Laut, Langit, Angin
Oleh: Herny S. Yahya
Oleh: Herny S. Yahya
Entah dari mana sebaiknya kumulai kisahku. Entah pula apakah kisahku ini menarik? Kisahku ini seperti setangkai rumput yang hari ini tampak kokoh berdiri menantang matahari dan sehari kemudian rebah, layu tak berdaya, bahkan mungkin tercerabut dari akarnya, terhempaskan begitu saja. Atau, mungkin pula kisahku ini bagaikan setitik debu di antara ribuan titik-titik di seluruh jagat raya yang tampak tak berarti dan dihempaskan begitu saja, tertiup oleh angin yang berhembus.
Namaku adalah Laut. Aku sulung dari tiga bersaudara. Nama adik-adikku adalah Langit dan Angin. Apakah kalian berpikir nama kami unik? Jangan ungkapkan pemikiran kalian itu pada Langit, karena dialah di antara kami yang paling benci membicarakan nama kami yang menurutnya konyol.
Kalian mungkin berpikir, ayah kami yang menamai anak-anaknya dengan nama-nama alam merupakan seorang pecinta alam. Lebih baik kalian buang pemikiran tersebut jauh-jauh. Mengenai isu pemanasan global yang menyebabkan lapisan ozon makin menipis saja, ayah sama sekali tak peduli.
Ketika Langit mendesak ayah untuk mengemukakan alasannya menamai kami seperti itu, ayah menjawab, “Siapakah yang bisa memiliki Langit, Laut dan Angin sepertiku?”
Dengan kata lain, ayah merasa sebagai makhluk yang paling hebat karena bisa memiliki atau menguasai tiga hal dari bumi yaitu, langit, laut dan angin.
Bagi Langit, ayah adalah sosok manusia paling konyol dan egois yang pernah ada dan tak layak menjadi orang tua. Aku sendiri menyangsikan, jika saatnya nanti, apakah Langit, aku dan Angin akan bisa menjadi orang tua yang layak?
Sedangkan bagi Angin, ayah adalah salah satu tragedi dalam kehidupan. Meski sebenarnya semua manusia adalah tragedi dalam hidup. Bukankah hidup itu sendiri merupakan tragedi? Bagiku sendiri, ayah tak lebih dari seorang tua yang perlu dikasihani.
Sifat ayah yang bertemperamen keras menurun pada Langit. Sedangkan Angin, kata ayah, menuruni sifat ibu yang pendiam dan penurut. Namun sesungguhnya di balik sikap ibu yang penurut itu bergejolak jiwa pemberontak seperti Angin, sehingga ibu yang sudah tak tahan dengan kekeraskepalaan dan keegoisan ayah, pergi meninggalkannya bersama anak-anak mereka.
Ayah yang keras memang paling tak suka dibantah. Namun, Langit merupakan duplikat ayah. Ia sama kerasnya dengan ayah. Kadang aku bertanya, tidakkah ayah melihat gambarannya dalam diri Langit? Kurasa ya.
Ketika Langit memutuskan pergi dari rumah, ayah terlihat tak peduli, namun aku tahu, ayah sebenarnya terluka, hanya saja ayah terlalu sombong untuk merendah sekadar meminta agar Langit tetap tinggal. Seandainya saja ia bisa sedikit mengekang kesombongannya dan mau merendah, maka ibu tak akan pergi meninggalkan kami. Karena itulah, kukatakan ayah tak lebih dari seorang tua yang perlu dikasihani. Ia patut dikasihani karena ia tak bisa memahami sepenuhnya arti cinta. Cinta dari istri dan anak-anaknya. Lebih menyedihkan lagi, ia tak tahu bagaimana mengungkapkan cintanya pada istri dan anak-anaknya.
“Mengapa kau harus bersikap seperti ini? Bukankah kita adalah keluarga?” bujukku pada Langit agar ia mengurungkan niatnya untuk pergi, mengambil alih peran ayah.
“Keluarga? Menurutmu, apakah definisi dari keluarga? Apakah arti keluarga? Bagiku, keluarga hanyalah label yang ditempeli pada sepasang pribadi yang masing-masing berbeda namun disatukan oleh ikatan hukum yang bernama pernikahan kemudian dari ikatan itu lahir sekelompok pribadi lainnya yang juga berbeda namun kebetulan disatukan oleh garis darah yang sama yang dipetakan lewat sel-sel DNA atau istilah-istilah ajaib lainnya yang pastinya sulit dimengerti oleh orang-orang semacam kita,” katanya seraya terus merapikan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas besar.
“Lalu ke mana akan kau langkahkan kakimu? Di manakah akan kau istirahatkan langkahmu bila kau merasa lelah?”, tanyaku, mencoba menahannya walau kutahu itu hanyalah usaha yang sia-sia.
“Aku akan melangkahkan kakiku ke mana pun ia hendak melangkah. Biarlah langit yang memanduku dan angin yang menuntunku menuju guru sejatiku. Alam raya. Aku akan belajar dari langit, laut dan bumi. Lucu ya, mungkin bila ibu tak pergi meninggalkan kita, ia akan melahirkan anak keempatnya yang akan dinamai bumi. Hingga suatu saat nanti aku sungguh-sungguh menjadi manusia sejati. Aku tak tahu bilakah langkahku penat? Mungkin nanti kala aku telah menemukan kebenaran sejati dari guru-guru sejatiku. Mungkin saat itulah baru kurasakan penat dan mencari tempat untuk mengistirahatkan kaki dan gejolak hatiku.”
Ah, Langit. Bagiku, keluarga adalah tempat kita berlabuh kala kaki dan tubuh kita telah penat mengarungi hidup. Keluarga adalah sebuah ruang hangat dalam hati setiap umat manusia, karena ke mana pun kita pergi, bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun, kita akan tahu bahwa ketika kita tidak ada lagi tempat untuk dituju, hanya satu tempat bagi kita untuk pulang, yaitu keluarga, karena di sana kita dapat menyatukan hati, jiwa dan raga kita. Keluarga adalah bintang polaris yang menjadi penunjuk jalan bagi kita kala kita tersesat dan tak dapat menemukan jalan pulang. Dan kuyakin keluargalah yang akan kau tuju kala kau merasakan penat.
Lain Langit, lain pula dengan Angin. Bila dengan Langit yang meletup-letup, aku merasa lebih nyaman, setidaknya aku tahu hasrat dan impiannya. Sedangkan terhadap Angin yang tertutup dan mengasingkan diri, aku jadi seperti orang asing yang hanya dapat melongok dari jendela saja.
Meskipun Langit mudah sekali meledak-ledak, namun aku lebih suka menghadapinya daripada menghadapi Angin. Aku tak pernah tahu apa yang dipikirkan Angin. Ia selalu menutup dirinya. Ketika aku berdebat dengan Langit, ia lebih suka menyendiri di sudut ruangan, terpekur menatap lantai. Kadang aku berpikir, apakah kebiasaannya mengasingkan diri karena ia merasa tak dicintai. Ibu kami pergi meninggalkan kami, ketika ia baru saja menginjak usia dua tahun.
Kadang aku ingin seperti Langit dapat dengan lantang menyalahkan ibu, namun aku yakin, ibu juga memiliki dilema ketika ia harus memutuskan untuk pergi meninggalkan kami.
Sejak kepergian Langit, rumah kami tampak seperti bom waktu. Terlihat tenang, namun bisa meledak suatu waktu. Aku jadi memandang keluargaku dengan skeptis seperti Langit. Aku lelah harus mengasuh ayah dan Angin. Kadang, aku ingin juga pergi seperti Langit dan melepaskan semua ini.
Angin. Aku selalu saja sulit menggambarkan mengenai adikku ini. Aku tak terlalu memahaminya. Ia benar-benar seperti angin yang berhembus. Dapat kita rasakan keberadaannya namun tak benar-benar kita sadari keberadaannya. Saat ia pergi, barulah kusadari kehampaan yang benar-benar. Lain dengan ketika Langit atau ibu pergi. Selama ini aku hampir tak pernah menyadari keberadaan Angin, namun mengapa aku merasa kosong ketika ia juga pergi?
“Kak Laut, menurut kakak apa arti hidup?”, tanya Angin suatu hari.
Aku terperangah tak tahu harus menjawab apa. Aku selalu saja tak tahu harus bersikap bila menghadapi Angin.
“Menurutku hidup adalah tragedi,” lanjut Angin, menjawab pertanyaannya sendiri.
“Mengapa kau berkata begitu? Bukankah hidup itu indah? Indah karena hidup adalah warna-warna pelangi. Indah bila kita dapat benar-benar memaknai nada-nada dalam hidup itu sendiri. Menurutku, hidup adalah anugrah Tuhan bagi kita dan kita perlu bersyukur atas hidup yang telah dikaruniainya pada kita ini. Karena kita hidup, maka kita dapat merasakan kehangatan matahari. Karena kita hidup, maka kita dapat merasakan manisnya dicintai dan mencintai,” jawabku dengan senyum getir, karena kadang aku merasa memang hidup adalah tragedi.
“Apakah cinta adalah anugrah, kak? Berarti benci juga anugrah? Bukankah cinta dan benci saling berdampingan seperti gelap merekat erat dengan terang?”
“Tentu saja! Bila kita memiliki kekuatan untuk membenci, maka pastinya kita juga memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mencintai,” jawabku asal.
Aku tak tahu, apakah kata-kataku mengenai teori hidup dan cinta adalah anugrah yang menyebabkan Angin mengambil keputusan untuk pergi dengan cara yang berbeda dengan Langit dan ibu.
Aku tak tahu apakah ayah menangis ketika mendapati Angin tak lagi bernyawa. Aku sendiri saat mendapati adikku dalam keadaan itu, hanya termangu sesaat seperti aku sedang bermimpi. Ketika kusadari bahwa semuanya adalah nyata, aku lebih lagi tak menyadari keadaan sekelilingku.
“Bila hidup adalah anugrah, maka kematian juga adalah anugrah, kak? Menurutku adalah anugrah bila kita tidak pernah dilahirkan. Karena kita dilahirkanlah maka kita mengalami derita. Alangkah beruntungnya mereka yang tak pernah lahir ke dalam dunia,” tulisnya dalam secarik kertas yang kutemukan terselip di antara lembaran Kitab Suci miliknya.
Rumah sepeninggal Langit dan Angin semakin kosong. Hanya tinggal aku dan ayah. Melihat ayah yang semakin tua dan sepanjang hari hanya duduk termenung menatap jendela, aku tahu ayah sedang memikirkan hari-hari yang telah lewat. Adakah ia menyesali kepergian ibu, Langit dan Angin?
Sepanjang hari aku mengurus ayah dan menunggu saat kaki dan tubuh Langit telah lelah menapaki hidup, dan ketika ia telah menjadi manusia sejati seperti keinginannya, mungkin ia akan kembali ke rumah di mana hati dan jiwanya berada. Aku yakin Langit akan kembali.
Langit di atas sangat jernih dan jauh dari jangkauanku seperti Langitku yang saat ini tak kuketahui keberadaannya. Angin yang berhembus kurasakan membelai rambut dan pipiku, dan aku tahu bahwa Anginku ada di antara hembusan itu mengipasi semangatku untuk tetap menyalakan cinta dan menunggu rumah hingga Langit kembali.
Rasanya seperti baru kemarin kami hanyalah kanak-kanak. Tak kusadari betapa waktu demikian cepatnya berlalu. Sudah tiga tahun sejak kematian Angin dan mungkin sudah tahun kesepuluh atau sebelas sejak kepergian Langit. Yang tersisa dari waktu hanyalah kepingan-kepingan kenangan yang kadang terasa pahit hingga membuat lidah kelu meski ada juga yang terasa manis seperti madu yang menetesi jiwa-jiwa usang manusia. Akhirnya hanya kenanganlah yang dimiliki oleh manusia hingga ia pun terbang dihembuskan angin.
“Langit dan Angin. Selamanya kita adalah keluarga,” bisikku pelan dan kutahu Angin membawa bisikanku untuk disampaikan pada Langit.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar