Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 22 April 2008

MENUNGGU DATANGNYA PAGI

Menunggu Datangnya Pagi

Oleh: Herny S. Yahya

Aku tak suka membicarakan masa kecilku, kadang aku malah berharap dapat benar-benar menghapusnya dari ingatanku. Mungkin karena masa kecilku bisa dibilang tidak membahagiakan. Aku tak pernah lupa akan masa kecilku, tapi setiap kali ingatan masa kecilku muncul, aku selalu menekannya hingga ingatan itu makin kabur. Namun, saat aku berdiri menatap rumah ini, aku seolah tenggelam kembali dalam masa lalu. Aku tak terlalu ingat pada rumah ini, tapi aku ingat ruangan di mana seluruh dindingnya terdiri dari kaca. Karena di sana aku pernah melihat ibuku yang tidak pernah dapat kupahami hampir membunuhku.
Ibuku seorang yang pendiam, meski kami tinggal dalam satu atap, tapi kami hampir tidak pernah bertatap muka, atau sekadar bercakap – cakap. Jangankan bermanja-manja seperti kanak-kanak pada umumnya. Ia bahkan tak pernah muncul di kamarku, ia tidak pernah menciumku saat malam. Bila melihatku seringkali ia terkesan acuh, hingga aku bertanya dalam hati, apakah ia menyadari kehadiranku?
Kadang aku berpikir bahwa aku bukanlah anak kandungnya, aku merasa aku dan ibuku sangat berbeda. Ibuku sangat cantik, rambutnya hitam lurus tidak seperti rambutku yang ikal, dan aku sering kesal karena rambutku selalu kelihatan kusut meski aku telah berulang kali menyisirnya. Kulit ibuku putih halus seperti pualam, sedangkan kulitku agak gelap, meski tidak hitam. Hingga aku berpikir, apakah ibuku membenciku karena aku jelek?
Sejak kecil aku dilarang berkeliaran apalagi berlarian di dalam rumah. Aku hanya diperbolehkan berada dalam kamarku. Kadang-kadang, aku suka keluar diam-diam dari kamar, dan mengelilingi rumah. Suatu hari aku mendengar suara musik dari ruangan kaca di lantai bawah, dan aku menyelinap keluar dari kamarku menuju asal suara musik tersebut. Aku mengintip ruangan tersebut, dan saat itulah aku melihat ibuku sedang menari. Gerakannya sangat indah, kulihat lengannya terkembang seperti burung yang mengepakkan sayapnya dan terbang melintasi langit. Aku terpesona melihat tarian ibuku. Aku tidak pernah diajari menari oleh ibuku, tapi ibuku memang tidak pernah mengajariku apapun. Hanya tante Lisa, adik ibuku yang kelihatan memperhatikanku, dan kadang menanyakan apakah aku sudah makan (aku tidak pernah makan di ruang makan bersama seisi keluarga seperti layaknya sebuah keluarga), dan kadang melihatku apakah aku sudah tidur atau belum. Meski ia tampak memperhatikanku, namun aku dan dia juga tidak terlalu akrab, bahkan sepertinya tidak ada seorangpun di dalam rumah ini yang menyukai kehadiranku.
Tanpa kusadari aku telah berdiri di dekat ibuku. Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara ibuku yang menjerit keras, ia mencekikku, dan matanya yang sebenarnya sangat indah tapi sering terlihat hampa, menatapku dengan penuh kebencian. Aku terkejut dan menatap ibuku dengan ketakutan. Aku ingin menjerit tapi tak ada suara yang keluar, hingga seseorang mencoba menarik tangan ibuku dari leherku. Kulihat Nenek sedang berusaha membujuk ibuku. Akhirnya ibuku melepaskan cekikannya dan menangis dengan suara keras. Aku tak mengerti mengapa ibuku yang menangis, padahal kan aku yang dicekiknya. Tak kusadari, aku malah berdiri termangu menatap ibuku sambil mengusap-usap leherku.
”Sedang apa kau disini? Cepat kembali ke kamarmu!” bentak nenekku yang selalu marah jika melihat aku berkeliaran di dalam rumah.
Kulihat ibuku masih menangis, seolah ia tak mempedulikan kehadiranku. Nenekku masih berdiri menatapku. Dengan ketakutan, aku berlari menaiki tangga dan mengurung diriku kembali di dalam kamarku.
Aku memang hampir tidak pernah keluar kamar. Dunia masa kecilku terbatas di sekitar kamarku saja dan teman-temanku adalah mainanku yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kadang aku dilanda rasa bosan, namun aku tak berani keluar kamarku.
Suatu hari aku diajak oleh Tante Lisa pergi, itu adalah pertama kalinya aku ke luar rumah, aku merasa senang sekali dapat melihat keadaan di luar dan tidak hanya ruangan sempit berbentuk segi empat, yang terdiri dari lemari kecil di sudut, tempat tidur kecil dan sedikit mainan.
Suasana di luar benar-benar berbeda, aku melihat banyak sekali orang, suara-suara di luar benar-benar membuatku terpesona, aku terbiasa dengan suasana hening di rumahku. Meski sepanjang perjalanan, kami tak bicara, namun aku tak mempedulikannya. Aku terlalu terpesona dengan keadaan di luar yang kusaksikan dari kaca mobil.
Hari itu merupakan hari yang paling menyenangkan dalam hidupku. Tante Lisa membelikanku pakaian, kaus kaki dan sepatu, ia juga membelikanku mainan. Bahkan Tante Lisa juga membelikanku tas, “sebentar lagi kau akan masuk sekolah” ujarnya sambil memilihkan sebuah tas untukku. Setelah itu, tante membelikanku es krim dan mengajakku makan di sebuah restoran fast food.
Kupikir itu merupakan hari yang paling menyenangkan dalam hidupku, tapi ternyata hari itu merupakan awal mimpi burukku. Setelah berbelanja dan makan, tante Lisa membawaku ke suatu tempat, kupikir kami akan ke tempat yang menyenangkan lainnya, ternyata ia membawaku ke dalam penjara lain yang berbeda dengan rumahku. Tante Lisa bilang nama tempat itu adalah panti asuhan dan aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari di mana aku menyadari bahwa keluargaku tak pernah menginginkanku. Hari di mana aku menyadari bahwa aku dibuang oleh keluargaku! Hari di mana aku menyadari bahwa keluargaku meninggalkanku seorang diri.
Kami disambut oleh seorang wanita setengah baya dengan matanya yang besar. Meski nenekku juga galak, tapi aku merasa ia lebih mengerikan daripada nenekku. Tante Lisa dan wanita itu masuk ke dalam sementara aku berdiri di luar menyaksikan banyak anak-anak sebayaku yang sedang bermain. Aku tak pernah melihat ada anak-anak sebanyak itu. Meski aku merasa senang, melihat banyak anak kecil yang sebaya aku, namun aku merasa takut saat menyadari mereka menatapku. Aku berdiri gelisah menunggu tante Lisa keluar, dalam hati aku ingin segera pergi dari tempat ini.
Lama setelah itu Tante Lisa keluar, “Minerva, untuk sementara kau tinggal di sini, yah. Di sini kau akan mendapat banyak teman dan kau bisa sekolah.” Aku menangis sambil menatap tanteku, aku tak berkata apa-apa, aku hanya berharap bahwa tante dapat mengerti lewat mataku, bahwa aku ingin pulang bersamanya. Aku berharap ia tidak meninggalkanku seorang diri di tempat asing ini.
“Maafkan tante, kau hanya sementara tinggal di sini, nanti tante akan kembali menjemputmu jika kau bersikap baik dan tidak nakal. Sekarang tante harus pergi,” ujarnya seraya mencium pipiku, lalu ia mulai beranjak pergi. Aku mencoba meraihnya, tapi wanita itu menarikku dan ia tersenyum kepada tanteku seraya mengatakan agar tak usah khawatir, tante melihat sekilas padaku, aku menangis keras dan memanggilnya, namun ia pergi tanpa menoleh ke arahku.
Setiap hari, aku selalu menunggu di depan pintu gerbang, berharap tanteku akan datang dan membawaku pulang. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, hingga aku akhirnya lulus sekolah, dan keluar dari tempat itu, tanteku tidak pernah datang. Aku merasa keluargaku memang telah membuangku dan membiarkanku hidup seorang diri di tempat asing.
Kenyataan aku dibuang membuatku merasa pahit. Aku tak mengerti mengapa ibuku dan keluargaku membenciku. Kenyataan bahwa aku tak diinginkan keluargaku membuatku berpikir bahwa tidak ada yang dapat dipercaya di dunia ini. Jika keluarga sendiri saja membuangku, bagaimana orang lain dapat menerima keberadaanku.
Setelah lulus dan pergi dari panti asuhan, aku mulai bekerja, dan aku mulai menabung agar aku bisa melanjutkan sekolah hukum. Aku tak tahu mengapa aku memilih sekolah hukum, aku hanya berpikir alangkah baiknya jika aku dapat menjadi hakim. Kadang aku mengkhayalkan diriku yang menjadi hakim dan di kursi terdakwa duduk berderet, mulai dari ibuku, tanteku, nenekku, ibu pemimpin panti, dan anak-anak di sana yang selalu mencemoohku.
Aku tak pernah dan tak ingin mengingat masa laluku dan keluargaku. Hingga suatu hari, seorang wanita berumur kira-kira enam puluhan muncul di hadapanku. Gayanya sangat anggun. Ia mengenakan setelan warna hijau lumut yang bagus sekali namun tetap tak dapat menutupi tubuhnya yang kurus dan tampak rapuh. Wajahnya masih menyisakan kecantikan masa mudanya. Semula aku tak mengenalinya, namun saat kulihat tatapan matanya, aku seolah tenggelam dalam ingatan masa laluku yang telah lama kukubur. Matanya sama seperti mata ibuku, juga sama seperti mata nenekku dan mungkin sama seperti mataku. Tatapan matanya tampak hampa. “Apa kabar, Minerva?” tanya tante Lisa.
Kami duduk berhadapan tanpa satupun membuka pembicaraan. Aku teringat pada saat terakhir kami bertemu, dan bagaimana ia meninggalkanku. “Aku tak menyangka kau akan menjadi hakim” tante Lisa mencoba memecahkan keheningan di antara kami. Dalam hati aku tersenyum sinis, meski di wajahku tak menunjukkan ekspresi apa-apa, sejak kecil aku telah terlatih untuk tak menampakkan ekspresi di wajahku. Apakah kau berpikir aku akan menjadi sampah masyarakat hanya karena keluargaku tak menginginkanku dan membuangku? Batinku sinis.
“Kau pasti sangat membenci kami” lanjut tante Lisa setelah aku tetap diam. Ia meneguk minumannya dengan canggung. “Kau seorang hakim dan setiap kali memutuskan suatu kasus, kau selalu berusaha memberikan putusan yang adil, bukan? Pernahkah kau berpikir mengenai keadilan itu sendiri? Bukankah keadilan juga memiliki dua sisi? Dari sudut pandangmu mungkin kau menganggap itu adil, tapi dari sudut pandang keluarga terdakwa yang kau vonis, apakah keadilan versimu sama dengan keadilan menurut versi mereka?” aku tak mengerti arah pembicaraan tanteku, dan ia terus bicara, sementara aku terus saja diam.
“Aku dulu iri sekali pada kakakku. Sepertinya hidupnya sangat sempurna. Ia memiliki wajah yang cantik dan otak yang cerdas. Saat ia les balet, akupun tak mau kalah, aku merengek pada kakekmu agar aku juga dimasukkan les balet, meski aku sama sekali tak berbakat menari. Apa yang dilakukan kakakku, aku juga ingin melakukannya. Ia selalu menjadi juara kelas, dan ia berhasil lulus ujian masuk fakultas kedokteran di universitas favorit yang ujian masuknya saja sudah sulit sekali. Ia punya tunangan yang tampan dan baik. Singkatnya, hidupnya sangat sempurna dan ia memiliki segalanya. Tapi dalam sekejap semuanya berbalik. Masa depannya dan hidupnya hancur berantakan, dan bukan hanya hidupnya saja yang hancur tapi juga hidup kami hancur berantakan bersamanya. Saat itu ia sedang dalam semester akhir dan rencananya setelah dia lulus, mereka akan menikah lalu mereka akan ke Amerika dan melanjutkan sekolah di sana. Masa depannya sangat cerah dan menjanjikan.”
“Kau pasti pernah mendengar tragedi Mei. Saat itu, krisis moneter melanda sebagian besar negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Krisis moneter itu seperti meluncurkan bola salju yang mengubah peta politik negara ini. Demonstrasi mahasiswa memanas yang berujung pada kerusuhan rasial. Saat itu terjadi penjarahan dan pemerkosaan terhadap para wanita dari kelompok minoritas yang disebut keturunan. Aneh juga yah, negara kita merupakan negara kesatuan, namun masih juga ada pengkotak-kotakan seperti itu. Tapi seperti itulah orang-orang seperti kita ini. Tak akan pernah mendapat tempat di negeri ini, meski kita memiliki akar di negeri ini. Kenasionalan kita akan selalu dipertanyakan.”
“Ibumu merupakan salah satu di antara wanita-wanita itu. Sebenarnya tunangannya tetap mau menerimanya, ia bahkan mengajak kakakku pergi ke Amerika dan tinggal di sana. Namun kakakku telah berubah, sejak kejadian itu ia mengalami trauma dan tidak pernah mau menemui siapapun. Ia selalu mengurung diri di dalam kamarnya. Ia merasa tertekan dan jiwanya terguncang. Ayahku yang shock atas segala yang menimpa keluarga kami, ia bukan hanya kehilangan kakakku tapi juga kehilangan toko hasil jerih payahnya sejak masa muda yang hancur dijarah massa, mengalami stroke dan meninggal seminggu sebelum kelahiranmu.”
“Kami pikir waktu dapat menyembuhkan. Kami membawanya ke psikiater, dan seiring waktu, keadaannya makin membaik. Kami pikir, ia sudah seperti dulu, meski ia tetap pemurung. Tapi saat ia mencekikmu, kau pasti ingat kejadian itu. Aku dan nenekmu, merasa suatu hari, kau bisa di bunuh oleh ibumu, dan kami pikir, kau akan selalu mengingatkannya pada kejadian mengerikan itu, sehingga kami memutuskan untuk membawamu jauh dari ibumu. Itulah sebabnya aku membawamu ke panti asuhan.” Kuperhatikan wajah tanteku, aku merasa tante pasti juga telah mengalami saat yang sulit, baru kusadari ternyata wajah tanteku yang sudah keriput dimakan usia itu tampak kelelahan. Kadang ia tampak meringis menahan sakit. Melihat wajah tanteku yang tampak lelah, aku jadi bertanya dalam hati. Apakah ia merasa lelah pada hidupnya? Bisa kubayangkan, beban hidupnya sama beratnya seperti aku. Aku jadi sadar bahwa ia sama menderitanya sepertiku. Aku tak tahu siapakah yang pantas disalahkan atas semua peristiwa ini, tapi yang jelas, kami semua telah jadi korban. Ibuku telah kehilangan masa depannya yang cerah, nenek dan tanteku juga menderita atas segala yang terjadi. Aku telah kehilangan masa kecilku, saat dimana seharusnya seorang anak mendapat perhatian dari ibunya. Tapi aku tak bisa menyalahkan ibuku.
“Aku tak berharap kau memaafkan kami atas sikap kami terhadapmu setelah aku menceritakan semuanya ini. Aku juga tidak bermaksud menyakiti hatimu dengan menceritakan semua kejadian dan sejarah kelahiranmu. Sebenarnya aku ingin mengubur sejarah kelam ibumu dan keluarga kami dan membiarkanmu tak mengetahuinya. Tapi kupikir kau berhak mengetahuinya,” ujar Tante Lisa sambil menatap mataku dengan matanya yang kelam.
“Sekarang mama di mana? Apakah aku bisa bertemu dengannya?” akhirnya setelah diam sekian lama , aku dapat mengeluarkan kata-kata yang selalu ingin kuucapkan. Dulu aku ingin bertemu ibuku, agar aku dapat balas dendam atas segala penolakannya terhadapku, tapi kini aku tak tahu apa motifku untuk menemuinya. Mungkin aku ingin membantunya keluar dari bayang-bayang kelabu masa lalu. Aku tak berharap ibuku mengenaliku, tapi aku ingin ibuku tahu bahwa aku kini dapat dijadikan tempatnya bersandar. Mungkin selamanya aku tak akan bisa memaafkannya karena telah mengabaikanku, namun sebagai sesama wanita aku dapat memahami penderitaan yang dialami ibuku.
“Ia sudah meninggal lima belas tahun yang lalu. Seminggu sebelum ia meninggal, ia tampak seperti saat sebelum kejadian itu. Ia tampak menikmati hidup seperti dulu, ia bahkan menanyakan mengenai dirimu. Aku membawanya ke panti asuhan tempatmu. Kami berdiri di luar dan melihat kau yang baru saja pulang sekolah, dengan tas yang besar di punggungmu. Saat itu kau kelas berapa yah? Ah, aku ingat kau mengenakan seragam abu-abu. Berarti kau sudah SMA. Kau sudah menjadi remaja yang cantik. Ibumu tersenyum menatapmu, aku ingin memanggilmu, tapi ia melarangku. Ia bilang ia hanya ingin menatapmu, dan ia berkata padaku, bahwa kau seperti dirinya saat ia sekolah dulu. Dulu saat sekolah, ibumu juga selalu membawa tas yang besar, dan sepertinya seluruh buku dibawanya ke sekolah. Sampai-sampai nenekmu takut punggung ibumu remuk” sekilas senyum terbayang di sudut bibir tante Lisa.
Seminggu setelah pertemuan kami, aku mendapat surat dari tanteku, dan seorang yang mengaku pengacaranya mengatakan bahwa tanteku sudah meninggal karena kanker payudara, sehari setelah pertemuan kami dan aku merupakan satu-satunya ahli warisnya. Tanteku tidak pernah menikah, “apakah tante tak menikah karena harus merawat ibu sehingga memilih untuk tak menikah, atau karena tante menderita penyakit itu. Sudah berapa lama tante menderita kanker? Mengapa tante tak pernah menemuiku sebelumnya?” tanyaku dalam hati. Dalam hati aku menyesal, mengapa dulu aku tak datang mencari tante dan ibuku. seandainya aku bisa mengenal mereka lebih lama.
Jadi di sinilah aku, berdiri menatap rumah yang suatu waktu dulu aku tinggal di dalamnya. Saat aku berdiri di ruangan kaca itu, aku melihat sekelilingku. Aku bertanya dalam hati, apakah di sini pernah ada kehidupan? Aku merasa rumah ini terlalu sepi. Aku menatap surat tanteku yang dititipkan pada pengacaranya untuk diserahkan padaku saat ia telah meninggal.
“Minerva, saat kau menerima surat ini, aku sudah pergi untuk tinggal bersama ibu dan kakek nenekmu. Aku menyesal meninggalkanmu seorang diri. Tapi setelah kupikir-pikir, sejak dulu, kami selalu meninggalkanmu seorang diri. Saat kau kecil, kami membiarkan kau seorang diri menanggung kesedihan. Minerva, meski kau membenci kami dan semua kenangan dalam rumah ini, namun aku harap kau takkan menjual rumah ini. Karena rumah ini bukan hanya berisi kenangan akan dirimu tapi juga ada kenangan orang tuaku dan ibumu. Rumah ini dibeli oleh kakekmu dan beliau kerap mengatakan pada kami agar kami tidak menjual rumah ini, saat mereka tiada.
“Ibumu sangat suka nama Minerva. Ia pernah bilang jika ia punya anak nanti ia ingin menamainya Minerva. Nama itu ternyata memang cocok untukmu. Aku sering berdiri di luar panti asuhan tempat aku meninggalkanmu, kau pasti sangat membenciku karena itu, kan? Minerva, aku tak pernah bermaksud meninggalkanmu. Seringkali saat aku berdiri di luar panti melihat kau pulang sekolah, ingin rasanya aku memanggilmu, tapi aku merasa kau tak akan dapat bahagia bila tinggal bersama kami. Karena kami juga tak dapat sepenuhnya melupakan tragedi yang menimpa kakakku jika melihat dirimu.” Aku terkejut, kupikir tante meninggalkanku seorang diri. Namun, seberapa seringkah tante datang? Mengapa tante tak pernah memanggilku? Tahukah tante, bahwa aku selalu menantikan kedatangan tante yang berjanji menjemputku?
“Kami berharap kau benar-benar dapat menjadi dewi perang yang mampu berperang melawan ketidakadilan. Aku percaya kebenaran akan terbit dan bersinar seperti siang. Aku percaya kebenaran akan muncul, dan kaulah kebenaran itu. Aku tahu selama ini kau sangat menderita dan hidup dalam kebencian. Kau terbuang dari keluargamu. Namun jauh sekali dalam hati kami, kau merupakan setitik sinar kehidupan saat kehidupan kami telah mati oleh karena peristiwa itu.”
Saat kumasuki kembali rumah ini. Aku merasakan kehampaan. Aku tak pernah berharap mendapatkan rumah ini. Aku bahkan tak tahu, apakah aku dapat tinggal di rumah ini? Terlalu banyak kesedihan di dalam rumah ini. Mungkin suatu masa dulu ada kehidupan di dalam rumah ini. Tapi saat ini, aku merasa rumah ini tak lebih sebagai masa lalu. Namun aku merasa ada keterikatan diriku dengan rumah ini. Meski aku tak berniat tinggal di rumah ini, namun aku setuju dengan tante Lisa. Aku tak akan pernah menjual rumah ini. Karena di tempat ini aku pernah merasakan keberadaan ibuku. Setelah kupikir, mungkin aku akan menjadikan tempat ini sebagai pusat center bagi anak-anak korban pemerkosaan. Aku ingin rumah ini dipenuhi tawa riang anak-anak. Aku ingin memberikan kehidupan bagi anak-anak itu. Meski mereka merupakan aib bagi keluarga. Namun, mereka tidak pantas dipersalahkan.
Aku menatap ruangan yang tampak lengang dan kosong, di dinding terlihat foto besar ibuku yang sedang menari. Aku baru menyadari ada lukisan itu, dan kulihat lengan ibuku yang terkembang. Kupikir sayap ibuku dan sayap para wanita yang telah jadi korban itu telah patah. Aku tak tahu ada berapa wanita yang mengalami nasib seperti ibuku dan ada berapa anak-anak yang juga menjadi korban seperti aku. Namun lenganku baru saja terkembang tapi aku tak tahu mampukah aku mengepakkan sayapku dan terbang menyibak siang yang bernama kebenaran itu. Mencari keadilan bagi orang-orang seperti ibuku. Darimanakah aku harus mulai? Dapatkah aku menyibak kebenaran itu? Dan seperti yang tanteku bilang, aku adalah dewi perang, jadi aku akan terus berperang melawan ketidakadilan hingga saat sayapku terkulai dan aku tak dapat lagi terbang.
Langit mulai beranjak senja, aku tahu tugasku sangat sulit, tapi aku tahu kebenaran ada di sana siap untuk bersinar. Seperti menanti datangnya pagi, aku menanti datangnya kebenaran. Menanti datangnya keadilan bagi ibuku dan bagi diriku sendiri. Dalam hati aku bertanya, benarkah keadilan itu ada? Aku jadi bertanya-tanya kembali, apakah tujuanku dulu saat aku memutuskan ingin menjadi seorang hakim?”

Tidak ada komentar: