Waktu kecil pernah salah seorang tanteku menakuti menggunakan topeng. Saat itu aku tengah bermain bersama abang dan adik-adikku serta seorang sepupu ketika tiba-tiba masuk seorang dewasa dengan wajah menyeramkan. Kami semua berhamburan lari, kuingat abangku berlari sambil tertawa sementara adik-adikku menjerit-jerit. Aku juga ikut lari ketakutan namun tak berhasil menemukan tempat bersembunyi, alih-alih malah tertangkap makhluk mengerikan itu.
Aku masih ingat tubuhku yang gemetar ketakutan, jantungku seolah berhenti berdetak dan bibirku terus berkomat-kamit mengatakan, "kiamat... kiamat...." Entah, mengapa aku berkata demikian dan darimana kudengar kata itu, namun aku ingat dengan jelas, waktu kecil dulu, setiap kali ada sesuatu yang membuatku gemetar ketakutan, kata pertama yang melintas dalam benakku adalah kiamat.
Saat tanteku menyadari aku gemetar ketakutan, ia memeluk untuk menenangkanku namun tubuhku justru bergetar lebih kencang dan mulutku berkomat-kamit tak henti menyerukan, "Kiamat... kiamat..."
Tanteku mungkin takut aku terkena serangan jantung seperti ayahku yang tewas akibat serangan jantung. Sehingga alih-alih tertawa karena berhasil menakuti bocah-bocah, tanteku mulai panik melihatku yang seperti orang sesak nafas.
Seiring waktu, mungkin karena pertambahan usia juga perkembangan olah daya pikir dan nalar, ketakutanku memiliki bentuk lain. Aku juga tak lagi selalu mengatakan kiamat bila mengalami suatu kejadian mengerikan. Meski bayangan soal kiamat memang tetap menimbulkan getar ketakutan dalam hatiku.
Perjalanan waktu membawaku melewati banyak kiamat-kiamat kecil. Kematian ayahku yang meski saat itu belum terlalu kupahami mendalam, namun meninggalkan kehilangan yang sampai kini masih sukar kulukiskan. Pun saat keponakanku, putra pertama adik perempuanku yang hanya sempat beberapa menit saja merasakan udara kehidupan meninggalkan suatu kisah sedih lain dalam hidup. Terakhir, kematian nenekku pada Oktober tahun lalu. Kepergian yang tiba-tiba itu hingga kini masih bukan hanya meninggalkan luka dan kesedihan tapi menegaskan betapa misteriusnya sang waktu. Bila dihitung kenangan yang terukir, tiga puluh tahun kurasakan keberadaan nenekku tapi nyatanya betapa singkatnya waktu kurasakan bersama nenek.
Sama seperti ketakutanku yang meski mampu kurasakan, membuat tubuhku bergetar ketakutan namun tetap saja ketakutan itu tak memiliki rupa, begitulah juga dengan waktu. Hadir nyata, berjalan beriringan bersama sepanjang hidup namun anehnya ia tetap misterius. Tak memiliki rupa. Namun kini, dalam usia yang bertambah seiring perjalanan waktu yang panjang, seringkali aku justru mendapat kekuatan lewat ketakutan-ketakutanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar