Dewi Parwati yang dianggap merepresentasikan Tribhuwanatunggadewi*
Bila membicarakan Majapahit maka yang pertama kali muncul dalam benak kita mungkin nama dua tokoh terkenal di Majapahit yaitu Mahapatih Gajah Mada dengan sumpah Palapa-nya dan Hayam Wuruk, raja tersukses di masa keemasan kerajaan Majapahit. Namun sebenarnya rahasia di balik kesuksesan Hayam Wuruk dalam menyatukan Nusantara dan membuat kerajaan Majapahit bisa terbentang luas hingga mencapai Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan dan bahkan sampai meliputi sebagian wilayah Filipina dan Indonesia Timur tak lain tak bukan adalah ibunya sendiri, Tribhuwana Wijayatunggadewi, penguasa ketiga Kerajaan Majapahit yang memerintah sejak tahun 1328-1351.
Sebelum mulai masuk ke dalam kisah bagaimana Tribhuwana bisa naik tahta menjadi Ratu Majapahit mungkin ada baiknya bila kita menelusuri dulu kisah berdirinya Majapahit.
Sebelum kerajaan Majapahit berdiri, kerajaan Singasari yang didirikan oleh Ken Arok merupakan kerajaan yang paling kuat di Jawa sampai menjadi perhatian Kubilai Khan, cucu penguasa kerajaan Mongol yang terkenal Jengis Khan yang kemudian mendirikan Dinasti Yuan (1279-1294) di Tiongkok. Pada tahun 1289 Kubilai Khan mengirim utusan bernama Meng Chi ke Singasari untuk menuntut upeti.
Namun Kertanegara, raja Singasari yang berkuasa saat itu tak menerima hal ini. Ia bukan hanya menolak memenuhi tuntutan Kubilai Khan tersebut tapi ia juga mempermalukan utusan raja Mongol itu dengan merusak wajah utusan itu dan memotong telinganya hingga membuat Kubilai Khan marah besar. Ia lalu mengirimkan ekspedisi besar-besaran ke Jawa pada 1293. Sebanyak 20.000 prajurit dipimpin Ike Mese dikirim untuk memerangi Singasari dan menutut balas atas penghinaan yang dilakukan Kertanegara.
Tapi ternyata saat itu Kertanegara sudah dibunuh oleh Jayakatwang, adipati Kediri. Namun Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang menyerahkan diri. Jayakatwang bahkan memberikan sebuah hutan bernama Tarik kepada Raden Wijaya.
Raden Wijaya lalu membangun hutan Tarik itu menjadi sebuah desa baru dan menamainya Majapahit. Nama ini diambil dari nama buah Maja yang rasanya pahit. Raden Wijaya kemudian mendekati Ike Mese dan bersekutu untuk memerangi Jayakatwang. Raden Wijaya pun menyatakan janjinya bahwa bila ia naik tahta nanti maka ia akan takluk dan tunduk pada kerajaan Mongol sehingga Ike Mese pun bersedia bergabung dengan Raden Wijaya untuk menaklukan Jayakatwang dan kerajaan Kediri. Dengan gabungan dari pasukan Mongol, Majapahit serta Madura, Raden Wijaya menyerang Daha, ibukota kerajaan Kediri. Jayakatwang pun kalah dan menjadi tawanan pasukan Mongol.
Setelah Jayakatwang jatuh, Raden Wijaya pun meminta ijin pada Ike Mese untuk pulang ke Majapahit guna melakukan penobatannya sebagai raja dan berjanji bila ia sudah menjadi raja nanti ia akan mengabdi pada kerajaan Mongol. Tapi dengan cerdiknya Raden Wijaya malah membunuh pasukan Mongol yang diutus untuk mengawalnya ke Majapahit. Setelah membunuh pasukan Mongol yang mengiringinya, Raden Wijaya yang bernama lengkah Raden Harsawijaya ini kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang pasukan Mongol lainnya pimpinan Ike Mese yang tengah berpesta pora merayakan kemenangan mereka setelah menaklukkan kerajaan Kediri pimpinan Jayakatwang di Daha, ibukota kerajaan Kediri. Pasukan Mongol yang tak menyadari serangan tiba-tiba Raden Wijaya ini pun kalang kabut sehingga banyak dari pasukan Mongol yang tewas sementara sisanya langsung melarikan diri pulang ke negaranya.
Setelah musuh-musuhnya ditumpas, Raden Wijaya pun dinobatkan sebagai raja baru atas kerajaan bentukannya, kerajaan Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka yang bertepatan dengan 10 November 1293 (tapi di sumber lain tetulis tanggal penobatan Raden Wijaya 12 November 1293). Karena tak ditemukan catatan pasti mengenai tanggal berdirinya kerajaan Majapahit maka ditetapkanlah tanggal penobatan Raden Wijaya yang kemudian bergelar Kertarajasa Jayawarhana ini menjadi raja sebagai tanggal berdirinya kerajaan Majapahit dengan Wilwatikta (Trowulan) sebagai ibukotany. Catatan-catatan sejarah mengenai kerajaan Majapahit kebanyakan bersumber dari Pararaton (kitab raja-raja) yang ditulis dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama yang berisi puisi Jawa kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk.
Raden Wijaya wafat pada 1309 dan Jayanegara, putra Raden Wijaya pun naik takhta menggantikan ayahnya. Sebagai seorang raja, Jayanegara bukanlah pemimpin yang istimewa seperti ayahnya. Pararaton bahkan menyebut raja Jayanegara dengan sebutan Kala Gemet yang artinya “penjahat lemah.”
Pada masa pemerintahan Jayanegara ini tercatat pernah datang seorang pastur Katolik dari Italia bernama Odorico da Podenone mengunjungi kerajaan Majapahit di tanah Jawa.
Jayanegara memiliki dua orang adik tiri dari salah satu istri ayahnya, Gayatri Rajapatni. Keduanya adalah wanita. Yang pertama bernama Dyah Gitarja dan adiknya bernama Dyah Wiyat. Dalam masa pemerintahan Jayanegara ini, Dyah Gitarja diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.
Menurut Pararaton, Jayanegara takut tahtanya terancam hingga ia melarang kedua adik perempuannya ini menikah. Setelah Jayanegara tewas dibunuh oleh tabibnya sendiri, Tanca pada tahun 1328 maka para ksatriya (kelompok kasta yang dikenal dalam agama Hindu yang terdiri dari kaum bangsawan, tentara hingga raja) pun berdatangan untuk meminang kedua putri ini sehingga akhirnya diadakan sayembara. Dari hasil sayembara ini didapat dua orang pria yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja. Cakradhara kemudian diberi gelar Kertawardhara Bhre Tumapel. Sementara seorang pria yang satunya lagi bernama Kudamerta dipilih untuk menjadi suami Dyah Wiyat.
Dari pernikahan Dyah Gitarja dan Kertawardhara ini lahirlah Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Netarja. Hayam Wuruk lalu diangkat sebagai Yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre Pajang.
Setelah Jayanegara wafat seharusnya ibu tirinya, Gayatri Rajapatni yang naik tahta menggantikannya karena Jayanegara tak sempat memiliki anak sebagai pewaris tahtanya dan kemungkinan karena Gayatri merupakan satu-satunya dari istri-istri Raden Wijaya yang masih hidup sehingga ia yang dipilih untuk menggantikan tahta Jayanegara yang tewas terbunuh.
Mengenai istri-istri Raden Wijaya pun ada berbagai kisah yang berlainan. Di dalam naskah Nagarakretagama dikatakan bahwa Raden Wijaya menikahi 4 orang putri Kertanagara, raja terkahir kerajaan Singasari yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan menurut Pararaton, Raden Wijaya hanya menikahi dua orang putri Kertanagara saja dan seorang putri dari Kerajaan Malayu bernama Dara Petak. Namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Raden Wijaya mengambil Dara Jingga, salah seorang putri Kerajaan Malayu sebagai istrinya selain Dara Petak karena Dara Jingga juga dikenal memiliki sebutan sira alaki dewa yang memiliki arti dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa.
Jayanegara menurut prasasti Sukamerta dan prasasti Balawi merupakan putra Raden Wijaya dengan Tribhuwaneswari sedangkan menurut Pararaton, Jayanegara adalah putra dari Dara Petak. Lain lagi yang dikisahkan Nagarakretagama yang menyatakan bahwa Jayanegara merupakan putra Raden Wijaya dari Indeswari.
Kembali ke kisah suksesi setelah kematian Jayanegara. Karena Jayanegara tak memiliki anak dan kemungkinan besar Gayatri merupakan satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup maka Gayatri pun didaulat untuk naik tahta menggantikan anak tirinya. Namun Gayatri sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari kerajaan dan menjadi Bhiksuni sehingga ia lalu mengangkat putrinya, Dyah Gitarja sebagai Ratu Majapahit menggantikannya. Dyah Gitarja pun naik tahta sebagai penguasa ketiga Majapahit. Ia didampingi suaminya, Kertawardhara memerintah kerajaan Majapahitdari tahun 1328-1351. Lewat prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhiseka-nya Dyah Gitarja adalah Sri Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Pada masa pemerintahan Tribhuwanatuggadewi inilah kerajaan Majapahit melakukan perluasan wilayah dan Tribhuwana pulalah yang mengangkat Gajah Mada yang terkenal ini sebagai mahapatih kerajaan Majapahit. Meski sebagai raja wanita namun Tribhuwana pun memiliki kisah heroik dalam memberantas musuh.
Saat itu pada tahun 1331 Tribhuwana sendiri yang harus pergi sebagai panglima perang untuk menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton saat itu terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng sehingga Tribhuwana berangkat sendiri sebagai panglima didampingi sepupunya, Adityawarman untuk menyerang Sadeng.
Sementara sumpah terkenal yanag diucapkan oleh Gajah Mada yang isinya menyatakan bahwa ia bersumpah takkan memakan makanan enak (rempah-rempah) sebelum mempersatukan Nusantara tercatat dalam Pararaton diucapkan oleh Gajah Mada saat ia masih sebagai rakryan patih Majapahit pada tahun 1334 tapi sumber lain menyatakan bahwa sumpah itu diucapkan dalam upacara penobatan Gajah Mada sebagai Mahapatih oleh Ratu Tribhuwanotunggadewi.
Pada tahun 1347 Adityawarman yang telah membantu Ratu Tribhuwana menumpas pemberontakan Sadeng dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Malayu. Adityawarman yang masih keturunan Melayu ini lalu diangkat sebagai Uparaja (raja bawahan) di daerah kekuasaan Majapahit di Sumatera.
Pada tahun 1350 ibunda Tribhuwana, Gayatri Rajapatni tewas. Bersamaan dengan itu masa pemerintahan Tribhuwana pun berakhir. Hal ini makin menegaskan bahwa Tribhuwana naik takhta hanyalah sebagai pengganti ibunya sehingga ketika ibunya wafat maka ia pun harus turun tahta dan menyerahkan tahtanya kepada putranya, Hayam Wuruk. Nama Hayam Wuruk ini sendiri memiliki arti : ayam yang terpelajar. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk ini terjadi perekembangan di segala bidang termasuk dalam bidang kesusastraan dimana dikenal dua tokoh yaitu Mpu Prapanca yang menggubah Nagarakretagama pada tahun 1365 dan Mpu Tantular yang menggubah kitab Kakawin Sutasoma yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika Hana Dharma Mangrwa yang kini menjadi semboyan bagi Republik Indonesia. Semboyan yang telah terkenal hingga ke mancanegara tapi sayangnya Indonesia sang pemilik semboyan ini tak lagi benar-benar memaknai arti luhur dari semboyan ini yang merupakan perekat dan pemersatu bangsa yang majemuk ini.
Setelah turun tahta Tribhuwana pun kembali menjadi Bhre Kahruripan yang tergabung dalam Sapta Prabhu yaitu semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan.
Sementara itu perluasan wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit dilanjutkan oleh Hayam Wuruk hingga mencapai Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur.
Kematian Tribhuwana tak diketahui secara pasti. Pararaton hanya memberitahu Bhre Kahuripan meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih pada tahun 1371.
Dalam Pararaton tertulis Tribhuwanatunggadewi didharmakan dalam candi Pantarapura yang terletak di desa Panggih. Sedangkan suaminya Kertawarhara Bhre Tumapel yang meninggal pada tahun 1386 didharmakan di candi Sarwa Jayapurwa yang terletak di desa Japan.
Tribhuwana memang hanyalah merupakan ratu pengganti ibunya namun peran Tribhuwana sangat besar dalam memperluas kerajaan Majapahit. Meski Majapahit berkembang menuju masa keemasannya saat dipimpin putranya, Hayam Wuruk namun Tribhuwana-lah yang telah meletakkan dasar dan pondasi untuk perluasan wilayah Majapahit itu hingga mencapai masa keemasannya. Tak heran meskipun nama Tribhuwana tak terlalu dikenal luas oleh masyarakat Indonesia namun nama Ratu Majapahit ini diabadikan sebagai nama salah sebuah universitas di Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar