Tinggal dua hari lagi, kata sahabatku mengingatkan tantangan menulis random ini. Dalam hati lega akhirnya meski terseok-seok, dan kerap diingatkan sahabatku untuk terus menulis dan tidak menyerah, bahkan dilarang mati sebelum bulan Juni ini berakhir, akhirnya hampir sampai di garis finish.
Sewaktu pertama kali sahabatku mengabarkan tantangan ini, seperti biasa secara impulsif aku bersemangat, namun seperti balon yang ditiup ngos-ngos-an, sekejap pula semangat itu mengempis. Tapi seperti biasa, sahabatku seperti seorang sais pedati, memecutku untuk kembali menggerakkan langkah.
Aku sendiri tak mengira bisa sampai sejauh ini. Mengingat biasanya meski sangat suka menulis, namun aku suka menggantung tugas, sampai-sampai sahabatku kerap gemas menunggu novelku yang tak pernah usai. Dia bahkan pernah meledekku, jangan-jangan aku keburu mati sebelum menyelesaikan novelku seperti Suzue Miuchi, penulis komik Topeng Kaca yang membuatku gemas karena sampai sekarang belum ada kelanjutan ceritanya padahal belum ada kata The End, diduga penulisnya keburu meninggal.
Rasanya aku pernah mendengar istilah Pengarang sudah mati. Entah apa maksudnya. Tapi menurutku seperti phoenix yang membakar diri demi keabadian, begitulah seorang penulis. Berharap mencapai keabadian lewat tokoh-tokoh ciptaannya. Seperti seorang ibu, mungkin ada penulis yang dengan mudah melahirkan bayinya (karakter ciptaannya) secara normal namun tak sedikit pula rasanya pengarang yang mungkin menahan sakit dan terpaksa melahirkan "bayinya" secara caesar.
Seperti pernah kusampaikan, bagiku penulis itu seperti penderita schizophrenia di mana pikirannya begitu penuh dan kerap terlalu asyik dengan dunianya seperti anak autis. Tapi penulis memang profesi menyedihkan pula, sebenarnya. Meski alam pikirannya demikian bising dengan percakapan berbagai tokoh-tokoh imajinatif-nya, namun si penulis tetap saja seorang diri menyusuri jalan sunyi, menjadikan tokoh imajinasinya sebagai pribadi nyata, mengosongkan pikirannya dan mengalihkannya ke atas kertas putih. Mengupas setiap lapisan kulit emosinya. Tidak membiarkan emosi pribadinya terlibat tapi tetap perlu meletakkan emosi dalam ceritanya.
Kembali ke soal sahabatku dan kegeramannya pada ketidakdisiplinanku menulis. Rasanya pernah dia meledekku, atau mungkin aku yang meledek diri sendiri, entahlah ingatan ini terlalu samar, dan mengatakan jangan-jangan saat menjadi hantu aku justru bisa jauh lebih baik dalam bercerita dan mampu menyelesaikan novelku.
Ah... sudahlah... menulis adalah soal rasa dan rasanya cukup ini sajalah dulu yang kutulis di hari ke dua puluh sembilan di bulan Juni ini😉
Tidak ada komentar:
Posting Komentar