Masih soal kenaikan tarif listrik nih. Aku termasuk kelompok yang menentang kenaikan tarif listrik tapi bukan berarti tak mau berbagi dengan saudara-saudara di Papua seperti sindiran teman-teman pendukung kenaikan TDL. Bagiku pembelaan kelompok yang setuju kenaikan ini dengan menjual issue pembangunan di Papua ini (sorry to say) super bullshit.
Bagiku promosi pembelaan PLN menaikkan TDL dengan alasan demi memberikan saudara-saudara kita yang tinggal di pedalaman dan daerah terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur tak ubahnya propaganda Nazi Jerman yang membenarkan aksi fasis Hitler.
Aku tak keberatan bila benar kenaikan TDL demi masyarakat di daerah pedalaman bisa mendapat kesejahteraan setara di Pulau Jawa, masalahnya kenaikan TDL yang dilakukan PLN bagiku lebih karena ketidakmampuan Perusahaan Listrik Negara mengatasi inefisiensi biaya internal-nya.
Bukankah seperti yang pernah dikemukakan Sofyan Basyir, Dirut PLN dalam rapat bersama Komisi VII DPR pada medio Oktober tahun lalu, PLN kesulitan karena harga bahan bakar seperti batu bara dari Bukit Asam juga gas yang dibeli dari Pertamina dan Perusahaan Gas Negara kelewat mahal? Bahkan katanya perusahaan-perusahaan BUMN ini menjual harga bahan bakar yang lebih murah kepada pihak swasta ketimbang ke PLN. Jadi letak permasalahan keuangan PLN adalah ketidakadilan "saudara-saudaranya" dalam memberikan harga sehingga imbasnya rakyat harus membayar listrik lebih mahal. Jelas dilihat dari kacamata ini, kenaikan harga listrik bukan semata-mata demi memberikan listrik kepada saudara-saudaraku di Papua namun lebih pada kesulitan keuangan PLN yang terbebani oleh harga bahan bakar yang mahal ini.
Sekarang coba kita berandai-andai saja, bila "saudara-saudara" PLN ini tidak bertindak kejam dan memberikan harga bahan bakar semurah yang diberikannya pada pihak swasta, tidakkah keuangan PLN bisa lebih sehat sehingga tak lagi membebankan tarif listrik mahal pada rakyat demi mencapai surplus neraca keuangannya?
Promosi gencar pembenaran PLN atas tindakannya menaikkan TDL ini sama seperti aksi pemerintah sebelumnya saat menaikkan harga bahan bakar. Waktu itu digemborkan opini bahwa harga bensin di Indonesia masih jauh lebih murah dibandingkan harga segelas air mineral di Singapura. Temanku menyetujui opini ini sementara aku langsung mendelik mendengar jawaban yang membodohi macam ini. Hellow? Apa tidak salah membuat perbandingan macam ini? Bukankah Singapura memang tak memiliki sumber air minum sehingga harus mengimpor air dari negeri tetangganya, Malaysia? Jadi tentu tak heran bila harga air mineral di Singapura sangat mahal. Menurut mantan bosku yang pernah ke sana, di sini kita masih bisa menikmati secangkir kopi sambil membaca koran, sementara di negeri Singa ini, membeli koran saja, rasanya ia sayang merogoh koceknya karena mahal.
Bahkan aku pernah membaca anak-anak TK di Singapura diajarkan cinta tanah air dengan cara menghemat penggunaan air karena penggunaan air secara boros tentu memberatkan keuangan negara.
Jadi membandingkan harga bensin di Indonesia dengan harga air mineral di Singapura ini menurutku bukan hanya tak tepat bahkan kuanggap konyol. Mengapa? Pertama karena Singapura untuk mendapatkan air saja harus import dari tetangganya. Kedua, Singapura dari yang pernah kubaca tak memiliki sumber daya alam sekaya kita. Lantas mengapa pemerintah waktu itu tak membandingkan harga bahan bakar di sini dengan harga di Malaysia yang juga memiliki sumber daya bahan bakar? Sumber daya bahan bakar Indonesia lebih besar dari Malaysia tapi coba perhatikan seberapa besar perbedaan harga di sini dengan negara jiran itu?
Kembali ke soal TDL. Beberapa pembela kenaikan TDL bahkan secara sinis menyindir dengan mengatakan: bisa punya ponsel, tv, kulkas tapi kenapa listrik naik malah protes?
Menurutku sindiran seperti ini sangat lucu. Ponsel sekarang memiliki banyak variasi segmen yang juga berpengaruh pada harga. Sebuah ponsel android bagi segmen kalangan bawah bahkan ada yang harganya enam ratus rupiah alias tidak sampai satu juta, dibeli saat dapat THR pula. Dan soal kulkas, sepertinya benda pendingin makanan ini bukan lagi barang mewah. Seperti kenalanku membelinya dari barang loakan dengan harga dua-tiga ratus ribu, diperbaiki (karena kebetulan otaknya seperti Mcgyver) lagi-lagi harganya tak sampai jutaan. Tivi yang dimilikinya tivi tabung, pernah punya tivi flat (yang dibelinya lagi-lagi dari penjual rongsokan, harganya bahkan tak mencapai ratusan ribu, lantas diperbaiki) tapi kemudian dia jual karena sedang kepepet uang. Nah, dia adalah konsumen listrik dengan daya 900VA. Kenaikan TDL kali ini memang menyasar kelompok pengguna 450VA dan 900VA ditambahi janji bahwa masyarakat tak mampu akan tetap mendapat subsidi. Lantas apakah yang akan mendapat subsidi nanti benar-benar masyarakat tak mampu? Barometer apakah yang akan digunakan untuk menentukan kelompok mampu dan tak mampu? Dengan menggunakan data dari mana pula? Akuratkah data yang akan digunakan itu?
Aku sendiri konsumen kelompok 1300VA, tapi aku ikut menentang karena besaran kenaikan TDL menurutku amat keterlaluan. Tak masalah jika mendukung dasar yang dikemukakan PLN menaikkan TDL demi memberikan listrik bagi rakyat di Papua dan daerah-daerah lain yang lama tak mendapat pasokan listrik. Namun jangan pula mengabaikan empati terhadap konsumen pengguna 450-900VA yang pasti akan makin kesulitan mengatasi beban hidupnya bila tarif dasar listrik mengalami kenaikan super tinggi kali ini. Aku sendiri merasa PLN memiliki kewajiban menyediakan listrik ke seluruh pelosok negeri dengan harga masuk akal yang tak mencekik leher.
Bila menilik hati secara jujur, kenaikan harga listrik ini untuk siapa sih? Apa benar semata-mata demi memberikan listrik bagi daerah yang lama tak mendapat pasokan listrik? Ataukah hanya sekadar alasan PLN yang tak lagi sanggup menanggung beban inefisiensi? Tidakkah lebih bijak mengatasi persoalan yang kedua. Bila ini terselesaikan, rasanya seluruh nusantara akan terang benderang dialiri listrik. Dengan harga rasional pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar