Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 06 Juni 2014

Review Novel : Love Story - Erich Segal

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama 
Cetakan : Kedua belas, Juni 2012 
Tebal : 216 halaman 
ISBN : 978-979-22-8372-3 

Novel klasik karya Erich Segal ini sudah lama sekali memikatku. Pertama kali mendengar soal novel ini saat aku masih di bangku sekolah tapi walau sudah seringkali keluar masuk berbagai perpustakaan (karena dulu uang jajanku tak pernah cukup untuk membeli novel:D) tapi aku tak pernah berhasil mendapatkan novel ini. Aku jatuh cinta pada cerita klasik karya Erich Segal ini saat menonton film klasik berjudul sama dengan novel ini: Love Story. Film tersebut diperankan oleh Ryan O'Neal sebagai Oliver Baret IV. Entah apa yang membuatku terpaku pada kisah ini. Mungkin karena kalimat pembukanya yang amat menarik buatku. Atau mungkin juga karena kisah ini berakhir tragis sehingga membuat sel-sel kelabu-ku sulit menghapusnya dari kotak memoriku. 

Novel Love Story ini berkisah tentang cinta dua orang muda, Oliver Barrett IV dan Jennifer Cavilleri yang bertemu pertama kali di sebuah perpustakaan kampus. Meski latar belakang keduanya begitu berbeda tapi perasaan cinta mereka nyatanya mampu menghapus seluruh perbedaan itu. Melawan segala rintangan, mereka berhasil mengikat cinta mereka dalam sebuah pernikahan. Namun di saat semua rintangan sosial yang membelenggu jalinan cinta mereka selama ini telah berhasil mereka singkirkan, justru mereka harus menghadapi satu rintangan terbesar dan tersulit. 

Novel ini (seperti juga filmnya) diawali oleh kalimat yang walau mengandung pemberitahuan bahwa kisah ini berakhir tragis, tapi dirangkai dengan manisnya sehingga meski tragis tapi mengesankan keindahan dari kisah cinta itu sendiri. 

Apa yang dapat kita ceritakan mengenai gadis dua puluh lima tahun yang telah tiada? Bahwa ia cantik. Dan cemerlang. Bahwa ia mencintai Mozart dan Bach. Dan Beatles. Dan aku. 

Begitulah kutipan kalimat pembuka dari kisah cinta klasik ini. Adalah Oliver Barrett IV yang meski telah dua puluh lima tahun lamanya ditinggal mati istrinya, Jennifer Cavilleri mengenang kembali kisah cintanya. 

Oliver Barrett IV seorang mahasiswa hukum Harvard dari kalangan sosial kelas atas. Ayah Oliver yaitu Oliver Barrett III adalah seorang bankir terkemuka. Garis keturunan keluarga Barrett sebagai tokoh kelas ternyata membuat Oliver merasa terbebani. Ia merasa tertekan dalam bayang-bayang keluarga Barrett. Apapun prestasi yang ditorehkannya tak pernah bisa terasa istimewa karena ayahnya, Oliver Barrett III nyatanya memiliki prestasi yang amat gemilang. Selain prestasi akademik, Oliver Barrett III di masa mudanya merupakan atlet Olimpiade yang telah mengoleksi banyak penghargaan. Untuk itulah Oliver Barrett IV yang walaupun sangat cemerlang di lapangan hoki es namun ia tetap tak bisa berbangga diri menghadapi ayahnya yang pernah menjadi atlet olimpiade saat kuliah. Begitu pun dengan prestasi akademik. Betapapun Oliver berupaya keras tetap saja nama belakangnyalah yang akan lebih menarik bagi publik dibanding prestasi dan kerja kerasnya. 

Awal pertemuan Oliver Barrett IV dengan Jennifer Cavilleri terjadi di perpustakaan Radcliffe. Meskipun Oliver merupakan mahasiswa Harvard dan perpustakaan Harvard sebenarnya jauh lebih lengkap dan bagus daripada milik Radcliffe tapi Oliver lebih suka meminjam buku dari perpustakaan milik universitas yang lebih banyak berisi kaum hawa ini. Alasannya karena di Radcliffe tak ada yang mengenalnya sehingga ia merasa lebih nyaman. Tambahan pula, menurutnya ia lebih mudah mendapatkan referensi yang diinginkannya dari perpustakaan Radcliffe. Dan di sanalah Oliver bertemu Jenny. Saat itu Oliver berniat meminjam buku yang akan menjadi referensi untuk ujian mata kuliah sejarah dan Jenny adalah salah satu gadis yang bertugas di meja untuk bagian referensi yang dibutuhkan Oliver. Pada pertemuan pertama itu, Oliver menangkap kesan Jenny adalah sosok yang pendiam dan berkacamata tapi tak dinyana ternyata Jenny ceriwis dan sangat cerdas. Selain itu saat Jenny keluar dari mejanya, Oliver melihat Jenny memiliki sepasang kaki yang indah. Meski awalnya Oliver tak terlalu menyukai Jenny yang dari ucapannya terkesan sebagai tipe wanita yang superior yang karena perbandingan antara mahasiswa Harvard dengan mahasiswi Radcliffe adalah lima banding satu maka ia menganggap mahasiswi jauh lebih cerdas dibanding para mahasiswa, tapi seiring waktu Oliver justru mendapati dirinya jatuh cinta pada Jennifer Cavilleri yang cerdas dan sangat percaya diri ini. 

Suatu hari Oliver mendapati Jenny tengah menelpon seseorang. Walau ia tak bermaksud menguning, tapi ia penasaran siapa sebenarnya yang tengah berbicara dengan Jenny di telepon. Kewaspadaannya makin tinggi saat ia mendengar Jenny mengatakan, "Aku juga menyayangimu, Phill" di telepon. Hati Oliver langsung kacau balau. Rasa penasarannya makin meningkat. Ia merasa panas hati. Siapa sebenarnya pria bernama Phill yang tengah berbicara dengan Jenny di telepon tersebut. Ia dibakar api cemburu. Seingatnya tak ada makhluk pria di Radcliffe yang bernama Phill. Saat Jenny selesai menelpon, Oliver yang sudah tak sabar langsung bertanya pada Jenny siapa pria bernama Phil yang menelponnya itu. Jenny dengan ringan menjawab bahwa Phil adalah ayahnya. Tentu saja Oliver tak langsung percaya. 

"Kau panggil ayahmu Phil?" demikian Oliver mencecar Jenny, tak percaya dengan penjelasan Jenny. 

"Memang itu namanya. Ayahmu kau panggil apa?" 

Jawaban sekaligus pertanyaan Jenny itu tak bisa dibalas Oliver. Ia memang pernah mendengar dari Jenny bahwa hubungannya dengan ayahnya memang sangat dekat. Sejak ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat Jenny masih sangat kecil, hubungan Jenny dengan ayahnya makin dekat. Tapi ia sama sekali tak menyangka bahwa Jenny sampai memanggil ayahnya sendiri dengan namanya. 

Bila hubungan Jenny dengan ayahnya begitu akrab, berbeda dengan Oliver. Hubungan antara Oliver dengan ayahnya bisa dibilang sangat dingin. Ia bahkan menjuluki ayahnya, si Muka Batu. Perbincangan di antara mereka pun sangat kaku sehingga Oliver tak pernah menikmati pertemuan dengan orangtuanya. Tapi ia tak bisa selamanya menghindar dari orangtuanya karena pada akhirnya ia harus memperkenalkan Jenny dengan orangtuanya. 

Saat hubungan mereka sudah sangat dekat, Jenny mengatakan pada Oliver bahwa ia mendapat beasiswa ke Paris dan ia berniat melanjutkan kuliah musiknya ke Paris. Oliver yang sudah sangat mencintai Jenny tentu tak rela harus kehilangan wanita yang dicintainya. Ia pun langsung melamar Jenny dan membawa Jenny membawa Jenny menemui orangtuanya. 

Pertemuan Jenny dengan orangtua Oliver bisa dibilang berlangsung lancar walau tak terlalu menyenangkan. Kondisi tak menyenangkan ini sebagian besar dipicu oleh Oliver sendiri yang tanpa malu-malu memperlihatkan sikap pemberontakannya pada ayahnya sendiri sehingga Jenny melihat sikap Oliver ini kekanak-kanakan. Bahkan Jenny sampai menarik kesimpulan kegigihan Oliver terhadap hubungan cinta mereka mungkin disebabkan oleh semangat pemberontakan Oliver yang kekanak-kanakan itu yang suka sekali melakukan hal-hal yang ditentang oleh nilai-nilai dari keluarganya yang sangat bermartabat itu. Tapi tentu saja Oliver membantah pendapat Jenny tersebut. Walau ia mengakui bahwa sikap permusuhannya dengan ayahnya yang diperlihatkannya secara gamblang itu memang kekanak-kanakan, namun rasa cintanya pada Jenny adalah murni dan sama sekali bukan semata-mata bentuk pemberontakannya pada orangtuanya. 

Sementara itu, walau orangtua Oliver menyukai Jenny namun mereka tak setuju bila Oliver menikahi Jenny. Namun Oliver yang pemberontak tak ingin mengindahkan keberatan orangtuanya. Ia tetap menikahi Jenny walau akibatnya ia harus kehilangan dukungan finansial dari ayahnya. Sebagai akibatnya ia bukan hanya harus membiayai hidupnya bersama Jenny tapi ia juga terpaksa mengemis meminta jatah beasiswa untuk dirinya demi bisa meneruskan kuliahnya di fakultas hukum. 

Pertengkaran pertama dalam kehidupan rumah tangga Oliver dengan Jenny terjadi saat mereka mendapat undangan makan malam untuk merayakan ulang tahun Oliver Barrett III yang ke-60. Oliver tentu saja tak berminat datang, namun Jenny yang menganggap sikap Oliver ini sangat kekanak-kanakan merasa sudah waktunya permusuhan tak mendasar Oliver terhadap ayahnya ini harus diakhiri. Terlebih kedua orangtua Oliver sudah secara khusus mengirimkan undangan tersebut untuk mereka yang menandakan orangtua Oliver sudah sangat berbesar jiwa dan benar-benar ingin memulihkan hubungan mereka dengan Oliver. Tapi Oliver yang keras kepala tak rela menyerah secara mudah begitu saja sehingga membuat Jenny gemas bukan main. Ia sama sekali tak mengerti dengan sikap Oliver yang begitu dingin terhadap ayahnya sendiri. 

"Ollie, coba pikir," Jenny berkata, kini dengan nada memohon. "Umurnya sudah enam puluh tahun. Tak seorang pun bisa memastikan dia masih ada pada waktu kau akhirnya bersedia rujuk." 

Namun meski Jenny sudah memohon seperti ini, Oliver tetap bergeming dengan kedegilan hatinya sehingga Jenny dengan jengkel mencoba menelpon orangtua Oliver untuk mengabarkan bahwa mereka tidak bisa menghadiri undangan makan malam tersebut. Telepon Jenny dijawan langsung oleh ayah Oliver. Demi mendengar suara ayah mertuanya, Jenny tak sampai hati dan dengan mata basah oleh air mata, Jenny memohon agar Oliver mau mengesampingkan pertikaiannya yang kekanak-kanakkannya itu dan mau berbicara dengan ayahnya sendiri yang menurut Jenny sudah amat merindukan putranya yang tanpa alasan jelas membangkang darinya. Tapi tindakan Jenny ini justru memicu amarah Oliver. Ia langsung merebut pesawat telepon dari tangan Jenny dan melemparnya ke sudut ruangan. Tapi yang paling fatal adalah makian yang disemburkan Oliver pada Jenny. 

"Persetan, Jenny! Kenapa kau tak menyingkir saja dari hidupku!" 

Emosi sesaat Oliver ini amat disesalinya karena dalam sekejap, saat kewarasan menguasai pikirannya kembali, Jenny sudah pergi. Oliver mencoba mencari Jenny, ia berlari ke Radcliffe, menyusuri ruang-ruang latihan piano, kantin, hingga ke stasiun bis, kalau-kalau dalam keadaan emosi, Jenny memutuskan pergi ke rumah ayahnya. Tapi semuanya nihil. Ia tak bisa menemukan Jenny di manapun. Ia bahkan mencoba menelpon Phil, ayah mertuanya, kalau-kalau Jenny ada di sana atau mungkin Jenny menelpon ayahnya setelah pertengkaran mereka, tapi ternyata ayah mertuanya yang terbangun di tengah malam oleh suara telepon dari Oliver ini malah mengeluh karena Jenny sudah lama tak pernah menelponnya. 

Setelah tak berhasil menemukan Jenny di manapun, dengan gontai Oliver kembali ke apartemen sederhana yang disewanya bersama Jenny. Saat hampir sampai di depan apartemennya, ia melihat sosok seorang wanita duduk di anak tangga paling atas. Ia segera mengenali sosok itu adalah Jenny. Kelegaan segera membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan, keletihan dan kelegaan itu berbaur jadi satu. Di pihak lain, emosi Jenny pun rupanya telah larut. Dengan nada naif dan lucu, Jenny malah mengeluh ia lupa membawa kunci sehingga ia harus duduk diam di tangga apartemen mereka entah untuk berapa lama di tengah malam yang dingin itu. Oliver yang masih diliputi rasa penyesalan mengucapkan permohonan maafnya tapi Jenny segera memotong permintaan maaf Oliver. 

"Cinta berarti tak perlu meminta maaf," kata Jenny. 

Tak terasa Oliver akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah hukumnya dan berada di peringkat ketiga. Hasil ini menjadikannya rebutan di berbagai biro hukum. Masa depan yang indah pun terbentang di depan Oliver dan Jenny. Dari berbagai tawaran yang datang padanya, Oliver memilih Biro Hukum Jonas & Marsh yang berada di New York. Dengan gaji senilai 11.800 dolar, gaji tertinggi di antara rekan-rekan seangkatan Oliver membuat pasangan Barrett ini keluar dari masa-masa sulit dari kekurangan finansial yang diderita pasangan ini. Mereka kini bisa tinggal di apartemen besar dan mewah. Oliver juga membeli sebuah mobil yang angsurannya bahkan hampir sama dengan uang sewa apartemen sederhana mereka di Cambridge. Jenny sempat meledek suaminya yang bertingkah seperti orang kaya baru tapi Oliver sama sekali tak peduli. Ia begitu bahagia karena akhirnya bisa menghasilkan uang dari hasil keringatnya sendiri tanpa bantuan ayahnya. 

Tapi kebahagiaan mereka nyatanya tak berlangsung lama. Setelah bertahun-tahun menikah dan kini saat kehidupan finansial mereka sudah cukup kuat, mereka pun mulai mendambakan seorang anak. Tapi nyatanya mereka tak jua dikaruniai seorang anak pun. Akhirnya mereka pun memeriksakan diri ke dokter. Saat pemeriksaan inilah diketahui ada masalah dengan Jenny. Kepada Oliver, dokter yang memeriksa Jenny mengatakan bahwa Jenny menderita leukimia dan umurnya tidak akan lama lagi. Oliver tentu saja merasa terpukul dengan berita ini. Meski dokter memintanya untuk bersikap senormal mungkin agar Jenny tak curiga namun tentu saja Jenny yang sudah sangat mengenal Oliver mengetahui bahwa Oliver menyembunyikan sesuatu darinya. 

Saat Oliver akhirnya tak bisa lagi menyembunyikan soal penyakit Jenny, berbeda dengan Oliver, justru Jenny malah terlihat tegar. Ia malah lebih mengkhawatirkan ayahnya yang pasti akan terpukul. Meski tahu bahwa Oliver pun pasti akan hancur dan sedih saat ia meninggal nanti tapi Jenny meminta Oliver tetap riang gembira. 

Saat yang ditakutkan mereka itu pun tiba. Leukimia yang diderita Jenny bertambah parah sehingga ia harus dilarikan ke rumah sakit. Oliver meminta perawatan yang terbaik untuk Jenny berapapun biaya yang harus dikeluarkan, ia sama sekali tak peduli. Meski demi itu Oliver harus merendahkan diri dan meminjam lima juta rupiah dari ayahnya sekalipun, Oliver sama sekali tak keberatan. Tapi seberapapun kerasnya ia berusaha, ia tetap tak bisa melawan kehendak Ilahi. 

Walau Jenny terenggut darinya tapi Oliver belajar satu hal yang sangat penting dalam hidupnya. Cara untuk mencintai. Pada akhirnya hubungannya dengan ayahnya pun berkembang ke arah yang baik. Ia sama sekali tak menyangka di hari kematian Jenny, ayahnya, si Muka Batu, datang menemuinya. Saat itu ayahnya tak tahu kalau Jenny sudah meninggal. Ia hanya mendengar Jenny sakit keras dan karenanya langsung ke rumah sakit. Ayah Oliver menyesali sikap Oliver yang tak memberitahunya soal penyakit Jenny. 

Seperti kalimat pembukanya yang begitu getir sekaligus manis, kalimat-kalimat akhir dalam novel ini pun diakhiri secara manis sekaligus getir. 

"Oliver," ayahku berkata dengan nada mendesak, "aku ingin membantu." 

"Jenny meninggal," aku memberitahunya. 

"Maafkan aku," ia berbisik seperti seseorang yang kehabisan kata-kata. 

Saat itu, Oliver menjawab ayahnya dengan kalimat yang sama seperti yang pernah diucapkan oleh Jenny, wanita yang dicintainya. 

"Cinta berarti tak perlu meminta maaf." 

Dan kemudian aku melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan di depan ayahku, apalagi di dalam pelukannya. Aku menangis.

Tidak ada komentar: