Merajut Harkat - Putu Oka Sukanta
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Tebal : 548 halaman
ISBN : 978-979-27-8572-2
Novel ini berkisah tentang kejadian setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 di mana setiap orang yang diduga atau dicurigai memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Dan novel ini berkisah tentang Mawa, seorang guru yang sebelum peristiwa G30S mengajar di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan PKI. Seperti guru-guru yang mengajar di sana, ia merupakan simpatisan organisasi masyarakat yang memiliki hubungan dengan PKI. Meski begitu, ia sebenarnya tak pernah mengerti masalah politik atau kegiatan dari partai berlambang palu arit tersebut.
Kejadian di malam 30 September 1965 itu memang berbuntut dengan pembersihan besar-besaran sehingga siapapun yang pernah bersinggungan dengan partai palu arit itu lari menyembunyikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin di antara masyarakat sambil berharap takkan ada yang mengenalinya sebagai bagian dari partai tersebut. Begitupun dengan Mawa. Setelah sekolah tempatnya mengajar ditutup usai peristiwa berdarah di malam 30 September 1965 itu, Mawa membuka toko kelontong sambil mendengar beberapa selentingan kabar dari kawan-kawannya siapa-siapa saja yang sudah ditangkap dan tak ada kabarnya. Selama setahun Mawa aman meski tak juga bisa disebut aman, karena setiap hari ia selalu saja khawatir kalau-kalau ada yang mengenalinya dan melaporkannya. Kekhawatirannya ternyata terjadi juga.
Suatu malam ia pergi menonton di bioskop bersama Nio, tunangannya. Saat tengah mengantri beli tiket, pundaknya ditepuk seseorang. Hati Mawa mencelos cemas. Ia mengenal orang tersebut adalah seniman dari kelompok Islam yang pernah tergabung dalam seksi yang sama dengan Mawa di Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA), Mawa waktu itu merupakan bagian dari Lekra. Mawa berusaha bersikap sebiasa mungkin, tapi ia tahu nasibnya setelah ini berada di ujung tanduk. Ia yakin orang ini akan melaporkannya sebagai anggota Lekra. Dan nyatanya benar saja.
Sepulangnya dari bioskop ia sempat melihat beberapa orang berbadan kekar di sekitar rumahnya. Saat ia sudah terlelap, tiba-tiba rumahnya digedor dan beberapa orang bersenjata masuk ke dalam rumahnya. Mereka membongkar seisi rumah Mawa mencari kalau-kalau ada dokumen atau apapun yang berhubungan dengan Lekra dan PKI yang mungkin disembunyikan Mawa. Mereka juga mengacak-acak barang dagangan Mawa di antararan sabun dan pasta gigi buatan RRT. Meski bersikap sinis dan meledek Mawa saat membongkar barang dagangan Mawa sebagai 'kiriman Mao Tse Tung' tapi lucunya para petugas yang mengacak-acak rumah Mawa itu tanpa malu-malu mengambil barang-barang 'kiriman Mao Tse Tung' itu ke dalam saku mereka.
Ada rasa tak senang dalam diri Mawa tapi sekaligus geli saat melihat orang-orang yang menggerebek rumahnya, merampok barang-barang dagangan dan memasukkannya ke balik baju mereka sehingga Mawa melihat mereka seperti orang-orang yang tengah hamil 5 bulan.
Perasaan Mawa yang merasa sedih tapi tak berdaya melihat barang dagangannya dirampas sangat menarik disimak. Di halaman 16 dalam hatinya Mawa berujar:
"Mengapa mereka tidak bilang terlebih dahulu pada pemiliknya? Aku tahu mereka butuh barang-barang itu. Mungkin mereka tidak mampu membeli banyak barang sekaligus. Tapi mereka harus tahu, barang itu adalah tetesan keringatku dari hari ke hari. Hasil keringatku yang sah. Bukan hasil korupsi atau rampasan...."
Mawa lantas dibawa dengan jip ke suatu tempat yang sama sekali tak dikenalnya. Dalam perjalanan Mawa memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Mawa teringat kisah mengenai Butet, seorang gadis yang beruntung.
Kisahnya, sehari setelah peristiwa G30S, Butet bersama beberapa orang membacakan sajak yang revolusioner yang mendukung peristiwa itu. Saat pulang sekolah, Butet ditangkap oleh kelompok pemuda pelajar. Butet dipaksa memberitahu siapa pemimpin siaran deklamasi di RRI itu tapi Butet tak pernah memenuhi permintaan mereka meski ia disiksa dan diancam hukuman mati, ia malah mengaku bahwa dirinyalah pemimpin siara deklamasi itu. Saat ditanya apakah ia punya keluarga militer, Butet dengan nekatnya mengaku bahwa pamannya adalah seorang yang berpangkat di militer, padahal sebenarnya orang yang disebutkan sebagai pamannya itu sama sekali tak dikenalnya. Ia hanya pernah bertemu dengan orang itu satu kali saat ia menari di Hotel Indonesia, tapi ia beruntung karena saat dihubungi, orang yang disebutkan Butet sebagai pamannya itu membenarkan dan mengakui Butet sebagai keponakannya sehingga Butet dilepaskan.
Dalam hati Mawa bertanya-tanya akankah hidupnya seberuntung Butet ataukah berakhir tragis seperti kisah orang-orang di daerah yang didengarnya dibunuh secara massal.
Setelah dibawa ke sebuah barak. Di sini sudah ada tahanan-tahanan lainnya. Di sinilah Mawa baru tahu bahwa orang yang menyebutkan namanya hingga ia ditangkap adalah juru tiknya di ormas tempatnya bernaung dulu saat masih menjadi guru. Tapi rupanya orang ini pun terpaksa menyebutkan namanya karena tak tahan disiksa secara intensif.
Tak tunggu waktu lama, Mawa juga merasakan interogasi dan siksaan yang serasa akan membawa sukmanya terlepas dari raganya. Ia dipaksa memberitahu nama-nama temannya yang lain. Tapi Mawa tetap bertahan tak memberitahu apapun walau ia disiksa hingga tubuh kurusnya serasa akan hancur. Namun Mawa melupakan satu hal. Saat ditangkap ia mengenakan kemeja yang di sakunya terdapat surat Hanja yang dititipkan padanya untuk Acong seorang pedagang kaya raya. Hanja adalah buronan yang cukup penting, namunMawa tak terlalu mengenal Acong, ia hanya pernah sekali datang ke rumahnya. Acong sangat simpatik dan bersedia membantu kondisi ekonominya. Tapi saat Mawa menceritakan hal ini pada Hanja, ia dilarang menghubungi Acong lagi kecuali bila keadaannya kepepet. Mawa khawatir petugas yang menginterogasinya akan menanyainya soal keberadaan Hanja dan Acong. Ia pun menulis surat pada Nio dan meminta kekasihnya ini menghubungi Hanja dan teman-temannya yang lain. Tapi ternyata Hanja tetap tertangkap juga.
Di kemudian hari, Mawa banyak mendapat bantuan dari Hanja. Saat bertahun-tahun mendekam dalam sel, Hanja banyak menolongnya dengan memberi ransum, kiriman makanan yang dibawa istrinya saat berkunjung. Makanan di penjara bukan hanya sedikit tapi juga tak pernah memenuhi gizi para tahanan yang dianggap PKI, sehingga banyak yang akhirnya menderita di penjara akibat diare atau kekurangan gizi.
Mawa tak memiliki keluarga di Jakarta. Semua anggota keluarganya ada di Bali, ia hanya memiliki Nio. Tapi Nio lama sekali tak mengunjunginya. Padahal kunjungan Nio sangat dinantikannya karena setiap narapidana yang dikunjungi artinya akan mendapat tambahan makanan bergizi. Di masa-masa inilah Hanja berbaik hati membagi ransumnya dengan Mawa.
Namun ada masa di mana Mawa sangat marah pada Hanja karena Hanja menjebaknya dan membuatnya harus mengkhianati Acong. Tanpa ia ketahui sebelumnya, ia dibawa oleh para petugas ke sebuah rumah yang kemudian dikenalnya sebagai rumah Acong. Ternyata Hanja yang telah memberitahu soal keberadaan Acong ini tapi ia mengatur agar Mawa yang dibawa oleh petugas ke rumah Acong seolah-olah Mawa-lah yang berkhianat.
Mawa kemudian dipaksa untuk mengetuk rumah Acong. Saat itu putri bungsu Acong yang membukakan pintu untuknya. Karena ia dikenal oleh keluarga Acong, maka mereka tak curiga tapi kemudian para tentara masuk dan menangkap Acong. Saat itu Mawa merasa sangat bersalah ketika melihat tatapan putri bungsu Acong yang masih kecil itu menatapnya dengan pandangan menusuk seolah memakinya sebagai pengkhianat. Di sini Mawa marah sekali pada Hanja yang telah membuatnya sebagai pengkhianat.
Bertahun-tahun lamanya Mawa dan tahanan politik lainnya hidup dalam ketidakpastian di dalam penjara. Mereka tak pernah menjalani proses persidangan yang sebenar-benarnya. Mereka tiba-tiba saja diangkut dari rumah mereka lantas diinterogasi dan disiksa lalu dimasukkan ke dalam tahanan. Bersama tahanan lainnya, Mawa berkali-kai dipindah dari penjara yang satu ke penjara lainnya. Dari sel yang satu ke sel lainnya. Setiap hari mereka hanya bisa bertanya-tanya tanpa mendapat jawaban yang pasti alasan sebenarnya mereka ditahan dan kapan mereka bisa menghirup kembali udara kebebasan.
Ada kisah-kisah miris yang diceritakan dalam buku ini untuk menggambarkan perlakuan tak manusiawi yang diterima para tahanan ini. Saat mereka dibiarkan kelaparan, mereka dipaksa direndahkan harkatnya hingga melakukan hal-hal paling gila di luar kewarasan membuat hati tersentak rasa ngilu.
Contohnya kisah salah seorang tahanan yang lebih rela direndahkan derajatnya daripada harus menjadi cecunguk demi mengenyangkan perutnya sendiri, berikut ini:
"Ia memancing anak tikus dengan ikan asin. Benar-benar gila. Ia telentang di lantai kakus, telapak tangannya diisi ikan asin. Nah, begitu anak tikus itu menggigit ikan asin, ia genggaman tangannya, bayi tikus itu dimasukkan ke mulut dan ditelannya."
Cara bertutur dalam novel ini memang terkadang tak mudah dipahami. Terkadang penulis menggunakan istilah-istilah yang mungkin populer di jamannya sehingga sedikit sulit dipahami untuk masa kini. Perasaan emosional penulis juga terasa nyata berbaur dengan kisah dalam novel ini. Ada bab-bab yang mengalir dengan kalimat-kalimat lembut tapi di bab-bab lainnya emosi meletup-letup sang penulis tergambar nyata. Namun bagaimanapun novel ini memberi gambaran mengenai masa-masa gelap yang pernah dialami bangsa ini bahwa pada satu masa negara sempat alpa melindungi rakyatnya dari rasa ketidakadilan. Pada satu masa negara sempat melegalkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang ironinya dinyatakan demi menegakkan nilai kemanusiaan itu sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar