Judul Asli : The Last Princess of Chosun Dynasti Deokhye
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Ukuran : xvi + 368 hlm.; 20,5 cm
ISBN : 978-602-8811-76-7
Novel ini diangkat dari kisah nyata seorang putri dari Kerajaan Joseon, Korea. Hidupnya yang bahagia sebagai seorang putri berakhir secara tragis. Ayahnya yang sangat menyayanginya tewas mendadak akibat diracun. Ia dipaksa meninggalkan negeri yang dicintainya dan harus menikah dengan pria Jepang, negeri yang telah menjajah negara yang dicintainya. Pernikahannya berakhir dengan perceraian. Anak satu-satunya yang sangat disayanginya ternyata membencinya dan tak sudi bersamanya. Suaminya memasukkannya ke rumah sakit jiwa dan negara yang dicintainya nyaris melupakannya. "Meskipun orang-orang tidak mengenaliku, aku adalah Putri terakhir Kerajaan Joseon," ujarnya dalam keterasingan dan kesendiriannya. Nama sang Putri adalah Deokhye.
Putri Deokhye adalah Putri terakhir dari Dinasti Kerajaan Joseon. Ayahnya, Raja Kojong, sangat menyayanginya karena ia adalah putri satu-satunya. Raja bahkan sampai membuatkan sebuah taman bermain di Istana Chang Deok demi dirinya. Namun keadaan Korea saat itu dalam cengkeraman penjajahan Jepang. Itulah sebabnya Raja mencemaskan nasib putri semata wayangnya ini. Ia takut putrinya akan mengalami nasib seperti salah seorang putranya, menjadi "tawanan" Jepang.
Salah seorang putra Raja Kojong yaitu Pangeran Young Chin, saat berumur sebelas tahun demi alasan politik terpaksa meninggalkan negerinya dan menetap di Jepang dengan dalih melanjutkan studi, padahal seluruh Kerajaan Joseon menyadari bahwa keadaaan yang sebenarnya, Pangeran Young Chin menjadi "sandera" politik Jepang. "Penyanderaan" Jepang terhadap Pangeran Young Chin makin nyata tatkala ia demi alasan politik pula, harus menikah dengan putri Kerajaan Jepang. Pernikahan Pangeran Young Chin dengan Putri Masako Nashimotonomiya yang adalah anak perempuan Pangeran Morimasa Nashimotonomiya dari Kekaisaran Jepang ini sempat mengusik Putri Deokhye, yang memiliki jiwa nasionalisme yang sangat tinggi dan amat menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan Kerajaan Joseon. Ia mempertanyakan nilai nasionalisme kakaknya yang rela menikahi Putri dari Kerajaan Jepang yang artinya akan menodai garis keturunan Kerajaan Joseon. Namun ibunda dari Putri Deokhye, Lady Yang menyatakan bahwa Putri Deokhye masih terlalu belia untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Raja Kojong yang sudah sakit hati dan terluka terhadap nasib putranya yang harus menjadi "tawanan" Jepang khawatir kalau-kalau putri semata wayangnya, Putri Deokhye akan mengalami nasib yang sama dengan yang menimpa kakaknya. Karena itu, diam-diam ia mengatur pertunangan Putri Deokhye dengan Kim Jang Han, keponakan dari Kim Hwang Jin, orang kepercayaan Raja Kojong. Baik Putri maupun Kim Jang Han saat itu masih kecil.
Saat dibawa menemui Raja, tanpa sengaja Kim Jang Han, yang semula tak tahu tujuan pamannya membawanya menemui Raja, bertemu dengan Sang Putri. Saat itu baik Kim Jang Han maupun putri saling menyukai satu sama lain. Tapi Putri yang juga tak tahu siapa anak laki-laki yang dibawa oleh Kim Hwang Jin, orang kepercayaan ayahnya sendiri. Rencana pertunangan yang dipersiapkan Raja ini hanya diketahui segelintir orang. Salah satunya adalah bibi pengasuh Putri sendiri. Saat berpapasan anak laki-laki yang dibawa Kim Hwang Jin, tanpa sadar bibi pengasuh ini ini bergumam. Ia berkata, "Oh, ternyata melalui anak itu...." Sang putri yang tak paham maksud perkataan bibi pengasuhnya tentu saja langsung mempertanyakan arti gumaman dari wanita tua yang telah mengasuhnya ini, tapi bibi pengasuh Putri hanya bisa mengelak.
Namun pertunanangan sang Putri yang diatur dengan sangat rapi oleh Raja Kojong nyatanya hancur berantakan. Raja Kojong meninggal dunia secara mendadak. Ada kabar mengatakan bahwa Raja tewas diracun.
Kematian Raja Kojong membuat kondisi psikologis sang putri terganggu. Putri dikabarkan mengalami gangguan jiwa. Ada dayang yang menyebarkan isu bahwa Putri Deokhye bertingkah aneh dan bersikap seolah-olah tengah bercakap-cakap dengan ayahandanya.
Setelah Raja Kojong wafat, Raja Sunjong naik tahta. Raja Sunjong sesungguhnya sangat menyayangi dan melindungi Deokhye, namun ia tetap tak berdaya saat Deokhye harus mengikuti jejak Pangeran Young Chin. Apa yang ditakutkan Raja Kojong benar-benar terjadi. Deokhye harus pergi ke Jepang dengan dalih melanjutkan studi di sana.
Sementara itu beberapa orang bergabung ke dalam gerakan bawah tanah untuk memerdekakan Korea dari penjajahan Jepang. Gerakan kemerdekaan ini disebut Korea Manse. Salah seorang yang tergabung dalam gerakan ini bernama Heo Seung. Pergerakannya sangat menyulitkan pihak Jepang sehingga Heo Seung menjadi buron pihak Jepang. Akibatnya Heo Seung terpaksa bersembunyi di dalam hutan dan meninggalkan istri dan anak perempuannya bernama Heo Bok Sun yang usianya sebaya dengan Putri Deokhye.
Hidup Bok Sun dengan ibunya sangat sulit. Mereka harus hidup berpindah-pindah dan bersembunyi karena khawatir mereka akan dijadikan sandera untuk menjebak Heo Sung agar menampakkan diri. Bok Sun yang masih kecil terpaksa harus bekerja demi menghidupi dirinya sendiri dan ibunya yang sakit-sakitan. Suatu hari Bok Sun hampir ditangkap untuk dijadikan wanita penghibur bagi tentara Jepang, beruntung saat itu kereta yang dinaiki oleh Putri Deokhye lewat. Bok Sun diselamatkan oleh Putri Deokhye dan dibawa ke istana. Bok Sun kemudian menjadi pelayan pribadi Putri Deokhye. Walau begitu, usia mereka yang sebaya membuat hubungan keduanya sangat dekat. Saat Putri Deokhye dibawa ke Jepang, Bok Sun ikut serta untuk mendampingi Putri Deokhye.
Selama di Jepang ternyata status Deokhye sebagai seorang putri Kerajaan Joseon sama sekali tak berarti. Di kelas ia tak disukai oleh teman-temannya. Sikapnya yang penuh harga diri sebagai putri Kerajaan Joseon membuat teman-teman sekelasnya menganggapnya sombong dan arogan. Mereka pun lantas mengerjai sang putri. Mereka pernah membuat termos air minum sang putri terjatuh hingga airnya tumpah membasahi lantai. Mereka berharap sang putri akan menangis tapi Putri Deokhye tanpa banyak bicara mengepel tumpahan air minumnya. Sebenarnya Bok Sun yang setiap hari memperhatikan sang putri di luar kelas, berniat mengepel tumpahan air minum sang puteri tapi Putri Deokhye menahannya dan memutuskan mengepel sendiri tumpahan air minumnya. Dan seharian itu Putri Deokhye memilih menahan rasa dahaganya dan tidak minum sama sekali karena air dalam termosnya habis ditumpahkan oleh teman-temannya, daripada harus mengemis meminta minum pada teman-temannya.
Lain waktu teman-teman Putri Deokhye juga kerap mengerjainya dengan membawa mejanya keluar atau menyembunyikan bukunya. Tapi sang putri tak pernah menangis ataupun panik. Ia tetap bersikap tenang dan memperlihatkan keeleganannya sebagai seorang putri hingga membuat teman-teman sekelasnya makin benci kepadanya tapi menyadari bahwa Putri Deokhye takkan pernah merendahkan dirinya maka teman-temannya pun menyerah karena tak bisa mempermalukan sang Putri.
Waktu berlalu. Putri Deokhye tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik namun rasa rindunya pada tanah airnya tak pernah padam. Putri Deokhye juga sangat merindukan ibunya. Setelah ia di Jepang, ia baru bertemu ibunya sekali saat Raja Sunjong wafat. Kala itu Deokhye melihat ibunya tampak tak terlalu sehat, tapi ibunya selalu meminta Deokhye tak mengkhawatirkannya dan menyatakan bahwa ia sangat sehat. Padahal saat itu Lady Yang, ibunda Putri Deokhye menderita kanker.
Berkali-kali Putri Deokhye menyatakan keinginannya untuk pulang ke tanah air menemui ibunya tapi Jepang tak pernah memberikan ijin hingga suatu hari, Pangeran Young Chin meminta Deokhye bersiap-siap pulang ke Korea. Tentu saja Deokhye girang bukan kepalang karena akhirnya ia bisa menemui ibunya, ia sama sekali tak memperhatikan kakaknya mengenakan pakaian serba hitam. Setibanya di Korea betapa terkejut dan terpukulnya Deokhye tatkala mengetahui bahwa kepulangannya itu adalah untuk menghadiri pemakaman ibunya. Namun karena Lady Yang, ibunda Putri Deokhye adalah seorang selir yang berasal dari rakyat jelata dan menjadi dayang sebelum akhirnya menjadi selir Raja Kojong, maka Deokhye tak diizinkan mengadakan upacara peringatan bagi ibunya. Hal ini tentu saja membuat Deokhye berang tapi ia tak bisa berbuat banyak karena pihak Jepang membatasi waktu kunjungannya dan memaksanya harus kembali ke Jepang.
Kematian Raja Sunjong yang selama ini sudah bagaikan ayah bagi Deokhye ditambah kematian ibunya sendiri membuat kejiwaan sang putri rapuh. Pangeran Young Chin membawa Deokhye berobat dan ternyata Deokhye didiagnosa menderita gejala skizophrenia, sejenis penyakit gangguan jiwa yang membuat penderitanya kerap mengalami gangguan halusinasi.
Belum lagi sang putri pulih, tiba-tiba saja Han Chang Su, Perdana Menteri Korea yang pro Jepang dan tak disukai oleh pihak keluarga Kerajaan Joseon, menetapkan pernikahan Putri Deokhye dengan seorang bangsawan Jepang. Tentu saja pernyataan Han Chang Su ini membuat marah Pangeran Young Chin. Ia sudah merasakan hidupnya sendiri tersandera oleh pihak Jepang dan harus menjalani pernikahan politik. Ia tak ingin adiknya mengalami hal yang sama. Deokhye masih dalam keadaan duka atas kematian ibunya, kesehatan jiwanya pun masih belum pulih, bagaimana bisa membicarakan pernikahannya. Tapi Han Chang Su yang merasa memiliki kekuasaan atas otoritas yang diberikan pihak Jepang tak menanggapi keberatan Pangeran Young Chin. Menyadari posisi Kerajaan Joseon yang sudah rapuh, bahkan Han Chang Su berani bersikap kurang ajar terhadap Pangeran Young Chin. Namun keberuntungan ada di pihak Deokhye. Tunangan yang sudah siap dinikahkan dengannya tiba-tiba saja sakit dan meninggal dunia. Untuk sementara Pangeran Young Chin merasa lega. Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Han Chang Su yang masih belum puas kembali datang ke kediaman Pangeran Young Chin dan mengumumkan pertunangan Putri Deokhye dengan seorang pemuda Jepang bernama Tso Takeyuki.
Asal usul Tso Takeyuki sebenarnya cukup kelam. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa orangtua Takeyuki adalah seorang pencuri. Saat mengetahui hal ini, Deokhye merasa sedikit tersinggung. Ia berpikir karena ia hanyalah seorang anak selir, maka jodoh yang diberikan untuknya pun bukanlah seorang anggota keluarga kerajaan. Takeyuki sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Takeyuki lalu diadopsi oleh Tso Sikemochi. Namun Takeyuki dijaga oleh Sadako, kakak Ratu Daisho.
Tso Takeyuki sebenarnya tulus ingin membina rumah tangga yang bahagia bersama Deokhye. Ia memenuhi apapun keinginan Deokhye asalkan istrinya ini bahagia. Bahkan meskipun Deokhye tak bersedia mengenakan kimono dan menyediakan menu makanan Korea demi membuat Deokhye bahagia. Tapi Deokhye yang sejak awal merasa terhina dengan pernikahan politik ini tak lantas menerima uluran kasih yang ditawarkan Takeyuki ini. Ia tetap bersikap dingin dan menjaga jarak hingga membuat Takeyuki frustasi. Suatu hari Takeyuki membuat dirinya sendiri mabuk. Dalam keadaan mabuk ini, ia mencurahkan seluruh perasaan frustasinya dan niat tulusnya pada Deokhye. Setelah mendengar pernyataan tulus Takeyuki yang diucapkannya dalam keadaan mabuk ini, perasaan Deokhye pun mulai mencair. Ia bersimpati dan menerima ketulusan Takeyuki. Mereka kemudian berlibur ke tempat di mana Takeyuki pernah menghabiskan masa kecilnya. Dari sini Deokhye mulai bisa mengenal Takeyuki. Sama seperti Deokye, rupanya Takeyuki juga suka membaca dan membuat puisi. Harapan Takeyuki untuk memiliki rumah tangga yang bahagia bersama Deokhye nyaris terpenuhi. Pada tahun 1932 putri semata wayang mereka lahir. Takeyuki menamainya Tso Masae. Namun Deokhye lebih suka memanggil putrinya dengan nama Korea, Jeong Hye.
Saat masih kecil, Jeong Hye sangat akrab dengan Deokhye, ibunya. Setiap hari Deokhye mengajari Jeong Hye bahasa dan tata krama Joseon. Ia juga kerap menceritakan pada Jeong Hye mengenai negeri asalnya. Ia mengisahkan tentang jatidirinya yang adalah putri dari Kerajaan Joseon. Ia juga menceritakan keindahan taman di Istana Chang Deok yang sangat dirindukannya. Jeong Hye yang masih sangat kecil ini pun selalu menyatakan kebanggaannya terhadap ibunya yang adalah putri Kerajaan Joseon dan karena tertarik dengan kisah-kisah ibunya mengenai Korea, Jeong Hye pun berujar, "Ah... aku juga ingin sekali pergi ke negera Ibu."
Jeong Hye adalah segala-galanya bagi Deokhye. Namun di dalam hatinya ia selalu khawatir bila suatu hari nanti Jeong Hye akan datang padanya dan mengatakan bahwa ia benci dengan darah Korea yang diwariskannya. Dalam kegelisahannya ini, penyakit kejiwaan yang telah lama diderita Deokhye kembali muncul. Ia kerap berjalan dalam tidur.
Kekhawatiran Deokhye menjadi kenyataan. Setelah Jeong Hye mulai masuk sekolah, ia diledek oleh teman-temannya karena memiliki darah campuran Jepang-Korea. Jeong Hye pulang sekolah sambil menangis. Saat Deokhye ingin menghiburnya, Jeong Hye malah berteriak memakinya dan menyalahkan Deokhye karena berdarah Korea. Bukan hanya itu saja, Jeong Hye tak lagi suka bila dipanggil dengan nama Jeong Hye karena nama ini adalah nama Korea. Ia lebih suka dipanggil dengan nama Masae. Tso Masae. Tapi Deokhye terus saja memanggilnya Jeong Hye sehingga Jeong Hye sangat membenci Deokhye.
Semakin hari Jeong Hye makin menjauh dari Deokhye. Hal ini tentu saja membuat Deokhye sedih. Terlebih lagi Takeyuki malah menyalahkan Deokhye yang terus memanggil putri mereka dengan nama Jeong Hye padahal putri mereka ini tak suka dipanggil dengan nama itu. Takeyuki juga kerap jengkel dengan sikap Deokhye yang seolah masih merupakan putri Kerajaan Joseon. Deokhye bahkan pernah menampar seorang pelayan. Kini dengan krisis ekonomi yang menimpa Jepang pasca Perang Dunia Kedua, Takeyuki merasa kesulitan menghadapi Deokhye.
Saat Jepang kalah di Perang Dunia Kedua, Jeong Hye makin membenci ibunya. Ia marah karena teman-teman sekolahnya menuduhnya yang berdarah campuran adalah mata-mata yang menyebabkan Jepang kalah. Jeong Hye menangis, ia mengatakan bahwa ia sendiri sebenarnya berdoa agar Jepang menang perang tapi yang terjadi adalah sebaliknya dan ia merasa kekalahan Jepang ini bukan disebabkan oleh dirinya. Lain halnya dengan Deokhye. Saat mendapat kabar Jepang kalah perang, Deokhye justru girang bukan kepalang. Ia berharap kekalahan Jepang di Perang Dunia ini akan membuat kemerdekaan Korea, negaranya bisa segera terwujud. Ia berharap bisa secepatnya pergi dari Jepang kembali ke negerinya.
Kondisi kejiwaan Deokhye yang sudah lama bermasalah makin parah dengan semua keadaan ini. Ia merasa kesepian. Deokhye berharap ada yang bisa memahaminya dan orang itu seharusnya adalah Bok Sun, tapi sudah lama Bok Sun menghilang. Saat Deokhye tengah mengandung, tiba-tiba saja Han Chang Su datang dan meminta Bok Sun membantu di rumah Pangeran Young Chin karena pelayan yang biasa melayani di sana mendadak harus pergi. Awalnya Deokhye tak mengijinkan Bok Sun pergi tapi akhirnya ia harus mengalah dan membiarkan Bok Sun pergi. Namun Bok Sun ternyata bukan dikirim ke tempat Pangeran Young Chin. Rupanya Bok Sun sengaja dipisahkan oleh Han Chang Su dari Putri Deokhye. Bahkan orang yang ditugaskan menjemput Bok Sun tega memperkosanya dan setelah itu membiarkan Bok Sun menggelandang mencari pekerjaan dan tempat tinggal.
Suatu hari Takeyuki harus pergi ke suatu tempat. Di rumah hanya ada Deokhye. Kesempatan ini digunakan Deokhye untuk membawa Jeong Hye kabur ke Korea bersamanya. Kepada pelayan, ia mengatakan ingin membuat sendiri makanan untuk putrinya. Deokhye memasukkan obat tidur ke dalam makanan yang disantap Jeong Hye dengan maksud saat Jeong Hye tertidur maka ia bisa membawa Jeong Hye ke kapal dan kabur bersamanya ke Korea. Tapi aksinya ini ketahuan oleh pelayan yang menemukan bungkus obat tidur di dapur. Hal ini segera dikabarkan ke Takeyuki. Tentu saja Takeyuki sangat marah dan saat Jeong Hye tersadar pun, ia jadi marah dan tak mau lagi berada di dekat ibunya. Bahkan ia menuduh Deokhye adalah ibu yang kejam yang sampai hati berniat membunuhnya. Deokhye amat sedih, ia menyatakan bahwa ia sama sekali tak bermaksud membunuh Jeong Hye, ia hanya ingin membuat Jeong Hye tertidur agar bisa dibawa kabur ke Korea tapi Jeong Hye makin marah dan menyatakan bahwa ia takkan pernah sudi menginjakkan kakinya ke Korea.
Penolakan dari putrinya benar-benar membuat Deokhye tak tahan. Terlebih Takeyuki dengan kasar malah memakinya karena berniat membawa kabur putri mereka ke Korea. Hati Deokhye benar-benar terluka. Tanpa pikir panjang Deokhye meminum semua obat tidur yang masih tersisa di kamarnya. Ia berpikir apa perlunya lagi hidup?
Takeyuki yang tiba-tiba masuk terkejut. Ia memaksa Deokhye mengeluarkan kembali obat tidur yang ada di dalam mulutnya. Takeyuki yang sebenarnya sangat ingin membangun rumah tangga yang bahagia bersama Deokhye sangat sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka justru diterpa masalah seperti ini.
Musim gugur 1946, Takeyuki menjual rumahnya. Kekalahan Jepang telah mengubah kondisi perekonomian semua warga Jepang. Takeyuki bahkan tak lagi sanggup menggaji pelayan. Ia juga terpaksa membuang beberapa barang di rumahnya. Tanpa pelayan, tak ada lagi yang bisa mengurus rumah tangga sementara Deokhye yang mengalami gangguan jiwa sama sekali tak bisa diharapkan untuk membantunya. Sedangkan Jeong Hye, putri mereka masih SMP. Takeyuki tak sanggup harus mengurus Deokhye sementara kondisi ekonominya pun terus menurun. Maka Takeyuki memutuskan memasukkan Deokhye ke dalam rumah sakit jiwa. Kegetiran dan kepahitan hidupnya sedikit demi sedikit mengikis nyala kehidupan dalam jiwa Deokhye. Dalam pikirannya ia masih terus teringat pada putrinya tapi sedihnya Jeong Hye tak pernah sekalipun mengunjungi ibunya. Adapun Takeyuki telah menikah dengan wanita lain. Takeyuki sempat datang mengunjungi Deokhye tapi sinar mata Deokhye tetap terlihat kosong. Saat itu Takeyuki menangis dan mengatakan pada Deokhye bahwa ia akan menceraikan Deokhye. Tapi Deokhye tetap bergeming. Pun saat Takeyuki memeluknya. Satu-satunya ekspresi darinya adalah saat Takeyuki beranjak keluar, barulah Deokhye mengeluarkan suara. Ia memanggil Jeong Hye, nama putri mereka. Jeong Hye rupanya yang selalu mengisi hati Deokhye yang sudah kosong. Tapi hingga akhir hayatnya Jeong Hye tak pernah datang menemui ibunya.
Setelah menjenguk Deokhye, perasaan Takeyuki sendiri makin tak menentu. Ia merasa bersalah. Ia berpikir dirinyalah yang menjadi penyebab Deokhye terpisah dari Masae padahal dalam hatinya Deokhye tak pernah bisa melupakan putri semata wayangnya ini. Dan walaupun Takeyuki menikah lagi, namun dalam hatinya tak mampu menghapus nama Deokhye sehingga ia menulis sebuah puisi. Dalam puisinya itu ia menulis: Untuk Istri Koreaku.
Jeong Hye di kemudian hari dikabarkan telah menikah. Deokhye tentu saja tak bisa menghadiri pernikahan itu. Tapi tak lama setelah kabar pernikahannya muncul berita bahwa Jeong Hye ditemukan bunuh diri di Gunung Komatake.
Adapun Deokhye bertahun-tahun terlupakan di dalam rumah sakit jiwa hingga suatu hari seorang wartawan Korea menemuinya di sana dan memberitakan nasib tragis putri terakhir Dinasti Joseon ini.
Suatu hari Bok Sun yang terpaksa menggunakan identitas palsu dengan nama Jepang demi bisa mendapat pekerjaan dan tempat tinggal mendengar kabar mengenai sang Putri yang dirawat di rumah sakit jiwa ini. Ia lalu melamar kerja sebagai petugas kebersihan di rumah sakit tersebut demi bisa bertemu sang Putri. Namun sang Putri yang terlalu banyak menerima kepahitan dan kegetiran dalam hidupnya sudah tak lagi mengenali Bok Sun. Sang Putri sudah kehilangan ingatan. Bok Sun yang iba melihat nasib junjungannya yang tragis ini berniat membebaskan sang Putri. Maka ia bersama kelompok gerakan kemerdekaan yang anggotanya sudah menyusut karena putus asa tak bisa memperjuangkan kemerdekaan Korea dari penjajahan Jepang, mengatur rencana untuk menculik Putri Deokhye dari rumah sakit dan membawanya kembali ke Korea. Kelompok gerakan rahasia ini diketuai oleh Park Mu Young. Sebenarnya Park Mu Young ini adalah Kim Jang Han, anak laki-laki yang dipilih Raja Kojong sebagai tunangan Putri Deokhye. Setelah Raja Kojong wafat, Kim Jang Han diganti identitasnya namun oleh pelindungnya ia tetap dipersiapkan sebagai pelindung sang Putri. Bahkan ia diperintahkan untuk "menjaga sang Putri sekuat tenaga hingga kekuatanmu benar-benar habis." (hlm. 168).
Saat Putri Deokhye ditetapkan akan menikahi Tso Takeyuki, sebenarnya kelompok Park Mu Young sudah dipersiapkan untuk menculik sang Putri tapi sayangnya rencana mereka gagal, beberapa anggota mereka bahkan tewas ditembak penjaga yang mengawasi kediaman Takeyuki yang digunakan sebagai tempat upacara pernikahan tersebut. Meski dibayang-bayangi kegagalan itu, namun Park Mu Young tetap bertekad untuk menyelamatkan sang Putri. Dalam hati Park Mu Young, ia tak pernah melupakan sang Putri walau kondisi sang Putri sendiri memprihatinkan. Putri Deokhye tak lagi mengenali siapapun. Bahkan ia pun tak lagi mengenali Bok Sun. Namun saat sang Putri melihat Park Mu Young, ada sesuatu yang melintas dalam ingatannya. Dari tatapan sang Putri, Park Mu Young dapat melihat bahwa sang Putri mengenalinya. Ia mengenali Mu Young, si anak laki-laki yang pernah ditetapkan Raja Kojong sebagai tunangannya. Kim Jang Han.
****
Gaya bertutur dalam novel ini cukup menarik. Di bagian-bagian awal mungkin agak sedikit membingungkan tapi cukup menjelaskan kondisi Korea yang semula berada dalam kekuasaan Rusia tapi lewat sebuah perjanjian politik, Rusia kemudian menyerahkan Kerajaan Korea kepada Kekaisaran Jepang. Beberapa fakta sejarah disisipkan dalam beberapa kejadian fiktif rekaan penulisnya dengan kekuatan kata-kata bernada puitik menurutku menjadi kekuatan dalam novel ini. Hal menarik lainnya dalam novel ini, menurutku, adalah dialog-dialog khas penulis Korea yang memang pandai menciptakan kalimat bernada puitis yang mampu menguras emosi dan air mata pembacanya, menangisi nasib tragis sang Putri. Ada beberapa dialog yang sangat berkesan bagiku. Salah satunya adalah kalimat yang diucapkan oleh Deokhye saat hatinya gelisah memikirkan apa yang akan terjadi saat Jeong Hye, putrinya sudah cukup besar nanti dan mungkin takkan menyukai jatidirinya yang separuh Jepang dan separuh Korea.
"Meskipun terhempas angin, aku harus dapat bangkit kembali." (hlm. 270).
Dialog lainnya yang juga kusuka adalah dialog dalam halaman 175. Dialog ini diucapan oleh Pangeran Young Chin. Saat itu Pangeran Young Chin memberitahu Deokhye mengenai keputusan yang sudah ditetapkan bagi Deokhye untuk menikah dengan seorang pria Jepang. Saat itu Deokhye sangat marah dan tak menerimanya. Ia tak mau mengalami "pernikahan politik" seperti yang dialami oleh kakaknya ini. Namun Pangeran Young Chin yang tak memiliki kuasa hanya bisa menghibur adiknya. Ia berkata, "Sedalam-dalamnya air, pasti akan ada jalan untuk kembali. Sesuatu yang hancur pun, pasti ada caranya juga untuk memperbaikinya kembali."
Salah satu kalimat yang juga menarik bagiku adalah kenangan Takeyuki mengenai tulisan ayahnya yang ditinggalkan oleh ibunya.
"Kalau memulai sesuatu dengan kejujuran pasti akan menemukan jalan yang baik. Namun, kalau tidak memulai dengan berlaku jujur, kau tidak akan pernah pergi ke mana pun." (hlm. 237).