Total Tayangan Halaman

Translate

Rabu, 17 Agustus 2011

Indonesiaku

Hari ini genap 66 tahun Indonesia menjadi sebuah negara merdeka. Negara yang memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan arah tujuan bagi bangsa dan rakyatnya. Enam puluh enam tahun yang lalu, nama Indonesia berkumandang ke seluruh dunia sebagai negara merdeka dan berdaulat lewat proklamasi kemerdekaan yang diserukan oleh Bung Karno didampingi Bung Hatta dan disaksikan oleh beberapa tokoh perintis kemerdekaan Indonesia.

Sebagai bagian dari negara merdeka bernama Indonesia ini tentunya nama Indonesia begitu fasih baik dalam lafal maupun pikiran kita. Tapi tahukah kita apa Indonesia itu? Sejarah perjuangan Indonesia mungkin pula begitu lekat dalam hafalan tapi bagaimana Indonesia tercipta, mungkin tak sedikit dari kita yang tak mengetahuinya.

Akupun semula sama sekali tak mengetahui sejarah nama Indonesia ini dan bagaimana nama ini menjadi sebuah identitas negara merdeka. Suatu hari di tengah kemacetan pagi yang sepertinya sudah menjadi menu sarapan sebagian besar warga Jakarta, ibukota Republik Indonesia, aku yang tak berniat merusak mood-ku dengan menggerutui kemacetan yang sudah terasa sebagai kelumrahan sebuah kota besar macam Jakarta, mencoba menikmati kemacetan dengan mengamati sekelilingku. 

Pandanganku langsung terpaku pada tulisan dengan huruf kapital berwarna merah pada stiker yang tertempel di kaca depan sebuah Colt Diesel kuning di dekat mobil yang kutumpangi. Tulisan itu sangat sederhana tapi memiliki arti yang mendalam. INDONESIAKU.

Aku tersenyum dalam hati saat membaca tulisan super nasionalis itu. Aku tak tahu apakah aku termasuk kategori orang yang kurang nasionalis karena senyum sinisku yang tersungging saat membaca tulisan itu. Dalam hatiku, tetap menyala semangat besar saat melihat, menyaksikan, atau mendengar hal-hal luarbiasa sehubungan dengan Indonesia (kecuali soal korupsinya yang juga super luar biasa) tapi sebagai sebuah bagian dari negeri ini, mungkin aku bukan satu-satunya yang miris dan sinis melihat masa depan negeri bernama Indonesia.

Namun tulisan ini terasa membekas dalam benakku, hingga iseng-iseng dan setengah skeptis aku membuka google dan mengetikkan kata Indonesia. Sebenarnya aku hanya penasaran saja, apa kira-kira yang bisa kudapatkan tentang Indonesia. 

Tapi ternyata aku malah mendapat materi yang sama sekali tak pernah kuduga. Asal muasal nama Indonesia. Sejarah yang tak pernah tercantum dalam buku-buku sejarah maupun pelajaran kenegaraan selama aku sekolah padahal sejarah lahirnya nama Indonesia amat luar biasa dan bagaimana nama ini diperjuangkan oleh para perintis kemerdekaan sebagai identitas bangsa kita, bisa jadi akan membangkitkan kembali semangat nasionalisme kita sebagai warga negara Indonesia. 

Ada pepatah, tak kenal maka tak sayang, maka tak ada salahnya di hari perayaan kemerdekaan negeri tercinta kita yang ke-66 tahun ini, kita mulai menggali kembali kecintaan kita pada negeri ini dan membangkitkan lagi semangat nasionalisme kita (yang mungkin hancur lebur berkat sikap sewenang-wenang beberapa pihak ditambah budaya tak tahu malu para politisi kita yang sama sekali jauh dari sikap negarawan sejati) dengan mengenal sejarah nama Indonesia hingga menjadi identitas sebuah negara merdeka. Identitas kita semua, bangsa Indonesia.

Nama Indonesia ternyata memiliki sejarah perjalanan yang cukup berliku, seperti sejarah bangsa ini dalam memperebutkan kemerdekaannya dari pemerintahan kolonialisme Belanda dan Jepang. 

Adalah James Richardson Logan, seorang pengacara kelahiran Berwickshire-Skotlandia, 10 April 1819 yang menciptakan nama Indonesia ini. Nama yang begitu akrab di telinga kita, rakyat Indonesia, tapi sama sekali tak kita ketahui sejarah kelahiran nama ini dan betapa berartinya nama ini bagi para pendiri negara kita dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Kemerdekaan untuk kita semua, warga negara Indonesia.

Saat berumur 20 tahun, James Richardson Logan, lulusan sekolah hukum di Edinburg ini bersama saudara kandungnya, Abraham meninggalkan negeri mereka dan tiba di Penang, Malaysia pada tahun 1840. Mereka sempat pindah ke Singapura pada 1842 tapi James memutuskan kembali ke Penang pada 1853. Ia lalu membeli dan menjadi penyunting Penang Gazette, sebuah majalah journal ilmiah sementara Abraham tetap tinggal di Singapura dan mendirikan Singapore Free Press.

Pada tahun 1849 George Samuel Windsor Earl bergabung dengan majalah journal ini. Sebenarnya pula ide dasar nama Indonesia lahir dari pemikiran Windsor Earl (1813-1865), seorang etnolog asal Inggris yang juga merupakan mentor sekaligus kolega James Logan.

George Samuel Windsor Earl juga dikenal sebagai penulis buku The Eastern Seas dimana terminologi "Eastern Seas" mengacu pada kepulauan yang sekarang bernama Indonesia, Singapura, Brunei, Filipina, dan Malaysia. Pada 1939 Earl juga pernah menulis buku yang menjadi panduan pelayaran di Laut Arafura. Observasinya atas laut dalam ini bahkan digunakan oleh Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace.

Pada tahun 1850, George Windsor Earl tengah mencari terminologi etnografis untuk menerangkan penduduk di kepulauan Hindia atau kepulauan Melayu. "... that branch of the Polynesian race inhabiting the Indian Archipelago" atau "the brown race of the Indian Archipelago." 

Ia lalu menciptakan nama "Indunesia" dan menuangkannya dalam artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian And Malay-Polynesian Nations di majalah JIAEA (Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia) volume IV.

Menurut Earl sudah saatnya bagi penduduk di kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama tersendiri karena sebutan Hindia dinilainya kurang tepat dan seringkali menimbulkan kerancuan dengan penyebutan India yang lain.

Nama Indunesia ciptaan Earl ini merupakan gabungan dua kata, "Indu" atau "Hindu" dan "Nesos" yang berasal dari bahasa Yunani, artinya "Pulau." Tapi Earl kurang sreg dengan terminologi ciptaannya ini karena ia menganggap kata "Indunesia" terlalu umum. Earl lalu menawarkan terminologi lain, "Malayunesians" yang dianggapnya lebih tepat karena penduduknya yang merupakan ras Melayu. Sementara istilah Indunesia dinilainya bisa digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa).

Logan menanggapi serius usulan koleganya ini. Ia juga menilai kepulauan ini memang harus memiliki nama yang khas karena istilah "Indian Archipelago" terlalu membingungkan. Tapi ia menilai istilah Malayunesia, usulan Earl juga kurang tepat dan lebih suka dengan nama Indunesia tapi ia mengubah sebutan itu menjadi "Indonesia". Menurut Logan istilah "Indonesian" lebih tepat dibanding kata "Malayunesians", terutama untuk pemahaman geografis dibanding secara etnologi.

Nama Indonesia pun lahir lewat tulisan Logan yang tercantum di halaman 254 pada majalah jurnal yang sama yaitu majalah JIAEA volume IV.

"Mr Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but I reject it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders."

Sejak itu pula, James Logan konsisten menggunakan nama Indonesia ini dalam tulisan-tulisannya hingga nama ini meluas ke kalangan ilmuwan etnologi dan geografi.

R. E. Elson dalam bukunya yang berjudul The Idea of Indonesia menulis bahwa James Logan adalah orang pertama yang menggunakan kata "Indonesia" untuk menerangkan kawasan ini. Logan menggunakan kata "Indonesia" atau "Indonesians" untuk menerangkan penduduk yang tinggal di kawasan ini. Dia membagi "Indonesia" dalam empat daerah, dari Sumatera hingga Formosa.

Namun nama "Indonesia" ini tak langsung populer. Terminologi ciptaan Logan ini baru terkenal saat Logan sudah tutup usia dalam usianya yang ke-50 tahun pada tanggal 20 Oktober 1869 di Penang dan dimakamkan di sana. Begitu pula dengan mentornya, George Windsor Earl yang tutup usia pada tahun 1965 dan dimakamkan di Penang.

Beberapa tahun setelah kematian Logan dan Earl, nama "Indonesia" mulai digunakan beberapa ilmuwan sosial meski nama ini masih belum terkenal luas.

R.E. Elson mencatat bahwa pada tahun 1877, E.T. Hamy, seorang antropolog Perancis menggunakan kata "Indonesians" untuk menerangkan kelompok-kelompok pra-Melayu di kepulauan ini. Pada tahun 1880 seorang antropolog Inggris A.H. Keane mengikuti jejak Hamy menggunakan istilah "Indonesia."

"Indonesia" baru mulai terkenal secara luas setelah seorang ahli etnografi terkenal dari Berlin, Jerman bernama Adolf Bastian menggunakan terminologi hasil buah pikir Logan ini. Bastian setuju dengan pendapat James Logan dan ia pun menggunakan nama "Indonesia" dalam karya klasiknya, Indonesien Oder die Inseln des Malayischen Archipel yang terdiri atas 5 jilid dan diterbitkan pada1884-1894.

Bastian yang merupakan salah satu tokoh akademisi terkemuka Eropa membuat nama Indonesia populer di kawasan itu. Bahkan ia mendorong professor-professor di Belanda untuk menggunakan terminologi ini. G.A. Wilken, professor di Universitas Leiden dan merupakan pengagum Bastian pada tahun 1885 pun menggunakan nama "Indonesia" untuk menerangkan Hindia Belanda. Selain Wilden, beberapa professor lain pun mulai mengikuti jejaknya dan turut mempopulerkan nama "Indonesia" ini termasuk H. Kern (ahli bahasa kuno), G.K. Nemann, C.M. Pleyte, Christiaan Snouck Hurgronje maupun A.C. Kruyt.

Dengan meluasnya nama "Indonesia" di Belanda, maka terminologi ciptaan Logan ini pun sampai pula ke telinga para tokoh pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang tengah dibuang ke negeri kincir angin itu. Bahkan pada awal abad 20 istilah "Indonesier" sebagai kata benda dan "Indonesich" untuk kata sifatnya, sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa politik etis, baik di Belanda maupun di negeri jajahannya, Hindia Belanda.

Sebelum nama Indonesia digunakan para pendiri negeri ini sempat muncul usulan dari Eduard Douwes Dekker (1820-1887) atau yang juga dikenal dengan nama samarannya, Multatuli, sempat mengajukan nama "Insulinde" artinya "Kepulauan Hindia". Nama ini berasal dari bahasa latin Insula yang berarti pulau, tapi nama ini kurang populer.

Puluhan tahun kemudian, cucu keponakan Multatuli, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950) atau yang juga dikenal dengan nama Dr. Setiabudi mengusulkan nama yang sama sekali tak ada unsur "India". Dia mengajukan nama "Nusantara" sebagai nama negeri ini menggantikan nama Hindia Belanda. Nama "Nusantara" ini sebenarnya bukanlah istilah baru bagi sejarah bangsa ini karena nama ini diambil Dr. Setiabudi dari kitab Pararaton yang dikenal merupakan catatan sejarah pada jaman Kerajaan Majapahit. Kitab ini ditemukan di Bali pada akhir abad 19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun istilah Nusantara pada masa Majapahit sebenarnya ditujukan bagi pulau-pulau di luar pulau Jawa mengingat istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti luar atau seberang dan menjadi lawan kata dari Jawadwipa (pulau Jawa).

Karena itu pula Dr. Setiabudi memberikan arti baru bagi istilah "Nusantara" ini yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra." Jadi dengan definisi "Nusantara" ala Dr. Setiabudi ini mencakup pula pulau Jawa di dalamnya sehingga istilah ini pun jadi sesuai secara letak geografis negara kepulauan ini.

Namun rupanya nama Indonesia yang dipopulerkan Adolf Bastian-lah yang jauh lebih populer terutama pertama kali oleh kalangan tokoh pemuda Hindia Belanda yang berada di negeri Belanda. Karena nama "Indonesia" populer lewat Bastian maka sempat pula timbul kesalahan pada masa itu yang mengira bahwa Bastian merupakan orang yang telah menciptakan nama "Indonesia" padahal bukan. Tapi memang tak bisa dipungkiri, Adolf Bastian merupakan orang yang telah membawa nama "Indonesia" terkenal. Indonesia yang pertama kali muncul dalam jurnal regional lewat tulisan Logan mendunia lewat Bastian hingga akhirnya nama inipun digunakan sebagai identitas sebuah negara merdeka.

Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Hadjar Dewantara merupakan orang pribumi pertama yang menggunakan nama "Indonesia" saat ia dibuang ke negeri Belanda pada tahun 1913. Ia dibuang ke sana karena tulisannya yang mengkritisi sikap pemerintah Hindia Belanda yang memaksa warga di negeri jajahan mereka itu memberikan sumbangan sebagai dana bagi perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis. Sikap pemerintah Hindia Belanda ini tentu saja menimbulkan reaksi keras dari kalangan nasionalis, salah satunya adalah Soewardi Soerjaningrat. Ia menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" yang artinya "Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga." Namun tulisan paling kritis Ki Hadjar yang paling terkenal hingga membuat telinga para pejabat Hindia Belanda panas adalah "Als ik eens Nederlander was" yang artinya "Seandainya Aku Seorang Belanda." Tulisannya ini dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker pada tahun 1913.

Ki Hadjar dalam tulisannya itu menulis antara lain, " Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa Inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikitpun baginya."

Karena tulisannya ini Ki Hadjar pun ditangkap dan atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg, ia diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan Ki Hadjar sendiri) tapi kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo protes hingga akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Usia Ki Hadjar saat itu baru 24 tahun.

Di Negeri Belanda, Ki Hadjar seperti tokoh-tokoh pemuda Hindia Belanda lainnya aktif dalam kelompok pergerakan demi memperjuangkan kemerdekaan di tanah air yang terhimpun dalam wadah bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) belakangan dengan populernya nama "Indonesia" ciptaan Logan di kalangan nasionalis maka nama kelompok pergerakan ini pun berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.

Saat di Negeri Belanda, Ki Hadjar Dewantara yang waktu itu masih bernama Soewardi Soerjaningrat mendirikan biro pers dengan nama Indonesische Pers-Bureau di Den Haag pada bulan Nopember 1913. Biro pers ini semula didirikan Ki Hadjar sebagai mata pencaharian pribadi karena tunjangan dari pemerintah Belanda kepada keluarga Ki Hadjar kurang memadai. Belakangan kantor berita ini pun digunakan sebagai alat propaganda dan perjuangan pergerakan kemerdekaan para tokoh muda Indonesia di negeri Belanda.

Langkah Ki Hadjar ini pun menjadi tonggak baru para tokoh Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Tiga tahun setelah Ki Hadjar mengelola kantor berita ini, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) juga menerbitkan media perjuangannya, berupa majalah bulanan bernama Hindia Poetera yang kelak berubah nama menjadi Indonesia Merdeka.

Empat tahun setelah IP, biro pers bentukan Ki Hadjar ini, lahir pula kantor berita pertama di Indonesia bernama ANETA (Algemeen Nieuwsen Telegraaf-Agentscbap atau Keagenan Umum Berita dan Telegraf) yang didirikan pada tahun 1917 oleh wartawan Belanda, Dominique W. Berretty.

Setelah Ki Hadjar Dewantara mendirikan biro pers dengan menggunakan nama "Indonesia", tokoh-tokoh pergerakan perjuangan Indonesia lainnya yang ada di negeri Belanda pun mulai menggunakan terminologi ciptaan Logan ini. Nama "Indonesia" pun mulai menjadi salah satu alat perjuangan para nasionalis muda dalam meraih kemerdekaan di tanah air.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, yang kala itu masih merupakan seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, Belanda menjadi ketua organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, Indische Vereeniging mengubah majalah mereka Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka.

Dalam tulisannya, Bung Hatta menegaskan, "Negara Indonesia merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut 'Hindia Belanda'. Juga tidak 'Hindia' saja karena dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Sementara itu di tanah air, nama Indonesia pun mulai digunakan oleh tokoh-tokoh pergerakan di dalam negeri. Dr. Soetomo mendirikan Studie Club pada tahun 1924. Kelompok-kelompok organisasi masyarakat yang semula menggunakan nama Hindia pun mulai menggantinya dengan nama Indonesia.

Puncaknya pada tanggal 28 Oktober 1928 nama Indonesia pun secara resmi ditetapkan sebagai nama negara yang akan merdeka ini dalam rapat pemuda-pemudi Indonesia yang terkenal dengan tiga keputusannya yaitu Sumpah Pemuda. Indonesia dan pergerakan perjuangannya atas penjajahan Belanda mulai memasuki babak baru. Indonesia kini telah memiliki nama sebagai salah satu dasar utama dalam pembentukan sebuah negara. Nama yang mencirikan identitas. Terbebas dari embel-embel nama negara kolonialis penjajahnya. Bahkan dalam rapat pemuda-pemudi Indonesia pada tahun 1928 itu selain penetapan nama Indonesia dinyatakan pula bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Sebuah ikatan yang akan mempersatukan gugusan pulau di negeri kepulauan ini menjadi satu kesatuan utuh dalam memperjuangkan sebuah negara merdeka.

Meski begitu, pemerintah Hindia Belanda, saat itu masih tak mengakui nama baru ini. Sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat atau DPR jaman pemerintahan kolonialis Hindia Belanda) yakni Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada pemerintah Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsche Indie", tapi tentu saja mosi ini ditolak pemerintah Belanda.

Tiga tahun kemudian, pada tanggal 8 Maret 1942, Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Nama Hindia Belanda pun tak lagi digunakan. Jepang memberikan istilah To-Indo (Hindia Timur) bagi negeri jajahan baru mereka ini. Usia pendudukan Jepang di bumi Indonesia tak berlangsung lama. Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia Kedua, kekosongan politik di tanah air digunakan oleh tokoh-tokoh pemuda dengan "memaksa" dua tokoh utama perjuangan Indonesia, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Nama Indonesia sebagai sebuah negara merdeka resmi berdiri dan lagu Indonesia Raya yang pertama kali sempat diperdengarkan dalam kongres pemuda tahun 1928 akhirnya secara resmi pula berkumandang ke seluruh dunia sebagai lagu kebangsaan negara baru bernama Republik Indonesia.

Tahun ini negeri tercinta kita ini telah memasuki usia ke-66 tahun kemerdekaannya. Usia yang mungkin masih belia bagi sebuah negara, tapi usia ini terbilang matang bagi seorang manusia secara pribadi. Usia emas seorang manusia yang telah melalui begitu banyak kisah dalam perjalanan hidupnya. Usia yang membuat seorang manusia menjadi pribadi yang kaya akan pengalaman hidup.

Sama seperti negeri ini, usia 66 tahun merupakan usia yang sudah cukup matang bagi bangsa ini untuk bisa benar-benar menikmati kemerdekaannya. Kemerdekaan yang harus direbut dengan susah payah oleh para pahlawan negeri ini tak selayaknya dihancurkan oleh segelintir pihak.

Para pendiri negeri ini telah susah payah mengumandangkan nama Indonesia ke seluruh penjuru dunia sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat bukan sebagai negara kacau balau yang diisi oleh elite politiknya yang rakus dan korup hingga membuat Indonesia terkenal menjadi salah satu negara terkorup di dunia.

Para pendiri bangsa ini rela memberikan segala yang mereka miliki bahkan nyawa mereka sekalipun demi melihat negeri dan rakyat yang mereka cintai hidup di alam merdeka. Hidup di negeri yang berdaulat penuh lepas dari tindasan kaum imperialis dan kolonialis. Dan seharusnyalah pula para elite politik masa kini kembali berkaca ke masa lalu.

Sejarah bukanlah sekadar dongeng masa lalu pengantar tidur. Sejarah bukan pula untuk dilupakan karena sejarah seharusnya menjadi cermin bagi langkah kita di masa depan. Sebenarnya pula, langkah kita masa kini merupakan sejarah bagi masa depan.

John F. Kennedy memang pernah berkata, "Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan untukmu, tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan bagi negaramu," tapi seharusnya pula negara memberikan kedamaian dan ketenangan dan keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya bagi rakyatnya. Karena tanpa rakyat, mustahil suatu negara bisa berdiri. Sama sulitnya dengan rakyat tanpa keberadaan negara.

Kurasa di antara dua ratus juta lebih penduduk negeri ini pastinya ada juga beberapa gelintir yang masih memiliki kecintaan yang murni pada negeri ini. Kecintaan yang bukan didasarkan pada materi, kedudukan, apalagi arogansi pribadi. Pada segelintir orang inilah nasib negara ini berada. Dan pada segelintir orang inilah kurasa masih ada harapan bagi berdirinya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia Raya seprti yang dicita-citakan para pahlawan dan pendiri negeri ini.

Bukankah terlalu ironis bila negeri yang kemerdekaannya diperjuangkan dengan susah payah di atas tetesan darah dan air mata para pahlawan kita justru malah hancur di tangan anak negerinya sendiri?

Dan bersama mereka inilah, orang-orang yang masih memiliki hati tulus murni demi tegaknya Indonesia Merdeka seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa kita ini, aku ingin dengan bangganya menyebut negeri ini sebagai Indonesiaku. Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Indonesia yang bebas dari intrik-intrik politik kotor nan menjijikan. Indonesia yang bebas korupsi. Indonesia yang mampu mensejahterakan rakyatnya dan bukan para elite dan kelompoknya saja. Indonesia yang cerdas dan cermat dalam mengelola dan menjaga alamnya yang berlimpah. Indonesia yang mampu berdiri setara dengan bangsa-bangsa besar lainnya di dunia seperti impian para pendiri negeri ini. Indonesia yang sejahtera. Indonesia yang bisa menjadi kebanggaan setiap anak negerinya sehingga tanpa rasa malu bisa menyebut tanah airnya dengan penuh kebanggaan. Indonesiaku. Indonesiamu. Indonesia Raya. Dan semoga semua ini bukanlah mimpi di siang bolong.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Halo Mbak, sorry lama gak bisa berkunjung. Btw kukira nama Indonesia itu bikinan Belanda karena negara kita dulu kan sebutannya Hindia Belanda... Wah, ok google keren ya tahu semua hal :p