Michael Schumacher
Oleh: Herny S. Yahya
Oleh: Herny S. Yahya
Jika membicarakan formula one, maka sederet nama pembalap terbaik formula one sepanjang masa akan disebutkan. Juan Manuel Fangio, Alberto Ascari, Jackie Ickx, Jackie Steward, Gilles Villeneuve, Aryton Senna, Alain Prost dan Michael Schumacher. Dan bila ditanya siapakah pembalap formula one paling sukses? Maka tanpa berpikir panjang, sebuah nama akan langsung disebut. Michael Schumacher. Namun, bila ditanya siapakah pembalap formula one terbaik? Jawabannya mungkin akan terbagi antara Juan Manuel Fangio, Aryton Senna dan Michael Schumacher. Mengapa?
Tak dapat disangkal, Michael Schumacher merupakan pembalap formula one paling sukses, terbukti dari sederet prestasi yang berhasil diukirnya di ajang balap paling bergengsi di dunia ini. Ia berhasil mengoleksi tujuh gelar juara dunia pembalap. Rekor yang mungkin akan sangat sulit dipatahkan oleh pembalap-pembalap muda yang mulai bermunculan di ajang formula one. Harian Kompas bahkan pernah menurunkan artikel mengenai Michael Schumacher ketika ia hampir merebut gelar juara dunia pertamanya bersama Ferrari (gelar ketiga untuknya. Dua gelar dunia diraihnya bersama tim Benetton tahun 1994 dan 1995) pada tahun 2000 dengan judul SCHUMACHER, PEMBALAP TERBAIK DI JAMANNYA.
Namun, di samping sederet prestasi dan rekor yang ditorehkannya dalam sejarah balap formula one, ia juga menimbulkan banyak kontroversi. Bisa dibilang sejak debutnya di formula one pada tahun 1991 bersama tim Jordan, Michael Schumacher telah menjadi bahan pembicaraan.
Ia pertama kali masuk formula one lewat tim Jordan, menggantikan pembalap Jordan kala itu, Bertrand Gachot yang dipenjara karena menyemprotkan gas karbit ke wajah supir taxi di London, padahal saat itu Grand Prix Belgia sudah diambang mata, sehingga Eddie Jordan, bos tim Jordan kelabakan mencari penggantinya. Kemudian Jordan dikenalkan kepada seorang pemuda Jerman, bertubuh kurus tinggi, memiliki sorot mata penuh percaya diri dan ketegasan yang nyata pada raut wajahnya. Dialah Michael Schumacher yang ternyata bukan hanya berhasil mengesankan Eddie Jordan saja tapi juga seluruh dunia pada debut pertamanya di Spa, Belgia.
Eddie Jordan, pemilik tim Jordan saat itu dikabarkan terkesan dengan penampilan Michael saat uji coba di Silverstone dan Schumacher juga meyakinkan Jordan bahwa ia memiliki pengalaman di sirkuit Spa sehingga ia bisa sangat cepat. Belakangan diketahui, bahwa ternyata Michael hanya pernah sekali saja memutari sirkuit Spa dengan sebuah sepeda sewaan. Namun apa yang diucapkannya pada Eddie Jordan benar-benar dibuktikannya. Ia mengejutkan semua orang ketika ia berhasil meraih posisi ketujuh di sesi kualifikasi, mengalahkan rekan setimnya yang sudah berpengalaman, Andrea de Cesaris. Sayangnya, ia harus mengakhiri lomba pada lap pertama karena mobilnya mengalami masalah pada kopeling.
Debutnya ternyata menarik perhatian Flavio Briatore, bos tim Benetton yang kemudian merebutnya dari Jordan. Tahun berikutnya, bersama tim Benetton ia berhasil meraih podium pertamanya (lagi-lagi) di Spa, Belgia. Akhirnya, ia berhasil meraih juara dunia pertamanya pada tahun 1994 dan ia berhasil mempertahankan gelarnya pada tahun 1995.
Penampilan Schumacher rupanya menarik perhatian Luca de Montezemolo, orang yang dipercaya klan Ferrari untuk mengelola Ferrari. Luca segera mendekati Michael setelah ia berhasil merebut gelar pertamanya. Hasilnya, Schumacher akan membalap untuk Ferrari pada tahun 1996.
Saat itu, Ferrari merupakan tim yang menyandang nama besar namun minim prestasi. Gelar terakhir yang diraih Ferrari adalah juara dunia pembalap yang diraih Jodi Scheckter pada tahun 1979. Sejak itu, Ferrari seperti macan yang kehilangan taringnya. Meski Ferrari berhasil meraih beberapa kemenangan, namun gelar dunia seperti sulit dicapai. Padahal sejumlah pembalap hebat, mulai dari Michele Alboreto, Nigel Mansell, Alain Prost, Jean Alesi sampai Gerhard Berger digaet Ferrari untuk melepaskan dahaga tim berjuluk kuda jingkrak ini akan gelar dunia, namun hasilnya tetap nihil. Kuda jingkrak cuma bisa meringis menatap tim-tim lawan seperti Wiliams dan McLaren yang berjingkrak mencapai gelar dunia yang didambakan tim yang bermarkas di Maranello, Italia ini.
Ketika Michael pindah ke tim bernama Scuderia Ferrari ini, ia turut membawa Ross Brawn dan Rory Byrne bersamanya. Waktu itu, Rory Byrne sudah berniat pensiun dari formula one, tapi Michael berhasil membujuk Rory untuk mengurungkan niatnya pensiun.
Masa-masa awal Schumacher di Ferrari sangat sulit. Ferrari merupakan tim besar namun sepertinya ada yang salah di sana. Jean Todt, yang sudah lebih dulu ada di Ferrari dan ia juga yang membujuk Luca untuk membawa Michael dan orang-orangnya ke Ferrari jika tim besar ini benar-benar berniat memenangi gelar. Dan Jean Todt yang perawakannya seperti Napoleon Bonaparte ternyata memiliki jiwa kepemimpinan seperti pahlawan dari negerinya tersebut. Ia mengatur ulang manajemen tim dan menempatkan orang yang tepat di tempat yang semestinya.
Selama lima tahun sejak Michael Schumacher bergabung dengan Ferrari, gelar yang didambakan belum juga datang, meski beberapa kali Schumacher berhasil menjadi penantang serius dalam memperebutkan gelar, namun sepertinya Ferrari masih harus menunggu gelar dunia menghampiri mereka.
Tahun 1997, perebutan gelar berlangsung sengit antara Michael Schumacher dengan Jacques Villeneuve, putra Gilles Villeneuve, pembalap Ferrari yang tewas pada …………………………
Tak disangkal, selain memiliki bakat yang besar, Michael juga sangat ambisius. Di seri terakhir, persaingan keduanya makin sengit. Saat lomba, Michael melakukan manuver yang menuai protes dan kritik terhadapnya. Ia dianggap telah membahayakan nyawa pembalap lain (Jacques Villeneuve) sehingga ia didiskualifikasi dari perebutan gelar. Alhasil, gelar dunia pun melayang ke tangan Jacques Villenueve yang jumlah poinnya di klasemen saat itu sama dengannya.
Michael memang dikenal sangat agresif, dan sifatnya ini kadang membuat orang menganggapnya arogan. Padahal, menurut Jean Todt, Michael itu sebenarnya orang yang sensitif. Namun memang bila sudah berada di trek, Michael tak ubahnya seorang gladiator yang bertempur gagah berani melawan singa sekali pun. Adiknya, Ralf Schumacher sekalipun dilibasnya di atas trek tanpa ampun, sehingga hubungannya dengan adik kandungnya ini sempat memanas, untungnya ibunda mereka, Elizabeth Schumacher yang sangat memahami sifat dua anaknya ini, berhasil mendamaikan pertikaian dua bersaudara ini.
Mengenai sepak terjangnya di sirkuit yang tak kenal ampun dalam membabat semua lawannya, Michael berkata, “
Karena keagresifan dan sifat pantang menyerahnya dalam menghadapi lawan, banyak yang menganggap Michael orang yang arogan.
Ketika ia masih membalap untuk Benetton, ia kerap terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan Damon Hill yang membalap untuk tim Williams. Pada tahun 1994 di sirkuit Adelaide, Australia mereka terlibat dalam tabrakan yang dahsyat. Saat itu, selisih poin Schumacher dan Hill sangat tipis, dan Grand Prix Australia merupakan seri penutup musim balap tahun itu. Persaingan mereka dalam memperebutkan gelar musim itu memang berlangsung sengit. Namun, pada akhirnya Schumacher yang berhasil meraih gelar juara dunia pertamanya.
Michael Schumacher, The Living Legend
Bila menyebut nama Formula One, pikiran orang langsung lari ke sebuah nama. Michael Schumacher. Ya, Formula One modern memang identik dengan Michael Schumacher bersama Ferrari-nya. Pencapaian Ferrari dan Michael Schumacher telah mengubah secara total wajah Formula One modern.
Setuju atau pun tidak, namun wajah Formula One memang banyak berubah berkat dominasi Michael Schumacher bersama Ferrari-nya. Demi menjegal dominasi Michael Schumacher dan Ferrari, FIA sampai perlu melakukan serangkaian perubahan regulasi untuk menahan laju kekuatan mereka yang sempat menimbulkan kegelisahan tim-tim lawan yang mengisi paddock F1.
Memang banyak yang mengacungi jempol dan mengagumi Michael Schumacher bersama Ferrari-nya, tapi tak sedikit juga komentar-komentar miring yang mengomentari semua pencapaian-pencapaian mereka. Namun demikian, seharusnya tim-tim lawan justru malu dan makin terpacu dengan keberhasilan yang dicapai Michael Schumacher dan Ferrari dan mencari cara untuk mengalahkan Ferrari, seperti yang dikatakan Frank Williams, bos tim Williams F1 yang juga adalah kompetitor Ferrari.
Bisa dibilang sepanjang karirnya di Formula One, Michael Schumacher merupakan sebuah fenomena. Ia menciptakan banyak rekor yang rasanya sulit dipatahkan dalam waktu dekat oleh pembalap-pembalap muda. Ia benar-benar seorang pembalap yang komplet. Memiliki etos kerja dan disiplin yang tinggi, semangat pantang menyerah dan juga otak yang cemerlang. Karena membalap bukan hanya memerlukan fisik yang prima tapi juga otak cerdas yang mampu berpikir dengan cepat sambil tetap menjaga konsentrasi sepanjang balapan.
Terlepas dari semua kontroversi yang menyertai semua prestasinya, namun semua sependapat bahwa Michael Schumacher merupakan pembalap hebat yang berbakat dan pantas disejajarkan dengan legenda-legenda hebat Formula One lainnya seperti Juan Manuel Fangio, Jack Brabham maupun Ayrton Senna yang sempat bertarung dengannya pada awal karirnya di Formula One.
Sebenarnya apakah yang membuat Michael Schumacher demikian tangguh sehingga bisa meraih tujuh gelar dunia, rekor yang sangat luar biasa? Mobil dan mesin Ferrari-nya? Bakatnya yang luar biasa? Tokoh-tokoh kunci di sekitarnya?
Semuanya itu memang merupakan salah satu faktor yang mendukungnya untuk meraih tujuh gelar dan mendominasi Formula One sepanjang tahun 2000 sampai 2004 dimana ia berhasil merebut gelar dunia pembalap selama lima tahun berturut-turut (dua gelar dunia lainnya, ia peroleh ketika ia membalap untuk tim Benetton Renault di tahun 1994 dan 1995). Tapi tetap saja faktor yang paling penting untuk meraih semua kesuksesan itu adalah bagaimana ia menggali potensi yang ada di dalam dirinya sendiri!
Ambisi
Tak bisa dipungkiri, Michael Schumacher memang seorang yang ambisius. Karena keambisiusannya ini, banyak orang yang mengecapnya arogan. Tapi, pembalap mana yang tidak arogan? Juan Pablo Montoya dan Jacques Villeneuve yang paling sering melontarkan kritik pedas terhadap tindakan Michael yang dianggap mereka arogan. Namun mereka tidak berkaca!
Lihat saja, tindakan licik Juan Pablo Montoya di tahun 2006, yang melakukan kebodohan di awal musim sehingga menyebabkannya cedera dan absen cukup lama dari ajang jet darat dan mengakibatkannya kehilangan kesempatan untuk bersaing merebut gelar dunia.
Ketika ia kembali dari cederanya, seharusnya ia membantu rekan timnya yang saat itu lebih berpeluang dalam pertempuran perebutan gelar dunia, tapi ia malah kerap melakukan kekonyolan yang tak perlu, yang bukan saja merugikan dirinya sendiri tapi juga timnya. Kenapa? Karena ia juga seorang yang ambisius, karenanya ia ingin menjegal rekan setimnya. Keambisiusannya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Akibatnya, ia terdepak keluar dari arena Formula One bahkan sebelum musim 2006 berakhir.
Sepanjang sejarah, hanya orang-orang ambisius yang mampu meraih dunia miliknya. Alexander Agung dari Rusia. Julius Caesar dari Kerajaan Romawi. Dan sederet nama-nama tokoh dunia lainnya. Memang banyak tokoh yang karena keambisiusannya akhirnya menghancurkan dirinya sendiri, tapi tidak dengan Michael Schumacher. Kenapa? Karena ambisi Michael Schumacher bukannya tidak mendasar. Saat ia merasa, ia mampu mencapai sesuatu, ia meyakininya dan ia akan memacu dirinya melewati batas yang sangat sulit dibayangkan oleh manusia lain, untuk meraihnya. Jadi, ambisi itu memang penting dalam mencapai tujuan. Namun kita harus menjadikannya sebagai ambisi yang sehat seperti yang dilakukan Michael Schumacher.
Disiplin dan Etos Kerja yang Tinggi
Tak ada satupun yang menyangkal kelebihan Michael Schumacher yang satu ini. Bahkan seisi paddock menganggap Michael Schumacher merupakan pembalap paling disiplin. Ia rajin berlatih dan menjaga kebugarannya agar tetap fit sehingga ia mampu bertarung di arena Formula One yang keras. Bukan hanya menjaga kebugaran saja, Michael bahkan menjaga setiap makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.
Disiplin adalah faktor penting dalam mencapai tujuan tertinggi. Tanpa disiplin, sekeras apapun kita mencoba, semua hanyalah usaha menjaring angin.
Seisi paddock pun mengakui kalau Michael memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Bahkan bisa dibilang Michael itu seorang yang workaholic meski ia sebenarnya juga seorang family man.
Ketika pertama kali, ia masuk ke tim Ferrari pada tahun akhir tahun 1994 (saat itu ia masih menjadi pembalap Benetton), Ferrari masih merupakan tim besar yang mandul prestasi. Banyak pembalap-pembalap berbakat yang bergabung dengan Ferrari, mulai dari Michele Alboreto, Nigel Mansell, Alain Prost, Jean Alessi, sampai Gerhard Berger tapi gelar dunia tak kunjung diraih Ferrari. Gelar dunia terakhir yang diraih Ferrari dalam kategori pembalap diraih lewat pembalapnya, Jodi Scheckter yang menjadi juara dunia pada tahun 1979. Jadi, bisa dibilang, saat itu Michael Schumacher memulai dari nol.
Otak
Orang boleh saja menghujat tindakan Michael Schumacher di sesi kualifikasi Monaco 2006 yang dikenal dengan istilah Rascasse gate, di mana Michael memarkirkan mobilnya di tikungan Rascasse demi menjegal lawan terdekatnya saat itu, Fernando Alonso agar tidak dapat membuat catatan waktu melebihi catatan waktu yang telah ditorehnya untuk mencapai posisi start pertama pada lomba keesokan harinya, sebagai tindakan yang tidak sportif.
Tapi, tidakkah semua orang menyadari, bahwa tindakannya itu menunjukkan kecerdasan otaknya. Ia adalah seorang petarung, dan apa yang dilakukannya itu adalah tindakan refleks seorang petarung. Petarung sejati, pasti akan langsung berpikir cepat bila merasa posisinya terancam dan akan melakukan cara untuk mengamankan posisinya.
Pantang Menyerah
Salah satu contoh petarung sejati lainnya adalah semangat pantang menyerah. Dan Michael Schumacher menunjukkan hal itu. Sebagai seorang petarung sejati, ia selalu bertempur hingga detik-detik terakhir meski saat itu ia berada dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Karena masalah Rascasse gate itu, Michael mendapat hukuman, start dari grid paling belakang. Dan Michael saat itu, memilih start dari pit lane, karena jika ia start dari grid belakang, ia tidak boleh lagi mengisi bahan bakar sisa dari sesi kualifikasi, sementara jika ia start dari pit lane, ia boleh mengisi ulang bahan bakarnya.
Sirkuit Monaco adalah salah satu sirkuit jalan raya, dengan trek yang sempit, sulit sekali bagi pembalap untuk menyalip pembalap lainnya. Dengan asumsi demikian, Michael yang berada di posisi paling belakang, mustahil menyodok ke posisi depan, apalagi mengharapkan podium. Namun, memang hanya orang bodoh saja yang menganggap remeh seorang Michael Schumacher.
Dengan bahan bakar yang lebih banyak dari pembalap lain, yang berarti tunggangannya lebih berat dan hal itu otomatis menyulitkannya menyalip pembalap lain, tapi di akhir lomba Michael berhasil finish di posisi kelima dari posisi paling buncit. That’s so very very amazing!
Contoh lainnya, ketika Michael membalap dengan style saat lomba pamungkas di Interlagos, Brazil. Saat kualifikasi ketiga, mobil Michael mengalami masalah. Padahal di dua sesi sebelumnya, Michael berhasil mencatatkan waktu tercepat, dan posisi pole pertama secara tertulis berada dalam genggamannya, tapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan sepertinya ingin menunjukkan pada dunia, bahwa Michael Schumacher memang seorang pembalap sejati yang sangat luar biasa.
Di lomba, Michael harus start di posisi kesepuluh, karena ia tak dapat mencatatkan waktu di sesi kualifikasi ketiga, yang merupakan babak penentuan posisi start. Selepas start, Michael menyodok di posisi kelima, menyodok Giancarlo Fisichela yang berada di posisi keempat, tapi ban Michael melibas debris yang bertebaran akibat kecelakaan sebelumnya. Posisi Michael melorot ke posisi paling akhir. Apakah Michael langsung menyerah? Tidak!
Dari posisi buncit, Michael terus merangsek naik seperti seorang serdadu, terus menekan lawan-lawannya, dan di akhir lomba, ia menyalip pembalap muda Kimi Raikkonen yang dikenal sebagai pembalap tercepat pada tahun 2005, yang merupakan penggantinya di Ferrari pada tahun berikutnya.
Overtaking Michael terhadap Kimi Raikkonen mengundang decak kagum seisi paddock, seluruh penonton baik di sirkuit maupun mereka yang menyaksikan aksinya yang luar biasa lewat layar kaca.
Contoh paling luarbiasa lainnya adalah saat Grand Prix Austria 2003, di mana ia hanya mampu meraih poin satu, tapi poin satu itu terbukti berharga pada akhir musim sehingga menahbiskannya menjadi juara dunia 2003.
Bagi Michael, poin satu pun sangat berharga dan pantas diperjuangkan. Semangat pantang menyerahnya ini membuktikan bahwa Michael Schumacher merupakan petarung sejati yang mampu membuat lawan-lawannya gentar dan segan menghadapinya.
Tetap Tenang Dalam Kondisi yang Sulit
Musim 2003 merupakan musim perebutan gelar yang sulit bagi Michael. Tahun itu, Michael sedang berburu gelar keenamnya, melebihi gelar Juan Manuel Fangio, salah satu legenda Formula One yang berhasil mengoleksi lima gelar dunia.
Di Austria 2003, selepas pit stop terakhirnya, mobil Michael mengeluarkan api, dengan ketenangan seorang juara dunia sejati, Michael terus melajukan mobilnya, ia hanya melirik dengan tenang dan tetap menjaga dirinya agar tidak panik. Dan ia berhasil finish di posisi kedelapan, ia mendapat tambahan satu poin dalam perebutan gelar dunia. Satu poin yang sangat krusial, karena terbukti berkat satu poin itu, ia berhasil menjadi juara dunia di Grand Prix Suzuka, Jepang yang mengakhiri gelaran musim itu, dan mengalahkan Kimi Raikkonen, lawan terdekatnya dalam perebutan gelar musim itu.
Bahkan ketika ia dicercar akibat tindakannya yang dinilai tidak sportif di Monaco 2006, Michael tetap tenang dan fokus dalam perebutan gelar. Tahun itu adalah musim terakhirnya di Formula One, dan ia memang tidak berhasil menambah koleksi gelar dunianya menjadi delapan kali, tapi ia telah memberikan perlawanan yang sangat sengit terhadap Fernando Alonso, lawan terdekatnya dalam perebutan gelar musim itu.
Ketenangan Michael Schumacher baik dalam menghadapi tekanan saat lomba maupun tekanan dari luar yang berupa kritikan pedas atas aksinya di lintasan terbukti telah membawanya ke tingkat yang sulit ditandingi oleh pembalap lainnya mungkin hingga beberapa dasawarsa ke depan, atau bahkan mungkin juga tidak akan pernah pembalap lain yang mampu menandinginya?
Loyalitas
Bisa dibilang, Ferrari seperti keluarga kedua bagi Michael Schumacher. Hal ini tidak terlalu mengherankan, karena Michael, seperti semua orang yang terlibat dalam Formula One, dengan jadwal Grand Prix yang tersebar di tujuh belas (sekarang delapan belas) negara, belum lagi jadwal sesi uji coba yang seabrik, membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu bersama timnya ini dibanding dengan keluarganya. Tapi hal itu bukan berarti, Michael tidak mempedulikan keluarganya. Semua orang setuju bahwa Michael adalah seorang family man sejati. Ia sangat mencintai keluarganya.
Michael memiliki seorang istri bernama Corrina Betsch dan dikarunia dua orang anak. Gina Maria dan Mick. Michael bahkan selalu tampak bersemangat bila menceritakan mengenai anak-anaknya seperti kesukaan anak-anaknya bermain ski.
Namun, Michael menyadari, bekerja di Formula One tidak bisa setengah hati bila ingin berhasil. Ferrari menyediakan rumah yang dulunya merupakan rumah Enzo Ferrari, pendiri Ferrari yang terletak dekat sirkuit Fiorano, sirkuit milik Ferrari. Selama masa sesi ujicoba, Michael lebih sering tidur di rumah itu untuk melakukan ujicoba.
Michael juga sangat menghargai orang-orang yang bekerja untuknya. Ia bahkan ingat semua nama kru tim Ferrari termasuk mereka yang bekerja di pabrik.
Seorang pembalap apalagi juara dunia, bisa saja menjadi sombong dan bertindak seenaknya saja, tapi tidak demikian dengan seorang Michael Schumacher. Ia tetap rendah hati dan menganggap penting semua yang bekerja di timnya, meskipun orang itu hanyalah seorang tukang sapu, Michael tidak pernah memandangnya rendah.
Ketika pertama kali masuk Ferrari, banyak dari kru tim yang menyangsikan Michael Schumacher. Hal itu bisa dimaklumi, mengingat sebelum Michael sudah banyak pembalap-pembalap hebat yang bergabung dengan tim besar yang legendaries tersebut, tapi hasilnya tetap nihil. Mereka hanya bisa meraih satu dua kemenangan, tapi gelar dunia seolah enggan mendekati tim ini.
Tapi Michael menunjukkan kharismanya. Ia dengan rendah hati, mau berbaur dengan kru tim. Bahkan ia sampai lembur karena membahas masalah teknik dengan kru Ferrari yang lain. Ketika malam sudah sangat larut, ia dengan sukarela pergi membelikan pizza bagi semua kru yang masih tetap bekerja hingga dini hari.
Saat masuk ke Ferrari, ia sudah mengantongi dua gelar dunia, tapi hal itu tidak membuatnya tinggi hati, tapi justru ia melebur bersama tim barunya.
Kesuksesan terbukti tidak membuat Michael menjadi tinggi hati dan arogan. Jika tidak percaya, tanyakan saja pada tukang sapu di Maranello, markas besar Ferrari.
Teamwork yang Hebat
Tak dipungkiri, Michael memang dikelilingi oleh orang-orang hebat yang berbakat. Tapi, semua itu tidak menjamin kesuksesan. Semua tim juga memiliki orang-orang hebat yang berbakat di bidangnya.
Adrian Newey di McLaren, sangat berbakat, tapi mobil McLaren Mp4-19 yang bisa dibilang karya terbaiknya tak pernah bisa turun balapan, karena tidak lolos crash test yang diwajibkan FIA bagi setiap mobil yang diluncurkan oleh setiap tim sebelum turun balapan. Dia masih sangat berbakat dan tak ada yang menyangsikan kemampuannya dalam mendesain mobil, namun sejak tahun 1998, McLaren seperti kehilangan taji menghadapi Ferrari dan Renault. Meski pada tahun 2003 dan 2005, McLaren mampu menjadi pesaing kuat Ferrari dan Renault, namun gelar dunia yang mereka harapkan tak jua mampu mereka raih. Akibatnya ia sangat frustasi di McLaren hingga akhirnya pada tahun 2006, ia pindah ke Red Bull Racing.
Mike Gascoyne yang menjadi technical director termahal ketika direkrut Toyota dari Renault, namun pada pertengahan musim 2006 didepak dari tim tersebut. Sam Michael, orang muda yang disebut-sebut sangat berbakat di tim Williams tapi tak kunjung membuahkan hasil yang memuaskan bagi timnya tersebut.
Jadi jelas kan, hebat saja tidak menjamin, tapi perlu melebur diri menjadi tim yang solid. Dan yang paling penting, seorang pembalap juga perlu berbaur dengan para teknisi, bertukar pikiran dengan mereka untuk mendapatkan setingan yang tepat bagi tunggangannya. Sebagai contoh, Kimi Raikkonen, ia berbakat dan banyak yang menganggapnya sangat kencang, tapi semua itu tidak cukup.
Tahun 2007 ini, ia menggantikan Michael Schumacher di Ferrari, tapi ia sepertinya tidak bisa meleburkan dirinya seperti Michael dengan kru tim Ferrari lainnya seperti halnya ketika ia berada di McLaren.
Kimi mengganggap tugasnya hanyalah membalap dan tim yang menyediakan tunggangan yang mumpuni baginya, tapi tanpa hubungan timbal balik, masukan dari pembalap, sulit rasanya mendapatkan hasil yang maksimal pula.
Setelah ia menggondol gelar dunianya yang kedua di tahun 1995 (bersama Benetton), ia hijrah menjadi pembalap Ferrari dan membawa serta tim suksesnya di Benetton. Ross Brawn, yang menjadi technical director di Ferrari dan Rory Byrne, chief designer yang mengotaki lahirnya mobil-mobil juara sejak Michael di Benetton hingga di Ferrari. Dan bisa dibilang F2004, yang mengantarkan Michael merebut juara dunia ketujuhnya merupakan master piece-nya Rory Byrne.
Mereka bertiga ditambah Jean Todt dan Paolo Martinelli, menjadi tim sukses Ferrari yang menikmati masa-masa keemasan sejak tahun 1999 sampai 2004 dengan meraih gelar dunia konstruktor enam tahun berturut-turut (Michael memperoleh gelar dunia pembalap di Ferrari sejak tahun 2000 sampai 2004). Di mana mereka mencapai puncak kesuksesan di tahun 2004 yang membuat para tim kompetitor ketar-ketir menghadapi dominasi mereka.
Tapi, jangan pikir kesuksesan itu datang dalam semalam. Kesuksesan itu datang lewat perjuangan panjang yang tak berkesudahan hingga akhirnya mereka dapat membangun tim yang solid dan menyatu.
Rekan Setim
Banyak juga yang menganggap kesuksesan Michael meraih lima gelar dunia berturut-turut dan mengantarnya menjadi satu-satunya pembalap dengan gelar dunia terbanyak, yaitu sebanyak tujuh kali, adalah berkat aturan tim yang mengharuskan pembalap kedua mengalah pada Michael Schumacher.
Memang bukan rahasia lagi, Ferrari merupakan tim-nya Michael Schumacher. Semua kru bekerja untuk Michael seorang. Tapi benarkah demikian? Tidakkah mereka yang mengkritik hal ini berpikir, apakah yang menyebabkan seluruh kru tim bekerja demi seorang ini? Tidakkah itu menunjukkan bahwa orang tersebut sangatlah istimewa?
Bukannya bermaksud mengecilkan peran Rubens Barrichello, yang menemani Michael selama musim 2000-2005 di Ferrari, tapi secara de facto maupun de jure, kualitas Michael memang di atas Rubens Barrichello.
Bukan saja, karena Michael lebih lama berada di Ferrari (selama 10 tahun), tapi juga Michael telah sangat menyatu dengan semua orang yang berada di tim tersebut. Dari tukang sapu sampai pucuk pimpinan tim tersebut, Michael sangat dekat dengan mereka. Bagi Michael, mereka adalah juga keluarganya. Dan sepertinya tidak demikian dengan Rubens Barrichello. Ia sepertinya sulit melebur dengan mereka seperti Michael.
Grand Prix Austria 2002 kembali kritik dihujamkan ke arah Michael Schumacher dan Ferrari karena tim order yang mereka lakukan. Saat itu, Rubens Barrichello tengah memimpin lomba, namun di mendekati garis finish, Rubens Barrichello melambatkan mobilnya demi memuluskan jalan Michael Schumacher meraih kemenangan pertamanya di sirkuit ini dan membuat posisi Michael Schumacher di puncak klasemen semakin mantap.
Tapi, kenapa seisi paddock dan bahkan seluruh dunia meributkan tim order ini? Mengapa mereka mengkritik Michael demikian hebat? Bukankah tim order adalah hal yang umum terjadi di Formula One? Hal ini tidak lain, karena mereka menganggap Michael Schumacher memang sangat hebat sehingga menimbulkan kekhawatiran dalam hati mereka. Setiap tindakan seorang yang istimewa memang selalu mengundang perhatian. Demikian juga halnya dengan Michael Schumacher. Saya, pikir karena seorang Michael Schumacher-lah, maka mereka demikian meributkan masalah tim order yang bukan merupakan hal baru dalam dunia Formula One.
Mereka menganggap tindakan Michael dan Ferrari tidak sportif dan telah mencoreng wajah Formula One di mata internasional. Saya tertawa terbahak-bahak mendengar komentar ini. Sejak dulu sekali, tim order sudah merupakan paket strategi tim-tim formula one dalam merebut gelar. Fangio sekalipun pernah merasakan nikmatnya mendapat bantuan dari rekan setim. Tanya saja pada Mika Hakkinen bagaimana ia memenangi Grand Prix Australia 1998. Ketika itu, David Coulthard yang menjadi rekan setimnya, memberikan jalan baginya, sehingga ia bisa menjadi juara di sana! Tapi, apakah saat itu dunia bereaksi keras? Fairplay? Mana ada olahraga di dunia ini yang sungguh-sungguh melaksanakan fairplay secara murni?! Formula One adalah olahraga tim sama seperti sepak bola, namun tak seperti sepak bola yang memiliki sebelas bintang di lapangan, Formula One hanya memiliki satu bintang di lintasan, meski kadang dalam satu tim terdapat dua bintang (dan hal itu bisa saja menjadi tragedi seperti McLaren 2005-2006 yang memiliki dua bintang, Juan Pablo Montoya dan Kimi Raikkonen), jadi apa salahnya bila tim memberikan dukungan pada salah satu bintangnya yang dianggap dapat mempersembahkan gelar tertinggi bagi timnya?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar