Kumpulan Puisi
Oleh: Herny S. Yahya
Oleh: Herny S. Yahya
Balok-Balok Mimpiku
Ku susun balok-balok mimpiku
Tinggi menjulang
Tanpa bentuk
Jakarta, 6 Juni 2003
Nurani
Nurani berjalan tak tahu arah
Membentur dinding-dinding dingin keserakahan
Menembus lorong-lorong gelap
bernama
Ambisi dan angkara!
Jakarta, 10 April 2003
Kesunyian
Kesunyian
Begitu menyenangkan
Saat hati terasa penat dan penuh
Kesunyian
Begitu mengerikan dan mencekam
Saat hidup terasa kosong
Jakarta, 25 Agustus 2004
Rev: 12 Mei 2006
Kerinduan
Matanya yang basah
menatap langit
Teringat akan anak-anaknya
yang pergi
dan belum kembali
Senja telah membayang
namun anak-anaknya
Belum juga pulang
Terucap dari bibir tuanya
Sebelum matanya terkatup
“cepatlah pulang anakku”
Jakarta, 11 Mei 2006
Untuk: Nenekku yang jauh dalam hatinya merindukan anak-anaknya yang terhilang
Dua wajah
Pada mata nenekku
Kulihat telaga yang dalam
Penuh kekecewaan dan penyesalan
Akan tahun-tahun yang terlewati
Pada wajah ibuku
Kutemukan guratan-guratan
Kepahitan dan keputusasaan
oleh gerusan waktu
Pada cermin
Kutemukan mata nenekku
Dan wajah ibuku
Dalam diriku
Yang berdiri bimbang
Menatap jalan yang terbentang
Jakarta, 11 Mei 2006
Namun Kapal Tetap Merapat
Layar telah terkembang
Sauh telah terangkat
Namun kapal tetap merapat
Tak jua berangkat
Jakarta, 11 Mei 2006
Penantian
Tahukah kau, lara
Daun-daun sudah menguning
Tua
Dan luruh
Tahukah kau, lara
Tunas-tunas muda baru muncul
Muda
Dan merekah
Tahukah kau, lara
Bulan tak lagi muncul
Bersembunyi
Entah di mana
Tahukah kau, lara
Aku terbaring sekarat
Dalam
Kekecewaan
Jakarta, 11 Agustus 2003
Rapuh
Betapa rapuhnya mimpi
Dalam balutan
Angan-angan semu
Jakarta, 13 Juni 2003
Nafas
Kumulai lagi menulis
Puisi
Bukan karena aku mencintai
Puisi
Bukan pula untuk
Mengisi waktu senggangku
Kumulai lagi menulis
Puisi
Karena puisi
Adalah nafasku!
Jakarta, 3 September 2002
Bawa Saja Ceritamu!
Bawa saja ceritamu!
Bawa saja cintamu!
Bawa saja lukamu!
Aku ingin sendiri
di sini
menatap langit
mendengar angin membisik mesra
menyampaikan mimpi
yang tak henti kurangkai
Aku ingin sendiri
di sini
menikmati sunyi
hingga aku mati
dicabik rasa sepi
Jakarta, 2 Juni 2006
Dilema
Kadang hidup membuatku lelah
meski aku kadang berharap
waktu berhenti,
namun aku takut bila hidup
turut terhenti
Kadang hidup membuatku jenuh
dan pagi bagai mimpi buruk bagiku;
namun aku selalu takut
bila mentari tak lagi datang
jangan tertawakan aku dan jangan
kotbahi aku dengan
retorikamu
tentang arti hidup dan anugrah
jangan katakan kau
tak pernah merasa
jenuh dan lelah atas
hidupmu!!!
Jakarta, 13 Juli 2006
Jangan Sekalipun Kau Biarkan
Ingin sekali aku membunuhmu!
Namun kau seperti tanpa bentuk
Pada kayu kau berubah menjadi kayu
Pada batu kaupun serupa dengannya
Pada daun kau tak ada ubahnya
Menatap dengan matamu yang mengejek!!
Betapa aku muak melihatmu!
Namun kau ada di mana-mana
Pada kayu
Pada batu
Pada daun
Menertawakanku dengan suara malaikatmu!
Ah, Tuhan
Meski aku hancur lebur
Dirajam batu
Jangan sekalipun Kau biarkan
Aku menjadi seorang bunglon!!!
Jakarta, 13 Juli 2006
Kepada Tuhan
Tuhan,
Kau mengenal tiap-tiap pribadi
Kau mengetahui kedalaman
tiap-tiap hati
Tuhan,
Kau mengenal seberapa besar kekuatan
seseorang
Kau mengetahui seberapa rapuh hati
seseorang
Tuhan,
Kaulah yang tahu
hari-hari setiap orang
Kepada-Mulah setiap orang
akan berpulang
Tuhan,
Tak hentinya aku mengagumi
Kebesaran-Mu
Tak hentinya kusyukuri
Anugrah-Mu
Tuhan,
Kurasakan dalam setiap nadiku
Kau mengalir bersama darahku
Kurasakan dalam jiwaku
Kau berdetak seirama jantungku
Tuhan,
Betapa dekat kurasakan
Keberadaan-Mu
Hingga kurasakan nafas hangat-Mu
Mengisi relung-relung hampa jiwaku
Jakarta, 13 Juli 2006
Kadang Aku
kadang aku terbangun dari mimpi buruk
dan aku bersyukur karena semua hanyalah
mimpi
namun
kadang
aku tak dapat menyadari
antara
realita
dan mimpi
Jakarta, 26 Agustus 2006
Untuk Rere
dalam mataku, terbayang
mimik lucu wajahmu
dan segala tingkah menggemaskanmu
dalam tanganku, kurasakan
jari jemarimu yang mungil
menggenggam jemariku dengan kuat
seolah enggan melepaskannya
walau akhirnya genggamanmu terurai jua
dari genggamanku
dalam telingaku, terngiang
celoteh-celoteh lucumu
yang mengisi seluruh ruang
hingga setiap sudut hati
dalam hatiku, tersirat
segala harapan dan doa untukmu
agar kelak:
saat derap-derap kecil kakimu menjadi langkah-langkah yang cukup kuat
saat tangan-tangan mungilmu cukup besar untuk merangkul dunia
saat suaramu memiliki artikulasi yang jelas untuk mengucapkan setiap kata:
aku berharap saat itu hingga kapanpun
jangan pernah kau koyakkan nurani;
karena nurani adalah jiwa yang paling hakiki!
Jakarta, 28 Agustus 2006
Rumah Masa Kecilku
betapa amat kurindukan
rumah masa kecilku
karena di sana terkubur
harapan dan mimpi-mimpi manisku
dan serabut-serabut mimpi itu
terus membelit jiwaku
betapa pedih kurasakan
saat kudapati rumah masa kecilku
hancur terkikis waktu
meninggalkan lubang besar
kepahitan
ditumbuhi ilalang kebencian
berbaur bersama belukar kekecewaan
Jakarta, 26 Agustus 2006
Seorang Manusia di Ujung Jalan
seorang manusia di ujung jalan
melepas jejak-jejak yang tertinggal
menghembus angin melibas ragu
meniti titik-titik air nirwana
menuju dunia di atas kata
Seraut wajah penuh senyum
berselimut awan semburat jingga
menatap lembut
seorang manusia di ujung jalan
yang melepas segala bimbang dan ragu
yang bergejolak bergemuruh dalam raga
berlari penuh kerinduan
menuju wajah berselimut awan jingga
Seorang manusia di ujung jalan …
17.09.06
Lukisan Langit
Wajah ibuku saat tidur
seperti langit melukis malam
menempatkan titik-titik cahaya
di sepanjang gulita
menampilkan kesyahduan
di balik peraduan
Wajah ibuku saat tertawa
laksana langit melukis siang
menggoreskan spektrum-spektrum cahaya
berkilau warna dalam mentari
menyelipkan aroma
dalam derai-derai melodi jiwa
Wajah ibuku kala berduka
bagai langit melukis petang
menyapukan nuansa jingga
laksana jiwa yang membara
dalam penantian yang dipadamkan
menyisakan kesenduan
dalam jiwa-jiwa yang merindu
17.09.06
Buat: Mama
Lewat Mata Ibuku
Kukenal sosok ayahku
Kesahajaan dan pesonanya
Lewat tutur ibuku
Lewat kenangan yang terkuak
Dalam jiwa ibuku
Lewat mata ibuku:
kulihat cinta bukanlah omong kosong
ataupun kebodohan
melainkan anugrah terindah Tuhan
bagi jiwa-jiwa fana manusia;
agar hidup dapat lebih berarti?
17.09.06
Untuk: Ayah dalam kenangan ibuku
Helai-Helai Bunga Kemuning
Helai-helai bunga kemuning
luruh satu persatu
diterbangkan angin entah ke mana
menyisakan aroma
dalam udara yang mewangi
Helai-helai bunga kemuning
luruh satu persatu
bagai mimpi-mimpi masa mudaku
terbang menguap tanpa dapat kuraih
lagi …;
menyisakan kesedihan
dan penyesalan;
berharap waktu dapat terulang
lagi …?
17.09.06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar