Menulis itu mudah. Itu kata salah satu penulis kondang. Tapi kenyataannya, menulis itu bisa jadi sumber depresi. Setidaknya ini yang sering kurasa.
Setiap orang bisa menulis, itu memang benar. Dengan asumsi proyek Indonesia Bebas Buta Huruf yang sudah dicanangkan sejak aku kecil ini berhasil, maka pernyataan ini memang tak salah. Setiap orang bisa menulis. Namun masalahnya seringkali menulis bisa membuat frustasi. Setidaknya ini yang sering kualami.
Kerap kali di otakku, segala macam kisah sudah berseliweran menunggu kutuangkan ke atas kertas putih, tapi nyatanya aku terpaku berjam-jam kadang berhari-hari, hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, memikirkan kalimat pembuka. Ini yang kerap kali jadi sumber masalahku. Kalimat pembuka.
Kalaupun akhirnya aku bisa mendapatkan kalimat pembuka yang sreg di hati. Tulisan sudah mengalir lancar, kerap kali tiba-tiba di tengah jalan, mulai tersendat-sendat. Butuh energi ekstra bagiku untuk menyelesaikan tulisan yang sudah kumulai.
Dulu bagiku menjadi penulis itu profesi yang super keren. Seorang manusia yang sok berperan sebagai Tuhan, menciptakan manusia imajinasinya, memberinya nama, mengatur takdir manusia ciptaannya itu lewat cerita yang bisa jadi penuh drama layaknya sebuah kehidupan nyata.
Tapi ternyata penulis merupakan profesi super kompleks. Menjadi penulis adalah juga menjadi pemikir. Layaknya ilmuwan, penulis selalu berkutat dengan pikirannya, berusaha menuangkan pikirannya menjadi suatu bentuk yang kasat mata berupa tulisannya.
Menjadi penulis itu bisa berarti menjadi psikolog. Bukan sekadar menjelaskan kondisi-kondisi psikologi tokoh-tokoh imajinasinya agar terlihat nyata namun juga mengatur kejiwaan pembacanya agar bisa hanyut dalam tulisannya.
Menjadi penulis adalah juga menjadi peneliti. Kerap dalam menulis, seorang penulis perlu mengadakan riset. Demi membuat dunia imajinasinya nyata maka riset adalah kewajiban utama. Bedanya bila seorang peneliti kerap kali menekuni satu bidang ilmu saja, maka penulis bisa menekuni berbagai macam bidang ilmu yang bisa berguna demi tulisannya.
Menjadi penulis bukan hanya piawai mengolah kata namun juga lihai mengolah rasa.
Menulis adalah menyinkronkan keriuhan di otak, mengendapkannya dalam hati agar memiliki rasa, dan kemudian menuangkannya dalam bentuk nyata. Tulisan. Bukan hal yang mudah, tapi selalu menjadi kegiatan yang menarik. Menulis itu mudah...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar