Sudah satu tahun lima belas hari aku tinggal di Samarinda, kalau dibilang betah atau tidak sepertinya aku terpaksa harus betah tinggal disini. Mungkin betah bukanlah kata yang tepat melainkan terbiasa. Ya, aku sepertinya sudah mulai bisa menerima kehidupan baruku di Samarinda dan terbiasa dengan kehidupan di sini yang sebenarnya sangat berbeda dengan kehidupanku ketika di Jakarta dulu. Dan itu karena ada suamiku disini… jadi terpaksa aku harus bisa terbiasa menjalani kehidupan di sini meski sebenarnya aku tak selalu merasa betah di tempat ini…
Seperti yang kuceritakan pada kisahku sebelumnya betapa terkejutnya diriku melihat ternyata magnit materialis-konsumerisme-kapitalis seperti yang kulihat di Jakarta telah juga merambah daerah yang kukira masih belum terjamah modernisasi ini, tapi ternyata perkiraanku salah. Gunung-gunung yang kuharap menjulang tinggi megah dan daerah yang kukira hijau ternyata berbeda jauh. Setiap hari saat aku berangkat kerja dan melewati deretan gunung-gunung batu bara yang telah gundul, rasanya gunung-gunung itu tiap harinya makin berkurang saja tingginya.
Saat tahun pertamaku di Samarinda, kulihat gunung-gunung batu bara itu meski sudah gundul tapi kulihat masih cukup tinggi sekarang setelah setahun berlalu, gunung batu bara yang kulihat setiap kali aku berangkat kerja itu kini tinggal separuhnya, malahan sudah hampir habis dan nyaris sudah rata dengan tanah.
Kupikir kalau saja gunung-gunung itu bisa menangis, mungkin kita bisa mendengar tangisan pilunya ketika ketamakan manusia menghujam tubuhnya dan mengurasnya hingga tandas seperti itu. Melihat keadaan yang seperti itu aku pun meringis sedih menyadari betapa serakah dan sadisnya manusia terhadap bumi yang sebenarnya merupakan penopang utama kehidupannya....
Seperti yang kuceritakan pada kisahku sebelumnya betapa terkejutnya diriku melihat ternyata magnit materialis-konsumerisme-kapitalis seperti yang kulihat di Jakarta telah juga merambah daerah yang kukira masih belum terjamah modernisasi ini, tapi ternyata perkiraanku salah. Gunung-gunung yang kuharap menjulang tinggi megah dan daerah yang kukira hijau ternyata berbeda jauh. Setiap hari saat aku berangkat kerja dan melewati deretan gunung-gunung batu bara yang telah gundul, rasanya gunung-gunung itu tiap harinya makin berkurang saja tingginya.
Saat tahun pertamaku di Samarinda, kulihat gunung-gunung batu bara itu meski sudah gundul tapi kulihat masih cukup tinggi sekarang setelah setahun berlalu, gunung batu bara yang kulihat setiap kali aku berangkat kerja itu kini tinggal separuhnya, malahan sudah hampir habis dan nyaris sudah rata dengan tanah.
Kupikir kalau saja gunung-gunung itu bisa menangis, mungkin kita bisa mendengar tangisan pilunya ketika ketamakan manusia menghujam tubuhnya dan mengurasnya hingga tandas seperti itu. Melihat keadaan yang seperti itu aku pun meringis sedih menyadari betapa serakah dan sadisnya manusia terhadap bumi yang sebenarnya merupakan penopang utama kehidupannya....
Di sini aku juga mendengar beberapa mitos. Ada dua mitos yang kudengar di sini. Katanya ada ular berkepala naga ... aku sendiri sih belum pernah melihat kebenaran dari mitos ini.... Konon sepanjang sungai Mahakam itu merupakan badan sang naga.... (cerita ini akan kulanjutkan secara terpisah nanti di kisah diary ku yang berikutnya).
Mitos kedua yang kudengar adalah mitos yang mengatakan bahwa kalau pada hari Jum'at ada yang menawari makanan dari ketan maka kita harus memakannya karena kalau kita tidak memakannya maka kita akan tertimpa musibah. Aneh juga sih. Tapi menurut mitos yang kudengar itu, sekalipun kita tak menyukai rasanya setidaknya kita harus mencicipinya sedikit, kalau tak mau tertimpa musibah. Untungnya yang harus diterima adalah tawaran memakan ketan coba saja kalau yang ditawarin itu DURIAN, he...he... he... aku jadi ingat kakakku yang tak suka durian, bagaimana seandainya ia datang ke sini dan saat ditawarin buah yang beraroma pekat ini, maka walaupun harus menutup hidung dan menahan rasa mual akibat aroma durian yang menyengat pastinya ia harus mencicipi satu-satunya buah yang dibencinya itu. Aku jadi tertawa membayangkan adegan itu....
Ya, walaupun tempat ini masih tetap terasa asing bagiku, tapi sepertinya tempat ini ternyata masih memiliki banyak cerita yang bisa kukisahkan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar