Total Tayangan Halaman

Translate

Senin, 08 Februari 2010

The Speed Admirers

Kecintaanku pada Formula 1 memang bermula dari Michael Schumacher, tapi setelah aku makin mengenal F1, ternyata kudapati betapa banyaknya pembalap-pembalap luar biasa dari Inggris bahkan dari sekian banyak juara dunia sepuluh di antaranya bernaung dalam kesatuan Great Britain. Hatiku pun terusik ingin mencari mengenai kesepuluh pembalap luar biasa ini dan meskipun tulisanku ini mungkin masih banyak kekurangan atas data tapi kuberanikan untuk menampilkan tulisan ini demi apresiasiku pada pembalap-pembalap luar biasa ini. Dan inilah "The 10th British Warriors", para pemuja kecepatan yang tak gentar dengan bayangan kematia ini yang akan kurangkum dalam lima bagian. 

pic taken from this site
1. Mike Hawthorn (1958)
Kalau saja Peter Collins tidak memberikan mobilnya kepada Juan Manuel Fangio di GP Italia 1956 yang mengalami masalah menjelang garis finish hingga akhirnya pembalap Argentina itu meraih gelar dunia keempatnya dari lima gelar yang berhasil dikoleksinya sepanjang karirnya, bukan tak mungkin Collins akan menjadi juara dunia pertama asal Inggris tapi sejarah telah tercatat. Fangio berhasil meraih lima gelar sebelum akhirnya pensiun dari F1 sementara Collins, sang gentleman sejati yang lebih mementingkan kepentingan tim di atas kepentingan pribadi ini, tak mengoleksi satu gelar dunia pun meski hal itu tak berarti ia bukanlah pembalap hebat.
 
Hawthorn lah yang akhirnya berhasil membuat sejarah baru bagi Inggris dalam kancah olahraga ini ketika ia akhirnya berhasil meraih gelar dunianya pada 1958 bersama Ferrari. Prestasi yang luar biasa mengingat pada musim itu, ia hanya memenangi satu GP saja sementara saingannya, Stirling Moss telah mengumpulkan empat kemenangan tapi hasil yang terjadi di GP Portugis memberikan Hawthorn gelar dunia dengan hanya selisih satu poin lebih unggul dari Moss. 
 
Pembalap yang terkenal selalu mengenakan dasi kupu-kupu dalam setiap penampilannya itu lahir di Mexborogh, Yorkshire, Inggris, pada tanggal 10 April 1929 dengan nama lengkap  John Michael Hawthorn. Sebelum bergabung dengan F1, putra pedagang mobil ini telah banyak mengikuti ajang balapan lain salah satunya di Le Mans di mana pada 1955 ia berhasil menjadi juara di lomba balap ketahanan mobil tersebut.

Hawthorn memulai debutnya di F1 pada GP Belgia 1952 dan seperti Schumi yang meraih juara GP pada tahun keduanya di F1, begitu pun halnya dengan Hawthorn. Ia berhasil meraih gelar juara GP pertamanya di Reims, Perancis pada 1953 dan di tempat ini pula Hawthorn juara GP terakhirnya sebelum ia memutuskan pensiun dari F1 dan menjadikan Monaco sebagai balapan terakhirnya.

Pada 1958 ia bergabung dengan Ferrari yang kemudian berhasil membawa Hawthorn meraih gelar juara dunia sekaligus menjadi pembalap Inggris pertama yang menjadi juara dunia F1. Tahun yang istimewa bagi Hawthorn dengan tunggangan yang istimewa, terlebih kabarnya Ferrari Dino 246, tunggangannya yang telah mengantarnya meraih gelar dunia itu merupakan mobil impian para pembalap F1 di masa itu.

Sayangnya di akhir musim 1958, setelah ia meraih gelar dunia, Hawthorn memutuskan pensiun dari F1. Dan tragisnya di awal tahun 1959 tepatnya pada tanggal 22 Januari, Hawthorn dikabarkan tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di Guilford, Inggris ketika ia tengaha menggeber Jaguarnya yang telah dimodifikasi dan dijuluki "The Merceater" yang menurut Hawthorn dalam buku biografinya, Challenge Me The Race, takkan ada yang bisa menandingi kecepatan mobilnya tersebut.

Tragis memang akhir kisah hidup juara dunia pertama asal Inggris ini yang menemui ajalnya justru ketika ia telah pensiun dari olahraga ekstrem yang begitu dekat dengan hawa kematian itu. Namun betapapun, pencapaian Hawthorn di F1 kiranya tetap manis untuk dikenang, terutama ketika ia memenangi GP pertamanya di Reims, Perancis pada 1953 ketika ia bertarung sangat ketat dengan Fangio. Bahkan saking panasnya pertarungan saat itu, mereka sampai sepuluh kali bertukar posisi sebagai pemimpin lomba hingga di lap 57, Hawthorn berhasil merebut posisi pertama hingga akhir race dan berhasil menjuarai lomba dengan selisih sedetik lebih cepat dari Fangio sementara Froilan Gonzales yang finish di belakang Fangio terpaut 0.4 detik dari pembalap Argentina itu dan lebih cepat 3.2 detik dari Alberto Ascari yang finish di tempat keempat. Benar-benar race yang sangat mendebarkan dengan selisih waktu yang sangat tipis. Setipis batas kecepatan yang dipujanya dengan kematian yang senantiasa mengintip.

Atas pencapaian Hawthorn, namanya pun diabadikan menjadi sebuah nama sebuah jalan di Farnham, kota di mana ia tinggal hingga saat ia menemui ajalnya.

Debut           : GP Belgia 1952
Start             : 47
Juara Dunia  : 1958 (bersama Ferrari)
Poin             : 112,64
Menang        : 3
Pole             : 4
Fastest Lap  : 6

pic taken from this site
2. John Surtees (1964)

Meski hanya satu kali menjadi juara dunia, tapi John Surtees merupakan satu-satunya pembalap yang sukses meraih gelar di ajang balapan roda dua dan roda empat. Di ajang balapan roda dua, bahkan boleh jadi nama Surtees sangat melegenda meski mungkin koleksi gelar juara dunianya di MotoGP boleh jadi kalah banyak dengan Valentino Rossi. Setidaknya Surtees telah tiga kali mengantungi glear dunia di balapn motor 350cc yaitu pada sepanjang tahun 1958-1960 sementara di ajang 500cc yang merupakan ajang paling bergengsi dalam dunia balap roda dua itu, Surtees sukses mengoleksi empat gelar dunia yaitu pada 1956, 1958, 1959, dan 1960, yang artinya sepanjang tahun 1958-1960 ia sukses mengawinkan gelar dunianya pada dua macam seri balap roda dua itu. 

Pada tahun 1960 di usianya yang ke-26, ia hijrah dari balapan roda dua ke roda empat. Debutnya di F1 dimulai bersama Lotus saat membalap di GP Monaco.

John Surtees yang lahir pada 11 Februari 1934 di Tatsfield, Surrey, Inggris ini sendiri telah mengenal dunia motorsport sejak kecil. Hal yang tak mengherankan mengingat ayahnya adalah seorang dealer sepeda motor di daerah selatan London. Bahkan waktu kecil ia dan ayahnya pernah memenangi lomba balap tapi sayangnya mereka didiskualifikasi setelah pihak penyelenggara mengetahui usia Surtees yang masih terlalu belia dan tak sesuai dengan batas usia minimal peserta. 

Saat ia berumur 15 tahun barulah ia bisa mengikuti berbagai ajang blapan. Bahkan ia sempat menjadi headline pada 1951 ketika ia bertarung dalam sebuah balapan di Thruxton di mana ia saat itu ia memberikan perlawanan sengit pada bintang Norton, Geoff Duke. Penampilannya itu dengan serta merta membuat banyak pihak tertarik hingga akhirnya ia bergabung dengan Norton dan kemudian pindah ke MV Agustas ketika Norton mengalami masalah finansial dan rencana keikutsertaan mereka dalam ajang balapan tersebut pun jadi tak jelas. 

Kepiawaian Surtees di ajang balap roda empat ternyata tak kalah spektakuler dengan di balapan roda dua. Terbukti di balapan keduanya di F1 bersama Lotus, ia berhasil finish kedua di GP Inggris dan meraih pole position pada balapan ketiganya di GP Portugis. Tahun 1961, ia pindah membela tim Cooper dan pada 1962 bersama Reg Parnell Racing. Pada tahun 1963 akhirnya ia bergabung ke Ferrari dan meraih gelar dunianya bersama tim kuda jingkrak itu pada tahun 1964.

Kecintaanya pada balapan dan kecepatannya bahkan tak tergoyahkan meski ia mengalami kecelakaan di Ontario, Kanada pada 1965 saat menjajal Lola T70. Ajang Can Am dan Le Mans pun pernah disambangi pemuja kecepatan yang satu ini. Tapi sayangnya di ajang lomba ketahanan itu ia mengalami kekecewaan terhadap Ferrari yang menandemkannya dengan Ludovico Scarfiotti padahal pembalap yang dijuluki "Big John" ini lebih suka berpartner dengan Mike Parkes, akibatnya Surtees pun memutuskan keluar dari Ferrari dan pada tahun 1967 Surtees membela tim pabrikan Jepang, Honda.

Bersama tim pabrikan Jepang ini, Surtees berhasil meraih kemenangan di GP Italia ketika ia sukses mengalahkan Denny Hulme  dengan selisih 0.2 detik. Memang ia dan Honda tak berhasil meraih gelar dunia tapi pabrikan besar asal Jepang itu sangat menghargai semua kontribusi Surtees yang telah membantu HOnda pada awal-awal keikutsertaannya di ajang balap paling spektakuler sedunia ini.

Pada 1970, Surtees mendirikan tim balapnya sendiri yang tak hanya berlaga di F1 tapi juga turut serta di ajang Formula 2 dan Formula 5000. Meski tak sesukses Jack Brabham tapi TS 9 besutan tim F1 miliknya sendiri itu berhasil finish ke-5 di Zanvoort, Belanda pada 1971. 

Surtees mengakhiri karier F1-nya di GP Italia 1973 bersama TS 14. Secara keseluruhan, tim Surtees berhasil mengumpulkan 5 poin dari 19 kali keikutsertaan mereka di F1. 

Putra Surtees, Henry Surtees pun sempat menjadi penerusnya di olahraga yang memuja kecepatan ini sebelum tewas di sebuah ajang F2 pada 19 Juli 2009 di Brands Hatch.Tragisnya ia dan istrinya, Jane tengah menyaksikan lomba itu ketika putranya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tentu saja hal itu memberikan luka mendalam pada juara dunia 1964 ini tapi nyatanya hal itu tak membuatnya membenci olahraga ini. Surtees pernah pula menjadi bos tim Inggris di ajang A1 GP dari tahun 2005-2007. 

Atas semua pencapaian Surtees, ia pun mendapatkan penghargaan dari pihak kerajaan dengan memberikan gelar kebangsawanan padanya. Ia memang telah mendapatkan banyak dari olahraga ini tapi ia juga telah kehilangan sesuatu yang sangat besar dalam hidupnya di olahraga yang dicintainya ini tapi Surtees tak pernah kehilangan jiwanya sebagai pemuja kecepatan sejati. 

Debut         : GP Monaco 1960
Start           : 112
Juara Dunia : 1964 (bersama Ferrari)
Poin            : 40 (poin secara keseluruhan karirnya di ajang otosport adalah 180 poin)
Menang      : 6
Pole            : 8
Fastest Lap : 11





Tidak ada komentar: