Ini bukanlah soal puisi atau novel Sapardi Djoko Damono. Juga bukan bermaksud meniru maupun menyontek tulisan sang maestro kata yang memang kukagumi itu. Aku tak ingin melakukan plagiarisme. Judul ini mendadak saja muncul di benakku begitu titik pertama hujan jatuh berderai di tengah kemarau ini.
Ah, lega rasanya begitu mendengar tetes hujan turun membasahi tanah kemarau yang kering.
Sudah berhari-hari panas terasa begitu menyengat dari ubun-ubun hingga ke mata kaki. Sambil kipas-kipas cari angin, mulut merapal berharap hujan segera datang. Tak dinyana akhirnya hujan benar-benar datang juga.
Di saat kemarau seperti ini, curahan hujan yang turun benar-benar terasa bagai berkat dari langit. Panas yang berhari-hari mengendap langsung menguap dibasahi tetesan air hujan yang malam ini turun deras sekali.
Padahal saat musim hujan, aku begitu merutuk bila hujan turun berhari-hari. Hati selalu berdebar tak karuan di saat curah hujan mencapai puncak tertinggi, khawatir banjir melanda. Di saat seperti itu, aku menatap langit yang kerap diliputi awan kelabu sambil mulut merapal berharap matahari segera bersinar dan angin berhembus kencang membawa awan-awan kelabu yang dipenuhi kantong-kantong air.
Di saat itu aku berharap musim kemarau segera datang.
Ketika banjir menggenang, kupikir rasanya aku lebih bisa menahan panas terik dibanding menghadapi banjir yang menyesakkan.
Nyatanya saat kemarau seperti saat ini, ketika berhari-hari kepala serasa hampir pecah akibat panas yang menyengat dan tubuh sering kuyup bermandi keringat, hujan yang turun terasa begitu nikmat.
Ibuku bilang ini tanda orang yang tak pernah puas. Benarkah? Tapi ini hal yang manusiawi bukan? Kita baru merindukan yang telah pergi dan merasa bosan dengan apa yang kita miliki.
Sudahlah... aku ingin menikmati hujan di bulan Juni ini. Meresapi tiap tetesan air hujan menguapkan panas yang beberapa hari ini membakar kulitku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar