Thomas Stearns Eliot atau T.S. Eliot merupakan tokoh kesusastraan dunia
asal Amerika namun kemudian ia hijrah dan menjadi warga negara Inggris.
Ia membawa tingkatan baru dalam dunia puisi. Salah satu puisi
terbaiknya, Four Quartets mengantarkannya sebagai peraih hadiah Nobel
bidang sastra pada tahun 1948. Di tahun yang sama ia juga mendapat gelar
kehormatan, Order of Merit yang dianugrahkan langsung oleh Raja George
VI dari Kerajaan Inggris Raya.
Selain menulis puisi, Eliot juga piawai menulis naskah drama. Salah satu naskah dramanya, The Cocktail Party mendapat penghargaan Tony Award pada 1950.
Puisi-puisi Eliot terbilang sebagai puisi yang sulit namun memiliki makna yang dalam. Bahkan puisi-puisinya menjadi bahan perdebatan hingga kini.
Kehidupan pribadi Eliot sendiri bisa dibilang serumit puisi-puisinya. Ia terlahir dari pasangan imigran Inggris di Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di Amerika Serikat tapi rupanya dalam hatinya tetap melekat rasa cinta pada tanah leluhurnya.
Ia menempuh pendidikan di beberapa universitas ternama dunia. Harvard, Sorbonne, dan Merton College, Oxford merupakan universitas-universitas tempat ia menyelesaikan pendidikannya di bidang filosofi.
Rasa cintanya pada Inggris membuatnya memilih untuk menetap di tanah leluhurnya ini dimulai saat ia kuliah di Merton College, Oxford tapi ia tak menyukai kehidupannya di Oxford.
Ia jatuh cinta pada wanita Inggris yang membuatnya makin mantap memilih Inggris sebagai negara barunya tapi sedihnya pernikahannya tidak bahagia. Istrinya selingkuh, ia lalu meninggalkan istrinya dan kembali ke Amerika tapi ia akhirnya kembali ke Inggris. Ia dan istrinya tak pernah bercerai meski mereka hidup terpisah. Setelah istrinya meninggal, ia menikah lagi dengan bekas sekretarisnya yang berumur 30 tahun sementara usianya sendiri saat itu sudah 68 tahun. Tapi pernikahannya kali ini lebih baik dari yang pertama meski ia tak memiliki anak dari dua pernikahannya tersebut.
Sementara perjalanan karirnya pun terbilang unik. Ia memang seorang penulis puisi berbakat. Piawai pula dalam menulis naskah drama. Ia juga pernah menjadi direktur sebuah perusahaan penerbitan. Dalam catatan karirnya ia pernah menjadi kepala sekolah dan bahkan pernah pula menjadi pegawai bank.
Kejeniusan Eliot dalam merangkai kata bukan sekadar bentuk kecintaannya pada bahasa, tapi ia mampu menantang nalar dan alam pikirnya membentuk sebuah karya yang penuh kompleksitas bahasa.
1. Masa Kecil dan Pendidikan
Thomas Stearns Eliot lahir pada 26 September 1888 di St. Louis, Missouri. Ia berasal dari keluarga kelas menengah asal New England tapi kemudian pindah ke St. Louis, Missouri. Ayah Eliot, Henry Ware Eliot (1843-1929) adalah seorang pengusaha sukses di St. Louis sedangkan ibunya, Charlotte Champe Stearns (1843-1929) merupakan seorang penulis puisi dan pekerja sosial, yang pada awal abad 20 merupakan sebuah profesi baru. Saat melahirkan Thomas Eliot, kedua orang tuanya sudah berusia 44 tahun dan Eliot merupakan anak terakhir mereka dari enam anak mereka yang berhasil tetap hidup. Itu sebabnya jarak usia Thomas Eliot dengan kakak-kakaknya terpaut jauh. Ia memiliki empat orang kakak perempuan yang usianya dengan mereka terpaut antara sebelas dan sembilan belas tahun. Sementara satu-satunya kakak lelakinya delapan tahun lebih tua darinya. Keluarga dan teman-temannya kerap memanggilnya dengan nama Tom. Namanya diambil dari nama kakeknya dari pihak ibu, Thomas Stearns.
Ada dua faktor yang diperkirakan mempengaruhinya dalam dunia kesusastraan. Faktor yang pertama adalah kondisi fisik Eliot yang terbilang lemah. Ia menderita penyakit hernia yang membuatnya tak bisa melakukan aktifitas fisik sehingga membuatnya terasing secara sosial dari teman-teman sebayanya. Kondisi keterasingannya inilah yang menumbuhkan kecintaannya pada dunia kesusastraan. Kabarnya begitu ia mulai belajar membaca, ia langsung terobsesi dengan buku dan terpesona oleh kisah-kisah fiksi seperti The Wild West atau cerita legendaris Tom Sawyer karya Mark Twain yang terkenal itu. Dalam memoar T.S. Eliot, seorang teman Eliot, Robert Sencourt mengatakan bahwa Eliot muda "kerap duduk melingkar di tepi jendela sambil membaca buku memberinya impian yang bagaikan obat baginya melawan rasa sakit terhadap hidupnya."
Faktor kedua Eliot menyebut kota tempatnya lahir dan tumbuh besar sangat berperan dalam memberika visi bagi karir kepenulisannya. "Pengaruh St. Louis bagiku lebih dalam dibanding lingkungan manapun yang pernah kutinggali. Bagiku pasti ada pengalaman berbeda yang dialami seorang anak yang tinggal di dekat sungai besar dengan yang tidak. Aku sendiri menyadari betapa beruntungnya aku lahir di sini dan bukannya di Boston, New York atau London," demikian ungkapan Eliot. Dari sini bisa terlihat betapa masa kecil Eliot memainkan peranan dalam karir kesusastraan Eliot dan kedua faktor tersebut, kondisi tubuhnya saat kecil juga lokasi tempatnya tumbuh besar sangat mempengaruhinya.
Pada tahun 1898 hingga 1905 Eliot masuk Smith Academy, di sini ia belajar berbagai bahasa di antaranya Latin, Yunani Kuno, Perancis, dan Jerman. Ia mulai menulis puisi saat berumur empat belas tahun di bawah pengaruh Rubaiyat of Omar Khayyam karya Edward Fitzgerald, sebuah terjemahan atas puisi karya Omar. Khayyam. Namun Eliot kemudian merasa puisi-puisinya itu terlalu menyedihkan sehingga ia menghancurkan puisi-puisinya tersebut.
Tahun 1905 agaknya merupakan awal dari sejarah karir menulisnya. Di tahun ini puisi-puisi dan cerita pendek karyanya mulai dipublikasikan. Puisi pertamanya yang dipublikasikan adalah "A Fable For Feasters" oleh Smith Academy Record pada Februari 1905. Puisi ini ditulisnya sebagai tugas sekolah. Puisinya yang paling tua yang masih berupa manuskrip dan tak memiliki judul kembali dipublikasikan oleh Smith Academy Record pada April 1905 tapi kemudian puisi ini direvisi dan diberi judul "Song" diterbitkan ulang di The Harvard Advocate, majalah mahasiswa Universitas Harvard. Selain puisi ada pula tiga cerita pendeknya yang dipublikasikan pada tahun 1905 yaitu: "Birds of Prey", "A Tale of a Whale", dan "The Man Who Was King". Yang disebut terakhir itu merupakan hasil eksplorasinya terhadap Kampung Igorot saat mengunjungi World's Fair of St. Louis tahun 1904.
Setelah lulus Eliot masuk Milton Academy di Massachusetts dan di sini ia bertemu Scofield Thayer yang di kemudian hari menerbitkan salah satu puisi terkenalnya, The Waste Land. Thayer pula yang di kemudian hari memperkenalkan Eliot dengan Vivienne Haigh-Wood yang kelak menjadi istri pertama Eliot.
Usai itu Eliot belajar filosofi di Harvard College dari tahun 1906-1909 dan mendapatkan gelar sarjananya hanya dalam waktu tiga tahun padahal umumnya membutuhkan waktu empat tahun.
Harvard memiliki banyak peranan dalam sejarah kehidupan Eliot. Walau ia sempat melanglang buana mendalami ilmu filosofi tapi berkali-kali ia kembali ke Harvard baik sebagai mahasiswa atau sebagai pengajar. Saat ia sudah menjadi warga negara Inggris pun ia sempat mendapat panggilan dan kembali ke Harvard sebagai pengajar. Beberapa puisinya juga sempat dipublikasikan dalam The Harvard Advocate.
Ia sempat menjadi asisten filosofi di Harvard selama setahun yaitu pada 1909-1910. Usai itu ia pergi ke Paris dan belajar filosofi di Sorbonne dari 1910-1911. Di sini ia mendapat kuliah dari Henry Bergson dan ia membaca puisi bersama Alain-Fournier.
Setelah setahun di Sorbonne, Eliot kembali ke Harvard pada 1911 untuk mempelajari filosofi India dan Sansekerta selama tiga tahun sejak 1911 sampai 1914.
Pada 1914 Eliot mendapat beasiswa di Merton College, Oxford. Ia sempat mengunjungi Margburg, Jerman dan berencana mengambil program musim panas tapi niatnya batal karena terjadi Perang Dunia Pertama sehingga ia kembali ke Oxford. Pada masa itu banyak mahasiswa Amerika yang kuliah di Oxford.
Eliot tak terlalu menyukai kehidupannya di Oxford, hal ini diungkapkannya dalam suratnya kepada Conrad Aiken, novelis Amerika yang dikenalnya saat kuliah di Harvard.
Setelah meninggalkan Oxford, Eliot lebih banyak menghabiskan waktunya di London. Di sinilah Eliot berkenalan dengan Ezra Pound yang membantu Eliot pada masa awal karirnya dengan mempromosikan Eliot di acara-acara sosial dan pertemuan sastra.
Eliot sangat menikmati kehidupannya di London dan selama berada di Inggris, Eliot sebisa mungkin menghindari Oxford.
2. Pernikahan dan Kewarganegaraan Inggris
Eliot akhirnya meninggalkan Merton dan pada tahun 1915 ia mengajar sastra di Birkbeck, Universitas London.
Pada April 1915 Eliot berkenalan dengan seorang guru privat wanita bernama Viviene Haigh-Wood. Tak lama dari perkenalan ini, mereka melangsungkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil Hampstead pada 26 Juni 1915.
Pasangan pengantin baru ini tinggal di flat seorang filosofer bernama Bertrand Russell. Muncul rumor bahwa Russel tertarik pada Vivienne dan mereka terlibat affair tapi kebenaran dari berita ini tak pernah diketahui.
Pernikahan Eliot dan Vivienne ternyata tak bahagia salah satunya adalah karena masalah kesehatan Vivienne. Dalam suratnya kepada Ezra Pound, Vivienne memberitahu beberapa gejala penyakitnya antara lain: temperaturnya tinggi, kelelahan, insomnia, dan migrain. Hubungan mereka makin renggang terlebih Vivienne kerap dikirim jauh oleh Eliot dan dokternya dengan harapan kesehatannya akan membaik, dan selama itu Eliot makin menjauh dari istrinya. Hubungan mereka ini menjadi dasar dari drama tahun 1984 berjudul Tom and Viv dan pada 1994 drama ini diangkat menjadi sebuah film.
Pada 1916 Eliot menyelesaikan disertasi doktoralnya, Knowledge and Experience in the Philosophy of F.H. Bradley, di Harvard tapi sayangnya disertasinya gagal mendapat hasil yang mengesankan. Eliot pergi ke Amerika Serikat seorang diri tanpa membawa Vivenne, dan setelah kunjungan singkatnya ke Amerika sekaligus menjenguk keluarganya, Eliot kembali ke London dan mengajar di Birkbeck College, Universitas London.
Pernikahannya yang tak bahagia ini lalu mendasari puisi Eliot yang kemudian sangat terkenal berjudul The Waste Land. Hal ini diungkapkan Eliot saat berumur enam puluhan. Ia mengatakan, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mencintai Vivienne karena ia berharap dengan begitu ia jadi memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan di Inggris. Dan ternyata Vivienne atas pengaruh Ezra Pound juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa demi puisi ia akan membuat Eliot tetap tinggal di Inggris. Tapi nyatanya pernikahan itu tak memberikan kebahagiaan bagi keduanya. "Bagi Vivienne, pernikahan ini tidak memberikan kebahagiaan. Bagiku, pernikahan ini membawa kebuntuan pikiran yang akhirnya melatarbelakngi munculnya The Waste Land", demikian asumsi Eliot atas pernikahannya.
Meski pernikahannya tak memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkannya tapi rupanya hal itu tak mengikis kecintaannya pada Inggris. Pada 29 Juni 1927 Eliot menjadi penganut Anglikan, agama resmi di Inggris dan pada November 1927 ia mendapatkan kewarganegaraan Inggris. Namun secara spesifik ia mengidentifikasikan agamanya sebagai Anglo-Catholic. Sekitar tiga puluh tahun lamanya Eliot mengomentarii pandangan agama yang dianutnya adalah perpaduan antara Katolik secara pola pikir dengan warisan nilai-nilai Calvinist dan temperamen seorang Puritan.
Peter Ackroyd, salah seorang penulis biografi Eliot berpendapat ada dua alasan yang melatari keputusan Eliot berpindah agama. Pertama: Gereja Inggris menawarkan harapan bagi Eliot dan menurut Ackroyd, Eliot memang membutuhkan tempat yang bisa menentramkannya. Alasan kedua adalah karena Anglikan bisa membantu Eliot lebih memahami komunitas dan kebudayaan Inggris.
Sementara itu pernikahan Eliot makin memburuk. Ketika Harvard menawarinya beasiswa profesor Charles Eliot Norton untuk menjadi untuk tahun ajaran 1932-1933, Eliot langsung menerimanya dan meninggalkan Vivienne di Inggris. Setelah kembali ke Inggris, Eliot mengatur perpisahannya dengan Vivienne secara resmi. Meski begitu mereka tidak pernah bercerai. Eliot berusaha menghindari setiap pertemuan dengan Vivienne. Sementara pada 1938 Vivienne dirawat di rumah sakit jiwa Northumberland House, Stoke Newington dan ia tetap berada di sana hingga akhir hayatnya. Eliot sendiri, walau masih merupakan suaminya secara sah tapi tak pernah mengunjunginya. Sepanjang masa itu hanya dua kali Eliot menemui Vivienne yaitu pada 1932 saat ia akan pergi ke Amerika Serikat dan tahun 1947 pada saat kematian Vivienne. Saat itu kabarnya sepanjang 1930-1957 Eliot menjalin hubungan dengan Mary Trevelyan dari Universitas London dan Mary sangat ingin menikah dengan Eliot tapi tak
pernah terjadi.
Pernikahan kedua Eliot terjadi pada 10 Januari 1957. Saat itu Eliot yang sudah berumur 68 tahun menikahi Esme Valerie Fletcher yang baru berusia 30 tahun. Meski rentang usia keduanya ini sangat jauh tapi rupanya pernikahan keduanya ini lebih memberinya kebahagian dibanding pernikahan pertamanya karena tak seperti saat menikahi Vivienne, kali ini Eliot sangat mengenal Fletcher yang rupanya tak lain adalah sekretarisnya di Faber and Faber sejak Agustus 1949. Upacara pernikahan mereka berlangsung di gereja pukul 6.15 pagi, waktu yang sangat tak umum dan terlalu pagi untuk upacara pemberkatan pernikahan, dan rupanya mereka memang sengaja ingin merahasiakan pernikahan mereka dengan tak ada yang menghadiri pernikahan mereka inii kecuali orangtua pengantin wanita saja.
3. Kematian dan Karya-karya Monumental
Menjelang akhir hidupnya, pada awal 1960-an kesehatan Eliot mulai memburuk, meski begitu ia tetap bekerja sebagai editor di Wesleyan University Press dan mencari puisi-puisi baru di Eropa untuk diterbitkan.
Pada 4 Januari 1965 Eliot menghembuskan nafas terakhirnya. Selama beberapa tahun, Eliot memang mengalami masalah kesehatan yang disebabkan oleh kebiasaannya merokok. Eliot memang dikenal sebagai perokok berat dan kerap kali harus dirawat karena menderita bronkhitis sebelum akhirnya ia menderita emphysema atau pembengkakan pada paru-parunya.
Jazad Eliot dikremasi di Krematorium Golders Green dan sesuai permintaannya sebelum wafat, abunya disimpan di Gereja St. Michael di East Coker yang merupakan kampung halaman leluhurnya sebelum hijrah ke Amerika.
Sebuah piagam untuk memperingatinya dan tercantum kutipan dari puisinya berjudul "East Coker" yang berbunyi: "In my beginning is my end. In my end is my beginning."
Pada 1967, dua tahun peringatan kematiannya, Eliot mendapat penghormatan dengan pemasangan sebuah batu besar pada ubin di Poets' Corner (Pojok Puisi) di Westminster Abbey, London. Batu tersebut dipotong oleh desainer keramik Reynolds Stone yang di atasnya terpahat tanggal lahirnya juga gelar kehormatan, Order of Merit yang dianugrahkan Raja George VI pada 1948. Tertera pula kutipan dari puisinya "Little Gidding" yang berbunyi: "the communication / of the dead is tongued with fire beyond / the language of the living."
Selain itu di kota kelahirannya pun Eliot mendapat apresiasi besar dan ia termasuk dalam jajaran bintang di St. Louis Walk of Fame.
Nama Eliot juga diabadikan sebagai nama di Universitas Kent di Inggris, Eliot College.
Setelah kematian Eliot, istri keduanya, Valerie mendedikasikan waktunya untuk melestarikan hasil karya Eliot. Ia mengedit dan memberikan keterangan/catatan pada The Letters of T. S. Eliot dan sebuah faksimile draft puisi Eliot, The Waste Land.
Dari dua kali pernikahannya, Eliot tidak dikaruniai anak. Valerie Eliot meninggal dunia pada 9 November 2012 di rumahnya di London.
Pada 1946 sampai 1957 sebelum menikahi Valerie, Eliot pernah tinggal satu flat dengan temannya, John Davy Hayward. Dia-lah yang mengupulkan dan merapikan naskah-naskah Eliot dan ia mentahbiskan dirinya sebagai "Penjaga arsip Eliot". Selain itu Hayward juga menyimpan versi awal puisi Eliot, Prufrock. Setelah kematian Eliot, ia mempublikasikan karya Eliot dengan judul: Poems Written in Early Youth (Puisi-puisi yang Ditulis di Masa Muda). Meskipun pada 1957 Eliot dan Hayward tak lagi tinggal bersama tapi Hayward tetap menyimpan karya-karya Eliot tersebut yang kemudian diwariskannya kepada King's College, Cambridge pada 1965.
Untuk ukuran penyair besar, puisi-puisi Eliot tidak terlalu banyak dan ternyata hal ini sangat disadarinya pada awal karirnya. Ia pernah menulis untuk J.H. Woods, salah satu profesornya di Harvard, "Reputasiku di London dibangun di atas sebuah syair dalam edisi kecil dan secara berkesinambungan menerbitkan dua atau tiga puisi lain dalam setahun. Masalahnya, puisi-puisi itu haruslah sempurna sehingga akan tetap abadi."
Puisi-puisi Eliot bisa dibilang merupakan perkembangan jiwanya. Dimulai dari Prufrock (1917) hingga Four Quartets (1943) merefleksikan perkembangan nilai Kristiani sang penulis. Sementara The Waste Land (1922) yang bisa dibilang termasuk karya-karya awalnya secara esensi bisa dibilang berjiwa negatif yang mana puisi tersebut mengekspresikan kengerian (horor) yang berasal dari pencarian sang penulis menuju dunia yang lebih tinggi dan bercahaya. Dalam Ash Wednesday (1930) dan The Four Quartets, dunia yang lebih tinggi itu menjadi lebih jelas. Walaupun Eliot tak bermaksud menulis puisi religius tapi nyatanya kerap kali tulisannya memang tak lepas dari kisah religius seperti drama-dramanya antara lain Murder in the Cathedral (1935) dan The Family Reunion (1939).
- The Love Song of J. Alfred Prufrock
Prufrock merupakan kumpulan puisi pertama Eliot yang diterbitkan pada 1917.
Pada 1915, Ezra Pound yang sangat membantu Eliot di awal karirnya dengan memperkenalkannya ke mana-mana, saat ia menjadi editor majalah Poetry (Puisi) merekomendasikan naskah Eliot pada Harriet Monroe, sang pendiri majalah tersebut. Eliot menulis sebagian besar puisi dalam kumpulan puisinya ini saat berumur dua puluh dua tahun. Puisinya ini sangat mengejutkan karena masa itu yang tengah populer dan dipuja adalah Georgian Poetry (Puisi gaya Georgia) yang berasal dari Romantic Poets (Puisi-puisi Romantis) di abad sembilan belas.
- The Waste Land
The Waste Land diterbitkan pada Oktober 1922, Eliot mendedikasikannya untuk il miglior fabbro ("seniman yang lebih baik) mengacu pada Ezra Pound, kawannya yang telah mengedit dan memperjelas isi dari puisi Eliot yang aslinya lebih panjang disederhanakan menjadi lebih pendek seperti yang terlihat dalam terbitannya yang beredar.
The Waste Land ditulis di masa-masa sulit pernikahan Eliot dengan Vivienne. Baik Eliot dan Vivienne sama-sama mengalami gangguan kecemasan. Puisi ini juga kerap dianggap sebagai representasi kekecewaan generasi pasca-perang. Sebelum puisi ini diterbitkan dalam bentuk kumpulan pusi pada Desember 1922, Eliot tengah berusaha keluar dari keputusasaan sebagaimana yang diungkapkannya dalam suratnya untuk Richard Aldington pada 15 November 1922, "Sebagaimana The Waste Land, masa lalu terlalu jauh untuk kupikirkan dan kini aku merasa tengah menuju ke gaya dan bentuk yang baru."
The Waste Land memberikan sentuhan dalam kesusastraan modern. Kebetulan pula di tahun yang sama novel brilian 'Ulysses' karya James Joyce yang tak lain juga merupakan kawan Eliot, diterbitkan.
Ada beberapa kalimat dalam The Waste Land yang amat terkenal di antaranya: "April is the cruellest month"; "I will show you fear in a handful of dust"; dan "Shantih Shantih Shantih", yang diambilnya dari bahasa Sansekerta sebagai penutup puisinya.
- The Hollow Men
The Hollow Men muncul pertama kali pada 1925. Kritikus Edmund Wilson menganggapnya sebagai "Titik nadir dari fase keputusaan dan kesepian yang sama ekspresifnya seperti The Waste Land".
Bait yang populer dari The Hollow Men adalah:
This is the way the world ends
Not with a bang but a whimper.
- Ash Wednesday
Ash Wednesday merupakan puisi panjang pertama yang ditulis Eliot setelah memeluk agama Anglikan pada 1927. Ash Wednesday dipublikasikan pada 1930 setelah melalui beberapa kesulitan sebelum akhirnya mencapai kesepakatan. Ash Wednesday merupakan puisi dengan nuansa rohani dan aspirasi spiritual Eliot setelah ia menganut agama Anglikan.
Ash Wednesday banyak mendapat pujian dari kritikus seni bahkan menurut Edwin Muir, Ash Wednesday merupakan puisi "yang paling sempurna." Meski mendapat banyak pujian tapi tak sedikit pula yang tak menerima dengan baik puisi Eliot ini.
- Old Possum's Book of Practical Cats
Terbit pertama kali pada 1939. Di edisi pertama ini ada ilustrasi sang penulisnya di sampulnya. "Old Possum" merupakan nama julukan yang diberikan Ezra Pound untuk Eliot.
Pada 1954 komposer Alan Rawsthorne membuat sebuah karya orkestra berjudul Practical Cats yang diantaranya mengambil enam puisi dalam kumpulan puisi ini. Setelah kematian Eliot buku ini diadaptasi menjadi sebuah pertunjukan musikal oleh Andrew Lloyd Webber dengan judul Cats. Drama musikal tersebut pertama kali ditampilkan di London's West End pada 1981 dan setahun kemudian ditampilkan dalam panggung Broadway.
- Four Quartets
Four Quartets terdiri dari empat puisi panjang yang sebelumnya diterbitkan secara terpisah. Burnt Norton (1936); East Coker (1940); The Dry Salvages (1941); dan Little Gidding (1942). Tiap puisi terdiri atas lima bagian. Setiap puisi merupakan meditasi atas alam dan masa dalam sudut pandang secara -teologis, historis, dan fisik- dan semua ini berhubungan dengan kondisi umat manusia. Keempat puisi ini merupakan representasi dari empat unsur utama kehidupan: udara, tanah/bumi (earth), air, dan api.
Burnt Norton merupakan puisi meditasi yang diawali dengan seorang narator mencoba untuk memfokuskan diri pada kekinian sementara alam meditasi membawanya melangkah menyusuri taman sambil memfokuskan diri pada gambaran dan suara-suara seperti burung, mawar, awan, dan kolam yang kosong. Meditasi itu lalu memimpin si narator untuk mencapai "titik" dimana ia akan mengalami suatu "anugrah". Di sesi akhir, sang narator mengkontemplasi seni ("kata-kata" dan "musik").
Simak beberapa kalimat dalam puisi ini yang diucapkan sang narator yang membawa pada sebuah perenungan:
"Words strain, / Crack and sometimes break, under the burden (of time), under the tension, slip, slide, perish, decay with imprecision, will not stay in place, / Will not stay still".
Dan kalimat konklusi sang narator:
"Love is itself unmoving, / Only the cause and end of movement, / Timeless, and undesiring."
East Cooker melanjutkan penjelasan akan makna dari waktu. Simak kalimat mengesankan dalam puisi ini, solusi dari Eliot untuk keluar dari kegelapan:
"I said to my soul, be still, and wait without hope."
The Dry Salvages merupakan elemen dari air melalui gambaran sungai dan laut. Dalam puisi ini terdapat kalimat kontradiktif : "The past and future / Are conquered, and reconciled."
Little Gidding, element dari api merupakan yang paling antologis dari keempat puisi dalam Quartets ini. Dalam puisi ini Eliot berimajinasi bertemu Dante saat pengeboman Jerman. Dengan kalimat permulaan dalam Quartets : "Houses / Are removed, destroyed" menjadi pengalaman penuh kekerasan yang dihadapi setiap hari namun dalam puisi ini untuk pertama kalinya Eliot membicarakan Cinta sebagai kekuatan di balik setiap pengalaman. Dan Quartets pun diakhiri dengan sebuah kalimat penegasan dari Julian of Norwich: "All shall be well and / All manner of thing shall be well."
Four Quartets tak bisa dipahami tanpa pengenalan akan pemikiran, tradisi, dan sejarah Kristen. Eliot menggabungkan teologi, seni, simbolisasi dan bahasa pada tokoh-tokoh seperti Dante, Yohanes dari Salib, dan Julian dari Norwich. "Persekutuan lebih dalam" tampil di East Coker, "hints and whispers of children, the sickness that must grow worse in order to find healing."
Four Quartets bisa dibilang merupakan puisi terbaik Eliot dan Eliot sendiri yang menyatakan bahwa Four Quartet merupakan mahakarya-nya. Four Quartets pula yang telah mengantarkannya meraih Nobel untuk Sastra yang diterimanya di Stockholm pada 1948. Dengan ini Eliot dianggap sebagai pionir yang telah membentuk dunia puisi modern di masa sekarang ini.
Selain puisi ada pula beberapa naskah drama karya Eliot yang monumental dan mendapat perhatian kritikus. Eliot memang dikenal sebagai pengritik sekaligus penggemar penulis-penulis drama era Elizabethan dan Jacobean. Dalam The Waste Land ia bahkan menyindir beberapa tokoh drama terkenal seperti Webster, Thomas Middleton, William Shakespeare, dan Thomas Kyd.
Pengalihan kreatifitas kata Eliot dari puisi menuju drama telah diungkapkan Eliot setelah diterbitkannya The Waste Land pada 1922. Ia menyatakan bahwa ia ingin melangkah ke "bentuk dan gaya yang baru."
Pada 1934 drama karya Eliot "The Rock" ditampilkan untuk kepentingan gereja di Keuskupan London. George Bell, Uskup Chichester turut membantu dengan memperkenalkan Eliot pada E. Martin Browne yang kemudian memproduksi The Rock, setelah itu Eliot menulis naskah drama lain untuk Canterbury Festival pada 1935. Naskah inilah yang merupakan salah satu naskah drama Eliot yang fenomenal, "Murder in the Cathedral - Pembunuhan di Katedral" yang berkisah mengenai kematian seorang martir, Thomas Becket.
Peter Ackroyd, penulis biografi Eliot mengatakan, "bagi Eliot Murder in the Cathedral dan kesuksesan di panggung drama menawarkan keuntungan ganda; ia bisa mempraktekan kemampuannya menulis puisi sekaligus memberinya kenyamanan untuk jiwa religius-nya."
Beberapa karya drama terkenal Eliot lainnya adalah: The Family Reunion (1939) yang juga merupakan drama bernuansa rohani, The Cocktail Party (1949) yang mendapat penghargaan Tony Awards pada 1950, The Confidential Clerk (1953), dan The Elder. Statesman (1958).
Mengenai metodenya dalam menulis naskah, Eliot menjelaskan, "Jika aku sudah siap untuk menulis, aku akan mulai dengan memilih kejadiannya. Aku mengatur situasi emosinya, dengan begitu maka karakter-karakter dan plotnya akan muncul. Setelah itu baris-baris puisi pun bisa tampil, bukan murni berasal dari dorongan hati melainkan dari alam bawah sadar yang terstimulasi."
Karya-karya Eliot memang tak terlalu banyak tapi justru karya-karyanya yang tak terlampau banyak itu justru mengantarkannya pada keabadian dalam kesempurnaan kata.
Selain menulis puisi, Eliot juga piawai menulis naskah drama. Salah satu naskah dramanya, The Cocktail Party mendapat penghargaan Tony Award pada 1950.
Puisi-puisi Eliot terbilang sebagai puisi yang sulit namun memiliki makna yang dalam. Bahkan puisi-puisinya menjadi bahan perdebatan hingga kini.
Kehidupan pribadi Eliot sendiri bisa dibilang serumit puisi-puisinya. Ia terlahir dari pasangan imigran Inggris di Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di Amerika Serikat tapi rupanya dalam hatinya tetap melekat rasa cinta pada tanah leluhurnya.
Ia menempuh pendidikan di beberapa universitas ternama dunia. Harvard, Sorbonne, dan Merton College, Oxford merupakan universitas-universitas tempat ia menyelesaikan pendidikannya di bidang filosofi.
Rasa cintanya pada Inggris membuatnya memilih untuk menetap di tanah leluhurnya ini dimulai saat ia kuliah di Merton College, Oxford tapi ia tak menyukai kehidupannya di Oxford.
Ia jatuh cinta pada wanita Inggris yang membuatnya makin mantap memilih Inggris sebagai negara barunya tapi sedihnya pernikahannya tidak bahagia. Istrinya selingkuh, ia lalu meninggalkan istrinya dan kembali ke Amerika tapi ia akhirnya kembali ke Inggris. Ia dan istrinya tak pernah bercerai meski mereka hidup terpisah. Setelah istrinya meninggal, ia menikah lagi dengan bekas sekretarisnya yang berumur 30 tahun sementara usianya sendiri saat itu sudah 68 tahun. Tapi pernikahannya kali ini lebih baik dari yang pertama meski ia tak memiliki anak dari dua pernikahannya tersebut.
Sementara perjalanan karirnya pun terbilang unik. Ia memang seorang penulis puisi berbakat. Piawai pula dalam menulis naskah drama. Ia juga pernah menjadi direktur sebuah perusahaan penerbitan. Dalam catatan karirnya ia pernah menjadi kepala sekolah dan bahkan pernah pula menjadi pegawai bank.
Kejeniusan Eliot dalam merangkai kata bukan sekadar bentuk kecintaannya pada bahasa, tapi ia mampu menantang nalar dan alam pikirnya membentuk sebuah karya yang penuh kompleksitas bahasa.
1. Masa Kecil dan Pendidikan
Thomas Stearns Eliot lahir pada 26 September 1888 di St. Louis, Missouri. Ia berasal dari keluarga kelas menengah asal New England tapi kemudian pindah ke St. Louis, Missouri. Ayah Eliot, Henry Ware Eliot (1843-1929) adalah seorang pengusaha sukses di St. Louis sedangkan ibunya, Charlotte Champe Stearns (1843-1929) merupakan seorang penulis puisi dan pekerja sosial, yang pada awal abad 20 merupakan sebuah profesi baru. Saat melahirkan Thomas Eliot, kedua orang tuanya sudah berusia 44 tahun dan Eliot merupakan anak terakhir mereka dari enam anak mereka yang berhasil tetap hidup. Itu sebabnya jarak usia Thomas Eliot dengan kakak-kakaknya terpaut jauh. Ia memiliki empat orang kakak perempuan yang usianya dengan mereka terpaut antara sebelas dan sembilan belas tahun. Sementara satu-satunya kakak lelakinya delapan tahun lebih tua darinya. Keluarga dan teman-temannya kerap memanggilnya dengan nama Tom. Namanya diambil dari nama kakeknya dari pihak ibu, Thomas Stearns.
Ada dua faktor yang diperkirakan mempengaruhinya dalam dunia kesusastraan. Faktor yang pertama adalah kondisi fisik Eliot yang terbilang lemah. Ia menderita penyakit hernia yang membuatnya tak bisa melakukan aktifitas fisik sehingga membuatnya terasing secara sosial dari teman-teman sebayanya. Kondisi keterasingannya inilah yang menumbuhkan kecintaannya pada dunia kesusastraan. Kabarnya begitu ia mulai belajar membaca, ia langsung terobsesi dengan buku dan terpesona oleh kisah-kisah fiksi seperti The Wild West atau cerita legendaris Tom Sawyer karya Mark Twain yang terkenal itu. Dalam memoar T.S. Eliot, seorang teman Eliot, Robert Sencourt mengatakan bahwa Eliot muda "kerap duduk melingkar di tepi jendela sambil membaca buku memberinya impian yang bagaikan obat baginya melawan rasa sakit terhadap hidupnya."
Faktor kedua Eliot menyebut kota tempatnya lahir dan tumbuh besar sangat berperan dalam memberika visi bagi karir kepenulisannya. "Pengaruh St. Louis bagiku lebih dalam dibanding lingkungan manapun yang pernah kutinggali. Bagiku pasti ada pengalaman berbeda yang dialami seorang anak yang tinggal di dekat sungai besar dengan yang tidak. Aku sendiri menyadari betapa beruntungnya aku lahir di sini dan bukannya di Boston, New York atau London," demikian ungkapan Eliot. Dari sini bisa terlihat betapa masa kecil Eliot memainkan peranan dalam karir kesusastraan Eliot dan kedua faktor tersebut, kondisi tubuhnya saat kecil juga lokasi tempatnya tumbuh besar sangat mempengaruhinya.
Pada tahun 1898 hingga 1905 Eliot masuk Smith Academy, di sini ia belajar berbagai bahasa di antaranya Latin, Yunani Kuno, Perancis, dan Jerman. Ia mulai menulis puisi saat berumur empat belas tahun di bawah pengaruh Rubaiyat of Omar Khayyam karya Edward Fitzgerald, sebuah terjemahan atas puisi karya Omar. Khayyam. Namun Eliot kemudian merasa puisi-puisinya itu terlalu menyedihkan sehingga ia menghancurkan puisi-puisinya tersebut.
Tahun 1905 agaknya merupakan awal dari sejarah karir menulisnya. Di tahun ini puisi-puisi dan cerita pendek karyanya mulai dipublikasikan. Puisi pertamanya yang dipublikasikan adalah "A Fable For Feasters" oleh Smith Academy Record pada Februari 1905. Puisi ini ditulisnya sebagai tugas sekolah. Puisinya yang paling tua yang masih berupa manuskrip dan tak memiliki judul kembali dipublikasikan oleh Smith Academy Record pada April 1905 tapi kemudian puisi ini direvisi dan diberi judul "Song" diterbitkan ulang di The Harvard Advocate, majalah mahasiswa Universitas Harvard. Selain puisi ada pula tiga cerita pendeknya yang dipublikasikan pada tahun 1905 yaitu: "Birds of Prey", "A Tale of a Whale", dan "The Man Who Was King". Yang disebut terakhir itu merupakan hasil eksplorasinya terhadap Kampung Igorot saat mengunjungi World's Fair of St. Louis tahun 1904.
Setelah lulus Eliot masuk Milton Academy di Massachusetts dan di sini ia bertemu Scofield Thayer yang di kemudian hari menerbitkan salah satu puisi terkenalnya, The Waste Land. Thayer pula yang di kemudian hari memperkenalkan Eliot dengan Vivienne Haigh-Wood yang kelak menjadi istri pertama Eliot.
Usai itu Eliot belajar filosofi di Harvard College dari tahun 1906-1909 dan mendapatkan gelar sarjananya hanya dalam waktu tiga tahun padahal umumnya membutuhkan waktu empat tahun.
Harvard memiliki banyak peranan dalam sejarah kehidupan Eliot. Walau ia sempat melanglang buana mendalami ilmu filosofi tapi berkali-kali ia kembali ke Harvard baik sebagai mahasiswa atau sebagai pengajar. Saat ia sudah menjadi warga negara Inggris pun ia sempat mendapat panggilan dan kembali ke Harvard sebagai pengajar. Beberapa puisinya juga sempat dipublikasikan dalam The Harvard Advocate.
Ia sempat menjadi asisten filosofi di Harvard selama setahun yaitu pada 1909-1910. Usai itu ia pergi ke Paris dan belajar filosofi di Sorbonne dari 1910-1911. Di sini ia mendapat kuliah dari Henry Bergson dan ia membaca puisi bersama Alain-Fournier.
Setelah setahun di Sorbonne, Eliot kembali ke Harvard pada 1911 untuk mempelajari filosofi India dan Sansekerta selama tiga tahun sejak 1911 sampai 1914.
Pada 1914 Eliot mendapat beasiswa di Merton College, Oxford. Ia sempat mengunjungi Margburg, Jerman dan berencana mengambil program musim panas tapi niatnya batal karena terjadi Perang Dunia Pertama sehingga ia kembali ke Oxford. Pada masa itu banyak mahasiswa Amerika yang kuliah di Oxford.
Eliot tak terlalu menyukai kehidupannya di Oxford, hal ini diungkapkannya dalam suratnya kepada Conrad Aiken, novelis Amerika yang dikenalnya saat kuliah di Harvard.
Setelah meninggalkan Oxford, Eliot lebih banyak menghabiskan waktunya di London. Di sinilah Eliot berkenalan dengan Ezra Pound yang membantu Eliot pada masa awal karirnya dengan mempromosikan Eliot di acara-acara sosial dan pertemuan sastra.
Eliot sangat menikmati kehidupannya di London dan selama berada di Inggris, Eliot sebisa mungkin menghindari Oxford.
2. Pernikahan dan Kewarganegaraan Inggris
Eliot akhirnya meninggalkan Merton dan pada tahun 1915 ia mengajar sastra di Birkbeck, Universitas London.
Pada April 1915 Eliot berkenalan dengan seorang guru privat wanita bernama Viviene Haigh-Wood. Tak lama dari perkenalan ini, mereka melangsungkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil Hampstead pada 26 Juni 1915.
Pasangan pengantin baru ini tinggal di flat seorang filosofer bernama Bertrand Russell. Muncul rumor bahwa Russel tertarik pada Vivienne dan mereka terlibat affair tapi kebenaran dari berita ini tak pernah diketahui.
Pernikahan Eliot dan Vivienne ternyata tak bahagia salah satunya adalah karena masalah kesehatan Vivienne. Dalam suratnya kepada Ezra Pound, Vivienne memberitahu beberapa gejala penyakitnya antara lain: temperaturnya tinggi, kelelahan, insomnia, dan migrain. Hubungan mereka makin renggang terlebih Vivienne kerap dikirim jauh oleh Eliot dan dokternya dengan harapan kesehatannya akan membaik, dan selama itu Eliot makin menjauh dari istrinya. Hubungan mereka ini menjadi dasar dari drama tahun 1984 berjudul Tom and Viv dan pada 1994 drama ini diangkat menjadi sebuah film.
Pada 1916 Eliot menyelesaikan disertasi doktoralnya, Knowledge and Experience in the Philosophy of F.H. Bradley, di Harvard tapi sayangnya disertasinya gagal mendapat hasil yang mengesankan. Eliot pergi ke Amerika Serikat seorang diri tanpa membawa Vivenne, dan setelah kunjungan singkatnya ke Amerika sekaligus menjenguk keluarganya, Eliot kembali ke London dan mengajar di Birkbeck College, Universitas London.
Pernikahannya yang tak bahagia ini lalu mendasari puisi Eliot yang kemudian sangat terkenal berjudul The Waste Land. Hal ini diungkapkan Eliot saat berumur enam puluhan. Ia mengatakan, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mencintai Vivienne karena ia berharap dengan begitu ia jadi memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan di Inggris. Dan ternyata Vivienne atas pengaruh Ezra Pound juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa demi puisi ia akan membuat Eliot tetap tinggal di Inggris. Tapi nyatanya pernikahan itu tak memberikan kebahagiaan bagi keduanya. "Bagi Vivienne, pernikahan ini tidak memberikan kebahagiaan. Bagiku, pernikahan ini membawa kebuntuan pikiran yang akhirnya melatarbelakngi munculnya The Waste Land", demikian asumsi Eliot atas pernikahannya.
Meski pernikahannya tak memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkannya tapi rupanya hal itu tak mengikis kecintaannya pada Inggris. Pada 29 Juni 1927 Eliot menjadi penganut Anglikan, agama resmi di Inggris dan pada November 1927 ia mendapatkan kewarganegaraan Inggris. Namun secara spesifik ia mengidentifikasikan agamanya sebagai Anglo-Catholic. Sekitar tiga puluh tahun lamanya Eliot mengomentarii pandangan agama yang dianutnya adalah perpaduan antara Katolik secara pola pikir dengan warisan nilai-nilai Calvinist dan temperamen seorang Puritan.
Peter Ackroyd, salah seorang penulis biografi Eliot berpendapat ada dua alasan yang melatari keputusan Eliot berpindah agama. Pertama: Gereja Inggris menawarkan harapan bagi Eliot dan menurut Ackroyd, Eliot memang membutuhkan tempat yang bisa menentramkannya. Alasan kedua adalah karena Anglikan bisa membantu Eliot lebih memahami komunitas dan kebudayaan Inggris.
Sementara itu pernikahan Eliot makin memburuk. Ketika Harvard menawarinya beasiswa profesor Charles Eliot Norton untuk menjadi untuk tahun ajaran 1932-1933, Eliot langsung menerimanya dan meninggalkan Vivienne di Inggris. Setelah kembali ke Inggris, Eliot mengatur perpisahannya dengan Vivienne secara resmi. Meski begitu mereka tidak pernah bercerai. Eliot berusaha menghindari setiap pertemuan dengan Vivienne. Sementara pada 1938 Vivienne dirawat di rumah sakit jiwa Northumberland House, Stoke Newington dan ia tetap berada di sana hingga akhir hayatnya. Eliot sendiri, walau masih merupakan suaminya secara sah tapi tak pernah mengunjunginya. Sepanjang masa itu hanya dua kali Eliot menemui Vivienne yaitu pada 1932 saat ia akan pergi ke Amerika Serikat dan tahun 1947 pada saat kematian Vivienne. Saat itu kabarnya sepanjang 1930-1957 Eliot menjalin hubungan dengan Mary Trevelyan dari Universitas London dan Mary sangat ingin menikah dengan Eliot tapi tak
pernah terjadi.
Pernikahan kedua Eliot terjadi pada 10 Januari 1957. Saat itu Eliot yang sudah berumur 68 tahun menikahi Esme Valerie Fletcher yang baru berusia 30 tahun. Meski rentang usia keduanya ini sangat jauh tapi rupanya pernikahan keduanya ini lebih memberinya kebahagian dibanding pernikahan pertamanya karena tak seperti saat menikahi Vivienne, kali ini Eliot sangat mengenal Fletcher yang rupanya tak lain adalah sekretarisnya di Faber and Faber sejak Agustus 1949. Upacara pernikahan mereka berlangsung di gereja pukul 6.15 pagi, waktu yang sangat tak umum dan terlalu pagi untuk upacara pemberkatan pernikahan, dan rupanya mereka memang sengaja ingin merahasiakan pernikahan mereka dengan tak ada yang menghadiri pernikahan mereka inii kecuali orangtua pengantin wanita saja.
3. Kematian dan Karya-karya Monumental
Menjelang akhir hidupnya, pada awal 1960-an kesehatan Eliot mulai memburuk, meski begitu ia tetap bekerja sebagai editor di Wesleyan University Press dan mencari puisi-puisi baru di Eropa untuk diterbitkan.
Pada 4 Januari 1965 Eliot menghembuskan nafas terakhirnya. Selama beberapa tahun, Eliot memang mengalami masalah kesehatan yang disebabkan oleh kebiasaannya merokok. Eliot memang dikenal sebagai perokok berat dan kerap kali harus dirawat karena menderita bronkhitis sebelum akhirnya ia menderita emphysema atau pembengkakan pada paru-parunya.
Jazad Eliot dikremasi di Krematorium Golders Green dan sesuai permintaannya sebelum wafat, abunya disimpan di Gereja St. Michael di East Coker yang merupakan kampung halaman leluhurnya sebelum hijrah ke Amerika.
Sebuah piagam untuk memperingatinya dan tercantum kutipan dari puisinya berjudul "East Coker" yang berbunyi: "In my beginning is my end. In my end is my beginning."
Pada 1967, dua tahun peringatan kematiannya, Eliot mendapat penghormatan dengan pemasangan sebuah batu besar pada ubin di Poets' Corner (Pojok Puisi) di Westminster Abbey, London. Batu tersebut dipotong oleh desainer keramik Reynolds Stone yang di atasnya terpahat tanggal lahirnya juga gelar kehormatan, Order of Merit yang dianugrahkan Raja George VI pada 1948. Tertera pula kutipan dari puisinya "Little Gidding" yang berbunyi: "the communication / of the dead is tongued with fire beyond / the language of the living."
Selain itu di kota kelahirannya pun Eliot mendapat apresiasi besar dan ia termasuk dalam jajaran bintang di St. Louis Walk of Fame.
Nama Eliot juga diabadikan sebagai nama di Universitas Kent di Inggris, Eliot College.
Setelah kematian Eliot, istri keduanya, Valerie mendedikasikan waktunya untuk melestarikan hasil karya Eliot. Ia mengedit dan memberikan keterangan/catatan pada The Letters of T. S. Eliot dan sebuah faksimile draft puisi Eliot, The Waste Land.
Dari dua kali pernikahannya, Eliot tidak dikaruniai anak. Valerie Eliot meninggal dunia pada 9 November 2012 di rumahnya di London.
Pada 1946 sampai 1957 sebelum menikahi Valerie, Eliot pernah tinggal satu flat dengan temannya, John Davy Hayward. Dia-lah yang mengupulkan dan merapikan naskah-naskah Eliot dan ia mentahbiskan dirinya sebagai "Penjaga arsip Eliot". Selain itu Hayward juga menyimpan versi awal puisi Eliot, Prufrock. Setelah kematian Eliot, ia mempublikasikan karya Eliot dengan judul: Poems Written in Early Youth (Puisi-puisi yang Ditulis di Masa Muda). Meskipun pada 1957 Eliot dan Hayward tak lagi tinggal bersama tapi Hayward tetap menyimpan karya-karya Eliot tersebut yang kemudian diwariskannya kepada King's College, Cambridge pada 1965.
Untuk ukuran penyair besar, puisi-puisi Eliot tidak terlalu banyak dan ternyata hal ini sangat disadarinya pada awal karirnya. Ia pernah menulis untuk J.H. Woods, salah satu profesornya di Harvard, "Reputasiku di London dibangun di atas sebuah syair dalam edisi kecil dan secara berkesinambungan menerbitkan dua atau tiga puisi lain dalam setahun. Masalahnya, puisi-puisi itu haruslah sempurna sehingga akan tetap abadi."
Puisi-puisi Eliot bisa dibilang merupakan perkembangan jiwanya. Dimulai dari Prufrock (1917) hingga Four Quartets (1943) merefleksikan perkembangan nilai Kristiani sang penulis. Sementara The Waste Land (1922) yang bisa dibilang termasuk karya-karya awalnya secara esensi bisa dibilang berjiwa negatif yang mana puisi tersebut mengekspresikan kengerian (horor) yang berasal dari pencarian sang penulis menuju dunia yang lebih tinggi dan bercahaya. Dalam Ash Wednesday (1930) dan The Four Quartets, dunia yang lebih tinggi itu menjadi lebih jelas. Walaupun Eliot tak bermaksud menulis puisi religius tapi nyatanya kerap kali tulisannya memang tak lepas dari kisah religius seperti drama-dramanya antara lain Murder in the Cathedral (1935) dan The Family Reunion (1939).
- The Love Song of J. Alfred Prufrock
Prufrock merupakan kumpulan puisi pertama Eliot yang diterbitkan pada 1917.
Pada 1915, Ezra Pound yang sangat membantu Eliot di awal karirnya dengan memperkenalkannya ke mana-mana, saat ia menjadi editor majalah Poetry (Puisi) merekomendasikan naskah Eliot pada Harriet Monroe, sang pendiri majalah tersebut. Eliot menulis sebagian besar puisi dalam kumpulan puisinya ini saat berumur dua puluh dua tahun. Puisinya ini sangat mengejutkan karena masa itu yang tengah populer dan dipuja adalah Georgian Poetry (Puisi gaya Georgia) yang berasal dari Romantic Poets (Puisi-puisi Romantis) di abad sembilan belas.
- The Waste Land
The Waste Land diterbitkan pada Oktober 1922, Eliot mendedikasikannya untuk il miglior fabbro ("seniman yang lebih baik) mengacu pada Ezra Pound, kawannya yang telah mengedit dan memperjelas isi dari puisi Eliot yang aslinya lebih panjang disederhanakan menjadi lebih pendek seperti yang terlihat dalam terbitannya yang beredar.
The Waste Land ditulis di masa-masa sulit pernikahan Eliot dengan Vivienne. Baik Eliot dan Vivienne sama-sama mengalami gangguan kecemasan. Puisi ini juga kerap dianggap sebagai representasi kekecewaan generasi pasca-perang. Sebelum puisi ini diterbitkan dalam bentuk kumpulan pusi pada Desember 1922, Eliot tengah berusaha keluar dari keputusasaan sebagaimana yang diungkapkannya dalam suratnya untuk Richard Aldington pada 15 November 1922, "Sebagaimana The Waste Land, masa lalu terlalu jauh untuk kupikirkan dan kini aku merasa tengah menuju ke gaya dan bentuk yang baru."
The Waste Land memberikan sentuhan dalam kesusastraan modern. Kebetulan pula di tahun yang sama novel brilian 'Ulysses' karya James Joyce yang tak lain juga merupakan kawan Eliot, diterbitkan.
Ada beberapa kalimat dalam The Waste Land yang amat terkenal di antaranya: "April is the cruellest month"; "I will show you fear in a handful of dust"; dan "Shantih Shantih Shantih", yang diambilnya dari bahasa Sansekerta sebagai penutup puisinya.
- The Hollow Men
The Hollow Men muncul pertama kali pada 1925. Kritikus Edmund Wilson menganggapnya sebagai "Titik nadir dari fase keputusaan dan kesepian yang sama ekspresifnya seperti The Waste Land".
Bait yang populer dari The Hollow Men adalah:
This is the way the world ends
Not with a bang but a whimper.
- Ash Wednesday
Ash Wednesday merupakan puisi panjang pertama yang ditulis Eliot setelah memeluk agama Anglikan pada 1927. Ash Wednesday dipublikasikan pada 1930 setelah melalui beberapa kesulitan sebelum akhirnya mencapai kesepakatan. Ash Wednesday merupakan puisi dengan nuansa rohani dan aspirasi spiritual Eliot setelah ia menganut agama Anglikan.
Ash Wednesday banyak mendapat pujian dari kritikus seni bahkan menurut Edwin Muir, Ash Wednesday merupakan puisi "yang paling sempurna." Meski mendapat banyak pujian tapi tak sedikit pula yang tak menerima dengan baik puisi Eliot ini.
- Old Possum's Book of Practical Cats
Terbit pertama kali pada 1939. Di edisi pertama ini ada ilustrasi sang penulisnya di sampulnya. "Old Possum" merupakan nama julukan yang diberikan Ezra Pound untuk Eliot.
Pada 1954 komposer Alan Rawsthorne membuat sebuah karya orkestra berjudul Practical Cats yang diantaranya mengambil enam puisi dalam kumpulan puisi ini. Setelah kematian Eliot buku ini diadaptasi menjadi sebuah pertunjukan musikal oleh Andrew Lloyd Webber dengan judul Cats. Drama musikal tersebut pertama kali ditampilkan di London's West End pada 1981 dan setahun kemudian ditampilkan dalam panggung Broadway.
- Four Quartets
Four Quartets terdiri dari empat puisi panjang yang sebelumnya diterbitkan secara terpisah. Burnt Norton (1936); East Coker (1940); The Dry Salvages (1941); dan Little Gidding (1942). Tiap puisi terdiri atas lima bagian. Setiap puisi merupakan meditasi atas alam dan masa dalam sudut pandang secara -teologis, historis, dan fisik- dan semua ini berhubungan dengan kondisi umat manusia. Keempat puisi ini merupakan representasi dari empat unsur utama kehidupan: udara, tanah/bumi (earth), air, dan api.
Burnt Norton merupakan puisi meditasi yang diawali dengan seorang narator mencoba untuk memfokuskan diri pada kekinian sementara alam meditasi membawanya melangkah menyusuri taman sambil memfokuskan diri pada gambaran dan suara-suara seperti burung, mawar, awan, dan kolam yang kosong. Meditasi itu lalu memimpin si narator untuk mencapai "titik" dimana ia akan mengalami suatu "anugrah". Di sesi akhir, sang narator mengkontemplasi seni ("kata-kata" dan "musik").
Simak beberapa kalimat dalam puisi ini yang diucapkan sang narator yang membawa pada sebuah perenungan:
"Words strain, / Crack and sometimes break, under the burden (of time), under the tension, slip, slide, perish, decay with imprecision, will not stay in place, / Will not stay still".
Dan kalimat konklusi sang narator:
"Love is itself unmoving, / Only the cause and end of movement, / Timeless, and undesiring."
East Cooker melanjutkan penjelasan akan makna dari waktu. Simak kalimat mengesankan dalam puisi ini, solusi dari Eliot untuk keluar dari kegelapan:
"I said to my soul, be still, and wait without hope."
The Dry Salvages merupakan elemen dari air melalui gambaran sungai dan laut. Dalam puisi ini terdapat kalimat kontradiktif : "The past and future / Are conquered, and reconciled."
Little Gidding, element dari api merupakan yang paling antologis dari keempat puisi dalam Quartets ini. Dalam puisi ini Eliot berimajinasi bertemu Dante saat pengeboman Jerman. Dengan kalimat permulaan dalam Quartets : "Houses / Are removed, destroyed" menjadi pengalaman penuh kekerasan yang dihadapi setiap hari namun dalam puisi ini untuk pertama kalinya Eliot membicarakan Cinta sebagai kekuatan di balik setiap pengalaman. Dan Quartets pun diakhiri dengan sebuah kalimat penegasan dari Julian of Norwich: "All shall be well and / All manner of thing shall be well."
Four Quartets tak bisa dipahami tanpa pengenalan akan pemikiran, tradisi, dan sejarah Kristen. Eliot menggabungkan teologi, seni, simbolisasi dan bahasa pada tokoh-tokoh seperti Dante, Yohanes dari Salib, dan Julian dari Norwich. "Persekutuan lebih dalam" tampil di East Coker, "hints and whispers of children, the sickness that must grow worse in order to find healing."
Four Quartets bisa dibilang merupakan puisi terbaik Eliot dan Eliot sendiri yang menyatakan bahwa Four Quartet merupakan mahakarya-nya. Four Quartets pula yang telah mengantarkannya meraih Nobel untuk Sastra yang diterimanya di Stockholm pada 1948. Dengan ini Eliot dianggap sebagai pionir yang telah membentuk dunia puisi modern di masa sekarang ini.
Selain puisi ada pula beberapa naskah drama karya Eliot yang monumental dan mendapat perhatian kritikus. Eliot memang dikenal sebagai pengritik sekaligus penggemar penulis-penulis drama era Elizabethan dan Jacobean. Dalam The Waste Land ia bahkan menyindir beberapa tokoh drama terkenal seperti Webster, Thomas Middleton, William Shakespeare, dan Thomas Kyd.
Pengalihan kreatifitas kata Eliot dari puisi menuju drama telah diungkapkan Eliot setelah diterbitkannya The Waste Land pada 1922. Ia menyatakan bahwa ia ingin melangkah ke "bentuk dan gaya yang baru."
Pada 1934 drama karya Eliot "The Rock" ditampilkan untuk kepentingan gereja di Keuskupan London. George Bell, Uskup Chichester turut membantu dengan memperkenalkan Eliot pada E. Martin Browne yang kemudian memproduksi The Rock, setelah itu Eliot menulis naskah drama lain untuk Canterbury Festival pada 1935. Naskah inilah yang merupakan salah satu naskah drama Eliot yang fenomenal, "Murder in the Cathedral - Pembunuhan di Katedral" yang berkisah mengenai kematian seorang martir, Thomas Becket.
Peter Ackroyd, penulis biografi Eliot mengatakan, "bagi Eliot Murder in the Cathedral dan kesuksesan di panggung drama menawarkan keuntungan ganda; ia bisa mempraktekan kemampuannya menulis puisi sekaligus memberinya kenyamanan untuk jiwa religius-nya."
Beberapa karya drama terkenal Eliot lainnya adalah: The Family Reunion (1939) yang juga merupakan drama bernuansa rohani, The Cocktail Party (1949) yang mendapat penghargaan Tony Awards pada 1950, The Confidential Clerk (1953), dan The Elder. Statesman (1958).
Mengenai metodenya dalam menulis naskah, Eliot menjelaskan, "Jika aku sudah siap untuk menulis, aku akan mulai dengan memilih kejadiannya. Aku mengatur situasi emosinya, dengan begitu maka karakter-karakter dan plotnya akan muncul. Setelah itu baris-baris puisi pun bisa tampil, bukan murni berasal dari dorongan hati melainkan dari alam bawah sadar yang terstimulasi."
Karya-karya Eliot memang tak terlalu banyak tapi justru karya-karyanya yang tak terlampau banyak itu justru mengantarkannya pada keabadian dalam kesempurnaan kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar