Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman mengunggah di facebook-nya berita kematian temannya. Bukan soal kematiannya itu yang membuatku sedikit tertegun, bukan soal kematian temannya yang memang tak kukenal melainkan status yang ditulisnya. Pada kolom status-nya ia menulis bahwa belum lama ia dan beberapa temannya berencana untuk bertemu tapi tak disangka mereka bertemu dalam upacara penghormatan terakhir untuk kawan mereka ini.
Pertemuan dan perpisahan memang selalu beriringan. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Takkan ada perpisahan tanpa didahului pertemuan. Dan tak ada pertemuan yang abadi. Begitu bukan yang dinamakan siklus kehidupan?
Saat membaca status temanku ini, aku teringat kembali peristiwa seminggu yang lalu. Seorang teman yang lain bercerita bahwa ia baru saja reuni bersama teman-teman SMP dan SMA-nya. Saat itu mereka diliputi euforia kenangan karena lama tak bersua. Hatinya masih dipenuhi kegembiraan usai bertemu teman-temannya ketika hanya berselang beberapa hari saja ia mendapat kabar, salah seorang teman SMP-nya mengalami kecelakaan motor dan sudah dalam keadaan koma karena terjadi pendarahan otak. Belum lagi ia sempat membesuk kawannya tatkala muncul berita baru, kawannya meninggal dunia usai operasi. Shock pasti. Aku yang mendengar pun terkejut walau aku tak mengenal almarhum, sebaris doa kulantunkan dalam hati sambil meringis menyadari betapa rapuhnya kita sebagai manusia. Sedetik sebelumnya kita bisa saja bahagia, tertawa gembira, berkumpul bersama. Namun tawa itu bisa kapan saja berubah menjadi isak tangis. Dan kita tak memiliki kuasa atasnya.
Teringat kembali dalam benakku saat beberapa tahun lalu, saat teman-teman SMP-ku berniat melakukan reuni, bertemu dengan guru-guru kami yang jumlahnya kini bisa dihitung dengan jari. Kebetulan kepala sekolah SMP kami yang sudah bertugas di Kalimantan tengah menyempatkan diri ke Jakarta. Aku sebenarnya tak terlalu bersemangat ikut reuni, apalagi aku juga bukanlah kelompok penggemar kepala sekolah kami, bahkan rasanya tak ada guru yang cukup mengesankanku saat SMP kecuali guru matematikaku yang hanya sebentar mengajar, Bu Sri namanya. Bagiku guruku ini istimewa karena aku yang lemah otak terutama saat pelajaran matematika ini hanya saat diajar beliau-lah, aku pernah mendapat nilai sempurna alias seratus. Sampai berhari-hari aku memandangi kertas ulanganku dengan angka 100 yang ditorehkannya dengan tinta merah. Ingin rasanya kulaminating kertas ulanganku itu.
Namun Bu Sri bukan termasuk kelompok guru favorit kepala sekolahku sehingga masa tugasnya sangatlah singkat. Pengganti Bu Sri yang tak pernah kuingat namanya selalu membuatku tersiksa dengan cara mengajarnya. Baginya matematika memang sewajarnya menjadi neraka bagi murid. Tak pernah lagi aku mendapat nilai seratus yang membanggakan itu. Sebaliknya guru matematika yang baru itu membuat otakku yang lemah hanya khusus di pelajaran matematika dan fisika makin tersiksa saja jadinya.
Selain Bu Sri, guru favoritku saat SMP adalah Pak Daniel Hapan, guru PPKn yang waktu itu masih bernama PMP. Aku suka dengan cara mengajar Pak Daniel yang tak pernah merendahkan murid. Kebetulan juga aku memang suka pelajaran PMP yang mengutamakan daya ingat khususnya dalam mengingat pasal-pasal UUD '45 dan sebuah kata ajaib yang disukainya, kristalisasi-kristalisasi Pancasila. Setiap ada ujian essai, asal kutuliskan kalimat ajaib ini, bisa dipastikan kertas ujianku akan mendapat ponten memuaskan 😉 Namun kudengar Pak Daniel sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Kisah kematiannya sedikit meremangkan bulu roma namun aku berdoa guru favoritku ini mendapat tempat di sisi Tuhan YME.
Masih ada dua guru favoritku memang. Guru olahragaku, Pak Harun dan guru bahasa Inggrisku, Ms. Banowati yang cantik namun kami sudah bertemu di pertemuan sebelumnya. Sementara aku bukan termasuk murid penggemar kepala sekolah yang merangkap guru geografi kami. Jadi aku tak terlalu antusias untuk bertemu beliau.
Aku sudah malas datang kalau saja kawanku tak menakutiku dengan mengatakan bahwa kita tak pernah tahu kapan waktu akan berpihak pada kita. Dia menyusupkan dalam otakku pertanyaan: bagaimana bila ternyata ini adalah kesempatan terakhir untuk bertemu? Meski merinding, pergi jugalah aku ke reuni itu.
Tak dinyana kekhawatiran kawanku itu benar-benar terjadi.
Entah apakah kawanku ini diam-diam memiliki kemampuan meramal macam Mama Lauren ataukah memang kebetulan saja ucapannya nyata terjadi.
Hanya selang beberapa bulan setelah reuni, kepala sekolahku dikabarkan masuk rumah sakit dan sudah sekarat. Aku dan kawanku datang menjenguk. Beliau sudah tak sadarkan diri. Kami berdoa di sisi tempat tidurnya. Sesaat ia sempat membuka matanya, ia berniat mencabut selang oksigen yang membuatnya tak nyaman namun aksinya ini dicegah. Tak lama ia pejamkan kembali matanya. Kami pamit pulang pada keluarganya. Sampai kami pamit pulang, beliau tak pernah lagi membuka matanya. Aku sudah hampir sampai rumahku ketika guru olahragaku menelpon, mengabarkan bahwa kepala sekolah kami sudah meninggal.
Ah, aku memang tak terlalu menyukai kepala sekolahku ini. Namun terlepas dari rasa suka atau tidak itu, aku berduka untuknya. Meski aku tak menyukai gaya mengajarnya namun kepala sekolahku ini orang yang humoris. Kadang leluconnya terdengar garing dan aneh bagiku namun membuat kelas bergemuruh dalam gelak tawa murid lain. Hal lain yang membuatku terkesan pada kepala sekolahku, ternyata walau sudah hampir dua puluh tahun tak berjumpa, ia masih mengenal wajah kami satu per satu. Saat aku bahkan tak mampu mengingat beberapa temanku, kepala sekolahku ini saat reuni kami yang pertama sekaligus terakhir itu, ia menatap mata kami satu per satu saat bersalaman dan mampu menyebut nama kami dengan benar. Tak ada yang dilupakannya. Sedikit haru menyeruak dalam hati menyadari bahwa ternyata, walau ia memiliki banyak murid tapi ia tak pernah melupakan murid-muridnya karena menurutnya setiap murid memiliki ciri khas-nya masing-masing dan semua itu tergambar lewat mata, karenanya ia menjabat tangan kami satu persatu seraya memandang tajam ke dalam mata kami. Dan kenangannya saat reuni inilah yang lebih nyata berkesan dalam hatiku dibanding masa-masa di sekolah dulu. Meski begitu beliau telah turut mewarnai hidupku dan aku berdoa semoga beliau mendapat kedamaian di surga mulia.
Lewat kisah-kisah ini aku menyadari bahwa setiap pribadi yang kita temui dalam hidup, sadar atau tidak telah menorehkan setitik warna dalam hidup kita. Seperti sebuah gambar meski ada warna yang lebih dominan namun gabungan warna-warna lain turut membuat gambar tersebut indah. Jadi, ayo kita saling menorehkan warna dan nikmatilah kebersamaan yang kita miliki. Have a nice weekend :)