pic taken from : www.theage.com
Sepanjang perjalanan hidupku yang mungkin belum seberapa ini, ada banyak hal yang membuatku merasa benar-benar hidup. Salah satunya adalah Formula One. Meski waktu itu belum ada stasiun teve yang menayangkan balapan F1 tapi aku selalu mengikuti perkembangan F1 hanya dari surat kabar. Dan yang pertama kali membuatku jatuh hati pada F1 adalah Michael Schumacher. Itulah sebabnya aku menjadi fans cinta matinya Schumi.
Kala itu aku sudah terpikat dengan semangat Schumi dalam merebut gelar dunianya. Waktu itu sekitar tahun 1998 saat Michael dan Mika bersaing sengit memperebutkan gelar juara dunia. Awalnya memang bukan berita tentang F1 yang memikatku tapi ekspresi Schumi yang mengernyitkan kening sambil memperhatikan data telemetri di tangannya sementara di bawah gambar dirinya itu tertulis mengenai jagoan Ferrari itu yang tengah berjuang merebut mahkotanya yang lepas dari kepalanya sejak tahun 1995 di Benetton. Segera saja kulahap berita yang tertuang di media itu. Saat itu aku mulai merasa kagum pada semangat pantang menyerah Schumi dan kesungguhannya dalam meraih mimpinya.
Beberapa waktu kemudian kembali ada berita tentang Schumi dengan gambarnya yang penuh emosi pada David Coulthard, rekan setim Mika Hakkinen yang telah memblokir jalan Schumi demi memberikan kemenangan bagi Mika. Segera saja simpatiku pada Schumi semakin tinggi.
Semakin banyak aku membaca mengenai Schumi, semakin rasa kagumku pada sosok manusia yang satu ini membuncah. Bagiku, Schumi memang seorang manusia, tapi ia bukanlah manusia seperti kebanyakan, ia merupakan sosok manusia yang sangat istimewa. Bahkan ketika ia dicerca karena beberapa tindakan yang dianggap beberapa pihak tak terpuji, tak pernah mengurangi kekagumanku padanya. Bukankah memang tiada ada manusia yang sempurna? Namun kesempurnaan tekadlah yang membentuk Schumi menjadi istimewa dan berbeda dengan manusia lainnya. Tekadnya yang membara, tak kenal menyerah, spontanitasnya, dan seluruh ekspresinya di podium, menunjukkan bahwa ia memang sebuah pribadi yang teramat istimewa. Manusia setengah dewa, bila boleh kupinjam kalimat dari salah satu lagu milik Iwan Fals untuk menggambarkan sosok seorang Michael Schumacher.
Tentu saja sebagai fans cinta matinya Schumi, aku benar-benar patah hati ketika Schumi pensiun dari F1, terlebih ia harus pensiun tanpa berhasil meraih gelar dunia kedelapannya yang sebenarnya sudah di depan matanya tapi harus pupus bukan karena ketidakmampuannya, tapi ia harus menyerah kalah pada apa yang disebut takdir.
Sepanjang karirnya di F1, Schumi pastinya sangat paham betapa berartinya peran sang dewi fortuna. Ia pernah merasakan kemurahan hati sang dewi tapi tak jarang pula ia merasakan pahitnya ditinggalkan sang dewi. Namun sayangnya, di ujung karirnya, saat harapannya kembali membuncah tatkala gelar dunianya yang terlepas dari tangannya pada tahun 2005 hampir berhasil diraihnya kembali setelah ia memenangi GP China 2006 sehingga membuatnya berhasil menggeser posisi Fernando Alonso dari puncak klasemen. Saat itu tinggal dua GP tersisa. GP Jepang dan GP Brazil.
Schumi memiliki semua paket yang bisa membuatnya meraih gelar kedelapannya itu sebelum ia menyepi dari hingar bingar dunia F1 seperti Alain Prost yang membawa gelar keempatnya, gelar terakhirnya yang mampu diraihnya sebelum ia memutuskan untuk berhenti dari panggung F1.
Tapi sayang seribu sayang. Dengan kemenangan Schumi di GP China, seluruh kubu Ferrari, Schumi, dan segenap fans cinta matinya Schumi tentu saja menatap GP Jepang seminggu berikutnya dengan optimisme yang tinggi terlebih sirkuit Suzuka kerap menjadi penolong Schumi, berbagai spekulasi pun segera memastikan bahwa gelar kedelapan Schumi sudah berada di tangan. Namun ternyata sirkuit Suzuka yang biasanya bersikap baik pada Schumi kali ini malah berbalik memusuhinya. Schumi malah harus mengakhiri balapannya lebih cepat selepas pit stop keduanya, padahal saat itu ia tengah memimpin balapan semenatara Alonso tersenyum puas melihat nasib apes yang menimpa sang mega bintang. Gelar kedelapan Michael yang di depan mata pun segera terbang tinggi tak tergapai oleh sang juara dunia tujuh kali itu.
Dewi Fortuna, itulah yang akan menentukan nasib ketiga calon juara dunia tahun ini. Bisa dibilang selama tiga tahun terakhir ini sang dewi fortuna sepertinya tengah senang bermain-main dengan harapan para calon-calon kuat juara dunia. Tahun 2006, seorang Michael Schumacher harus bertekuk lutut pada sang dewi yang telah memalingkan wajahnya dari manusia setengah dewa ini dan mengalihkan hatinya pada seorang anak manusia dari negeri matador.
Setahun setelahnya, giliran sang debutan, Lewis Hamilton yang harus merasakan pahitnya ditinggalkan dewi Fortuna setelah ia merasa yakin dan mantap dengan posisinya di puncak klasemen, tapi, bintang baru Ferrari, Kimi Raikkonen yang dipisahkan tujuh belas poin darinya tiba-tiba saja melesat meraih gelar dunia yang sudah berada di depan matanya itu. Dan tahun lalu yang masih segar dalam ingatan, Felipe Massa yang harus merasakan perasaan ambigu yang menyiksanya.
Di hadapan para pendukungnya, di balapan pamungkas, balapan penentuan baginya dan Lewis Hamilton untuk menentukan siapa yang berhak menyandang juara dunia baru. Sepanjang balapan Massa sudah mendominasi sementara Lewis harus tertatih-tatih, padahal ia hanya perlu finish di tempat kelima untuk memastikan gelar dunia menjadi miliknya. Mungkin pada detik-detik terakhir menjelang berakhirnya balapan, Lewis sudah mempersiapkan hatinya untuk merelakan kembali mimpinya yang kembali gagal diraihnya meski ia berharap sebuah mujizat akan terjadi. Dan ternyata mujizat itu sungguh-sungguh tercipta. Hanya dalam hitungan detik, semua perhitungan yang telah matang tiba-tiba saja berbalik. Sang dewi fortuna kala itu sepertinya mendua antara Massa dan Hamilton. Ia memberikan kemenangan pada Massa di depan publiknya sendiri, tapi gelar dunia diberikannya pada Hamilton dengan meminjam Glock sebagai penentu di antara kedua pembalap ini. Hamilton pun melibas garis finish di tempat kelima, posisi yang dibutuhkannya untuk menyabet gelar juara dunianya yang tertunda. Sementara tempik sorak di kubu Massa ketika Ferrari the Brazilian ini menjadi yang pertama melewati kibaran chequered flag dalam sekejap berubah menjadi duka mendalam setelah menyadari bahwa gelar Massa lepas hanya dalam hitungan waktu sepersekian detik saja. Saat itu entah apa yang layak disandangkan pada Massa. Winner or looser ...?
Tahun ini, sepertinya sang dewi fortuna masih akan memainkan peranannya terlebih dengan dua seri yang tersisa dengan ketegangan yang memuncak di antara ketiga calon juara dunia.
Mungkin yang membaca tulisanku sudah bosan atau malah sampai muntah-muntah karena aku selalu saja menulis tentang Jenson Button. Seorang teman dekatku malah sampai berkomentar bahwa bisa-bisa yang membaca Pojok Sore-ku merasakan dejavu karena aku selalu menulis tentang Jenson. Aku tertawa mendengar ucapannya seraya menukas bahwa aku memang ingin mendoktrin setiap orang yang membaca tulisanku agar menyukai Jenson dan sama-sama memberikan dukungan dan doa agar Jenson berhasil meraih gelar juara dunia pertamanya tahun ini.
Jika Michael Schumacher yang membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada F1, maka Jenson Button adalah orang yang membuatku pulih dari patah hatiku setelah Schumi pensiun dan Jenson lah yang membuatku kembali jatuh cinta pada F1. Jadi seperti aku menjadi fans cinta matinya Schumi, maka kali ini pun aku akan menjadi fans cinta matinya Jenson. Dan dengan dua seri yang tersisa tak salah bila aku sungguh-sungguh berharap gelar dunia Jenson yang telah berada di depan matanya tak terbang meninggalkannya seperti yang terjadi pada Michael dan Felipe.
Bila melihat penampilan Jenson yang berbanding terbalik dengan keperkasaannya di awal musim, tentu saja rasanya sulit bagi Jenson mempertahankan kepemimpinannya di klasemen dan bisa saja di ujung musim, gelar dunia yang di depan matanya terbang meninggalkannya, ah, kuharap hal itu takkan terjadi. Bagaimanapun penampilan Jenson pada pertengahan hingga mendekati akhir musim ini, Jenson Button layak menjadi juara dunia. Mungkin yang dibutuhkan Jenson saat ini hanyalah ketenangan diri dan tetap fokus dalam membalap seraya terus mengasah skill balapannya menjadi sebuah paket sempurna sambil berharap sang dewi fortuna terpikat oleh segenap daya upaya yang dikerahkan pemuda dari Frome, Inggris ini.
Good Luck, Jense ...! May God bless you and I trully wish you're gonna be the World Champion this season. Hopefully ....
pic taken from : www.itn.co.uk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar