pic taken from : www.carmaker.wordpress.com
Sejujurnya aku seorang yang ambigu bila membahas masalah karma. Aku percaya bahwa setiap orang akan menuai apa yang ditaburkannya. Jika itu disebut karma maka ya, aku percaya hukum karma memang berlaku atas hidup. Mungkin hidup memang kadang tak adil. Kadang hidup malah mendukung si jahat dan membuat si baik merana. Tapi seperti dua sisi mata uang, kita tak pernah dapat mendefinisikan dengan pasti apa itu si jahat dan si baik. Mungkin bagi kita seseorang itu baik tapi tidak bagi orang lain begitu pun sebaliknya menurut kita seseorang jahat tapi bagi orang lain justru ia adalah seoang penolong berhati mulia yang welas asih.
Tapi pada akhirnya Yang Maha Adil lah yang memiliki ketetapan hukum absolut tak terbantahkan. Mungkin kita takkan pernah melihat orang yang telah menyakiti atau membuat hidup kita menderita mengalami penderitaan persis yang kita rasakan yang disebabkan oleh orang tersebut tapi pada akhirnya si pelaku itu takkan dapat mengingkari hatinya ketika ia dihadapkan pada hukumannya itu sendiri.
Benar kiranya apa yang dikatakan dalam kitab suci, pembalasan sejatinya adalah milik Tuhan. Sebagai manusia yang tak luput dari dosa pula kita sesungguhnya tak memiliki hak untuk membalas. Tuhanlah yang menguji hati dan kiranya Tuhan pulalah yang akan menunjukkan keadilan dan kerahiman-Nya.
Bukan maksudku untuk menghakimi atau apapun istilahnya tapi sepertinya Briatore dan Renault mengalami apa yang dialami McLaren dua tahun yang lalu. Kasus mereka mungkin sedikit berbeda tapi apa yang mereka lakukan terbukti telah mencoreng nilai fairplay dalam sebuah event olahraga meski pun dalam dunia F1 fairplay tak pernah dapat sepenuhnya tercipta seperti dalam dunia olahraga lainnya.
Walaupun nasib Renault tak senahas McLaren yang poin konstruktornya harus dihapus FIA setelah terbukti melakukan tindakan spionase, mencuri data-data milik Ferrari. Waktu itu Fernando Alonso yang sakit hati oleh bosnya, Ron Dennis yang melaporkan kecurangan timnya pada FIA. Akhirnya Alonso kembali ke pelukan bos dan tim lamanya, Briatore dan Renault.
Bila di McLaren, Alonso yang telah meraih dua gelar dunia merasa dianaktirikan dan walapun team mate-nya masih baru di F1 dan belum meraih gelar apapun tapi justru si anak baru yang juga merupakan "anak angkat" sang bos yang justru mendapat perlakuan yang seharusnya untuknya mengingat ia adalah seorang juara dunia dua kali. Tak heran bila akhirnya ia meledak dan membeberkan semua borok di timnya itu dan mungkin ia menyesal karena telah "berselingkuh" dan meninggalkan tim lamanya yang telah begitu memuja dan menyayanginya. Untungnya bos lamanya yang juga pernah menjadi managernya masih memiliki cinta untuknya dan bersedia memaafkan "perselingkuhan"nya dengan McLaren apalagi penggantinya tak memiliki kualitas seperti sang juara dunia dua kali ini.
Kali ini, dua tahun berselang, justru team mate Alonso, putra tercinta juara dunia, Nelson Piquet, jr yang kembali memperlihatkan borok tim papan atas ini dan lagi-lagi dunia tersenyum sinis melihat betapa sesungguhnya nilai sportivitas dan fair play tak pernah ada dalam kamus Formula One.
Lucunya, Piquet Jr membeberkan tindakan tak sportif timnya yang menganak emaskan The Spaniard yang selama setahun merana di McLaren. Ia diperintahkan menabrakkan mobilnya demi memberikan kemenangan bagi sang juara dunia yang melempem selama setahun itu. Aneh juga, biasanya bos tim marah-marah bila pembalapnya menabrakkan mobilnya apalagi bila mobilnya dipasangi berlian seperti yang terjadi dengan Christian Klein sewaktu membalap bersama tim Jaguar di Monaco yang membuat tim kelimpungan mencari berlian di mobil Klein yang hilang setelah mobilnya menabrak tembok pembatas (kalau tak salah) padahal berlian itu merupakan pinjaman sponsor untuk promosi di GP Monaco.
Formula one memang tak seperti dulu lagi. Dulu meskipun team order merupakan bagian dari tim dan tak ada penonton yang mempermasalahkan bila ada pembalap yang melakukan team order tak seperti yang terjadi di GP Austria 2002 ketika Rubens Barrichello harus "mengalah" demi memberikan kemenangan bagi Michael Schumacher dan publik malah mencerca sang juara dunia dari Jerman itu. Berbeda sekali dengan penonton F1 jaman dulu yang tak pernah terusik dengan team order yang sebenarnya bukan hal baru di F1 karena F1 tak sepenuhnya dunia olahraga yang memuja nilai-nilai sportivitas.
Banyak hal di F1 yang perlu diperhatikan selain nilai-nilai fair play itu sendiri. Sebuah kebesaran jiwa seorang pembalap yang rela melakukan yang terbaik untuk tim meski itu harus mengorbankan kepentingannya, dulu merupakan nilai paling utama di dunia F1. Seorang Fangio bahkan sangat membutuhkan pengorbanan dari rekan setimnya, Peter Colins yang merelakan mobilnya untuk Fangio setelah mobil sang juara ini mogok. Hasilnya Fangio berhasil finish dan meraih gelar dunia sampai lima kali, namanya pun harum, masyhur ke seluruh pelosok dunia sementara Colins yang tak pernah meraih sekali pun gelar dunia, hanya sesekali saja namanya disinggung tapi namanya tetap saja tak sebeken rekan setimnya yang berhutang budi padanya itu. Namun saat itu, begitulah artinya nilai sportivitas di F1. Dalam dunia olahraga otomotif yang satu ini, di mana kaum perempuan tak bisa terlalu banyak bicara meskipun telah ada beberapa pembalap wanita yang mencoba menembus dominasi pria di ajang jet darat paling bergengsi ini tapi tetap saja kaum pria yang ada tak pernah ingin terusik oleh nilai-nilai feminisme itu sehingga kaum perempuan harus minggir dan membiarkan para pria memperlihatkan kemaskulinan mereka dan memberikan tempat bagi ego mereka.
Namun di masa itu, justru tindakan Colins bisa dibilang merupakan contoh kebesaran jiwa seorang pembalap sejati. Sikap rela berkorban demi kepentingan yang lebih besar dibanding membiarkan egonya sendiri bertakhta di tempat tertinggi. Fangio mendapatkan gelar juara dunia lima kali sementara Collins hanya mendapatkan "gelar" seorang gentleman sejati.
Formula one telah berubah. Seperti dunia yang semakin bergerak begitupun F1 yang merupakan bagian dari dunia. Meskipun spionase merupakan hal yang umum di dunia F1, meskipun tak separah McLaren tapi masalah contek mencontek di F1 bukanlah sebuah dosa. Begitu pun dengan masalah team order. Tapi dunia ternyata telah jenuh dengan nilai-nilai lama F1 itu dan para penonton yang merupakan faktor terpenting dari dunia otomotif termutakhir di jagad raya ini tak bisa lagi mentolerir falsafah-falsafah kuno F1 itu. Meski F1 tak sepenuhnya bisa dibilang sebuah ajang olahraga tapi F1 sesungguhnya ajang untuk mengukur kekuatan mesin-mesin mobil pabrikan yang bila tim yang disokong pabrikan itu menang maka mesin mobil pabrikan itupun mendapat keuntungan dari promosi luar biasa itu.
Mungkin memang sudah saatnya bagi Briatore untuk mundur dari F1. Sepertinya memang sudah saatnya F1 dipimpin oleh orang-orang baru dengan pemikiran-pemikiran baru yang mampu membawa F1 ke arah yang lebih baik tanpa perlu menggeser beberapa nilai lama yang telah membuat F1 bertahan hingga sekarang ini tapi juga bukan berarti mesti mengadopsi semua nilai-nilai lama F1 yang bisa menggerus nilai-nilai F1 sebagai sebuah event olahraga terakbar (jauh lebih luar biasa dibanding ajang olimpiade dan mungkin setara dengan perhelatan piala dunia) dan pada akhirnya membuat dunia (dalam hal ini penonton) muak dan terus mencibir ajang ini.
Aku pribadi tak terlalu menyukai profil Briatore yang meski kuakui bahwa ia lah yang pertama kali memberikan semua hal yang diperlukan Michael Schumacher untuk meraih dua gelar dunia pertamanya. Ia sebenarnya seorang yang cerdik dan pandai memanfaatkan situasi untuk memberikan keuntungan baginya dan bagi tim tempatnya mengabdi. Mungkin di tempat lain Briatore dapat mengamalkan keahliannya itu. Tapi F1 sepertinya sudah bukan tempat yang tepat lagi untuk seorang Flavio Briatore.
Aku sendiri tak menyalahkan Nelson Piquet. Menurutku ia berhak mendapatkan keadilan. Seperti Alonso yang mengalami masa-masa sulit ketika di F1, sepertinya Piquet pun mengalami masa ini. Pastinya sulit bagi seorang pembalap berada dalam satu tim di mana rekan setimnya yang lain yang lebih diistimewakan. Walaupun Michael Schumacher bersama Ferrari selalu diistimewakan tapi sebenarnya rekan setim Schumi selalu bisa meraih keuntungan juga berkat sumbangsih pikiran sang juara dunia tujuh kali ini di tim yang kemudian diaplikasikan pada tunggangan kedua pembalap, milik sang juara dunia juga rekan setimnya jadi menurutku konyol bila rekan setimnya mengeluh tak mendapatkan tempat yang sama dengan sang juara dunia dari Jerman ini, karena mereka memiliki mesin yang sama walaupun perhatian seluruh tim terarah pada sang maestro tapi bukankah beberapa kemenangan selalu berhasil dipetik rekan setimnya yang sesungguhnya pula beruntung karena dapat memiliki akses paling utama untuk mempelajari teknik membalap sang maestro, siapa tahu justru ia yang berhasil meraih gelar dunia kala sang raja turun takhta. Berbeda juga masalah Schumi dengan Alonso. Di Ferrari meski Schumi selalu diistimewakan tapi tak pernah Jean Todt ataupun Ross Brawn memerintahkan rekan setim Schumi menabrakan mobilnya demi memberi kemenangan bagi pembalap kesayangan mereka ini.
Mungkin apa yang dialami Alonso saat ini tak bisa disebut karma. Tapi pengaduan rekan setimnya atas kecurangan timnya itu sama persis dengan yang dilakukannya dua tahun silam.
pic taken from : www.sportydesktops.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar