Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 23 Juli 2013

Mesir Masih Bergolak

Setelah beberapa pekan bentrokan pasca tergulingnya presiden Mesir, Muhammad Mursi oleh aksi militer pada 3 Juli silam, kini Mesir tengah mencoba menata kembali stabilitas politiknya. Selasa pekan lalu, 16 Juli 2013, perdana menteri sementara Mesir, Hazem el-Beblawy telah membentuk kabinet baru. Namun dalam kabinet baru ini, untuk pertama kalinya Ikhwanul Muslimin tak menempatkan wakilnya karena Ikhwanul Muslimin, kelompok pendukung presiden tersingkir, Muhammad Mursi tak bersedia berkompromi dengan pemerintahan baru yang didukung militer. Ikhwanul Muslimin menolak tawaran rekonsiliasi pemerintah sementara Mesir. Mereka juga menolak untuk ikut menyusun kembali rancangan konstitusi. Adapun dalam kabinet baru ini ada tiga orang wanita yang terpilih menjadi menteri. Ini adalah jumlah menteri wanita terbanyak dalam sejarah kabinet Mesir. 

Seiring dengan itu, presiden sementara Mesir, Adli Mansour telah pula mengeluarkan dekrit pada hari Sabtu (20/7) kemarin dan membentuk sebuah komite yang terdiri atas 10 orang pakar hukum tata negara, anggota mahkamah konstitusi, dan praktisi hukum untuk membahas konstitusi mengenai aturan pemilihan umum parlemen dan presiden. Komite ini diberi waktu 3 hari untuk menyelesaikan proses amandemen konstitusi.

Konstitusi sebelumnya yang dibentuk Mursi pada Desember 2012 pasca jatuhnya rezim Mubarak, dinilai kontroversial dan memicu polemik sepanjang masa pemerintahan Mursi karena konstitusi 2012 ini didominasi kubu Islamis dan memberi Mursi kekuasaan tak terbatas sehingga mendapat tentangan dari kelompok sekular - liberal yang menganggap konstitusi tersebut gagal melindungi kebebasan berekspresi dan agama.

Seperti halnya pembentukan kabinet baru, terhadap komite untuk membentuk konstitusi baru ini pun mendapat tentangan dari kelompok Ikhwanul Muslimin yang sangat mendominasi dalam setiap lini pemerintahan Mursi.

Meski peta politik Mesir pemerintahan transisi Mesir sudah mulai tertata tapi stabilitas politik Mesir masih terus bergejolak. Bentrokan-bentrokan masih terus terjadi walau tak semasif pekan-pekan pertama tergulingnya Mursi.

Massa pendukung Mursi menjanjikan aksi unjuk rasa yang akan terus mereka lakukan sampai kedudukan Mursi sebagai presiden dikembalikan. 

Hari Jum'at (19/7) kemarin, Kementrian Luar Negeri Mesir mencabut paspor diplomatik Mursi. Dalam pernyataannya, Kemenlu menerangkan pencabutan paspor diplomatik Mursi ini dilakukan atas permintaan resmi dari kantor presiden dan dianggap telah sesuai dengan aturan terkait kepemilikan paspor di Mesir.

"Muhammad Mursi tak bisa lagi memiliki paspor diplomatik karena dia sudah kehilangan jabatan presiden," demikian keterangan Kementrian Luar Negeri Mesir.

Selain mencabut paspor diplomatik Mursi, Kemenlu Mesir juga telah mencabut seluruh paspor diplomatik milik keluarga dan para pembantu Mursi.

Pengumuman mengenai pencabutan paspor diplomatik Mursi ini disampaikan bersamaan dengan rencana unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan Ikhwanul Muslimin dan pendukungnya untuk menentang penggulingan Mursi dan menuntut pengembalian Mursi ke posisinya sebagai presiden.

Menghadapi unjuk rasa yang terus digelar massa pro Mursi, Presiden sementara Mesir, Adli Mansour dalam pidato politiknya pada Kamis (18/7) menyatakan tekadnya untuk menyatukan dan memulihkan stabilitas keamanan yang telah menjadi programnya sejak ia dilantik pada 4 Juli silam.

"Kami akan bertemur sampai akhir untuk keamanan," tegas Mansour.

Meski begitu, aksi demonstrasi dan bentrokan masih terus terjadi di beberapa tempat di Mesir. Massa pro Mursi yang selama lebih dari dua pekan menduduki Lapangan Raba'a Al Adawiya di sebelah Utara Kairo, mengajak setiap orang Mesir secara bebas termasuk para perempuan untuk keluar menghadapi "kudeta militer berdarah". Massa pro Mursi mengklaim akan terus menggelar unjuk rasa sampai Mursi dikembalikan ke posisinya sebagai presiden.

Sementara massa penentang Mursi berkumpul di Lapangan Tahrir, Kairo. Mereka juga berencana melakukan aksi untuk mendukung langkah militer menggulingkan pemerintahan Ikhwanul Muslimin. Kubu anti Mursi ini menyebut aksi demonstrasi mereka sebagai aksi "rakyat melawan terorisme."

Bentrokan kedua kubu ini terjadi di beberapa tempat hingga Sabtu malam yang menyebabkan beberapa orang tewas dan terluka. 

Tiga orang perempuan tewas pada Jum'at (19/7) dan beberapa orang lainnya terluka ketika pendukung Mursi diserang di Delta Nil di kota Mansura.

Di Mahalla Besar sebelah Utara Kairon bentrokan kedua kubu terjadi pada Sabtu (20/7) malam usai shalat Tarawih dan menyebabkan 4 orang terluka. 

Pada Sabtu malam itu juga dikabarkan sebuah bom meledak di dekat kantor polisi Abu Soweir, sekitar 100 km timur Kairo. Dalam insiden ini tidak ada korban jiwa tapi 4 mobil yang diparkir dekat kantor polisi rusak.

Sementara di Semenanjung Sinai, dikabarkan dua orang prajurit dan seorang polisi tewas akibat serangan kelompok radikal bersenjata ke sebuah kamp militer dekat kota Rafah pada Minggu dini hari. 

Perdana Menteri sementara, Hazem el-Beblawi dalam wawancara pertamanya di televisi pada Sabtu (20/7) sebenarnya telah menyerukan rekonsiliasi terhadap semua pihak dan berharap setiap orang dapat terlibat dalam dialog nasional. 

"Kami tidak dapat membuat sebuah konstitusi jika negara terpecah. Kita harus kembali dalam harmoni," demikian ajakan rekonsiliasi Beblawi pada semua warga Mesir. Harapan yang sebenarnya sangat luhur tapi agaknya sulit terwujud, terlebih bila masing-masing pihak masih lebih suka berpegang pada posisinya. Ikhwanul Muslimin yang merupakan pendukung utama Mursi telah menegaskan tidak akan berdialog sebelum Mursi dikembalikan ke posisinya sebagai presiden. Tapi seperti yang telah diketahui seluruh dunia, hal itu tidak akan terjadi. Kalaupun misalnya Mursi dikembalikan menjadi presiden, pastinya massa anti Mursi tidak akan tinggal diam. Jadi rasanya harmoni yang diharapkan akan tercipta kembali di Mesir masih hanya sebatas harapan.

Tidak ada komentar: