Pagi ini aku bangun dengan perasaan agak nelangsa. Entah, mungkin karena hasil GP Jerman kemarin tak terlalu menggembirakan atau mungkin aku tengah berada di titik kulminasi kejenuhan. Aku bangun dengan perasaan lelah meski tak tahu mengapa aku merasa lelah. Mungkin aku lelah dengan hidupku. Lelah dengan mimpiku yang kadang terasa begitu mudah untuk diraih tapi di detik berikutnya terasa amat jauh dari jangkauanku. Aku lelah mencari kata-kata kosong berisi harapan membubung untuk menjaga optimismeku meraih impian-impianku. Aku jadi merasa seperti pemimpi tolol yang penuh dengan mimpi-mimpi semu dan ungkapan-ungkapan yang terkesan berarti padahal kosong. Aku lelah dengan rutinitasku yang seringkali membuatku berpikir apa sebenarnya maksud Tuhan menciptakanku ke dunia ini. Aku lelah dengan semua kegiatan semuku yang hanya untuk sekadar membuatku bertahan hidup. Aku lelah dengan semuanya, tapi aku terlalu takut untuk mengakhiri mimpi dan harapan semuku itu.
Aku takut, bila aku tak lagi memiliki impian, lalu apa lagi yang bisa membuatku bersemangat menjalani hariku dan melewati hidupku yang terasa membosankan ini. Aku takut bila aku berhenti bermimpi maka aku akan kehilangan semangatku untuk mencari makna hidupku. Takut, lelah, jenuh beriringan menerorku hingga pagi ini aku memulai hariku dengan optimisme yang sedikit menyusut. Aku pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mandi dengan pikiran kosong sambil mencari-cari apa yang bisa kulakukan dengan hidupku hari ini. Apakah hidupku masih cukup berarti untuk kujalani? Sejuta apakah dan bagaimana pun berkecamuk dalam pikiranku hingga aku selesai dengan urusan kamar mandi dan aku pun menjadi makin lelah dan makin takut menghadapi hidupku yang sepertinya makin tak pasti.
Masih dengan perasaan hampa yang tak menentu aku menjalani saat teduhku- sejenak bercakap dengan Tuhan dan bertanya makna hidupku sesungguhnya-. Ayat-ayat Alkitab yang terkadang bisa membangkitkan semangatku kala berada di titik nadir, kali ini terasa kosong dan aku pun hanya mengeja huruf-hurufnya dengan pikiran setengah terisi, mungkin karena sejak kecil aku terlalu mengenai isi di dalamnya hingga aku sendiri tak terlalu memahami makna dan artinya dengan sepenuh hatiku dan hanya menjadikannya sebagai rutinitasku. Akhirnya masih dengan perasaan setengah hampa aku membuka bacaan panduan saat teduhku, Our Daily Bread (ODB). Perlahan seperti sebuah embun yang menetes di atas daun, aku merasa perasaan setengah hampaku setetes demi setetes mulai terasa hatiku. Jiwaku yang semula terasa setengah kosong seprti mendapatkan sumber kekuatan kembali. Aku tak berani menyebut bacaanku hari ini sebagai pencerahan tapi aku sungguh merasa malu karena sempat mempertanyakan maksud Tuhaan atas hidupku.
Dalam bacaanku hari ini, Dave Branon, salah seorang penulis ODB memberi judul tulisannya, Learning From Erin. Awalnya aku agak skeptis dan mengira temanya menganai Erin Brockovich, tokoh yang pernah diperankan Julia Roberts dan mengantarkannya meraih piala Oscar. Tapi ternyata Erin yang ini bukanlah seorang Erin yang terkenal. Erin yang satu ini adalah seorang anak yang tak memiliki harapan muluk selain bisa kembali sehat dan bisa bermain seperti anak-anak sebayanya.
Hidup Erin dikisahkan mulai berubah saat ia berumur delapan tahun. Sementara anak-anak lain sepertinya tengah berlari, bermain, atau menikmati es krim, Erin harus terbaring di atas tempat tidurnya dikelilingi selang infus di tubuhnya - able to see only the brightest lights and hear only the loudest sounds. Hidupnya hanya seputar jarum suntik, infus, suster, dokter, dan mereka yang mengunjunginya di rumah sakit sementara ia terus berjuang melawan penyakit dan ketakberdayaannya. Sayangnya Erin akhirnya harus menyerah. Di tengah keluarganya yang mengasihinya, Erin meninggal dunia sebelum ia mencapai ulang tahunnya yang kesembilan.
Kata-kata yang berikut membuatku benar-benar tersentuh. What can be learned from a precious child like Erin-one who never spoke a word or colored a picture or sang a song? Sampai sini aku agak tertegun, menyadari betapa konyolnya aku, sementara seorang anak kecil seperti Erin harus berjuang untuk bisa terus bertahan dalam hidupnya yang masih amat muda, aku malah mengeluhkan kehampaanku akan arti hidup. Dibanding Erin, seorang anak kecil yang masa hidupnya terlalu singkat untuk memahami sepenuhnya apa arti hidup, aku bukanlah siapa-siapa. Aku jadi makin merasa seperti seorang pemimpi tolol yang hanya bisa terus mengeluhkan hidupku yang monoton. Padahal dibanding Erin, hidupku masih jauh lebih baik. Aku bisa melihat segala keindahan yang bisa ditawarkan hidup. Aku bisa mendengar berbagai suara termanis yang bisa dikatakan oleh hidup. Aku bisa melangkahkan kakiku menyusuri setapak demi setapak jalan kehidupan. Aku memiliki kebebasan yang tak dimiliki Erin. Dan aku bisa melakukan apapun yang bisa kulakukan untuk mengisi hidupku dibanding hanya terus mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Bertanya, bertanya, dan bertanya.
Seorang teman keluarga Erin kemudian mengatakan sesuatu yang makin membuatku merasa malu pada seorang anak kecil bernama Erin. "We are all better for having had Erin in our lives. She taught of compassion, unconditional love, and appreciation for the little things."
Appreciation for the little things. Kata-kata ini terasa makin menghujam keegoisanku yang tak menyadari betapa sempurnanya sebenarnya apa yang kumiliki. Tubuh sehat sempurna dan waktu, dua hal yang tak dimiliki oleh Erin tapi kumiliki dengan limpahnya. Mengingat singkatnya waktu yang dimiliki Erin dan betapa berharganya setiap detik yang dimilikinya untuk bisa mereguk semua keindahan yang bisa diberikan dunia baginya, Erin menjalani hidupnya jauh lebih berat dari yang bisa ditanggung oleh seorang anak kecil seperti dia.
Tulisan Branon berikutnya makin membuat mata dan hatiku terbuka. Children such as Erin also remind us that this world is not reserved for the perfect, the wealthy, or the athletic. Each person, no matter their physical, mental, or emotional condition, is created in the image of God and is of equal value and significance. - Anak-anak seperti Erin mengingatkan kita bahwa dunia ini bukan hanya untuk mereka yang sempurna, kaya, dan sehat saja. Setiap orang tak peduli keadaan fisik, mental maupun emosionalnya, semuanya adalah ciptaan Tuhan dan gambaran dari Allah karenanya semuanya nilai yang sama dan berharga bagi Penciptanya. Aku jadi merasa serasa disiram air dingin. Tuhan telah mengaruniakanku hidup yang meski tak selalu berjalan sesuai keinginanku tapi jauh lebih sempurna dibanding hidup singkat yang dimiliki Erin. Bila setiap waktu amat berharga bagi Erin yang memiliki waktu teramat singkat itu, maka tak sepantasnya aku mengeluhkan hari-hariku yang membosankan.
Hidup memang terkadang keras dan sulit. Hidup tak selalu memberikan apa yang kita harapkan tapi bukan berati kita bisa mengatakan bahwa hidup ini tak berarti sama sekali. Seberat apapun yang kita jalani, toh matahari masih tetap akan terbit esok pagi, dan betapapun tingginya pertumbuhan manusia sehingga bumi terasa makin padat namun udara yang diberikan oleh Tuhan tak pernah berkurang untuk kita hirup dan menjadi sumber kehidupan kita.
Hidup memang harus berpijak pada realita dan bukan hanya sekadar penuh dengan mimpi-mimpi kosong tapi hidup tanpa mimpi pun terasa terlalu hampa. Jadi meski terdengar konyol dan tolol aku tetap yakin bahwa mimpi harus tetap ada untuk membuat seseorang memiliki harapan dan tujuan bagi hidupnya. Meski Bondan Prakoso dan Fade to Black bilang bila kita tak berhasil meraih mimpi kita, ya sudahlah, tapi aku tetap beranggapan mimpi tetap berharga untuk dikejar dan diraih. Dan aku lebih terinspirasi oleh lagu Mariah Carey yang berjudul Hero:
"Lord knows dreams are hard to follow
but don't let anyone tear them away
hold on, there will be tomorrow
in time, you'll find your way."
Tuhan pun tahu mimpi itu amat sulit untuk diraih tapi jangan pernah biarkan siapapun menghancurkan mimpimu karena masih ada hari esok dan pada saatnya nanti kau akan menemukan jalanmu, begitu kira-kira terjemahan bebas dari lagu Mariah. Jadi betapapun terdengar konyol dan tolol, sebuah impian tetap berharga dan pantas diperjuangkan, betapapun konyol dan tololnya mimpi itu. Mimpi bagibku merupakan peristirahatan kita saat hidup terasa penat. Mimpi membuat kita tetap memiliki harapan di tengah himpitan rutinitas dan kekosongan hidup. Mimpi membuat hidup jadi amat berharga. Aku sendiri takkan takut untuk terus bermimpi meski mungkin hingga aku mencapai waktuku, aku tetap tak berhasil meraih mimpiku, tapi setidaknya aku telah berusaha untuk meraih mimpiku, sehingga saat aku di ujung hidupku aku bisa tersenyum mengingat betapa konyolnya aku dan semua yang telah kulakukan untuk meraih sebuah mimpi. Dan meski diliputi perasaan pedih dan kecewa, aku bisa dengan puas mengatakan bahwa aku telah berusaha semampuku untuk meraih mimpiku. Untuk membuat hidupku terasa berarti.
Mungkin pula di ujung akhir hidupku nanti akhirnya aku bisa menemukan arti hidup yang kucari sepanjang hidupku ini. Bukankah hidup memang merupakan perjalanan untuk mencari arti hidup itu sendiri dan mimpi merupakan penunjuk jalan bagi kita menemukan arti hidup? Itu memang hanya pendapat konyolku, tapi aku hanya tak ingin mengakhiri hidup dalam penyesalan. Dan meski aku hanyalah sekadar noktah kecil dalam jagat raya ini, dan mungkin pencapaianku tak terlalu berarti, setidaknya aku tak ingin hidupku berakhir dalam kesia-siaan dalam waktu yang terus berjalan. Karena hidup yang dianugrahkan oleh Tuhan ini terlalu indah dan sempurna untuk diakhiri dalam kesia-siaan. Dan setiap waktu sangat berharga untuk dikenang dalam hari-hari yang kosong ini.
1 komentar:
Jadi ingat lirik lagu Rialto, "... Dream another dream tonight..." Keep on dreaming but dont forget to make ur dreams come true.
Posting Komentar