Setelah beberapa waktu Mesir terlihat sedikit "tenang", Mesir kembali bergejolak Senin malam waktu setempat atau Selasa dini hari waktu Indonesia. Seusai shalat Tarawih dikabarkan terjadi bentrokan lagi antara polisi dengan demonstran pendukung presiden terguling Mesir, Muhamad Mursi. Tembakan gas air mata dilepaskan polisi untuk membubarkan massa demonstran, pendukung Mursi di Ramses Street, salah satu jalan utama di Kairo.
Kabarnya sejak siang para demonstran, loyalis Mursi telah memblok Ramses Street dan Jembatan 6 Oktober yang merupakan penghubung dua sisi Sungai Nil. Aksi penutupan jalan ini membuat jengkel warga yang tak bisa melintasinya hingga akhirnya polisi melepaskan gas air mata untuk membubarkan demonstran.
Setelah digulingkannya Mursi dari kursi kepresidenan oleh militer Mesir, kondisi di Mesir memang selalu bergejolak. Sekitar 53 pendukung Mursi bahkan sampai tewas ditembaki militer saat ibadah shalat subuh. Wartawan BBC di Kairo mengatakan, Ikhwanul Muslim mungkin telah menyingkirkan banyak pihak saat berkuasa membuat banyak pihak tak menyukai kelompok ini tapi aksi yang dilakukan militer untuk menyingkirkan seorang presiden yang telah dipilih secara demokratis juga tak disukai.
Amerika Serikat yang walau sebelumnya dikabarkan tetap berkeras mengirimkan pesawat tempur ke Mesir pun dalam pernyataan politiknya akhirnya mengungkapkan ketidaksetujuannya atas penggulingan Mursi oleh militer dan menilai penggulingan Mursi ini dilatari oleh alasan politik.
Meski tindakan militer Mesir mendapat banyak kecaman tapi Kerajaan Jordania malah menyambut tergulingnya Mursi dari tampuk kepresidenan. Jordania dikabarkan merasa lega dengan tersingkirnya Mursi dan Ikhwanul Muslimin, kelompok asal Mursi. Bahkan Raja Abdullah II dari Jordania dengan cepat memberi ucapan selamat pada Adli Mansour, Presiden Interim Mesir setelah namanya disebutkan oleh Jenderal Abdul Fattah al-Sisi, menteri pertahanan yang juga mengepalai aksi penggulingan Muhamad Mursi.
Kelegaan Jordania dengan ambruknya rezim Mursi ini dinilai karena kecemasan terhadap kelompok oposisi di negeri tersebut yang dimotori Ikhwanul Muslimin kerap menuntut reformasi pemerintahan. Menurut Oraib Rintawi, Direktur Lembaga Studi Politik Al-Quds di Amman, Jordania menilai bahwa seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, rupanya Jordania juga sangat bermasalah dengan Ikhwanul Muslimin.
Sejarah Ikhwanul Muslimin di Jordania berawal pada 1946 dengan mengakui Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi amal. Pada 1992 Ikhwanul membentuk organisasi sayap politik, Front Aksi Islam (IAF). Namun IAF tak memiliki wakil di parlemen Jordania karena Ikhwanul Muslimin memboikot pemilu pada Januari lalu.
Kelompok oposisi Islam di Jordania menggelar aksi unjuk rasa setiap pekan sejak 2011 menuntut reformasi politik dan pemberantasan korupsi yang lebih serius.
Sejak revolusi Mesir dengan penggulingan rezim Husni Mubarak dan menyebarkan era demokrasi yang dikenal dengan revolusi "Arab Spring" dengan memberi kemenangan bagi partai-partai politik Islam moderat dalam perebutan kursi parlemen di Mesir hingga Maroko. Tapi kejatuhan rezim Mursi yang hanya seumur jagung ini bersama Ikhwanul Muslimin agaknya membuat partai-partai oposisi Islam jadi goyah. Rakyatpun jadi tak lagi merasa yakin.
Secercah Harapan Damai
Sementara itu masyarakat Mesir sendiri sangat mengharapkan perdamaian kembali tercipta di negeri mereka. Jum'at pekan lalu, kelompok Kristen dan Muslim Mesir bersatu dengan mengadakan buka puasa bersama pada Jum'at pertama di bulan Ramadhan.
Buka puasa bersama ini digelar di Lapangan Tahrir. Harapan perdamaian yang akan segera tercipta disuarakan oleh Muhammad Abdullah Nasser, ulama yang memberi kotbah dalam ibadah Shalat Jum'at hari itu dengan menyatakan bahwa acara buka puasa bersama hari Jum'at itu ditujukan untuk membawa persatuan kembali bagi rakyat Mesir yang beberapa hari belakangan terpecah belah. Selain itu, acara ini pun diselenggarakan untuk mereka yang tewas karena menuntut keadilan. "Untuk para martir dan demi persatuan nasional," Nasser menegaskan.
Sebagian makanan untuk acara buka puasa bersama itu disediakan pengelola Gereja Qasa El-Dobara yang berada tak jauh dari Lapangan Tahrir. Gereja ini juga pernah menjadi tempat merawat pengunjuk rasa yang terluka saat revolusi penggulingan Husni Mubarak.
Ah, seandainya saja semua pihak mau mengutamakan bahasa cinta dibanding kekerasan. Semoga pula kedamaian bisa segera tercipta seperti yang diharapkan warga Mesir sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar