Total Tayangan Halaman

Translate

Sabtu, 22 Mei 2010

Mengenang Ce Bing Hua

Kali ini aku mau bercerita tentang famili suamiku. Aku mengenalnya baru sebentar. Menurut istilah orang zaman dulu, baru seumur jagung. Hehe... Tapi banyak pelajaran yang kutangkap dari hidupnya. Sebelum kulanjutkan, kuberi tahu dulu bahwa orang yang ingin kuceritakan ini sudah meninggal dunia. Dia meninggal pada awal bulan Pebruari 2010 karena penyakit kanker hati. 
 
Tadinya semua anggota keluarga tidak tahu kalau penyakit yang dideritanya adalah penyakit kanker hati. Keluarganya hanya tahu bahwa dia punya penyakit maag dan lambung yang akut. Gejala yang ia keluhkan mirip gejala sakit maag. Selama ini dia juga berpikir bahwa penyakitnya cuma penyakit maag seperti yang selama ini dideritanya. Ternyata sewaktu terakhir dia menjalani CT Scan, penyakitnya ternyata kanker hati stadium akhir. Tidak ada harapan lagi. 
 
Yang membuatku salut pada dirinya, dia tidak pernah menunjukkan penderitaan karena penyakitnya di depan anak-anaknya. Sewaktu aku berkunjung ke rumahnya sebelum dia meninggal, aku masih melihatnya seperti orang yang sehat. Sebagaimana mestinya orang sehat, dia masih memasak untuk anak-anaknya dan suaminya, mencuci baju, membereskan rumahnya, dan dia bahkan masih sempat membuat kue-kue kering untuk hari raya Imlek (Sewaktu hari raya Imlek, aku dan keluarga mengenang dirinya sambil makan kue-kue kering buatannya). 
 
Tidak ada yang menyangka kalau dia itu mengidap penyakit kanker hati stadium akhir dan waktu yang dimilikinya bersama anak-anak dan suaminya sangat pendek. Hanya berjarak lebih kurang tiga minggu dari waktu dokter memberitahu bahwa dia mengidap penyakit kanker. Selama dia sakit, tak sekali pun ditunjukannya sakitnya. Padahal dia pernah bercerita padaku bahwa perutnya sakit sekali. Pada waktu itu aku melihatnya meneteskan air mata. Aku saat itu tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Aku hanya dapat berkata, "Ya, Ce."
Kulihat semangat juangnya untuk hidup sangat kuat. Dia ingin hidup untuk anak-anak dan suaminya, tapi Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Dia meninggal dunia di Surabaya sewaktu dalam pengobatan di rumah sakit. Orang tuanya sampai sekarang belum bisa menerima kepergian almarhumah sebab sejak dia meninggal sampai sekarang, mamanya belum pernah berziarah ke kuburnya. Kalau aku datang berkunjung ke rumah mamanya (bibi suamiku), Beliau pasti bercerita tentang anaknya yang meninggal itu. Dia akan bercerita tentang kepedihan hatinya melihat anaknya pergi lebih dulu daripada Beliau. Beliau juga sering bercerita tentang masa kecil anaknya itu.

Aku lalu bertanya mengapa waktu anaknya di rumah duka dan saat dikubur, Beliau tidak datang. Beliau menjawab bahwa hatinya pedih, tidak sanggup melihat peti mati anaknya. Rasanya, kalau boleh Beliau ingin ikut dengan anaknya. Sampai sekarang kalau aku berkunjung ke rumahnya, Beliau masih sering bercerita tentang almarhumah sambil meneteskan air matanya. Yang bisa kupetik dari kejadian ini adalah semangat juang sepupu suamiku dan sikap tidak menyerah pada penyakitnya sampai ke detik terakhir hidupnya. Walau hanya sepintas waktu yang almarhumah miliki, tapi waktu sedikit itu dia manfaatkan untuk mencurahkan kasih sayang dan baktinya untuk orang tua, anak-anak dan suaminya dan kenangan tentang hidupnya hanya lewat cerita orang tua, anak-anak, dan suaminya. Meski begitu, tetap abadi. Selamat jalan, Ce Bing Hua.

1 komentar:

alice in wonderland mengatakan...

wanita yang tegar... ikut berdukacita ya