanella barulah Soetidjah yang buta huruf belajar baca dan tulis huruf latin. Kala itu umurnya baru 14 tahun.
Semula Dewi Dja hanya mendapatkan peran kecil sebagai penari, bintangnya baru bersinar ketika bintang utama Dardanella, Miss Riboet jatuh sakit. Ia pun didaulat memerankan tokoh Soekaesih, peran yang biasa dimainkan oleh Miss Riboet. Saat itu Soetidjah baru berumur 16 tahun tapi ia berhasil memerankan peran itu dan mendapatkan apresiasi. Karir Soetidjah di dunia panggung pun mulai dikenal. Namanya bahkan disandingkan dengan dua tokoh wanita pemeran utama Dardanella, Miss Riboet dan Fifi Young. Soetidjah bahkan menjadi salah satu tokoh penting dalam kelompok Dardanella. Soetidjah kemudian dikenal dengan nama Dewi Dja atau kerap dipanggil Devi Dja.
Bersama kelompok Dardanella, Dewi Dja pun mendapatkan kesempatan melanglang buana mementaskan lakon teater. Saat itu pertama kali mentas di luar negeri, usia Dewi Dja baru 17 tahun, usia yang menurutnya lagi seger-segernya. Saat melanglang buana inilah, Dardanella mulai mengalami pergantian personil tapi Dewi Dja dan Pedro tetap bertahan. Berbagai negara pernah disinggahi Dewi Dja dan Dardanella. Mereka pernah tampil di Hongkong, New Delhi, Karachi, Baghdad, Basra, Beirut, Kairo, Yerusalem, Athena, hingga Roma. Saat di Rangoon penampilan mereka disaksikan oleh Jawaharlal Nehru yang kemudian menjadi Perdana Menteri pertama India. Rombongan Dardanella bahkan kabarnya sempat menginap di rumah Mahatma Gandhi, tokoh pejuang India yang terkenal di seluruh dunia. Selain di Asia, mereka pun sempat menjelalah hingga ke Eropa. Mereka tampil di Negeri Belanda, Swiss dan Jerman.
Saat tampil di Munich, Jerman, perang dunia pecah sehingga menimbulkan kegelisahan di antara anggota kelompok kecil Dardanella yang telah berubah nama menjadi "The Royal Bali-Java Dance" ini. Pedro, sang pemimpin pun mengambil keputusan untuk menyebrang ke Amerika saat mereka di Belanda. Dengan menumpang kapal "Rotterdam" rombongan ini pun tiba di New York, Amerika.
Di Amerika nama Dewi Dja makin berkibar terlebih nama kelompoknya menggunakan namanya, Devi Dja's Bali and Java Cultural Dancers. Bahkan penampilannya sempat diulas dalam sebuah surat kabar negeri adidaya itu. Setelah lama di Amerika, mereka sempat ingin kembali ke tanah air tapi perang dunia kedua keburu pecah dan Jepang menduduki Indonesia sehingga mereka tertahan di Amerika tak bisa kembali ke tanah air. Tapi beberapa orang tetap berusaha untuk pulang sehingga rombongan yang semula -saat sebelum perang kemerdekaan RI- beranggotakan 150 orang kini menciut sampai tersisa belasan orang saja. Kehidupan di Amerika pun makin sulit sehingga Pedro dan Dewi Dja mendirikan sebuah niteclub bernama Sarong Room di Chicago tapi sayangnya pada 1946 niteclub mereka ini terbakar habis.
Satu persatu kenyataan pahit harus dihadapi Dewi Dja. Bukan hanya harus kehilangan niteclub yang dibangunnya bersama suaminya. Ia juga mendapati suaminya main serong dengan salah satu anggota rombongan itu sehingga akhirnya mereka pun bercerai.
Dewi Dja kemudian bertemu dengan seorang Indian bernama Acce Blue Eagle. Tapi pernikahan keduanya ini pun harus kandas di tengah jalan karena alasan konyol Acce yang tak suka istrinya bergaul dengan sesama masyarakat Indonesia di Amerika, padahal itu adalah dunia Dewi Dja. Apalagi saat itu kabar Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya telah pula terdengar di negeri Paman Sam itu.
Dewi Dja kemudian hijrah ke Los Angeles. Di sini ia memiliki kesempatan berkenalan dengan sejumlah bintang terkenal Hollywood salah satunya adalah Greta Garbo dan Bing Crosby yang banyak membantu Dewi dalam memberikan kesempatan untuknya. Ia tampil menari di depan Claudette Colbert yang terpesona oleh gerak tangan dan kerling mata Dewi Dja sehingga hampir saja ia terpilih mendapatkan peran dalam salah satu film produksi Hollywood kalau saja kemampuan bahasa Inggrisnya sudah sempurna.
Lepas dari Pedro yang kemudian meninggal dunia di Chicago pada 1952 dan lalu berpisah dengan Acce Blue Eagle, Dewi kemudian mendapatkan pendamping baru bernama Ali Assan dan mereka pun dikaruniai seorang putri pada 16 Desember 1954 yang diberi nama Ratna Assan. Tapi pernikahan Dewi dengan Ali Assan pun tak berlangsung lama. Dewi kembali harus mengalami perceraian.
Dewi Dja yang memang sudah terkenal bersama Dardanella saat masih di tanah air diundang bersama sesama rekannya di Dardanella sehingga Dewi Dja yang meski tak tamat sekolah dasar tapi bisa duduk bersama Sutan Sjahrir dan H. Agus Salim menghadapi masyarakat terpelajar Amerika di Markas Besar PBB di New York. Oleh Bung Sjahrir, Dewi Dja diperkenalkan sebagai Duta Kebudayaan Indonesia di depan masyarakat
Amerika. Bahkan H. Agus Salim pun pernah menulis resensi mengenai pertunjukkan Dewi Dja dan rombongannya ini di surat kabar "Pemandangan."
Saat Bung Karno yang setelah Indonesia merdeka didaulat menjadi Presiden pertama Indonesia ini berkunjung ke Amerika bersama Guntur, putranya, dijemput oleh Dewi Dja. Karena itulah ketika Dewi Dja mendapat kesempatan pulang ke tanah air, ia pun diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Dalam kesempatan itu Bung Karno sempat menganjurkan Dewi Dja agar meninggalkan kewarganegaraan Amerika-nya tapi Dewi Dja meski sangat mencintai tanah air tak bisa melepaskannya karena tuntutan ekonomi. Namun walaupun begitu ia mengaku, "Di hati saya, Tanah Air saya tetap Indonesia." Dan itu benar-benar dibuktikannya. Ia terus berjuang memperkenalkan budaya Indonesia di negeri adikuasa itu.
Dalam Rose Parade di Pasadena pada tahun 1970, Dewi Dja menjadi orang Indonesia pertama yang memimpin rombongan Indonesia untuk turut dalam Rose Parade itu. Dalam berbagai kesempatan Dewi memang selalu memperkenalkan Indonesia di negeri Paman Sam itu lewat tari-tarian maupun makanan. Dewi Dja bahkan mendirikan sekolah tari di Amerika di mana muridnya kini memiliki banyak studio tari ternama di Hollywood.
Pun ketika terjadi insiden yang menyeret beberapa pemuda dan pemudi Indonesia ke pengadilan di Los Angeles, Dewi Dja tampil membela para pemuda dan pemudi Indonesia ini sehingga akhirnya kasus ini terselesaikan dan mereka pun terbebas dari ancaman penjara.
Dewi Dja meninggal di Los Angeles pada 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles.
Dewi Dja mungkin merupakan segelintir orang yang menyuarakan nasionalismenya dengan perbuatan nyata meski ia harus menggadaikan kewarganegaraan Indonesianya tapi itu sama sekali tak membuat kecintaannya pada tanah air luntur. Bahkan ia mewujudkan kecintaannya pada Indonesia dengan wujud nyata dan bukan hanya gembar gembor anak bangsa di tanah air yang menyatakan cinta tanah air tapi justru membuat negeri ini terpuruk lewat tingkah polah penggembosan kekayaan negeri ini demi kepentingan pribadi. Ia menunjukkan kecintaannya pada tanah air dengan tindakan nyata meski ia menyandang kewarganegaraan asing tapi nyatanya merah putih di dadanya jauh lebih nyata dibanding rakyat Indonesia di negerinya sendiri. Garuda di hatinya jauh lebih hidup dibanding garuda di dada kita yang lebih sering mempermalukan makna Garuda sebagai pemersatu bangsa!