Bayang-bayang Keabadian
Oleh: Herny S. Yahya
Oleh: Herny S. Yahya
Bagiku ada tiga hal yang sangat berpengaruh dalam hidupku. Kematian, film dan pohon. Mungkin terdengar tidak ada hubungannya satu sama lain. Tapi, tiga hal itu memang sangat mempengaruhi hidupku.
Sesungguhnya hidup manusia adalah seperti angin. Hari-harinya seperti bayang-bayang yang telah lewat. Ungkapan pemazmur ini sangat mengena dalam hatiku. Kupikir ungkapannya sangat tepat dalam menggambarkan kehidupan manusia. Bukankah setelah kita meninggal, hari-hari dan kenangan terhadap kita akan berlalu seperti bayang-bayang yang tersapu angin.
Pertama kali aku mengenal kematian dari film Tjut Nyak Dien yang dibintangi oleh Christine Hakim. Saat itu aku masih kecil sekali. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu mengerti keseluruhan ceritanya. Bahkan aku tak ingat jalan ceritanya. Yang aku ingat adalah adengan iring-iringan prosesi mengantar jenazah Tjut Nyak Dien. Saat itu semua orang berpakaian serba hitam.
Keluargaku memang maniak film. Meski kondisi keuangan kami tidak terlalu baik, dan kami sering kali kekurangan uang, namun kami memiliki budget khusus untuk menonton di bioskop. Bagi kami kegiatan menonton film di bioskop sama wajibnya seperti makan nasi.
Meski aku tak pernah mengerti jalan cerita film yang kutonton, dan seringkali aku tertidur di dalam bioskop saat film sedang diputar, namun aku sangat menikmati setiap kunjungan ke bioskop. Jaman dulu tidak banyak tempat hiburan seperti saat ini. Dimana jika sedang bosan, anak-anak a be ge bisa pergi ke mall dan mondar-mandir seharian di sana tanpa memedulikan kaki yang sudah pegal-pegal.
Mungkin yang paling kusuka dari kegiatan menonton bioskop adalah perdebatan seru untuk menentukan film yang akan ditonton. Selera ibu dan nenekku berbeda, sehingga mereka kerap bertengkar, untuk menentukan film apa yang akan ditonton. Ibuku menyukai film komedi, sedangkan nenekku senang sekali menonton film India. Karena aku masih kecil, aku belum bisa memilih film yang bisa ditonton. Jadi aku hanya menjadi penonton perdebatan mereka. Aku dan ayahku hanya tinggal mengikuti keputusan apa yang akhirnya diambil.
Sebenarnya ayahku lebih suka menonton film drama, namun karena ia adalah orang yang tidak menyukai konfrontasi, jadi ia memilih untuk keluar dari pertempuran, meski ada kalanya ayah terlihat tak mau kalah dan ikut berdebat menentukan film yang akan ditonton. Setelah semakin besar, aku memiliki selera film yang sama dengan ayahku. Aku suka sekali menonton film drama. Kadang aku merasa ikut larut dalam film drama yang kutonton. Bukannya aku cengeng seperti kata teman-temanku, tapi menurutku film drama dapat menempa rasa empati kita dan banyak hal yang bisa kita pelajari dari film-film drama itu.
Aku tak terlalu ingat sosok ayahku. Seingatku, ayahku adalah seorang yang pendiam. Sebenarnya, ayahku ingin memiliki seorang anak lagi. Anak laki-laki. Tapi, ibuku tidak mau, katanya satu anak juga sudah cukup. Kata nenekku, sebenarnya ibu trauma akan sakitnya melahirkanku. Belum lagi, meski aku anak perempuan, tapi bandelnya minta ampun.
Sayangnya, ayahku meninggal saat aku berumur lima tahun. Itulah pertama kalinya aku menyaksikan kematian yang sesungguhnya. Kematian dalam dunia nyata dan bukan dalam film. Menyadarkanku akan realita. Bahwa di dalam kehidupan ada kematian. Memberikanku pemahaman akan perbedaan antara hidup dalam impian dan realita. Mengingatkanku akan batas tipis antara dunia realita dan dunia mimpi.
Ibuku tak henti-hentinya menangisi kepergian ayahku. Aku yang masih kecil dan tak mengerti mengapa ibu menangis, berlari menuju pelukan nenekku. “Mengapa ibu menangis, nek? Bukankah ayah hanya sedang tidur? Apakah ayah memarahi ibu?” tanyaku dengan polosnya.
“Ayah bukan sedang tidur , sayang. Suatu saat nanti, ketika kau sudah dewasa, kau akan mengerti semua ini,” jawab nenekku seraya mengelus kepalaku. Kulihat butir-butir air mata juga menetes dari mata nenekku yang telah dihiasi keriput.
Suasana saat itu mirip dengan adegan dalam film Tjut Nyak Dien yang pernah kutonton. Hanya saja orang-orang yang ada di sekelilingku memakai pakaian putih, sama seperti pakaian yang kukenakan.
Satu hal yang kusyukuri, aku tak pernah melihat wajah ayahku saat meninggal. Dengan begitu, aku akan selalu ingat wajah ayahku yang penuh senyum dan menatapku dengan sabar saat aku melakukan kesalahan.
Kematian kedua yang kuhadapi adalah kematian nenekku, tiga tahun setelah kematian ayahku. Saat itu meski aku tak dapat mengerti sepenuhnya, namun melihat ibuku yang terus menangis dan orang-orang termasuk aku berpakaian serba putih, aku tahu bahwa nenekku juga tertidur seperti ayah dan tak akan pernah bangun lagi.
Jika saat ayahku meninggal, aku tak melihat wajahnya. Kali ini, aku melihat saat nenekku akan meninggal. Aku melihat wajahnya sebelum dimasukkan ke dalam peti. Saat itu, aku juga turut menangis. Aku tak dapat mengetahui dengan pasti mengapa aku menangis. Aku hanya merasakan kepedihan yang dalam. Aku merasa hatiku seperti melayang terbang. Aku merasa seperti pohon kecil yang segera saja akan lenyap diterpa angin. Selama ini, ayah dan nenekkulah yang jadi pembelaku, bila aku dimarahi oleh ibuku.
“Bu, apakah nenek marah padaku, karena aku selalu nakal? Kenapa nenek juga ingin tidur seperti ayah? Kenapa nenek dan ayah tidak mau bangun lagi, Bu? Seandainya aku berjanji tidak akan nakal lagi, apakah mereka akan bangun lagi, bu?” tanyaku sambil menangis.
Kulihat ibuku sedikit tersenyum mendengar pertanyaanku, lalu ia menghapus air mataku, “Tidak sayang. Mereka tidak akan bangun lagi, karena mereka telah hidup di dunia yang lain. Dunia yang berbeda dengan kita,” jawab ibuku.
“Apakah mereka hidup dalam dunia film seperti yang suka kita tonton di bioskop, Bu?” tanyaku lagi.
“Bukan dunia film sayang. Mereka hidup dalam dunia yang tenang. Dunia yang kekal. Pada akhirnya, kita semua juga akan pergi ke sana, sayang,” jawab ibuku.
Aku tidak mengerti satupun ucapan ibuku. Namun, aku tidak bertanya apa-apa lagi. Karena aku merasa yakin, suatu saat nanti aku juga akan mengerti artinya. Seperti kata nenekku. Suatu saat nanti, saat aku besar, aku akan mengerti arti semuanya itu. Dan lagi, bukankah ibuku tadi bilang, bahwa kita semua pada akhirnya akan pergi ke sana? Jadi, nanti aku juga akan bertemu kembali dengan mereka. Dan kami akan bersama-sama lagi. Pergi ke bioskop bersama-sama lagi.
Kesukaan kami menonton bioskop terus berlanjut hingga aku besar. Namun kini hanya tinggal aku dan ibuku saja. hubunganku dengan ibuku juga semakin dekat. Setelah aku besar, aku sudah mulai bisa memutuskan film yang akan kami tonton. Aku memilih menonton film drama, sedangkan ibu tak pernah mengubah seleranya, tetap saja ia menyukai film komedi. Namun, sama seperti dulu, ibulah yang selalu menang. Lama-kelamaan, akupun menyukai film komedi. Aku suka film drama komedi karena jalan ceritanya yang manis dan kerap berakhir bahagia. Meski hidup tak selalu terasa manis dan berakhir bahagia. Kupikir, hidup ini memang merupakan perpaduan antara komedi dan drama.
Semakin besar, semakin aku suka sekali pergi ke bioskop. Film bagiku bukan hanya merupakan hiburan, tapi juga merupakan cermin bagi kita dalam menjalani kehidupan. Walau kadang-kadang ada juga film yang terkesan konyol dan tidak nyata. Diam-diam aku suka pergi ke bioskop sendiri, menonton film drama yang kusenangi.
Kerap aku jadi berpikir mengenai kehidupan dan kematian. Aku sering bertanya-tanya mengenai arti kehidupan. Aku banyak sekali membaca buku-buku filsafat. Aku juga suka membaca buku-buku Khalil Gibran. Namun, aku tidak pernah mendapat jawaban yang dapat benar-benar memuaskanku. Apakah esensi dari kehidupan? Mengapa harus ada kehidupan jika pada akhirnya semua berakhir dengan kematian? Apa yang terjadi setelah kita meninggal? Dunia yang bagaimanakah kematian itu?
Salah seorang sahabatku yang suka sekali menanam pohon pernah berkata,”Kau tahu apa yang paling kusuka dari pohon. Aku suka sekali melihat tunas-tunas yang baru muncul seperti bayi yang baru lahir. Begitu kecil dan muda. Setiap melihat tunas-tunas baru itu aku seolah belajar seperti itulah hidup. Dari setiap dahan yang dipotong akan muncul tunas-tunas baru. Daun-daun yang sudah tua dan menguning akan luruh dan digantikan oleh tunas-tunas muda yang tumbuh kemudian. Kupikir seperti itulah siklus kehidupan. Ada yang pergi dan ada yang datang kemudian. Setiap tempat yang ditinggalkan akan diisi oleh yang baru datang.”
Kesukaan sahabatku menanam pohon jadi menular padaku. Aku juga turut senang menikmati munculnya tunas-tunas baru. Aku jadi teringat akan diriku. Mungkin seperti itulah saat aku lahir dulu. Begitu kecil dan muda.
Kematian ketiga yang kuhadapi, adalah yang paling berat kurasakan. Aku begitu kehilangan sosok ibuku. Meski aku telah belajar dari pohon mengenai siklus yang pergi dan yang datang, aku tetap merasa kehampaan saat ibuku meninggal.
Seperti saat kematian nenekku, aku juga berada di sisi ibuku ketika ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Aku bahkan turut memandikannya sebelum ia diletakkan di dalam peti. Aku terus menatap wajah ibuku yang tertidur dengan tenang, kucium pipi ibuku yang mulai dingin seraya berbisik di telinganya, “Pada waktunya nanti, aku juga akan tiba di sana, Bu, sehingga kita bisa bersama-sama lagi. Ayah, nenek, kau dan aku. Kita akan bersama lagi, suatu saat nanti, Bu.”
Kali ini aku merasa dadaku amat sakit. Aku merasa dadaku dipenuhi oleh perasaan yang tak dapat kujelaskan. Aku merasa seolah terdorong dalam lorong yang gelap dan dalam. Aku merasa kehampaan yang amat sangat. Perasaanku ini tidak terlalu berbeda seperti saat kematian ayah dan nenekku, namun kali ini perasaan kehilangan itu demikian nyata dan dalam. Meski aku sangat sedih, namun aku tak dapat menangis. Setiap orang bahkan suamiku cemas akan keadaanku. Ia bahkan menyuruhku untuk menangis jika ingin menangis, agar hatiku terasa lebih tenang. Tapi aku tetap tak bisa menangis meski aku ingin sekali menangis. Apakah dengan menangis, ibu akan kembali hidup lagi? Saat kematian ayah dan nenek, ibu terus menangis, toh mereka tetap pergi meninggalkan kami.
Satu hal yang aku terus kukatakan pada diriku adalah, ibu pergi untuk memberikan tempat bagi tunas-tunas yang baru dan suatu saat nanti akupun akan pergi untuk memberikan tempat bagi yang akan datang kemudian.
Dan akhirnya waktuku memang tiba. Saat ini aku berbaring menanti saatku. Aku merasa agak takut, namun segera saja perasaan itu hilang berganti dengan perasaan bahagia karena akan segera bertemu dengan ayah, nenek dan ibuku. Aku menatap wajah suami, anak-anak dan cucuku. Mereka menatapku seperti aku dulu menatap wajah nenek dan ibuku.
Kutatap wajah Saskia, cucuku. Ia sangat mirip dengan diriku. Ia juga suka menonton film drama. Ia menatapku dengan matanya yang bulat jernih. Usianya yang masih kecil sama seperti saat aku kehilangan ayahku. Aku memanggilnya dan memeluknya.
Kupandangi wajah ketiga anakku, merangkumnya dalam ingatanku dan berharap dapat membawa kenangan mereka bersamaku. Satu persatu mereka kupeluk. Satu persatu mereka menciumku. Mereka adalah kebanggaanku. Mereka adalah hartaku di dunia. Seperti aku dahulu merupakan harta bagi ayah, ibu dan nenekku.
Terakhir aku menatap wajah suamiku yang telah setia menemaniku dalam saat sulit dan senang. Orang yang kepadanya, aku berbagi. Orang yang mengajari untuk belajar kehidupan dari sebatang pohon. Ia tersenyum menatapku dan membisikkan bahwa ia sangat mencintaiku dan selamanya akan terus mencintaiku, seperti yang selalu dibisikkannya kepadaku setiap pagi. Aku tersenyum menatapnya.
Aku telah banyak belajar mengenai kehidupan. Batas tipis antara hidup dan mati. Batas tipis antara mimpi dan realita. Batas tipis antara kedukaan dan kebahagiaan. Meski masih banyak hal yang ingin kuketahui mengenai kehidupan, tapi aku sadar, ada hal yang selamanya akan tetap tersembunyi dan ada hal yang suatu saat nanti akan terungkap. Karena tidak ada kekekalan selain dari ketidakkekalan itu sendiri.
Akhirnya, aku melihat ayah, ibu dan nenekku tersenyum menatapku. Kupandangi wajah keluargaku untuk terakhir kalinya. Seperti daun-daun tua yang berguguran demi memberikan tempat bagi tunas-tunas muda, akupun pergi untuk memberikan tempat bagi tunas-tunas muda seperti Saskia, cucuku. Kurentangkan tanganku kembali ke dalam pelukan ayah, ibu dan nenekku.
Pada akhirnya, semua hanya akan menjadi kenangan. Dan mungkin, kenanganlah yang abadi di dalam ketidakabadian. Kata-kata pemazmur kembali terngiang dalam telingaku. ‘Hari-hari manusia seperti bayang-bayang yang lewat dan kemuliaannya seperti bunga rumput.’
Namun seperti bunga rumput yang hari ini dicabut, namun esok, bunga rumput itu akan kembali tumbuh memenuhi bumi. Karena bunga rumput meski mudah layu tidak akan pernah tercabut habis. Bunga rumput selamanya akan terus tumbuh selama matahari masih bersinar.
Untuk: ibuku dan kenangan abadinya akan ayahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar