Sudah enam kali terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden Perancis, Charles de Gaulle namun semuanya gagal. Yang terakhir, upaya pembunuhan yang didalangi kelompok oposisi, OAS (Organisation L'Armee Secrete) juga gagal bahkan membuat posisi OAS di ujung tanduk. Sejumlah tokoh penting OAS tertangkap, salah seorang tokoh penting yang terlibat dalam rencana pembunuhan yang gagal tersebut, Letnan Kolonel Jean-Marie Bastien-Thiry harus mengakhiri hidupnya di ujung bedil regu tembak. Hukuman mati yang dijatuhkan atas Bastien-Thiry rupanya tak menggentarkan kelompok pemberontak ini. Kebijakan tak populer de Gaulle yang menyerahkan Aljazair ke tangan kaum nasionalis Aljazair membuatnya sangat dibenci sehingga kelompok yang tergabung dalam gerakan aksi bawah tanah OAS itu berniat menjatuhkan de Gaulle dari jabatannya sebagai Presiden Perancis.
Aksi pembunuhan terhadap Presiden Charles de Gaulle terus dilakukan OAS membuat sang Presiden berang dan memerintahkan Dinas Rahasia Perancis, SDECE (Service de Documentation Exterieure et de Contre-Espionage) untuk bertindak mengatasi aksi-aksi kelompok OAS. Salah satu tokoh OAS yang membuat gerah pihak Dinas Aksi, salah satu departemen di SDECE, Dinas Lima yang lebih dikenal dengan nama Dinas Aksi dan merupakan inti dari perang anti-OAS, adalah Kolonel Antoine Argoud, konspirator utama dalam upaya pembunuhan Presiden Perancis. Argoud yang dikenal sebagai otak dari aksi OAS ini sebenarnya pernah menjadi letnan di bawah de Gaulle dalam perang kemerdekaan Perancis melawan Nazi. Sementara itu Argoud melarikan diri lewat Roma menuju Munich, Jerman. Mengira Dinas Aksi Perancis takkan bisa menjamahnya, kecuali bila Perancis ingin menciptakan konflik dengan Jerman, Argoud bersembunyi di sebuah hotel mewah di Jerman. Namun pihak Dinas Aksi Perancis rupanya tak gentar untuk melakukan penyergapan dan menculik Argoud dari hotel tempatnya bersembunyi membuat pihak Jerman marah-marah karena merasa dibodohi dan dipermalukan Dinas Aksi Perancis yang menangkap orang di wilayahnya tanpa ijin.
Ditangkapnya Argoud membawa wakilnya, Marc Rodin menggantikan posisinya, dan tak dinyana Rodin yang sebelumnya berada di balik bayang-bayang Argoud ternyata memiliki otak yang lebih cerdik dan cemerlang. Dengan adanya penyusupan yang dilakukan SDECE di tubuh OAS, membuat setiap aksi yang dilakukan OAS rawan kebocoran, hingga akhirnya Rodin yang memiliki kebencian tak kalah mendalam dari pendahulunya terhadap Presiden Perancis membuat Rodin merencanakan sebuah aksi pembunuhan yang begitu cemerlang terhadap sang Presiden.
Rodin lalu mengatur sebuah pertemuan rahasia dengan dua petinggi OAS di Pension Kleist, sebuah hotel di Wina, Austria. Namun belajar dari penculikan yang dilakukan Dinas Aksi terhadap Argoud, bosnya, maka Rodin mengatur agar bodyguardnya, Viktor Kowalski, seorang tentara bertubuh besar laksana raksasa yang merupakan anak buahnya di Legiun Asing, untuk berjaga secara tersembunyi di depan kamarnya sehingga siapapun yang mencoba mendekati kamarnya harus terlebih dahulu menghadapi Kowalski, si raksasa itu hingga pastinya akan membuat kecut siapapun yang berniat mencelakai Rodin.
Dua petinggi OAS yang diundang Rodin untuk membahas rencana rahasianya bahkan nyaris remuk di tangan Kowalski saat mendekati pintu kamar Rodin. Dua petinggi OAS tersebut adalah Mayor Rene Montclair, bendahara OAS dan Andre Casson, kepala jaringan bawah tanah OAS di Metropole. Rencana rahasia yang diajukan Rodin adalah menyewa tenaga pembunuh profesional untuk membunuh sang Presiden. Ada tiga kandidat pembunuh bayaran professional yang terjaring dalam data yang diajukan Rodin tapi akhirnya dipilih seorang pembunuh bayaran, seorang warga negara Inggris yang paling memenuhi syarat. Sang pembunuh bayaran ini saat diundang untuk menemui ketiga tokoh OAS ini nyatanya memang memperlihatkan tingkat profesionalitasnya yang tinggi. Meski ia mengajukan bayaran yang sangat tinggi hingga membuat Montclaire, sang bendahara OAS kebingungan bagaimana cara mengumpulkan dana sebesar itu, sang pembunuh bayaran malah mengajari bendahara OAS itu agar mengerahkan jaringan bawah tanah OAS untuk melakukan perampokan demi mengumpulkan dana yang dibutuhkan tersebut. Aksi ini memiliki nama sandi The Jackal, nama yang sama yang ditetapkan sang pembunuh untuk menyebut dirinya sehingga tak ada satupun yang mengenal nama aslinya.
Berbagai persiapan dilakukan sang Jackal secara individu tanpa memberi laporan pada ketiga petinggi OAS tersebut. Namun Sang Jackal mendapat bantuan informasi lewat telepon dengan salah seorang simpatisan OAS, mantan kepala sekolah yang hanya dikenal dengan nama Valmy. Setiap ada perkembangan baru yang terjadi, diberitahukan oleh Valmy pada sang Jackal.
Aksi yang dilakukan oleh sang Jackal memang sangat rapi, dan rencana tersebut hanya diketahui oleh tiga petinggi OAS yang hadir di hotel di Wina tersebut sebagaimana syarat dari sang Jackal. Untuk menjaga kerahasiaan aksi ini, ketiga petinggi OAS itu bahkan menyewa seluruh kamar di dua lantai sebuah hotel sebagai tempat persembunyian mereka. Satu lantai teratas di hotel tersebut disewa untuk tempat mereka bertiga dan satu lantai lagi di bawahnya disewa untuk para pengawal mereka, tentara yang merupakan anggota Legiun Asing sehingga siapapun yang kedapatan salah memencet lift hingga ke lantai teratas otomatis akan menghadapi para pasukan tersebut. Penjagaan ketat ini awalnya tak terlalu menarik minat kepala SDECE, Jenderal Guibaud kecuali pemikiran bahwa ketiga para petinggi OAS tersebut begitu ketakutan akan mengalami nasib seperti Argoud sehingga melakukan penjagaan ekstra ketat seperti itu. Tapi tidak demikian dengan pemikiran Kepala Dinas Aksi SDECE, Kolonel Rolland yang merasa ada suatu aksi yang tengah dilakukan tiga petinggi OAS tersebut. Meski sempat berhasil menciduk Argoud dari tempat persembunyiannya di Jerman, tapi tindakan Dinas Aksi tersebut telah memicu konflik diplomatik antara Perancis dengan Jerman sehingga mereka tak mungkin lagi melakukan hal yang sama, menculik ketiga petinggi OAS tersebut dari lubang persembunyian mereka. Namun ada satu cara yang bisa ditempuh oleh Dinas Aksi yaitu menculik Victor Kowalski, raksasa Polandia yang merupakan orang kepercayaan Marc Rodin, sang konspirator utama dari aksi rahasia ini.
Dengan melakukan jebakan yang disusun rapi, Kowalski berhasil dibawa keluar dari lubang persembunyian dan diinterogasi secara intensif untuk mengetahui apa yang sebenarnya tengah direncanakan oleh tiga petinggi OAS tersebut. Sebelum Kowalski tewas akibat siksaan interogator, didapatlah apa yang ingin mereka ketahui. Nama sandi Jackal lengkap dengan rencana aksi pembunuhan yang akan dilakukan seorang pembunuh bayaran profesional pada orang nomor satu di Perancis, Presiden de Gaulle. Namun kendalanya nama pembunuh bayaran itu tak diketahui dan hanya ciri-ciri fisiknya saja.
Sebuah tim dengan dikepalai Menteri Dalam Negeri dibentuk untuk mencari tahu dan menggagalkan aksi sang Jackal ini. Namun masalahnya, sang Presiden Perancis, target pembunuhan ini tak ingin bila tim ini sampai diketahui publik apalagi media sehingga tim pencari ini harus bekerja secara rahasia. Seorang detektif bertubuh pendek namun sangat teliti bernama Claude Lebel ditunjuk untuk melakukan aksi pencarian ini. Sebuah misi yang nyaris mustahil. Bekerja secara rahasia mencari seorang terduga pembunuh bayaran tanpa nama, tanpa identitas kecuali ciri-ciri fisiknya saja.
Untuk memulai aksi pencariannya, Lebel mengajukan permintaan lewat jalur tak resmi untuk meminta bantuan ke kepala-kepala interpol berbagai negara, salah satunya adalah Inggris.
Sementara aksi pencarian terhadap jati diri sang Jackal dilakukan, yang bersangkutan telah selesai melakukan berbagai persiapan seperti membuat paspor dan dokumen palsu serta membeli senapan yang didesain sesuai permintaannya untuk membunuh sang Presiden. Ia bahkan sudah berhasil masuk ke Perancis membawa senapannya yang dipasangnya dalam rangka mobil sewaannya. Lebel yang hanya dibantu oleh seorang asistennya berkejaran dengan waktu untuk menemukan keberadaan sang Jackal dan sesegera mungkin melumpuhkannya sebelum pembunuh bayaran itu menembak sang Presiden.
Catatan: Novel ini benar-benar menarik. Sejak halaman pertama hingga akhir, pembaca benar-benar dipuaskan dengan cara bercerita Frederick Forsyth yang sangat pandai meramu kisah spionase lintas negara dengan menyisipkan ketegangan antara aksi heroik Lebel yang harus memulai misi pencariannya dari titik nol melawan musuh tak bernama yang begitu lihai dan ahli menyusun strategi pembunuhan terhadap orang nomor satu di Perancis. Dengan ending kisah khas Frederick Forsyth yang membiarkan nama asli sang Jackal tetap menjadi misteri. Tak heran bila novel yang terbit pertama kali pada 1971 ini menjadi salah satu dari seratus novel kriminal terbaik sepanjang masa. Penjabaran yang detail atas strategi dan persiapan sang Jackal dalam melaksanakan aksinya ini bahkan sampai menginspirasi beberapa pembunuhan politik seperti aksi pembunuhan yang dilakukan seorang militan ekstrem kanan, Yigal Amir terhadap Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin pada 1995. Kabarnya Yigal Amir terinspirasi oleh novel ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar