pic taken from here
"It is not power that corrupts but fear. Fear of losing power corrupts those who wield it and fear of the scourge of power corrups those who are subject to it."
Kalimat di atas adalah penggalan pidato Aung San Suu Kyi yang paling terkenal berjudul "Freedom From Fear 0 Bebas dari Ketakutan." Dari isi pidato itu jelas terlihat pandangan Suu Kyi betapa kerap kali ambisi terhadap kekuasaan seringkali menimbulkan ketakutan baik bagi orang yang memiliki kekuasaan itu sendiri yang takut kehilangan akan kekuasaannya yang pada akhirnya demi menmpertahankan kekuasaannya itu menciptakan ketakutan bagi orang lain (baca=rakyat).
Sebagai seorang yang telah menjalani lebih dari dua puluh tahun terakhir hidupnya ini sebagai tahanan rumah yang bahkan masih berlangsung hingga kini, Suu Kyi pastinya tahu apa artinya kekuasaan dan ketakutan yang diciptakan oleh kekuasaan itu sendiri. Demi mengatasi ketakutan terhadap kekuatan Suu Kyi, pemerintah junta militer telah menisbiskan hak berpolitik dan bahkan memberlakukan penahanan tanpa bukti hukum yang jelas terhadap perempuan pejuang hak demokrasi bagi rakyat Myanmar ini. Namun Suu Kyi sepertinya tak pernah gentar dengan kekuatan junta militer yang mencoba menekannya dan semua itu dilakukan Suu Kyi demi kecintaannya terhadap rakyatnya agar dapat merasakan kemerdekaan sejati di atas negaranya sendiri.
Seperti Benazir Bhutto, Suu Kyi juga terlahir dari keluarga dengan garis politik yang sangat kuat namun Suu Kyi meskipun memilih ilmu politik dalam pilihan studinya tak pernah terjun dalam politik praktis hingga saat ia kembali ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sakit keras pada 1988. Saat itu tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1988 terjadi pergerakan massa besar-besaran yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win, pemimpin partai Sosialis yang menuntut penegakkan demokrasi di Myanmar. Gerakan demonstrasi tersebut berujung pada aksi kekerasan yang dilakukan oleh penguasa Myanmar.
Aksi demonstrasi itu sendiri kemudian menyadarkan Suu Kyi betapa selama ini rekan-rekan setanah airnya masih belum merasakan kebebasan berdemokrasi. Hal itu pulalah yang kemudian memicu Suu Kyi melakukan pengerahan massa di depan Pagoda Shwedagon pada 26 Agustus 1988 menuntut ditegakkannya pemerintahan demokratis di negaranya tersebut. Pada tahun itu pula Aung San Suu Kyi benar-benar terjun ke dunia politik dengan membangun partai politik bernama National League for Democracy (NLD) pada 27 September 1988.
Pada 1990 jalan bagi rakyat Myanmar untuk merasakan kebebasan berdemokrasi akhirnya hampir saja terwujud ketika pemerintahan junta militer mengadakan pemilihan umum. Suu Kyi dengan partainya, NLD pun ikut serta dalam pesta demokrasi tersebut dan berhasil memenangi pemilu dengan hasil mutlak tapi junta militer menganulir hasil pemilu tersebut. Dan alih-alih Suu Kyi menduduki kursi Perdana Menteri sesuai dengan hasil pemilu, Suu Kyi malah ditahan oleh pemerintah militer Myanmar.
Kekerasan dalam dunia politik sepertinya sudah menjadi garis hidup bagi keluarga Suu Kyi. Saat Suu Kyi berumur dua tahun yaitu pada 1947, ayahnya tewas dibunuh oleh musuhnya. Padahal di tahun itu, ayah Suu Kyi yang juga merupakan pendiri angkatan bersenjata Myanmar telah ikut berperan dalam negosiasi untuk meraih kemerdekaan Myanmar dari Inggris. Setelah kematian ayahnya, seorang diri ibu Suu Kyi merawat Suu Kyi beserta kedua kakak laki-lakinya, Aung San Lin dan Aung San Oo di Rangoon. Namun Aung San Lin, kakak laki-laki Suu Kyi yang paling dekat dengannya meninggal karena tenggelam saat berumur delapan tahun. Setelah kematian Aung San Lin, maka ibu Suu Kyi pun membawa kedua anaknya yang tersisa pindah ke Inya Lake. Di tempat inilah Suu Kyi bertemu orang-orang dengan berbagai macam latar belakang, pandangan politik, dan agama yang berbeda yang pastinya kelak mempengaruhi perjuangan Suu Kyi dalam menegakkan demokrasi di negaranya tersebut. Belakangan kakak Suu Kyi, Aung San Oo memilih untuk pindah ke San Diego, California dan menjadi warga negara Amerika Serikat.
Aung San Suu Kyi lahir pada 19 Juni 1945 di Rangoon. Nama Aung San Suu Kyi sendiri sebenarnya merupakan gabungan tiga nama dari ayah, ibu, dan neneknya. Aung San merupakan nama yang diambil dari nama ayahnya, Jenderal Aung San sementara Suu adalah nama neneknya, dan Kyi berasal dari nama ibunya, Khin Kyi yang juga merupakan tokoh politik terkemuka di Myanmar. Oleh para pengikut dan orang-orang yang mengaguminya, Suu Kyi juga kerap dipanggil Daw yang dalam bahasa Myanmar artinya bibi.
Saat Daw Khin Kyi, ibu Suu Kyi ditunjuk menjadi duta besar Myanmar untuk India dan Nepal pada 1960 maka Suu KYi pun mengikuti ibunya. Suu Kyi berhasil meraih gelarnya di bidang politik dari Lady Shri Ram College di New Delhi, India pada 1964. Suu Kyi kemudian melanjutkan pendidikannya di St Hugh's College, Oxford, tempat di mana Suu Kyi mendapatkan gelar sarjananya dalam bidang ilmu Filsafat, Politik, dan Ekonomi pada 1969.
Setelah lulus dari St Hugh's College, Suu Kyi pergi ke New York. Di sana ia tinggal bersama seorang sahabat keluarga dan ia sempat bekerja di PBB selama tiga tahun ketika ia tinggal di salah satu kota tersibuk di dunia itu. Saat itu Suu Kyi sudah sering saling berkirim surat dengan Dr. Michael Aris, seorang ilmuwan kebudayaan Tibet yang kemudian menikahi Suu Kyi pada 1972.
Setahun setelah pernikahan mereka, Suu Kyi melahirkan anak pertama mereka, Alexander Aris di London. Putra kedua mereka, Kim, lahir pada 1977.
Di samping menjalankan perannya sebagai istri dan ibu dua orang anak, ternyata rasa haus Suu Kyi akan ilmu pengetahuan kembali membuatnya melanjutkan kuliahnya. Kali ini Suu Kyi memilih untuk mendalami pengetahuannya mengenai Asia dan Afrika di Universitas London. Pada 1985, Suu Kyi mendapatkan gelar doktor dari Universitas of London.
Setelah Suu Kyi dikenai tahanan rumah oleh pemerintah militer Myanmar, awalnya Dr. Michael Aris masih bisa mengunjungi istrinya di Myanmar tapi setelah kunjungan Aris yang terakhir pada Natal 1995, pemerintah Myanmar membuat keputusan untuk menahan visa Aris sehingga ia tak bisa datang mengunjungi istrinya dan menganjurkan Suu Kyi yang pergi meninggalkan negaranya untuk bertemu dengan suami dan anak-anaknya. Tapi Suu Kyi tak berani meninggalkan Myanmar karena takut bila ia pergi meninggalkan negaranya itu maka ia takkan pernah bisa kembali ke tanah airnya tersebut sehingga mengakhiri perjuangannya bagi menegakkan demokrasi di negaranya itu.
Atas pertimbangan itu pula, Suu Kyi tak bisa mendampingi suaminya, Dr. Michael Aris ketika suaminya didiagnosa menderita kanker prostat hingga akhirnya suaminya meninggal pada 27 Maret 1999. Bahkan ketika Suu Kyi mendapatkan hadiah Nobel pada 1991 pun Suu Kyi tak bisa datang menghadiri acara penganugrahan tersebut sehingga ia diwakili oleh dua orang putranya. Uang dari hadiah Nobel sebesar 1,3 juta Dollar tersebut digunakan oleh Suu Kyi untuk memperbaiki tingkat kesehatan dan pendidikan bagi rakyat Myanmar.
Meski Suu Kyi selalu menerima perlakuan tak adil dari pemerintah militer Myanmar, namun ia selalu mengedepankan gaya perjuangan yang menentang kekerasan, mengadopsi filosofi Mahatma Gandhi dan tokoh-tokoh spiritual Buddha. Hal itu pulalah yang membuat Suu Kyi mendapatkan simpati luas dari seluruh penjuru dunia dan menganugerahinya dengan berbagai penghargaan. Namun hal ini kiranya tak mengendurkan sikap keras pemerintah militer Myanmar.
Pada 6 Mei 2002 berkat negosiasi yang dilakukan oleh PBB, pemerintah militer Myanmar sempat mengeluarkan pernyataan kebebasan bagi Suu Kyi. Juru bicara pemerintah Myanmar menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena pemerintah militer Myanmar dan Suu Kyi yakin bahwa mereka bisa saling mempercayai satu sama lain tapi nyatanya pada 30 Mei 2003 pemerintah Myanmar melakukan penyerangan terhadap kelompok Suu Kyi di sebuah kampung kecil di sebelah utara Depayin yang menyebabkan banyak dari pendukung Suu Kyi terluka bahkan tewas terbunuh sementara Suu Kyi sendiri dilarikan oleh supirnya, Ko Kyaw Soe Lin tapi mereka akhirnya tertangkap di dekat Ye-U. Suu Kyi pun kemudian lagi-lagi dimasukkan ke dalam tahanan di penjara Insein di Rangoon.
Berkali-kali pemerintahan junta militer Myanmar di bawah tekanan dunia internasional bersikap seolah mereka telah memberikan kebebasan bagi Suu Kyi tapi nyatanya Suu Kyi tak pernah benar-benar bebas. Pada 3 Juli 2009 Sekjen PBB, Ban Ki Moon tiba di Myanmar untuk mengusahakan pembebasan terhadap Suu Kyi dan menekan junta militer agar menegakkan demokrasi di negara tersebut. Tapi setelah kembali dari Myanmar, Ban Ki Moon menyatakan kekecewaannya atas sikap pemimpin junta militer, Than Shwe yang tidak mengijinkannya menemui Suu Kyi.
Suu Kyi kembali menjadi pemberitaan media dunia ketika junta militer Myanmar lagi-lagi menahannya pada 13 Mei 2009 karena dianggap telah menyusupkan seorang pria asing di rumahnya. Pria berkewarganegaraan Amerika itu yang belakangan diketahui bernama John Yettaw sebenarnya ditampung oleh Suu Kyi di rumahnya demi rasa kemanusiaan karena pria itu telah berenang menyusuri Danau Inya. Meski pria itu memang berenang menuju rumahnya tapi Suu Kyi menyatakan bahwa ia sama sekali tak mengenal pria tersebut. Yettaw sendiri mengatakan alasannya berenang mengarungi Danau Inya menuju rumah Suu Kyi adalah untuk memperingatkan pejuang demokrasi Myanmar tersebut akan bahaya yang mengancam hidupnya.
Yettaw ditangkap oleh pemerintah Myanmar ketika kembali dari rumah Suu Kyi dengan cara yang sama seperti yang ditempuhnya untuk menemui Suu Kyi yaitu dengan berenang.
Akibat kedatangan Yettaw yang tak diundang tersebut, Suu Kyi terpaksa merayakan ulang tahunnya yang ke-64 di dalam tahanan.
Perjuangan Suu Kyi dalam meraih kemerdekaan berdemokrasi di negaranya sepertinya masih harus menempuh perjalanan yang panjang dan berliku. Terlebih belum lama ini muncul berita bahwa pemerintah junta militer Myanmar kembali melakukan manuver politik yang akan menisbikan hak berpolitik Suu Kyi dalam pemilu yang rencananya akan kembali digelar oleh pemerintah Myanmar namun waktu pelaksaan pemilu itu sendiri belum ditetapkan. Pemilu yang akan dilaksanakan ini merupakan pemilu pertama sejak pemilu pada tahun 1990 yang secara mutlak dimenangkan oleh Suu Kyi dan partainya NLD (Liga Pembebasan Nasional bagi Demokrasi).
Namun sekeras apapun tekanan junta militer terhadap Suu Kyi rupanya tak pernah mampu memadamkan api yang berkobar dalam dada Suu Kyi yang memilih takkan pernah menyerah untuk memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi rakyatnya. Suu Kyi benar-benar merupakan wanita luar biasa yang meski seperti lilin yang nyalanya tak sebenderang mentari tapi ia adalah lilin yang tak pernah padam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar