Total Tayangan Halaman

Translate

Rabu, 21 April 2010

Megawati Soekarno Putri = Live by Destiny

Jauh sebelum masyarakat Indonesia dewasa ini melihat keteguhan hati seorang Megawati Soekarno Putri memilih posisinya di dalam pemerintahan, ayahnya, Ir. Soekarno yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri bangsa Indonesia sekaligus presiden pertama republik ini telah lebih dulu menyadari ketegaran hati putri sulungnya ini. Pada penulis biografinya, Cindy Adams, Presiden Soekarno cukup banyak menceritakan mengenai putrinya, Megawati yang meski pendiam tapi memiliki keteguhan hati yang sulit untuk digoyahkan.

Meski Megawati merupakan putri seorang tokoh penting dalam politik sekaligus sejarah Indonesia tapi kehadiran Megawati dalam dunia politik tak semudah membalikkan telapak tangan. Ketika Orde Baru menumbangkan kekuasaan ayahnya, kehidupan politik keluarga proklamator Indonesia itu pun dikontrol oleh pihak penguasa sehingga keluarga Soekarno tak memiliki kebebasan dalam berpolitik.

Meskipun saat kuliah, Megawati sudah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan namun karir politik Megawati baru dimulai ketika ia masuk ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1987. PDI sendiri merupakan partai hasil fusi (gabungan) beberapa partai yang memiliki kesepahaman garis politik yang merupakan kebijakan dari pemerintah Orde Baru ketika berkuasa yang menggabungkan berbagai partai yang sepaham sehingga hanya terdapat tiga partai politik saja yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Salah satu partai yang difusi ke dalam tubuh PDI adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang salah satu pendirinya adalah Ir. Soekarno alias ayahanda Megawati sendiri.

Keikutsertaan Megawati yang awalnya merupakan ibu rumah tangga ini hingga akhirnya terjun ke dalam dunia politik melalui PDI pada 1987 menurut suaminya, Taufik Kiemas, seperti yang sering diucapkannya dalam wawancara di media adalah merupakan takdir. Takdir seorang Megawati yang telah digariskan menjadi putri seorang Soekarno, mengalami berbagai hal dalam perannya sebagai putri Soekarno baik suka maupun duka hingga takdir itu pulalah yang kemudian mengantarkannya meneruskan karir politik ayahnya yang meninggal dalam kondisi sebagai tahanan rumah oleh pemerintah Orde Baru. Dan perjalanan takdir itu kemudian membawa Megawati melewati berbagai kerikil hingga akhirnya ia berhasil menjadi presiden wanita pertama di Republik Indonesia ini.

Terlahir dengan nama Diah Permata Megawati Setiawati Soekarno Putri pada 23 Januari 1947 di Yogyakarta, Megawati yang merupakan anak kedua sekaligus putri sulung presiden Soekarno dan Fatmawati yang menjahit Sang Saka Merah Putih untuk dikibarkan pada hari Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ini sejak lahirnya kiranya telah ditetapkan sebagai seorang pemimpin. Kabarnya saat kelahirannya, hujan deras turun dengan lebatnya sehingga nama Megawati pun dianugerahkan kepadanya, nama yang diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya "awan." Kabarnya, Biju Patnaik, seorang tokoh dari India yang telah mengusulkan nama itu kepada Soekarno.

Keadaan politik yang tak menentu juga sepertinya selalu mengiringi takdir seorang Megawati. Saat ia lahir, politik di Indonesia tengah tak menentu. Indonesia yang sebenarnya telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 mendapat pertentangan dari Belanda yang tak mengakui kemerdekaan dan kedaulatan negeri jajahannya ini yang telah dikabarkan ke seluruh dunia lewat siaran radio. Belanda pun melancarkan agresi militernya hingga dua kali. Agresi militer pertama yang terjadi pada 21 Juli 1947 yang menyebabkan Soekarno dan Mohammad Hatta harus mengungsi ke Yogyakarta dan menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia.

Setahun kemudian, ketika Megawati bahkan belum genap berusia dua tahun, kondisi politik Indonesia kembali bergolak. Berawal dari penyerangan terhadap Yogyakarta yang telah menjadi ibukota RI, agresi militer belanda yang kedua pun meletus pada 19 Desember 1948. Akibatnya ibukota Indonesia pun kembali harus berpindah dari Yogyakarta ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Karena Bung Karno dan Bung Hatta ditahan Belanda maka kepemimpinan negara pun diserahkan kepada pejabat presiden darurat, Syafruddin Prawiranegara. Pada 1950 barulah Jakarta kembali menjadi ibukota Republik Indonesia.

Sebagai putri dari presiden pertama Republik Indonesia tentu saja Megawati memiliki keuntungan karena bisa belajar langsung dari tokoh utama pergerakan kemerdekaan Indonesia ini. Tapi sebagai putri pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, tentunya kehidupan Megawati pun tak selamanya berjalan semulus sutera. Berbagai masalah dan kendala harus dihadapinya sehubungan dengan kegiatan politik ayahnya.

Saat kekuasaan ayahnya terguling akibat peristiwa berdarah pada malam 30 September 1965 yang ditengarai dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia sehingga memicu pergolakan politik di Indonesia, Megawati dan keluarga Presiden Soekarno lainnya mengalami masa-masa sulit dalam masa pemerintahan Orde Baru yang menggantikan kekuasaan ayahnya.

Ir. Soekarno saat itu masih berusaha untuk memadamkan emosi massa akibat pembantaian para Jenderal di malam kelam 30 September itu dengan mengangkat Soeharto untuk mengatasi kekacauan yang melanda negeri akibat peristiwa yang kemudian dikenal dengan peristiwa G30S/PKI itu. Namun siapa sangka bila ternyata hal itu tak mampu mempertahankan kepemimpinan Soekarno sebagai presiden RI. Soekarno yang dalam setiap orasinya terkenal mampu membakar semangat rakyat itu ternyata gagal meyakinkan anggota MPRS yang menolak pidato pertanggungjawabannya yang diberinya judul Nawaksara sebagai Presiden sekaligus mandataris MPR.  Pidato lengkap Presiden Soekarno berjudul Nawaksara itu bisa dilihat di sini. Karir politik Soekarno pun berada di ujung tanduk. Kursi kepresidenannya pun kemudian jatuh ke tangan Soeharto yang telah diangkatnya untuk memulihkan keadaan negeri lewat Surat Perintah Sebelas Maret yang terkenal itu yang hingga kini masih terdapat kontroversi sehubungan dengan kabar yang mengatakan ada lembaran yang hilang dalam naskah supersemar itu.

Pada 12 Maret 1967 Soeharto pun diambil sumpahnya sebagai pejabat presiden di Istora Senayan dan pada tahun 1968 Soeharto resmi ditetapkan sebagai Presiden ke-2 Republik Indonesia menggantikan Ir. Soekarno.

Kehidupan Megawati dan keluarga Bung Karno lainnya pun berubah setelah kekuasaan ayahnya tumbang. Bung Karno, ayah Megawati bahkan dikenai tahanan rumah oleh penguasa yang baru dan tokoh proklamator itu tragisnya harus menemui ajalnya pada 21 Juni 1969 dalam statusnya sebagai tahanan rumah.

Larangan untuk menyebarkan ajaran Soekarno atau yang dikenal dengan istilah desoekarnoisasi, makin mempersulit keadaan Megawati dan keluarga Soekarno lainnya. Megawati yang gemar berkebun sehingga memilih jurusan agrikultur di Universitas Padjajaran harus mengalami nasib pahit karena ia terpaksa dropped out dari universitas tersebut pada 1967. Tahun 1970 setahun setelah Bung Karno, ayah Megawati wafat, Megawati berhasil masuk ke Universitas Indonesia. Kali ini ia memilih disiplin ilmu Psikologi tapi dua tahun kemudian Megawati lagi-lagi harus dropped out.

Namun nama besar ayahnya yang masih memiliki tempat istimewa di hati kebanyakan rakyat Indonesia tak mampu menghalangi usaha pemerintah Orde Baru untuk menjegal karir politik Megawati saat ia bergabung dengan PDI pada 1987 dan sukses meraih kursi sebagai anggota DPR bersama partai politik tersebut. Megawati bahkan terpilih sebagai ketua umum PDI, menggantikan Suryadi pada Kongres Nasional yang dilakukan PDI pada Desember 1993 namun lagi-lagi pihak penguasa berusaha untuk menjegal kiprah politik ibu tiga orang anak ini. Dengan campur tangan pemerintah saat itu, PDI pimpinan Suryadi mengadakan kongres di Medan untuk membatalkan hasil kongres sebelumnya yang telah menetapkan Megawati sebagai ketua umum partai yang baru. Akibatnya PDI pun terbelah dan puncaknya adalah penyerangan terhadap kantor pusat PDI di Jakarta pada 27 Juli 1996 yang dilakukan oleh pihak pendukung Suryadi (yang kabarnya didukung oleh pemerintah) sehingga mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Namun pemerintah saat itu malah menuding kekacauan yang terjadi di kantor pusat PDI itu merupakan ulah dari PRD dan menangkap tokoh-tokoh organisasi tersebut.

Dengan dualisme kepemimpinan di tubuh PDI, pemerintah memilih PDI pimpinan Suryadi lah sebagai partai politik yang resmi sehingga PDI pimpinan Mega tak bisa mengikuti pemilu 1997. Megawati dan para pendukungnya pun untuk membalaskan kekecewaan mereka mengalihkan suara dan dukungan mereka kepada PPP (Partai Persatuan Pembangunan) untuk melawan hegemoni kekuasaan Orde Baru.

Alih-alih menghancurkan karir politik Mega, peristiwa berdarah yang kemudian dikenal dengan sebutan tragedi 27 Juli itu malah membuat nama Mega makin meluas dan menimbulkan simpati publik terhadap putri presiden pertama RI ini.

Pada pertengahan 1997, Indonesia mulai terkena imbas dari krisis finansial yang melanda negara-negara Asia. Pada akhir Januari 1998 nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika merosot sangat tajam. Rupiah bahkan sampai menembus angka 15.000 dari Dollar Amerika padahal sebulan sebelumnya, pada Desember 1997 Rupiah masih berada di kisaran 4000. Situasi politik Indonesia kembali memanas.

Keadaan ekonomi yang kacau kemudian membangkitkan emosi publik terhadap pemerintah Orde Baru yang dinilai telah menghancurkan pondasi perekonomian bangsa dengan banyaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sehingga membuat perekonomian negara hancur lebur.

Demonstrasi yang sangat jarang terjadi saat Orde Baru tengah berada di puncak kekuasaannya pun mulai merebak. Kekuasaan Soeharto yang baru saja kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia pada 1998 untuk masa jabatannya yang ke-6 (Soeharto terpilih sebagai Presiden RI pada 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998) berada di ambang batas. Suhu politik makin memanas setelah terjadi penembakan yang menewaskan beberapa mahasiswa Trisakti (kasusnya hingga kini pun tak jelas) yang kemudian memicu gelombang demonstrasi besar-besaran dan berujung pada kerusuhan rasial terhadap sekelompok minoritas etnis Tionghoa.

Kekacauan sosial yang sudah tak terkendali itu akhirnya menghancurkan tahta kekuasaan Soeharto yang akhirnya harus takluk dengan desakan dari masyarakat luas yang menuntutnya turun dari takhta kepresidenan yang telah didudukinya selama tiga puluh dua tahun (masa total kepemimpinannya sejak ia diangkat sebagai pejabat pengganti Presiden akibat kekacauan massal usai tragedi G30S/PKI). Soeharto pun terpaksa melepaskan jabatan kepresidenannya yang disebutnya dengan istilah lengser keprabon. Jabatan presiden kemudian diserahkan kepada wakilnya, B.J. Habibie. Sementara itu kekuatan politik Megawati makin kuat. Ia bersama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, dan Sultan Hamengkubuwono X yang melakukan pertemuan di Ciganjur dianggap sebagai tokoh reformasi.

Pada Oktober 1998, para pendukung Megawati mengadakan Kongres Nasional membentuk sebuah partai baru yang kemudian diberi nama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) untuk membedakan PDI pimpinan Mega dengan PDI di bawah kepemimpinan Suryadi. Megawati otomatis terpilih sebagai ketua umum dari partai baru ini dan ia juga ditetapkan partai sebagai kandidat presiden dalam pemilu yang akan diselenggarakan pada 1999.

Partai PDI-P pimpinan Megawati yang telah meraih simpati rakyat terutama sejak peristiwa 27 Juli itu berhasil meraih suara mayoritas dalam pemilu 1999. Tapi keberhasilan PDI-P meraih suara terbanyak dalam pemilu 1999 itu ternyata tak membuat langkah Megawati untuk meraih kursi kepresidenan menjadi mulus karena konstitusi Indonesia saat itu. Presiden dan wakil presiden baru akan ditetapkan oleh anggota-anggota MPR/DPR terpilih.

Wacana untuk menjegal langkah Megawati sebagai presiden wanita Indonesia yang pertama pun mulai merebak ke dalam tubuh lembaga wakil rakyat itu yang tak bisa menerima keberadaan wanita sebagai seorang pemimpin bangsa. Keadaan di lembaga wakil rakyat itu pun kabarnya sempat memanas hingga akhirnya kelompok poros tengah pimpinan Amien Rais mengajukan nama Abdurrahman Wahid atau yang lebih sering dikenal dengan panggilan Gus Dur sebagai opsi untuk menyatukan perselisihan dan dianggap bisa diterima oleh semua pihak.

Gus Dur pun terpilih sebagai Presiden RI ke-4 lewat voting yang dilakukan oleh angota MPR/DPR dengan perolehan total 373 suara sementara Megawati kalah tipis dengan hanya meraih 313 suara. Keesokannya voting untuk memilih wakil presiden pun dilaksanakan. Seolah untuk mengobati kekecewaan rakyat akibat ulah anggota wakil rakyat yang telah menjegal Megawati sebagai pimpinan partai pemenang pemilu menuju kursi kepresidenan, kali ini kebanyakan wakil rakyat memberikan suaranya kepada Mega untuk kursi wakil presiden dengan perolehan total 396 suara mengalahkan Hamzah Haz yang hanya mengumpulkan 284 suara.

Pemerintahan baru Gus Dur-Mega ternyata tak mampu berjalan dengan mulus terutama dengan pertikaian antara Gus Dur dengan DPR membuat pemerintahan baru ini mengalami banyak kendala. Pasang bongkar kabinet pun kerap terjadi sehingga pemulihan perekonomian berjalan lambat sementara suhu politik pun sering memanas akibat pertikaian antara presiden dengan DPR.

Pertikaian antara Gus Dur dan DPR pun mencapai puncaknya ketika Gus Dur mengatai lembaga wakil rakyat itu seperti kelompok taman kanak-kanak. Berbagai friksi itu akhirnya membuat Gus Dur terlempar dari kursi kepresidenan. Megawati sebagai wakilnya kemudian diangkat menjadi presiden RI yang ke-5 menggantikan Abdurrahman Wahid pada 2001.

Namun pemerintahan Megawati pun tak berjalan dengan mulus. Megawati menghadapi banyak tekanan sehingga dalam masa pemerintahannya yang hanya tiga tahun itu memicu berbagai komentar miring terutama sehubungan dengan sikapnya yang lebih banyak memilih diam.

Sikap diam Megawati ini justru menjadi senjata bagi para lawan politiknya untuk memojokkannya sehingga membuat pamor Mega pun makin menyusut hingga akhirnya pada pemilu 2004 Megawati dikalahkan oleh bekas menterinya, Susilo Bambang Yudhoyono dalam putaran kedua pemilihan presiden pada 20 September 2004. Megawati pun secara konsisten memilih untuk menjadi pihak oposisi yang diharap dapat bersikap kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dibanding berkoalisi dalam pemerintahan.

Lima tahun menjadi pihak oposisi ternyata tak mampu mengangkat nama Megawati kembali seperti pada akhir tahun 1990-an. Megawati lagi-lagi harus menelan pil pahit dengan kekalahannya yang kedua kali pada pemilu 2009 yang kembali mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI untuk masa jabatannya yang kedua.

Meski gagal dalam pemilu 2009 itu, Megawati ternyata masih memiliki tempat istimewa di hati para pendukungnya. Dalam kongres PDI-P di Bali beberapa waktu yang lalu, Megawati ternyata kembali terpilih sebagai ketua umum salah satu partai besar yang menganggap sebagai partainya wong cilik itu. Dalam kesempatan itu pula Megawati kembali menegaskan posisi dari partainya yang memilih untuk berada di luar kekuasaan pemerintahan.

Meski banyak yang meragukan kemampuan intelektual Megawati namun tak ada satupun yang bisa menggoyahkan keyakinan wanita yang satu ini. Hal ini mungkin bisa dianggap kekurangan bagi sekelompok orang tapi bagi sebagian orang lainnya, keteguhan hati Megawati bisa jadi merupakan nilai lebih yang dipandang perlu bagi seorang pemimpin.

Takdir telah menetapkan Megawati sebagai anak dari Presiden pertama Republik ini. Berkat nama besar ayahnya, Megawati telah merasakan berbagai hal baik yang menguntungkan maupun yang merugikannya. Namun takdir itu pula kiranya yang telah membentuk Megawati menjadi sosok wanita yang tangguh, setangguh batu karang.

* Gambar dipinjam dari sini.

2 komentar:

alice in wonderland mengatakan...

Menurutku Pemilu
yang paling berkesan adalan Pemilu tahun 1999, dimana calon presiden dari partai pemenang Pemilu malah gak jadi Presiden.... menurutku aneh banget. Jadi kalau pada perjalanannya beliau jasi Presiden... ya itu adalah takdirnya. Sayangnya (gosipnya) suaminya malah rajin korupsi gara2 Mega udah jadi Presiden... ini juga merupakan kelemahan dalam pemerintahannya...
Tapi keren juga wanita bisa memimpin Indonesia ini walau mungkin gak secemerlang Margaret Tatcher...

air mengatakan...

Iya, emang sayang ya, giliran perempuan berhasil jadi pemimpin di Indonesia tapi umur kepemimpinannya cuma seumur jagung doang.... Tapi kan bukan berarti perempuan Indonesia harus jadi perempuan yang memble ya.... Ayo, maju terus cewek-cewek Indonesia! He...he....