Suatu kali, dalam sebuah pembicaraan, seorang temanku bertanya, apa cita-cita pertamaku. Aku tersenyum bodoh karena ingat waktu kecil, cita-citaku terlalu konyol. Ingin menjadi tukang gado-gado hanya karena supaya bisa puas makan gado-gado. Tapi enggan kuakui ini di depan teman-temanku, karena kuanggap itu bukanlah cita-cita, hanya pemikiran polos seorang bocah yang belum tahu apa arti cita-cita.
Sewaktu kecil setelah sudah mengenal huruf dan angka, aku bercita-cita menjadi guru. Seperti anak-anak pada umumnya, alasanku menjadi guru karena terpesona dengan posisi guru sebagai pusat perhatian di dalam kelas.
Seiring waktu alasanku memiliki bentuk yang lebih rasional dibanding hanya ingin menjadi pusat perhatian dalam kelas. Aku ingat bagaimana perasaanku saat pertama kali belajar membaca. Sejak mengenal huruf dan mulai bisa mengeja, aku begitu haus akan bacaan. Setiap kertas yang ada tulisannya pasti langsung ku-eja huruf demi hurufnya. Bahkan demi membuatku lancar membaca, ibuku mengkliping cerita bergambar Doyok yang rutin terbit di harian Pos Kota, kalau aku tak salah ingat.
Nah, perasaan inilah yang ingin rasanya kutularkan ke anak-anak didikku nantinya. Dengan membaca kita bisa mengenal dunia luas. Raga kita mungkin tak bergerak, tapi jiwa dan alam pikir kita berkelana melintasi benua dan samudra. Dengan membaca, kita sudah separuh menguasai dunia. Itulah perasaanku waktu itu.
Saat SMP ketika membaca kisah Audrey Hepburn yang di masa tuanya membaktikan hidupnya sebagai sukarelawan di Afrika, muncul impian dalam hatiku untuk menjadi guru di pedalaman Papua.
Seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya yang mudah sekali berubah pikiran, demikian pula denganku. Cita-citaku mulai berubah lagi saat membaca novel Rage Of Angel (Malaikat Keadilan)-nya Sidney Sheldon. Aku ingin menjadi pengacara.
Namun angan dan cita tak selalu jadi nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar