Total Tayangan Halaman

Translate

Rabu, 17 Februari 2010

The Lotus Guns


Clark & Hill di bagian belakang tampak Damon Hill, putra Graham Hill tengah menguap. Gbr diambil dari forum.detik.com

Meski Graham Hill pernah hengkang dari Lotus dan kemudian meraih gelarnya bersama BRM tapi Hill kemudian kembali ke Lotus, tim yang telah memberinya kesempatan memperlihatkan bakatnya di F1 dan bersama Lotus, Hill bahkan berhasil meraih gelar dunia keduanya. Sementara Jim Clark merupakan ikon Lotus sampai ia wafat dalam sebuah ajang F2, Clark tak pernah membalap untuk tim lain selain Lotus, sehingga tak heran jika Colin Chapman, sang bos Lotus merasa sangat terpukul dan kehilangan atas kematian legenda F1 yang satu ini. Di era F1 klasik, duet Lotus ini merupakan pembalap yang sangat disegani terlebih dengan inovasi Chapman yang telah mengubah wajah F1 membuat Lotus menjadi tim perkasa yang ditakuti sekaligus disegani oleh lawan-lawan mereka.

3. Graham Hill 

pic taken from this site


Juara dunia dua kali yang juga merupakan ayah dari Damon Hill, yang sukses mengikuti jejaknya dan meraih gelarnya pada  1996 ini memulai debut F1nya di GP Monaco 1958. Keterlibatan pembalap yang menurut George Harrison, salah satu personil The Beatles, merupakan pria Inggris sejati ini ke ajang balapan bisa dibilang cukup terlambat. Pada umur 21 tahun, Hill yang memiliki selera humor yang diwarisinya dari ayahnya yang seorang pialang saham ini dipanggil untuk bergabung dengan Angkatan Laut.

Setelah ia keluar dari Angkatan Laut, suatu hari ia melihat iklan Universal Motor Racing Club yang menawarkan untuk mencoba mengelilingi Brands Hatch dengan bayaran 5 shilling. Hill tertarik dengan iklan tersebut dan mencobanya. Segera saja Hill langsung jatuh cinta pada olahraga ini. Sejak itu ia berusaha untuk menjadi pembalap tapi jalan yang harus ditempuhnya tak mudah.

Hill kemudian bergabung dengan Lotus tapi bukan sebagai pembalap melainkan sebagai mekanik dengan bayaran satu pound sehari. Hill mencoba membuajuk Chapman untuk mengijinkannya membalap dengan salah satu mobil balapnya tapi Chapman tak pernah memberikannya kesempatan. Meski mungkin ada sedikit rasa putus asa dan kecewa dengan penolakan Chapman tapi Hill tak kenal menyerah untuk menggapai mimpinya.

Kegigihannya ternyata membuahkan hasil. Chapman yang akhirnya menyerah pada tekad kuat Hill memberikan Hill kesempatan memulai debutnya bersama Lotus pada tahun 1958. Monaco lah yang beruntung menjadi saksi pertama keperkasaan Hill. Di tempat ini Hill bahkan sukses menjuarai GP Monaco sebanyak lima kali, rekor yang kemudian berhasil dipecahkan puluhan tahun kemudian oleh Ayrton Senna yang sukses meraih kemenangan keenamnya di Monaco pada 1993.

Tahun-tahun pertama Hill sebagai pembalap di Lotus tak terlalu mengesankan dengan banyak kegagalan mesin yang dialaminya sehingga ia meninggalkan Lotus dan bergabung bersama BRM pada 1960. Dua tahun kemudian, ia sukses meraih kemenangan GP pertamanya di Zandvoort, Belanda dan di tahun itu pula ia sukses menggondol gelar juara dunia pertamanya.

Pada 1967 Hill kembali ke Lotus dan membawa semua pengetahuan juga kunci sukses yang didaptnya dari BRM ke tim pertamanya ini dan ikut membantu pengembangan Lotus 49 yang spektakuler dan menjadi salah satu mobil terbaik di jagad Formula One.

Setelah kematian Jim Clark di Hockenheim, Hill pun dengan serta merta menjadi ujung tombak Lotus dalam meraih kesuksesan. Keberhasilan Hill meraih gelar dunia pada 1968 berhasil menghapus luka Lotus akibat kematian Clark. Namun di GP Amerika 1969 Hill mengalami kecelakaan parah yang menyebabkan kakinya patah dan mempengaruhi karir balapnya karena sejak itu meski Hill telah pulih tapi ia tak lagi bisa mencapai level kesuksesan seperti sebelum kecelakaan itu menimpanya.

Namun begitu, Hill sukses menjuarai ajang balap ketahanan mobil Le Mans pada 1972 sehingga ia dijuluki Triple Crown of motorsport di mana ia sukses menjuarai 3 ajang balapan berbeda, F1, Le Mans, dan ajang Indy 500.

Pada tahun 1971 Hill pindah ke Brabham dan ia berhasil memenangi sebuah ajang non championship di Silverstone. Tapi Hill tak begitu lama berada di Brabham. Dengan maraknya pembalap-pembalap F1 yang mendirikan tim F1 sekaligus menjadi pembalapnya, Hill pun mendirikan tim F1nya yang diberi nama Embassy Hill F1 team pada 1973 dengan menggunakan sasis dari tim Shadow dan Lola. Tapi sayangnya ia tak cukup berhasil. Mobilnya bahkan gagal dalam sesi kualifikasi di GP Monaco 1975 sehingga tim F1 nya tak pernah turun balapan di F1. Ironis mengingat GP MOnaco sebenarnya merupakan tempat yang sangat istimewa untuk Hill. Ia memulai debutnya di sirkuit jalan raya ini bahkan ia berhasil menjuarai GP Monaco sebanyak lima kali tapi di GP Monaco ia malah gagal membawa mobil dengan tim bertajuk namanya sendiri. Akhirnya ia pun mengakhiri karir balapnya di tempat di mana ia memulai debutnya ini. Dan seolah makin mengukuhkan betapa grand prix di negara monarki ini sangat istimewa bagi Hill, tercatat ia memenangi GP terakhirnya juga di sirkuit ini pada tahun 1969.

Setelah Hill pensiun dari F1, ia memutuskan untuk memfokuskan diri mengurus timnya Embassy Hill dan menggembleng pembalap muda asuhannya, Tony Brise. Suatu hari pada 29 November 1975, di tengah cuaca yang sangat berkabut, saat kembali dari sesi ujicoba di sirkuit Paul Richard, pesawat yang dipiloti Hill mengalami kecelakaan, pesawatnya terjatuh di Arkley Golf Course di London Utara. Hill beserta seluruh penumpang pesawatnya termasuk Tony Brise, pembalap muda potensial asuhan Hill dan manajer timnya, Ray Brimble serta designer timnya, Andy Smallman. Dua orang mekaniknya yang juga ikut serta dalam penerbangan naas itu, Tony Alcock dan Terry Richards pun ikut tewas.

Setelah kematian Hill, namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Silverstone dan di salah satu tikungan di Brands Hatch untuk menghormatinya.

Di Arkley Golf Course, tempat di mana pesawatnya terjatuh dan menewaskannya beserta kru Embassy Hill dalam kecelakaan pesawaat itu,  terdapat sebuah tanda peringatan untuk mengenang kejadian naas tersebut yang telah merenggut nyawa Graham Hill, seorang juara dunia F1 dua kali.

              
Meski mendekati akhir hidupnya, Hill mengalami kegagalan dalam karir balapnya tapi tak bisa diragukan bahwa Hill merupakan pembalap yang sangat istimewa dan berbakat yang sangat mencintai balapan seperti ia mencintai hidupnya.

"I'm an artist, the track is my canvas, and the car is my brush."

Hill adalah salah satu sosok langka di F1. Sikapnya yang rendah hati dan pantang menyerah, sifat yang diwarisinya dari ibunya ini memiliki berbagai pengalaman yang amat kaya sebelum terjun ke dunia balap. Berlatar belakang militer di mana ia sempat menjadi bagian angkatan laut Inggris dan ikut dalam perang dunia kedua. Pebalap yang lahir di London pada tanggal 15 Februari 1929 dengan nama lengkap Norman Graham Hill ini juga merupakan seorang multitalented. Ia pernah bergabung dengan London Rowing Club di mana ia bertemu dengan wanita yang kemudian menjadi istrinya, Bette. Selain itu, Hill juga diketahui piawai bermain drum dan pernah bergabung dalam sebuah band bernama Boy Scout band. Paduan bakat yang unik, balap dan musik, yang kemudian menurun ke putranya, Damon Hill.

Namun kenyataan bahwa ia belum pernah mengendarai mobil sampai berumur 24 tahun membuat ia dipandang sebelah mata tapi belakangan kemampuannya di belakang setir malah mengundang decak kagum banyak pihak. Gabungan dari sikap pantang menyerahnya, sifat humorisnya, kerendahan hatinya, yang menjadi barang langka bagi pembalap-pembalap F1 jaman sekarang, dan talentanya membuat Hill menjadi salah satu pembalap terhebat yang pernah dimiliki oleh ajang jet darat paling mutakhir di dunia ini.

Debut          : GP Monaco 1958
Start            : 176
Juara Dunia: 1962 (bersama BRM) dan 1968 (bersama Lotus)
Poin            : 289
Menang      : 14
Pole            : 13
Fastest Lap : 10


4. Jim Clark  
 pic taken from this site

 Jim Clark, pembalap berdarah Skotlandia ini terlahir dengan nama James Clark Jr., pada 4 Maret 1936. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara sekaligus anak laki-laki satu-satunya . Jim Clark merupakan pembalap tersukses pada era F1 klasik di mana ia menjadi pembalap dengan gelar GP (25) dan pole position (33) yang lebih banyak daripada pembalap F1 lainnya pada masa itu. Tentu saja rekor tersebut akhirnya bisa dipatahkan di masa F1 modern, tapi di era F1 klasik di mana tingkat keselamatan pembalap masih sangat minim dan teknologi belum berkembang secanggih sekarang dengan dana berlimpah dari sponsor-sponsor brand terkenal di dunia, tentunya keberhasilan Clark tersebut layak mendapatkan apresiasi.

Orang tua Clark sebenarnya menentang kegemaran Clark mengikuti balapan tapi Clark yang sudah kadung jatuh cinta pada olahraga ini tetap memilih jalur ini sebagai pilihan karirnya. Clark sendiri memulai karir balapnya di ajang rally lokal dan berbagai ajang balapan lainnya hingga pada tahun 1958 ia bertemu dengan Colin Chapman yang terkesan dengan bakat pemuda Skotlandia ini sehingga bersedia memberikan kursi untuknya di Formula Junior yang terus berkembang hingga merajai F1 pada era enam puluhan.

Kelihaian Clark dipadu dengan kejeniusan Colin Chapman bukan hanya membuat Lotus perkasa dan ditakuti oleh lawan-lawannya namun duet maut ini telah membawa warna baru dalam Formula One. Chapman, seorang inovator yang jenius dan banyak menciptakan terobosan-terobosan revolusioner di F1 dan menjadi salah satu pioner dalam perkembangan teknik di F1. Paduan Champman yang memiliki pandangan visioner dengan ketenangan serta kecerdikan Clark telah membawa keduanya menjadi salah satu tokoh terbesar F1. Hanya maut yang akhirnya memutuskan hubungan kerjasama pembalap dan sang visioner ini. Clark yang hingga akhir hayatnya hanya membalap untuk Lotus sepertinya makin mengokohkan duet yang terjalin di antara dirinya dengan Chapman tersebut. Clark bagaikan seorang aktor profesional yang handa dan mampu mengejewantahkan imajinasi dari sang sutradara yaitu Chapman di atas panggung Formula One, tak heran bila keduanya terasa begitu padu dan menjadi momok bagi lawan-lawannya di F1.

Pada awal-awal karir Clark di F1 sempat diwarnai tragedi berdarah sehubungan dengan tabrakan maut antara dirinya dengan Wolfgang von Trips di Monza 1961 yang berujung pada kematian pembalap Ferrari itu dan ikut menyeret 15 penonton yang ikut tewas akibat kecelakaan tersebut.

Clark memulai debut F1 nya di Zandvoort,Belanda pada 1960, tempat yang memiliki arti spesial bagi Clark. Empat kali ia berhasil menaklukkan GP Belanda dan pada 1967 ia memenangi GP Belanda pada debutnya bersama Lotus 49 yang spektakuler itu. Mobil yang awalnya diragukan Clark karena memiliki banyak masalah.

Tapi kemenangan pertama Clark adalah di Spa Franchorchamps pada tahun keduanya di F1. Yang membuat kemenangan pertamanya itu terasa sangat istimewa karena Clark memulai balapannya dari grid belakang. Selepas start, Clark langsung melesat melibas delapan mobil sekaligus dan terus melaju hingga akhirnya ia meraih kemenangan pertamanya itu.

Meski Clark mengaku tak terlalu menyukai balapan di Spa, Belgia karena sirkuit ini telah merenggut banyak teman-temannya. Pada tahun 1958, tahun pertamanya membalap di Spa untuk ajang sportscar, ia menyaksikan rekannya, Archie Scott-Brown tewas. Pada balapan keduanya di Spa tahun 1960, giliran Alan Stacey, rekan setimnya dan Chris Bristow yang meregang nyawa ditambah lagi kecelakaan saat latihan yang menimpa Stirling Moss dan membuatnya cedera semakin menambah trauma Clark terhadap sirkuit yang merupakan favorit kebanyakan pembalap F1 masa kini di mana tingkat keselamatan telah amat diperhatikan. Walau Spa telah membuat Clark trauma sehingga tak terlalu menyukai sirkuit ini namun Clark sukses merebut empat kemenangan di tempat ini sepanjang tahun 1962-1965.

Mungkin yang paling mengesankan dari serangkaian kemenangan Clark di Spa adalah pada 1964 selain kemenangan pertamanya pada 1962. Saat itu Clark hanya mampu meraih P4 pada babak kualifikasi sementara Dan Gurney merih pole disusul oleh Graham Hill dan Jack Brabham. Menjelang akhir race, balapan makin seru. Hill dan Gurney yang tengah bertarung meraih kemenangan tiba-tiba saja kehabisan bahan bakar. Clark pun tak bisa terlalu berharap banyak dengan mobilnya ketika tunggangannya pun ternyata mengalami nasib serupa dengan Gurney dan Hill, namun Clark sempat membawa mobilnya yang melaju pelan melintasi garis finish. Ia sendiri belum menyadari bahwa ia sukses memenangi balapan hari itu. Ia malah berhenti di samping Gurney, satu-satunya pembalap yang membuat Clark gentar, dan membahas soal lomba hari itu. Clark baru menyadari ia berhasil menjuarai balapan pada saat pengumuman pemenang. Benar-benar lomba yang menguras bukan hanya fisik dan mental para pebalapnya tapi juga bahan bakar mereka hingga tetes terakhir.

Clark juga pernah mengalami masalah dengan bahan bakarnya ketika bertarung di GP Italia 1967. Iamemulai startnya dari pole dan tengah memimpin lomba ketika bannya tiba-tiba bocor sehingga ia harus masuk pit untuk mengganti bannya dan kehilangan banyak waktu. Keluar dari pit, ia bergabung kembali di posisi ke-6 dan terus memacu tunggangannya hingga mulai mendekati Brabham dan Surtees pada lap terakhir tapi kali ini Dewi Fortuna tak berpihak pada pembalap Skotlandia yang terkenal sangat lembut dan tak pernah berkata kasar ini. Menjelang akhir race, Lotus 49 Clark kekurangan bahan bakar, meski tertatih-tatih tapi ia berhasil mencapai garis finish di tempat ketiga.

Meski karir Clark di F1 cukup cemerlang tapi ia kerap lebih memilih absen dari F1 dan memilih balapan di ajang lain. Clark pernah memilih absen balapan di GP Monaco demi meraih kemenangan di Indy 500 di mana ia juga mencatat sejumlah prestasi luar biasa di ajang ini. Pada tahun 1963, tahun dimana ia meraih gelar juara dunia F1 pertamanya, ia juga sukses di ajang Indy 500 dan menjadi Rookie of The Year di ajang tersebut. Pada tahun 1965, ia malahan sukses mengawinkan gelar dunia F1 keduanya dengan gelar dunianya di Indy 500 melalu Lotus 38-nya.

Kepiawaian Clark di atas lintasan basah pun tak bisa diragukan seperti yang diperlihatkannya di Nurburgring 1962. Meski ia tak berhasil memenangi balapan tapi di atas sirkuit basah itu, Clark sukses finish di tempat ke-4, padahal ia memulai balapannya dari barisan belakang. 

Meski mungkin kemampuan teknik Clark tak sehebat Brabham ataupun rekan setimnya Hill yang pernah menjadi mekanik di timnya, tapi apa yang dilakukan Clark saat GP Inggris 1965 ketika Lotusnya mengalami kebocoran oli menunjukkan bahwa ia ternyata juga piawai dalam mengatasi berbagai masalah teknik yang mendera tunggangannya. Sepanjang balapalan, Clark mengatasi kebocoran tersebut dengan mengatur mesinnya selama berbelok ke kanan agar kebocoran oli berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa Clark merupakan pembalap yang bukan hanya sekadar bisa membalap saja tapi juga mampu berpikir cepat mengatasi masalah yang mendera jet daratnya untuk meraih hasil maksimal.

Tahun 1966, setahun setelah ia tampil perkasa dan berhasil menyabet gelar dunianya yang kedua, merupakan masa-masa kelamnya. Bukan saja ia harus kehilangan gelar dunianya tapi di tahun itu, ia juga putus dengan kekasihnya, Sally Stokes dan tak lama Sally menikah dengan pembalap asal Belanda, Ed Swart. 

Pada 1968, Clark sukses mengalahkan Juan Manuel Fangio dan merebut kemenangan di GP South Africa, sayangnya kemenangannya itu ternyata menjadi kemenangan terakhirnya sebelum ia tewas saat membalap di Hockenheim.

Saat itu, mestinya Clark turun di sebuah ajang sportscar di Brands Hatch, tapi ia malah memilih balapan F2 di Hockenheim. Di lap kelima, Lotus-nya mengalami kecelakaan. Clark menghembuskan nafas terakhirnya sebelum sempat sampai ke rumah sakit. Seandainya saja saat itu, Clark memilih turun di Brands Hatch mungkin ia takkan mengalami kecelakaan naas yang merenggut nyawanya itu, tapi Clark adalah pecinta balapan sejati yang tak gentar dengan bayangan kematian yang menghantuinya dan rekan-rekan seprofesinya. Seperti Hill, ia sangat mencintai balapan seperti ia mencintai hidup. 

Kematian Clark menjadi akhir dari duet Clark-Chapman yang merupakan simbol sukses F1 pada era 1960-an. Kepergian Clark ini tentu saja sangat memukul bosnya sekaligus sahabat terbaiknya, Colin Chapman yang mengaku sangat kehilangan dengan kematian Clark ini. Namun bukan hanya Chapman yang kehilangan, seluruh publik F1 pun merasa sangat kehilangan dengan pria Skotlandia yang sangat disukai sekaligus disegani baik kawan maupun lawannya karena pribadinya yang kalem dan tenang. 

Sama seperti Hill, Clark juga merupakan salah satu sosok pembalap yang sangat rendah hati. Bahkan Clark tak pernah takut mengungkapkan perasaan takutnya terhadap pebalap lain yang lebih kencang darinya. Meski saat itu semua menganggap Clark merupakan pebalap tercepat tapi pada ayahnya yang kemudian diungkapkan oleh ayahnya kepada publik setelah Clark meninggal, bahwa pebalap Lotus ini ternyata merasa gentar terhadap Dan Gurney, satu-satunya pembalap yang kecepatannya membuat Super Clark merasa gentar. 

Uniknya dari 72 balapan yang 25 diantaranya berhasil dimenangkan olehnya itu tercatat hanya sekali ia meraih podium kedua yaitu di Nurburgring 1963.

Karir Clark di F1 memang bisa dibilang cukup singkat tapi dalam waktu yang singkat itu banyak prestasi yang berhasil ditorehkannya. Tak heran bila kematiannya kemudain membuat dunia F1 sangat berduka dan kehilangan. Hal yang dirasakan oleh Chris Amon yang mengungkapkan betapa F1 benar-benar kehilangan sosok yang luar biasa ini. "If it could happen to him, what chance do the rest of us have? I think we all felt that. It seemed like we'd lost our leader," ungkap Amon. 

Bagiku sendiri, Clark merupakan salah satu pembalap era klasik yang sangat ingin kujumpai seandainya saja ada yang berhasil menciptakan mesin waktu.

Debut          : Zandvoort, Belanda 1960
Start            : 72
Juara Dunia: 1963 & 1965 (bersama Lotus)
Poin            : 274
Menang      : 25
Pole            : 33
Fastest Lap : 28



Tidak ada komentar: