Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 20 Juni 2014

Review Novel : Princess Deokhye - Kwon Bee-Young

Judul Asli : The Last Princess of Chosun Dynasti Deokhye 
Penerbit : PT Bentang Pustaka 
Ukuran : xvi + 368 hlm.; 20,5 cm 
ISBN : 978-602-8811-76-7 

Novel ini diangkat dari kisah nyata seorang putri dari Kerajaan Joseon, Korea. Hidupnya yang bahagia sebagai seorang putri berakhir secara tragis. Ayahnya yang sangat menyayanginya tewas mendadak akibat diracun. Ia dipaksa meninggalkan negeri yang dicintainya dan harus menikah dengan pria Jepang, negeri yang telah menjajah negara yang dicintainya. Pernikahannya berakhir dengan perceraian. Anak satu-satunya yang sangat disayanginya ternyata membencinya dan tak sudi bersamanya. Suaminya memasukkannya ke rumah sakit jiwa dan negara yang dicintainya nyaris melupakannya. "Meskipun orang-orang tidak mengenaliku, aku adalah Putri terakhir Kerajaan Joseon," ujarnya dalam keterasingan dan kesendiriannya. Nama sang Putri adalah Deokhye. 

Putri Deokhye adalah Putri terakhir dari Dinasti Kerajaan Joseon. Ayahnya, Raja Kojong, sangat menyayanginya karena ia adalah putri satu-satunya. Raja bahkan sampai membuatkan sebuah taman bermain di Istana Chang Deok demi dirinya. Namun keadaan Korea saat itu dalam cengkeraman penjajahan Jepang. Itulah sebabnya Raja mencemaskan nasib putri semata wayangnya ini. Ia takut putrinya akan mengalami nasib seperti salah seorang putranya, menjadi "tawanan" Jepang. 

Salah seorang putra Raja Kojong yaitu Pangeran Young Chin, saat berumur sebelas tahun demi alasan politik terpaksa meninggalkan negerinya dan menetap di Jepang dengan dalih melanjutkan studi, padahal seluruh Kerajaan Joseon menyadari bahwa keadaaan yang sebenarnya, Pangeran Young Chin menjadi "sandera" politik Jepang. "Penyanderaan" Jepang terhadap Pangeran Young Chin makin nyata tatkala ia demi alasan politik pula, harus menikah dengan putri Kerajaan Jepang. Pernikahan Pangeran Young Chin dengan Putri Masako Nashimotonomiya yang adalah anak perempuan Pangeran Morimasa Nashimotonomiya dari Kekaisaran Jepang ini sempat mengusik Putri Deokhye, yang memiliki jiwa nasionalisme yang sangat tinggi dan amat menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan Kerajaan Joseon. Ia mempertanyakan nilai nasionalisme kakaknya yang rela menikahi Putri dari Kerajaan Jepang yang artinya akan menodai garis keturunan Kerajaan Joseon. Namun ibunda dari Putri Deokhye, Lady Yang menyatakan bahwa Putri Deokhye masih terlalu belia untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. 

Raja Kojong yang sudah sakit hati dan terluka terhadap nasib putranya yang harus menjadi "tawanan" Jepang khawatir kalau-kalau putri semata wayangnya, Putri Deokhye akan mengalami nasib yang sama dengan yang menimpa kakaknya. Karena itu, diam-diam ia mengatur pertunangan Putri Deokhye dengan Kim Jang Han, keponakan dari Kim Hwang Jin, orang kepercayaan Raja Kojong. Baik Putri maupun Kim Jang Han saat itu masih kecil. 

Saat dibawa menemui Raja, tanpa sengaja Kim Jang Han, yang semula tak tahu tujuan pamannya membawanya menemui Raja, bertemu dengan Sang Putri. Saat itu baik Kim Jang Han maupun putri saling menyukai satu sama lain. Tapi Putri yang juga tak tahu siapa anak laki-laki yang dibawa oleh Kim Hwang Jin, orang kepercayaan ayahnya sendiri. Rencana pertunangan yang dipersiapkan Raja ini hanya diketahui segelintir orang. Salah satunya adalah bibi pengasuh Putri sendiri. Saat berpapasan anak laki-laki yang dibawa Kim Hwang Jin, tanpa sadar bibi pengasuh ini ini bergumam. Ia berkata, "Oh, ternyata melalui anak itu...." Sang putri yang tak paham maksud perkataan bibi pengasuhnya tentu saja langsung mempertanyakan arti gumaman dari wanita tua yang telah mengasuhnya ini, tapi bibi pengasuh Putri hanya bisa mengelak. 

Namun pertunanangan sang Putri yang diatur dengan sangat rapi oleh Raja Kojong nyatanya hancur berantakan. Raja Kojong meninggal dunia secara mendadak. Ada kabar mengatakan bahwa Raja tewas diracun. 

Kematian Raja Kojong membuat kondisi psikologis sang putri terganggu. Putri dikabarkan mengalami gangguan jiwa. Ada dayang yang menyebarkan isu bahwa Putri Deokhye bertingkah aneh dan bersikap seolah-olah tengah bercakap-cakap dengan ayahandanya. 

Setelah Raja Kojong wafat, Raja Sunjong naik tahta. Raja Sunjong sesungguhnya sangat menyayangi dan melindungi Deokhye, namun ia tetap tak berdaya saat Deokhye harus mengikuti jejak Pangeran Young Chin. Apa yang ditakutkan Raja Kojong benar-benar terjadi. Deokhye harus pergi ke Jepang dengan dalih melanjutkan studi di sana. 

Sementara itu beberapa orang bergabung ke dalam gerakan bawah tanah untuk memerdekakan Korea dari penjajahan Jepang. Gerakan kemerdekaan ini disebut Korea Manse. Salah seorang yang tergabung dalam gerakan ini bernama Heo Seung. Pergerakannya sangat menyulitkan pihak Jepang sehingga Heo Seung menjadi buron pihak Jepang. Akibatnya Heo Seung terpaksa bersembunyi di dalam hutan dan meninggalkan istri dan anak perempuannya bernama Heo Bok Sun yang usianya sebaya dengan Putri Deokhye. 

Hidup Bok Sun dengan ibunya sangat sulit. Mereka harus hidup berpindah-pindah dan bersembunyi karena khawatir mereka akan dijadikan sandera untuk menjebak Heo Sung agar menampakkan diri. Bok Sun yang masih kecil terpaksa harus bekerja demi menghidupi dirinya sendiri dan ibunya yang sakit-sakitan. Suatu hari Bok Sun hampir ditangkap untuk dijadikan wanita penghibur bagi tentara Jepang, beruntung saat itu kereta yang dinaiki oleh Putri Deokhye lewat. Bok Sun diselamatkan oleh Putri Deokhye dan dibawa ke istana. Bok Sun kemudian menjadi pelayan pribadi Putri Deokhye. Walau begitu, usia mereka yang sebaya membuat hubungan keduanya sangat dekat. Saat Putri Deokhye dibawa ke Jepang, Bok Sun ikut serta untuk mendampingi Putri Deokhye. 

Selama di Jepang ternyata status Deokhye sebagai seorang putri Kerajaan Joseon sama sekali tak berarti. Di kelas ia tak disukai oleh teman-temannya. Sikapnya yang penuh harga diri sebagai putri Kerajaan Joseon membuat teman-teman sekelasnya menganggapnya sombong dan arogan. Mereka pun lantas mengerjai sang putri. Mereka pernah membuat termos air minum sang putri terjatuh hingga airnya tumpah membasahi lantai. Mereka berharap sang putri akan menangis tapi Putri Deokhye tanpa banyak bicara mengepel tumpahan air minumnya. Sebenarnya Bok Sun yang setiap hari memperhatikan sang putri di luar kelas, berniat mengepel tumpahan air minum sang puteri tapi Putri Deokhye menahannya dan memutuskan mengepel sendiri tumpahan air minumnya. Dan seharian itu Putri Deokhye memilih menahan rasa dahaganya dan tidak minum sama sekali karena air dalam termosnya habis ditumpahkan oleh teman-temannya, daripada harus mengemis meminta minum pada teman-temannya. 

Lain waktu teman-teman Putri Deokhye juga kerap mengerjainya dengan membawa mejanya keluar atau menyembunyikan bukunya. Tapi sang putri tak pernah menangis ataupun panik. Ia tetap bersikap tenang dan memperlihatkan keeleganannya sebagai seorang putri hingga membuat teman-teman sekelasnya makin benci kepadanya tapi menyadari bahwa Putri Deokhye takkan pernah merendahkan dirinya maka teman-temannya pun menyerah karena tak bisa mempermalukan sang Putri. 

Waktu berlalu. Putri Deokhye tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik namun rasa rindunya pada tanah airnya tak pernah padam. Putri Deokhye juga sangat merindukan ibunya. Setelah ia di Jepang, ia baru bertemu ibunya sekali saat Raja Sunjong wafat. Kala itu Deokhye melihat ibunya tampak tak terlalu sehat, tapi ibunya selalu meminta Deokhye tak mengkhawatirkannya dan menyatakan bahwa ia sangat sehat. Padahal saat itu Lady Yang, ibunda Putri Deokhye menderita kanker. 

Berkali-kali Putri Deokhye menyatakan keinginannya untuk pulang ke tanah air menemui ibunya tapi Jepang tak pernah memberikan ijin hingga suatu hari, Pangeran Young Chin meminta Deokhye bersiap-siap pulang ke Korea. Tentu saja Deokhye girang bukan kepalang karena akhirnya ia bisa menemui ibunya, ia sama sekali tak memperhatikan kakaknya mengenakan pakaian serba hitam. Setibanya di Korea betapa terkejut dan terpukulnya Deokhye tatkala mengetahui bahwa kepulangannya itu adalah untuk menghadiri pemakaman ibunya. Namun karena Lady Yang, ibunda Putri Deokhye adalah seorang selir yang berasal dari rakyat jelata dan menjadi dayang sebelum akhirnya menjadi selir Raja Kojong, maka Deokhye tak diizinkan mengadakan upacara peringatan bagi ibunya. Hal ini tentu saja membuat Deokhye berang tapi ia tak bisa berbuat banyak karena pihak Jepang membatasi waktu kunjungannya dan memaksanya harus kembali ke Jepang. 

Kematian Raja Sunjong yang selama ini sudah bagaikan ayah bagi Deokhye ditambah kematian ibunya sendiri membuat kejiwaan sang putri rapuh. Pangeran Young Chin membawa Deokhye berobat dan ternyata Deokhye didiagnosa menderita gejala skizophrenia, sejenis penyakit gangguan jiwa yang membuat penderitanya kerap mengalami gangguan halusinasi. 

Belum lagi sang putri pulih, tiba-tiba saja Han Chang Su, Perdana Menteri Korea yang pro Jepang dan tak disukai oleh pihak keluarga Kerajaan Joseon, menetapkan pernikahan Putri Deokhye dengan seorang bangsawan Jepang. Tentu saja pernyataan Han Chang Su ini membuat marah Pangeran Young Chin. Ia sudah merasakan hidupnya sendiri tersandera oleh pihak Jepang dan harus menjalani pernikahan politik. Ia tak ingin adiknya mengalami hal yang sama. Deokhye masih dalam keadaan duka atas kematian ibunya, kesehatan jiwanya pun masih belum pulih, bagaimana bisa membicarakan pernikahannya. Tapi Han Chang Su yang merasa memiliki kekuasaan atas otoritas yang diberikan pihak Jepang tak menanggapi keberatan Pangeran Young Chin. Menyadari posisi Kerajaan Joseon yang sudah rapuh, bahkan Han Chang Su berani bersikap kurang ajar terhadap Pangeran Young Chin. Namun keberuntungan ada di pihak Deokhye. Tunangan yang sudah siap dinikahkan dengannya tiba-tiba saja sakit dan meninggal dunia. Untuk sementara Pangeran Young Chin merasa lega. Tapi kelegaan itu tak berlangsung lama. Han Chang Su yang masih belum puas kembali datang ke kediaman Pangeran Young Chin dan mengumumkan pertunangan Putri Deokhye dengan seorang pemuda Jepang bernama Tso Takeyuki. 

Asal usul Tso Takeyuki sebenarnya cukup kelam. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa orangtua Takeyuki adalah seorang pencuri. Saat mengetahui hal ini, Deokhye merasa sedikit tersinggung. Ia berpikir karena ia hanyalah seorang anak selir, maka jodoh yang diberikan untuknya pun bukanlah seorang anggota keluarga kerajaan. Takeyuki sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Takeyuki lalu diadopsi oleh Tso Sikemochi. Namun Takeyuki dijaga oleh Sadako, kakak Ratu Daisho. 

Tso Takeyuki sebenarnya tulus ingin membina rumah tangga yang bahagia bersama Deokhye. Ia memenuhi apapun keinginan Deokhye asalkan istrinya ini bahagia. Bahkan meskipun Deokhye tak bersedia mengenakan kimono dan menyediakan menu makanan Korea demi membuat Deokhye bahagia. Tapi Deokhye yang sejak awal merasa terhina dengan pernikahan politik ini tak lantas menerima uluran kasih yang ditawarkan Takeyuki ini. Ia tetap bersikap dingin dan menjaga jarak hingga membuat Takeyuki frustasi. Suatu hari Takeyuki membuat dirinya sendiri mabuk. Dalam keadaan mabuk ini, ia mencurahkan seluruh perasaan frustasinya dan niat tulusnya pada Deokhye. Setelah mendengar pernyataan tulus Takeyuki yang diucapkannya dalam keadaan mabuk ini, perasaan Deokhye pun mulai mencair. Ia bersimpati dan menerima ketulusan Takeyuki. Mereka kemudian berlibur ke tempat di mana Takeyuki pernah menghabiskan masa kecilnya. Dari sini Deokhye mulai bisa mengenal Takeyuki. Sama seperti Deokye, rupanya Takeyuki juga suka membaca dan membuat puisi. Harapan Takeyuki untuk memiliki rumah tangga yang bahagia bersama Deokhye nyaris terpenuhi. Pada tahun 1932 putri semata wayang mereka lahir. Takeyuki menamainya Tso Masae. Namun Deokhye lebih suka memanggil putrinya dengan nama Korea, Jeong Hye. 

Saat masih kecil, Jeong Hye sangat akrab dengan Deokhye, ibunya. Setiap hari Deokhye mengajari Jeong Hye bahasa dan tata krama Joseon. Ia juga kerap menceritakan pada Jeong Hye mengenai negeri asalnya. Ia mengisahkan tentang jatidirinya yang adalah putri dari Kerajaan Joseon. Ia juga menceritakan keindahan taman di Istana Chang Deok yang sangat dirindukannya. Jeong Hye yang masih sangat kecil ini pun selalu menyatakan kebanggaannya terhadap ibunya yang adalah putri Kerajaan Joseon dan karena tertarik dengan kisah-kisah ibunya mengenai Korea, Jeong Hye pun berujar, "Ah... aku juga ingin sekali pergi ke negera Ibu." 

Jeong Hye adalah segala-galanya bagi Deokhye. Namun di dalam hatinya ia selalu khawatir bila suatu hari nanti Jeong Hye akan datang padanya dan mengatakan bahwa ia benci dengan darah Korea yang diwariskannya. Dalam kegelisahannya ini, penyakit kejiwaan yang telah lama diderita Deokhye kembali muncul. Ia kerap berjalan dalam tidur. 

Kekhawatiran Deokhye menjadi kenyataan. Setelah Jeong Hye mulai masuk sekolah, ia diledek oleh teman-temannya karena memiliki darah campuran Jepang-Korea. Jeong Hye pulang sekolah sambil menangis. Saat Deokhye ingin menghiburnya, Jeong Hye malah berteriak memakinya dan menyalahkan Deokhye karena berdarah Korea. Bukan hanya itu saja, Jeong Hye tak lagi suka bila dipanggil dengan nama Jeong Hye karena nama ini adalah nama Korea. Ia lebih suka dipanggil dengan nama Masae. Tso Masae. Tapi Deokhye terus saja memanggilnya Jeong Hye sehingga Jeong Hye sangat membenci Deokhye. 

Semakin hari Jeong Hye makin menjauh dari Deokhye. Hal ini tentu saja membuat Deokhye sedih. Terlebih lagi Takeyuki malah menyalahkan Deokhye yang terus memanggil putri mereka dengan nama Jeong Hye padahal putri mereka ini tak suka dipanggil dengan nama itu. Takeyuki juga kerap jengkel dengan sikap Deokhye yang seolah masih merupakan putri Kerajaan Joseon. Deokhye bahkan pernah menampar seorang pelayan. Kini dengan krisis ekonomi yang menimpa Jepang pasca Perang Dunia Kedua, Takeyuki merasa kesulitan menghadapi Deokhye. 

Saat Jepang kalah di Perang Dunia Kedua, Jeong Hye makin membenci ibunya. Ia marah karena teman-teman sekolahnya menuduhnya yang berdarah campuran adalah mata-mata yang menyebabkan Jepang kalah. Jeong Hye menangis, ia mengatakan bahwa ia sendiri sebenarnya berdoa agar Jepang menang perang tapi yang terjadi adalah sebaliknya dan ia merasa kekalahan Jepang ini bukan disebabkan oleh dirinya. Lain halnya dengan Deokhye. Saat mendapat kabar Jepang kalah perang, Deokhye justru girang bukan kepalang. Ia berharap kekalahan Jepang di Perang Dunia ini akan membuat kemerdekaan Korea, negaranya bisa segera terwujud. Ia berharap bisa secepatnya pergi dari Jepang kembali ke negerinya. 

Kondisi kejiwaan Deokhye yang sudah lama bermasalah makin parah dengan semua keadaan ini. Ia merasa kesepian. Deokhye berharap ada yang bisa memahaminya dan orang itu seharusnya adalah Bok Sun, tapi sudah lama Bok Sun menghilang. Saat Deokhye tengah mengandung, tiba-tiba saja Han Chang Su datang dan meminta Bok Sun membantu di rumah Pangeran Young Chin karena pelayan yang biasa melayani di sana mendadak harus pergi. Awalnya Deokhye tak mengijinkan Bok Sun pergi tapi akhirnya ia harus mengalah dan membiarkan Bok Sun pergi. Namun Bok Sun ternyata bukan dikirim ke tempat Pangeran Young Chin. Rupanya Bok Sun sengaja dipisahkan oleh Han Chang Su dari Putri Deokhye. Bahkan orang yang ditugaskan menjemput Bok Sun tega memperkosanya dan setelah itu membiarkan Bok Sun menggelandang mencari pekerjaan dan tempat tinggal. 

Suatu hari Takeyuki harus pergi ke suatu tempat. Di rumah hanya ada Deokhye. Kesempatan ini digunakan Deokhye untuk membawa Jeong Hye kabur ke Korea bersamanya. Kepada pelayan, ia mengatakan ingin membuat sendiri makanan untuk putrinya. Deokhye memasukkan obat tidur ke dalam makanan yang disantap Jeong Hye dengan maksud saat Jeong Hye tertidur maka ia bisa membawa Jeong Hye ke kapal dan kabur bersamanya ke Korea. Tapi aksinya ini ketahuan oleh pelayan yang menemukan bungkus obat tidur di dapur. Hal ini segera dikabarkan ke Takeyuki. Tentu saja Takeyuki sangat marah dan saat Jeong Hye tersadar pun, ia jadi marah dan tak mau lagi berada di dekat ibunya. Bahkan ia menuduh Deokhye adalah ibu yang kejam yang sampai hati berniat membunuhnya. Deokhye amat sedih, ia menyatakan bahwa ia sama sekali tak bermaksud membunuh Jeong Hye, ia hanya ingin membuat Jeong Hye tertidur agar bisa dibawa kabur ke Korea tapi Jeong Hye makin marah dan menyatakan bahwa ia takkan pernah sudi menginjakkan kakinya ke Korea. 

Penolakan dari putrinya benar-benar membuat Deokhye tak tahan. Terlebih Takeyuki dengan kasar malah memakinya karena berniat membawa kabur putri mereka ke Korea. Hati Deokhye benar-benar terluka. Tanpa pikir panjang Deokhye meminum semua obat tidur yang masih tersisa di kamarnya. Ia berpikir apa perlunya lagi hidup? 

Takeyuki yang tiba-tiba masuk terkejut. Ia memaksa Deokhye mengeluarkan kembali obat tidur yang ada di dalam mulutnya. Takeyuki yang sebenarnya sangat ingin membangun rumah tangga yang bahagia bersama Deokhye sangat sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka justru diterpa masalah seperti ini. 

Musim gugur 1946, Takeyuki menjual rumahnya. Kekalahan Jepang telah mengubah kondisi perekonomian semua warga Jepang. Takeyuki bahkan tak lagi sanggup menggaji pelayan. Ia juga terpaksa membuang beberapa barang di rumahnya. Tanpa pelayan, tak ada lagi yang bisa mengurus rumah tangga sementara Deokhye yang mengalami gangguan jiwa sama sekali tak bisa diharapkan untuk membantunya. Sedangkan Jeong Hye, putri mereka masih SMP. Takeyuki tak sanggup harus mengurus Deokhye sementara kondisi ekonominya pun terus menurun. Maka Takeyuki memutuskan memasukkan Deokhye ke dalam rumah sakit jiwa. Kegetiran dan kepahitan hidupnya sedikit demi sedikit mengikis nyala kehidupan dalam jiwa Deokhye. Dalam pikirannya ia masih terus teringat pada putrinya tapi sedihnya Jeong Hye tak pernah sekalipun mengunjungi ibunya. Adapun Takeyuki telah menikah dengan wanita lain. Takeyuki sempat datang mengunjungi Deokhye tapi sinar mata Deokhye tetap terlihat kosong. Saat itu Takeyuki menangis dan mengatakan pada Deokhye bahwa ia akan menceraikan Deokhye. Tapi Deokhye tetap bergeming. Pun saat Takeyuki memeluknya. Satu-satunya ekspresi darinya adalah saat Takeyuki beranjak keluar, barulah Deokhye mengeluarkan suara. Ia memanggil Jeong Hye, nama putri mereka. Jeong Hye rupanya yang selalu mengisi hati Deokhye yang sudah kosong. Tapi hingga akhir hayatnya Jeong Hye tak pernah datang menemui ibunya. 

Setelah menjenguk Deokhye, perasaan Takeyuki sendiri makin tak menentu. Ia merasa bersalah. Ia berpikir dirinyalah yang menjadi penyebab Deokhye terpisah dari Masae padahal dalam hatinya Deokhye tak pernah bisa melupakan putri semata wayangnya ini. Dan walaupun Takeyuki menikah lagi, namun dalam hatinya tak mampu menghapus nama Deokhye sehingga ia menulis sebuah puisi. Dalam puisinya itu ia menulis: Untuk Istri Koreaku. 

Jeong Hye di kemudian hari dikabarkan telah menikah. Deokhye tentu saja tak bisa menghadiri pernikahan itu. Tapi tak lama setelah kabar pernikahannya muncul berita bahwa Jeong Hye ditemukan bunuh diri di Gunung Komatake. 

Adapun Deokhye bertahun-tahun terlupakan di dalam rumah sakit jiwa hingga suatu hari seorang wartawan Korea menemuinya di sana dan memberitakan nasib tragis putri terakhir Dinasti Joseon ini. 

Suatu hari Bok Sun yang terpaksa menggunakan identitas palsu dengan nama Jepang demi bisa mendapat pekerjaan dan tempat tinggal mendengar kabar mengenai sang Putri yang dirawat di rumah sakit jiwa ini. Ia lalu melamar kerja sebagai petugas kebersihan di rumah sakit tersebut demi bisa bertemu sang Putri. Namun sang Putri yang terlalu banyak menerima kepahitan dan kegetiran dalam hidupnya sudah tak lagi mengenali Bok Sun. Sang Putri sudah kehilangan ingatan. Bok Sun yang iba melihat nasib junjungannya yang tragis ini berniat membebaskan sang Putri. Maka ia bersama kelompok gerakan kemerdekaan yang anggotanya sudah menyusut karena putus asa tak bisa memperjuangkan kemerdekaan Korea dari penjajahan Jepang, mengatur rencana untuk menculik Putri Deokhye dari rumah sakit dan membawanya kembali ke Korea. Kelompok gerakan rahasia ini diketuai oleh Park Mu Young. Sebenarnya Park Mu Young ini adalah Kim Jang Han, anak laki-laki yang dipilih Raja Kojong sebagai tunangan Putri Deokhye. Setelah Raja Kojong wafat, Kim Jang Han diganti identitasnya namun oleh pelindungnya ia tetap dipersiapkan sebagai pelindung sang Putri. Bahkan ia diperintahkan untuk "menjaga sang Putri sekuat tenaga hingga kekuatanmu benar-benar habis." (hlm. 168). 

Saat Putri Deokhye ditetapkan akan menikahi Tso Takeyuki, sebenarnya kelompok Park Mu Young sudah dipersiapkan untuk menculik sang Putri tapi sayangnya rencana mereka gagal, beberapa anggota mereka bahkan tewas ditembak penjaga yang mengawasi kediaman Takeyuki yang digunakan sebagai tempat upacara pernikahan tersebut. Meski dibayang-bayangi kegagalan itu, namun Park Mu Young tetap bertekad untuk menyelamatkan sang Putri. Dalam hati Park Mu Young, ia tak pernah melupakan sang Putri walau kondisi sang Putri sendiri memprihatinkan. Putri Deokhye tak lagi mengenali siapapun. Bahkan ia pun tak lagi mengenali Bok Sun. Namun saat sang Putri melihat Park Mu Young, ada sesuatu yang melintas dalam ingatannya. Dari tatapan sang Putri, Park Mu Young dapat melihat bahwa sang Putri mengenalinya. Ia mengenali Mu Young, si anak laki-laki yang pernah ditetapkan Raja Kojong sebagai tunangannya. Kim Jang Han. 

**** 

Gaya bertutur dalam novel ini cukup menarik. Di bagian-bagian awal mungkin agak sedikit membingungkan tapi cukup menjelaskan kondisi Korea yang semula berada dalam kekuasaan Rusia tapi lewat sebuah perjanjian politik, Rusia kemudian menyerahkan Kerajaan Korea kepada Kekaisaran Jepang. Beberapa fakta sejarah disisipkan dalam beberapa kejadian fiktif rekaan penulisnya dengan kekuatan kata-kata bernada puitik menurutku menjadi kekuatan dalam novel ini. Hal menarik lainnya dalam novel ini, menurutku, adalah dialog-dialog khas penulis Korea yang memang pandai menciptakan kalimat bernada puitis yang mampu menguras emosi dan air mata pembacanya, menangisi nasib tragis sang Putri. Ada beberapa dialog yang sangat berkesan bagiku. Salah satunya adalah kalimat yang diucapkan oleh Deokhye saat hatinya gelisah memikirkan apa yang akan terjadi saat Jeong Hye, putrinya sudah cukup besar nanti dan mungkin takkan menyukai jatidirinya yang separuh Jepang dan separuh Korea. 

"Meskipun terhempas angin, aku harus dapat bangkit kembali." (hlm. 270). 

Dialog lainnya yang juga kusuka adalah dialog dalam halaman 175. Dialog ini diucapan oleh Pangeran Young Chin. Saat itu Pangeran Young Chin memberitahu Deokhye mengenai keputusan yang sudah ditetapkan bagi Deokhye untuk menikah dengan seorang pria Jepang. Saat itu Deokhye sangat marah dan tak menerimanya. Ia tak mau mengalami "pernikahan politik" seperti yang dialami oleh kakaknya ini. Namun Pangeran Young Chin yang tak memiliki kuasa hanya bisa menghibur adiknya. Ia berkata, "Sedalam-dalamnya air, pasti akan ada jalan untuk kembali. Sesuatu yang hancur pun, pasti ada caranya juga untuk memperbaikinya kembali." 

Salah satu kalimat yang juga menarik bagiku adalah kenangan Takeyuki mengenai tulisan ayahnya yang ditinggalkan oleh ibunya. 

"Kalau memulai sesuatu dengan kejujuran pasti akan menemukan jalan yang baik. Namun, kalau tidak memulai dengan berlaku jujur, kau tidak akan pernah pergi ke mana pun." (hlm. 237).

Jumat, 06 Juni 2014

Review Novel : Love Story - Erich Segal

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama 
Cetakan : Kedua belas, Juni 2012 
Tebal : 216 halaman 
ISBN : 978-979-22-8372-3 

Novel klasik karya Erich Segal ini sudah lama sekali memikatku. Pertama kali mendengar soal novel ini saat aku masih di bangku sekolah tapi walau sudah seringkali keluar masuk berbagai perpustakaan (karena dulu uang jajanku tak pernah cukup untuk membeli novel:D) tapi aku tak pernah berhasil mendapatkan novel ini. Aku jatuh cinta pada cerita klasik karya Erich Segal ini saat menonton film klasik berjudul sama dengan novel ini: Love Story. Film tersebut diperankan oleh Ryan O'Neal sebagai Oliver Baret IV. Entah apa yang membuatku terpaku pada kisah ini. Mungkin karena kalimat pembukanya yang amat menarik buatku. Atau mungkin juga karena kisah ini berakhir tragis sehingga membuat sel-sel kelabu-ku sulit menghapusnya dari kotak memoriku. 

Novel Love Story ini berkisah tentang cinta dua orang muda, Oliver Barrett IV dan Jennifer Cavilleri yang bertemu pertama kali di sebuah perpustakaan kampus. Meski latar belakang keduanya begitu berbeda tapi perasaan cinta mereka nyatanya mampu menghapus seluruh perbedaan itu. Melawan segala rintangan, mereka berhasil mengikat cinta mereka dalam sebuah pernikahan. Namun di saat semua rintangan sosial yang membelenggu jalinan cinta mereka selama ini telah berhasil mereka singkirkan, justru mereka harus menghadapi satu rintangan terbesar dan tersulit. 

Novel ini (seperti juga filmnya) diawali oleh kalimat yang walau mengandung pemberitahuan bahwa kisah ini berakhir tragis, tapi dirangkai dengan manisnya sehingga meski tragis tapi mengesankan keindahan dari kisah cinta itu sendiri. 

Apa yang dapat kita ceritakan mengenai gadis dua puluh lima tahun yang telah tiada? Bahwa ia cantik. Dan cemerlang. Bahwa ia mencintai Mozart dan Bach. Dan Beatles. Dan aku. 

Begitulah kutipan kalimat pembuka dari kisah cinta klasik ini. Adalah Oliver Barrett IV yang meski telah dua puluh lima tahun lamanya ditinggal mati istrinya, Jennifer Cavilleri mengenang kembali kisah cintanya. 

Oliver Barrett IV seorang mahasiswa hukum Harvard dari kalangan sosial kelas atas. Ayah Oliver yaitu Oliver Barrett III adalah seorang bankir terkemuka. Garis keturunan keluarga Barrett sebagai tokoh kelas ternyata membuat Oliver merasa terbebani. Ia merasa tertekan dalam bayang-bayang keluarga Barrett. Apapun prestasi yang ditorehkannya tak pernah bisa terasa istimewa karena ayahnya, Oliver Barrett III nyatanya memiliki prestasi yang amat gemilang. Selain prestasi akademik, Oliver Barrett III di masa mudanya merupakan atlet Olimpiade yang telah mengoleksi banyak penghargaan. Untuk itulah Oliver Barrett IV yang walaupun sangat cemerlang di lapangan hoki es namun ia tetap tak bisa berbangga diri menghadapi ayahnya yang pernah menjadi atlet olimpiade saat kuliah. Begitu pun dengan prestasi akademik. Betapapun Oliver berupaya keras tetap saja nama belakangnyalah yang akan lebih menarik bagi publik dibanding prestasi dan kerja kerasnya. 

Awal pertemuan Oliver Barrett IV dengan Jennifer Cavilleri terjadi di perpustakaan Radcliffe. Meskipun Oliver merupakan mahasiswa Harvard dan perpustakaan Harvard sebenarnya jauh lebih lengkap dan bagus daripada milik Radcliffe tapi Oliver lebih suka meminjam buku dari perpustakaan milik universitas yang lebih banyak berisi kaum hawa ini. Alasannya karena di Radcliffe tak ada yang mengenalnya sehingga ia merasa lebih nyaman. Tambahan pula, menurutnya ia lebih mudah mendapatkan referensi yang diinginkannya dari perpustakaan Radcliffe. Dan di sanalah Oliver bertemu Jenny. Saat itu Oliver berniat meminjam buku yang akan menjadi referensi untuk ujian mata kuliah sejarah dan Jenny adalah salah satu gadis yang bertugas di meja untuk bagian referensi yang dibutuhkan Oliver. Pada pertemuan pertama itu, Oliver menangkap kesan Jenny adalah sosok yang pendiam dan berkacamata tapi tak dinyana ternyata Jenny ceriwis dan sangat cerdas. Selain itu saat Jenny keluar dari mejanya, Oliver melihat Jenny memiliki sepasang kaki yang indah. Meski awalnya Oliver tak terlalu menyukai Jenny yang dari ucapannya terkesan sebagai tipe wanita yang superior yang karena perbandingan antara mahasiswa Harvard dengan mahasiswi Radcliffe adalah lima banding satu maka ia menganggap mahasiswi jauh lebih cerdas dibanding para mahasiswa, tapi seiring waktu Oliver justru mendapati dirinya jatuh cinta pada Jennifer Cavilleri yang cerdas dan sangat percaya diri ini. 

Suatu hari Oliver mendapati Jenny tengah menelpon seseorang. Walau ia tak bermaksud menguning, tapi ia penasaran siapa sebenarnya yang tengah berbicara dengan Jenny di telepon. Kewaspadaannya makin tinggi saat ia mendengar Jenny mengatakan, "Aku juga menyayangimu, Phill" di telepon. Hati Oliver langsung kacau balau. Rasa penasarannya makin meningkat. Ia merasa panas hati. Siapa sebenarnya pria bernama Phill yang tengah berbicara dengan Jenny di telepon tersebut. Ia dibakar api cemburu. Seingatnya tak ada makhluk pria di Radcliffe yang bernama Phill. Saat Jenny selesai menelpon, Oliver yang sudah tak sabar langsung bertanya pada Jenny siapa pria bernama Phil yang menelponnya itu. Jenny dengan ringan menjawab bahwa Phil adalah ayahnya. Tentu saja Oliver tak langsung percaya. 

"Kau panggil ayahmu Phil?" demikian Oliver mencecar Jenny, tak percaya dengan penjelasan Jenny. 

"Memang itu namanya. Ayahmu kau panggil apa?" 

Jawaban sekaligus pertanyaan Jenny itu tak bisa dibalas Oliver. Ia memang pernah mendengar dari Jenny bahwa hubungannya dengan ayahnya memang sangat dekat. Sejak ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil saat Jenny masih sangat kecil, hubungan Jenny dengan ayahnya makin dekat. Tapi ia sama sekali tak menyangka bahwa Jenny sampai memanggil ayahnya sendiri dengan namanya. 

Bila hubungan Jenny dengan ayahnya begitu akrab, berbeda dengan Oliver. Hubungan antara Oliver dengan ayahnya bisa dibilang sangat dingin. Ia bahkan menjuluki ayahnya, si Muka Batu. Perbincangan di antara mereka pun sangat kaku sehingga Oliver tak pernah menikmati pertemuan dengan orangtuanya. Tapi ia tak bisa selamanya menghindar dari orangtuanya karena pada akhirnya ia harus memperkenalkan Jenny dengan orangtuanya. 

Saat hubungan mereka sudah sangat dekat, Jenny mengatakan pada Oliver bahwa ia mendapat beasiswa ke Paris dan ia berniat melanjutkan kuliah musiknya ke Paris. Oliver yang sudah sangat mencintai Jenny tentu tak rela harus kehilangan wanita yang dicintainya. Ia pun langsung melamar Jenny dan membawa Jenny membawa Jenny menemui orangtuanya. 

Pertemuan Jenny dengan orangtua Oliver bisa dibilang berlangsung lancar walau tak terlalu menyenangkan. Kondisi tak menyenangkan ini sebagian besar dipicu oleh Oliver sendiri yang tanpa malu-malu memperlihatkan sikap pemberontakannya pada ayahnya sendiri sehingga Jenny melihat sikap Oliver ini kekanak-kanakan. Bahkan Jenny sampai menarik kesimpulan kegigihan Oliver terhadap hubungan cinta mereka mungkin disebabkan oleh semangat pemberontakan Oliver yang kekanak-kanakan itu yang suka sekali melakukan hal-hal yang ditentang oleh nilai-nilai dari keluarganya yang sangat bermartabat itu. Tapi tentu saja Oliver membantah pendapat Jenny tersebut. Walau ia mengakui bahwa sikap permusuhannya dengan ayahnya yang diperlihatkannya secara gamblang itu memang kekanak-kanakan, namun rasa cintanya pada Jenny adalah murni dan sama sekali bukan semata-mata bentuk pemberontakannya pada orangtuanya. 

Sementara itu, walau orangtua Oliver menyukai Jenny namun mereka tak setuju bila Oliver menikahi Jenny. Namun Oliver yang pemberontak tak ingin mengindahkan keberatan orangtuanya. Ia tetap menikahi Jenny walau akibatnya ia harus kehilangan dukungan finansial dari ayahnya. Sebagai akibatnya ia bukan hanya harus membiayai hidupnya bersama Jenny tapi ia juga terpaksa mengemis meminta jatah beasiswa untuk dirinya demi bisa meneruskan kuliahnya di fakultas hukum. 

Pertengkaran pertama dalam kehidupan rumah tangga Oliver dengan Jenny terjadi saat mereka mendapat undangan makan malam untuk merayakan ulang tahun Oliver Barrett III yang ke-60. Oliver tentu saja tak berminat datang, namun Jenny yang menganggap sikap Oliver ini sangat kekanak-kanakan merasa sudah waktunya permusuhan tak mendasar Oliver terhadap ayahnya ini harus diakhiri. Terlebih kedua orangtua Oliver sudah secara khusus mengirimkan undangan tersebut untuk mereka yang menandakan orangtua Oliver sudah sangat berbesar jiwa dan benar-benar ingin memulihkan hubungan mereka dengan Oliver. Tapi Oliver yang keras kepala tak rela menyerah secara mudah begitu saja sehingga membuat Jenny gemas bukan main. Ia sama sekali tak mengerti dengan sikap Oliver yang begitu dingin terhadap ayahnya sendiri. 

"Ollie, coba pikir," Jenny berkata, kini dengan nada memohon. "Umurnya sudah enam puluh tahun. Tak seorang pun bisa memastikan dia masih ada pada waktu kau akhirnya bersedia rujuk." 

Namun meski Jenny sudah memohon seperti ini, Oliver tetap bergeming dengan kedegilan hatinya sehingga Jenny dengan jengkel mencoba menelpon orangtua Oliver untuk mengabarkan bahwa mereka tidak bisa menghadiri undangan makan malam tersebut. Telepon Jenny dijawan langsung oleh ayah Oliver. Demi mendengar suara ayah mertuanya, Jenny tak sampai hati dan dengan mata basah oleh air mata, Jenny memohon agar Oliver mau mengesampingkan pertikaiannya yang kekanak-kanakkannya itu dan mau berbicara dengan ayahnya sendiri yang menurut Jenny sudah amat merindukan putranya yang tanpa alasan jelas membangkang darinya. Tapi tindakan Jenny ini justru memicu amarah Oliver. Ia langsung merebut pesawat telepon dari tangan Jenny dan melemparnya ke sudut ruangan. Tapi yang paling fatal adalah makian yang disemburkan Oliver pada Jenny. 

"Persetan, Jenny! Kenapa kau tak menyingkir saja dari hidupku!" 

Emosi sesaat Oliver ini amat disesalinya karena dalam sekejap, saat kewarasan menguasai pikirannya kembali, Jenny sudah pergi. Oliver mencoba mencari Jenny, ia berlari ke Radcliffe, menyusuri ruang-ruang latihan piano, kantin, hingga ke stasiun bis, kalau-kalau dalam keadaan emosi, Jenny memutuskan pergi ke rumah ayahnya. Tapi semuanya nihil. Ia tak bisa menemukan Jenny di manapun. Ia bahkan mencoba menelpon Phil, ayah mertuanya, kalau-kalau Jenny ada di sana atau mungkin Jenny menelpon ayahnya setelah pertengkaran mereka, tapi ternyata ayah mertuanya yang terbangun di tengah malam oleh suara telepon dari Oliver ini malah mengeluh karena Jenny sudah lama tak pernah menelponnya. 

Setelah tak berhasil menemukan Jenny di manapun, dengan gontai Oliver kembali ke apartemen sederhana yang disewanya bersama Jenny. Saat hampir sampai di depan apartemennya, ia melihat sosok seorang wanita duduk di anak tangga paling atas. Ia segera mengenali sosok itu adalah Jenny. Kelegaan segera membuncah di dalam hatinya. Rasa penyesalan, keletihan dan kelegaan itu berbaur jadi satu. Di pihak lain, emosi Jenny pun rupanya telah larut. Dengan nada naif dan lucu, Jenny malah mengeluh ia lupa membawa kunci sehingga ia harus duduk diam di tangga apartemen mereka entah untuk berapa lama di tengah malam yang dingin itu. Oliver yang masih diliputi rasa penyesalan mengucapkan permohonan maafnya tapi Jenny segera memotong permintaan maaf Oliver. 

"Cinta berarti tak perlu meminta maaf," kata Jenny. 

Tak terasa Oliver akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah hukumnya dan berada di peringkat ketiga. Hasil ini menjadikannya rebutan di berbagai biro hukum. Masa depan yang indah pun terbentang di depan Oliver dan Jenny. Dari berbagai tawaran yang datang padanya, Oliver memilih Biro Hukum Jonas & Marsh yang berada di New York. Dengan gaji senilai 11.800 dolar, gaji tertinggi di antara rekan-rekan seangkatan Oliver membuat pasangan Barrett ini keluar dari masa-masa sulit dari kekurangan finansial yang diderita pasangan ini. Mereka kini bisa tinggal di apartemen besar dan mewah. Oliver juga membeli sebuah mobil yang angsurannya bahkan hampir sama dengan uang sewa apartemen sederhana mereka di Cambridge. Jenny sempat meledek suaminya yang bertingkah seperti orang kaya baru tapi Oliver sama sekali tak peduli. Ia begitu bahagia karena akhirnya bisa menghasilkan uang dari hasil keringatnya sendiri tanpa bantuan ayahnya. 

Tapi kebahagiaan mereka nyatanya tak berlangsung lama. Setelah bertahun-tahun menikah dan kini saat kehidupan finansial mereka sudah cukup kuat, mereka pun mulai mendambakan seorang anak. Tapi nyatanya mereka tak jua dikaruniai seorang anak pun. Akhirnya mereka pun memeriksakan diri ke dokter. Saat pemeriksaan inilah diketahui ada masalah dengan Jenny. Kepada Oliver, dokter yang memeriksa Jenny mengatakan bahwa Jenny menderita leukimia dan umurnya tidak akan lama lagi. Oliver tentu saja merasa terpukul dengan berita ini. Meski dokter memintanya untuk bersikap senormal mungkin agar Jenny tak curiga namun tentu saja Jenny yang sudah sangat mengenal Oliver mengetahui bahwa Oliver menyembunyikan sesuatu darinya. 

Saat Oliver akhirnya tak bisa lagi menyembunyikan soal penyakit Jenny, berbeda dengan Oliver, justru Jenny malah terlihat tegar. Ia malah lebih mengkhawatirkan ayahnya yang pasti akan terpukul. Meski tahu bahwa Oliver pun pasti akan hancur dan sedih saat ia meninggal nanti tapi Jenny meminta Oliver tetap riang gembira. 

Saat yang ditakutkan mereka itu pun tiba. Leukimia yang diderita Jenny bertambah parah sehingga ia harus dilarikan ke rumah sakit. Oliver meminta perawatan yang terbaik untuk Jenny berapapun biaya yang harus dikeluarkan, ia sama sekali tak peduli. Meski demi itu Oliver harus merendahkan diri dan meminjam lima juta rupiah dari ayahnya sekalipun, Oliver sama sekali tak keberatan. Tapi seberapapun kerasnya ia berusaha, ia tetap tak bisa melawan kehendak Ilahi. 

Walau Jenny terenggut darinya tapi Oliver belajar satu hal yang sangat penting dalam hidupnya. Cara untuk mencintai. Pada akhirnya hubungannya dengan ayahnya pun berkembang ke arah yang baik. Ia sama sekali tak menyangka di hari kematian Jenny, ayahnya, si Muka Batu, datang menemuinya. Saat itu ayahnya tak tahu kalau Jenny sudah meninggal. Ia hanya mendengar Jenny sakit keras dan karenanya langsung ke rumah sakit. Ayah Oliver menyesali sikap Oliver yang tak memberitahunya soal penyakit Jenny. 

Seperti kalimat pembukanya yang begitu getir sekaligus manis, kalimat-kalimat akhir dalam novel ini pun diakhiri secara manis sekaligus getir. 

"Oliver," ayahku berkata dengan nada mendesak, "aku ingin membantu." 

"Jenny meninggal," aku memberitahunya. 

"Maafkan aku," ia berbisik seperti seseorang yang kehabisan kata-kata. 

Saat itu, Oliver menjawab ayahnya dengan kalimat yang sama seperti yang pernah diucapkan oleh Jenny, wanita yang dicintainya. 

"Cinta berarti tak perlu meminta maaf." 

Dan kemudian aku melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan di depan ayahku, apalagi di dalam pelukannya. Aku menangis.

Kamis, 05 Juni 2014

Resensi Novel - Merajut Harkat - Putu Oka Sukanta

Merajut Harkat - Putu Oka Sukanta 
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo 
Tebal : 548 halaman 
ISBN : 978-979-27-8572-2 

Novel ini berkisah tentang kejadian setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 di mana setiap orang yang diduga atau dicurigai memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Dan novel ini berkisah tentang Mawa, seorang guru yang sebelum peristiwa G30S mengajar di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan PKI. Seperti guru-guru yang mengajar di sana, ia merupakan simpatisan organisasi masyarakat yang memiliki hubungan dengan PKI. Meski begitu, ia sebenarnya tak pernah mengerti masalah politik atau kegiatan dari partai berlambang palu arit tersebut. 

Kejadian di malam 30 September 1965 itu memang berbuntut dengan pembersihan besar-besaran sehingga siapapun yang pernah bersinggungan dengan partai palu arit itu lari menyembunyikan diri, berusaha bersikap senormal mungkin di antara masyarakat sambil berharap takkan ada yang mengenalinya sebagai bagian dari partai tersebut. Begitupun dengan Mawa. Setelah sekolah tempatnya mengajar ditutup usai peristiwa berdarah di malam 30 September 1965 itu, Mawa membuka toko kelontong sambil mendengar beberapa selentingan kabar dari kawan-kawannya siapa-siapa saja yang sudah ditangkap dan tak ada kabarnya. Selama setahun Mawa aman meski tak juga bisa disebut aman, karena setiap hari ia selalu saja khawatir kalau-kalau ada yang mengenalinya dan melaporkannya. Kekhawatirannya ternyata terjadi juga. 

Suatu malam ia pergi menonton di bioskop bersama Nio, tunangannya. Saat tengah mengantri beli tiket, pundaknya ditepuk seseorang. Hati Mawa mencelos cemas. Ia mengenal orang tersebut adalah seniman dari kelompok Islam yang pernah tergabung dalam seksi yang sama dengan Mawa di Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA), Mawa waktu itu merupakan bagian dari Lekra. Mawa berusaha bersikap sebiasa mungkin, tapi ia tahu nasibnya setelah ini berada di ujung tanduk. Ia yakin orang ini akan melaporkannya sebagai anggota Lekra. Dan nyatanya benar saja. 

Sepulangnya dari bioskop ia sempat melihat beberapa orang berbadan kekar di sekitar rumahnya. Saat ia sudah terlelap, tiba-tiba rumahnya digedor dan beberapa orang bersenjata masuk ke dalam rumahnya. Mereka membongkar seisi rumah Mawa mencari kalau-kalau ada dokumen atau apapun yang berhubungan dengan Lekra dan PKI yang mungkin disembunyikan Mawa. Mereka juga mengacak-acak barang dagangan Mawa di antararan sabun dan pasta gigi buatan RRT. Meski bersikap sinis dan meledek Mawa saat membongkar barang dagangan Mawa sebagai 'kiriman Mao Tse Tung' tapi lucunya para petugas yang mengacak-acak rumah Mawa itu tanpa malu-malu mengambil barang-barang 'kiriman Mao Tse Tung' itu ke dalam saku mereka. 

Ada rasa tak senang dalam diri Mawa tapi sekaligus geli saat melihat orang-orang yang menggerebek rumahnya, merampok barang-barang dagangan dan memasukkannya ke balik baju mereka sehingga Mawa melihat mereka seperti orang-orang yang tengah hamil 5 bulan. 

Perasaan Mawa yang merasa sedih tapi tak berdaya melihat barang dagangannya dirampas sangat menarik disimak. Di halaman 16 dalam hatinya Mawa berujar: 

"Mengapa mereka tidak bilang terlebih dahulu pada pemiliknya? Aku tahu mereka butuh barang-barang itu. Mungkin mereka tidak mampu membeli banyak barang sekaligus. Tapi mereka harus tahu, barang itu adalah tetesan keringatku dari hari ke hari. Hasil keringatku yang sah. Bukan hasil korupsi atau rampasan...." 

Mawa lantas dibawa dengan jip ke suatu tempat yang sama sekali tak dikenalnya. Dalam perjalanan Mawa memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Mawa teringat kisah mengenai Butet, seorang gadis yang beruntung. 

Kisahnya, sehari setelah peristiwa G30S, Butet bersama beberapa orang membacakan sajak yang revolusioner yang mendukung peristiwa itu. Saat pulang sekolah, Butet ditangkap oleh kelompok pemuda pelajar. Butet dipaksa memberitahu siapa pemimpin siaran deklamasi di RRI itu tapi Butet tak pernah memenuhi permintaan mereka meski ia disiksa dan diancam hukuman mati, ia malah mengaku bahwa dirinyalah pemimpin siara deklamasi itu. Saat ditanya apakah ia punya keluarga militer, Butet dengan nekatnya mengaku bahwa pamannya adalah seorang yang berpangkat di militer, padahal sebenarnya orang yang disebutkan sebagai pamannya itu sama sekali tak dikenalnya. Ia hanya pernah bertemu dengan orang itu satu kali saat ia menari di Hotel Indonesia, tapi ia beruntung karena saat dihubungi, orang yang disebutkan Butet sebagai pamannya itu membenarkan dan mengakui Butet sebagai keponakannya sehingga Butet dilepaskan. 

Dalam hati Mawa bertanya-tanya akankah hidupnya seberuntung Butet ataukah berakhir tragis seperti kisah orang-orang di daerah yang didengarnya dibunuh secara massal. 

Setelah dibawa ke sebuah barak. Di sini sudah ada tahanan-tahanan lainnya. Di sinilah Mawa baru tahu bahwa orang yang menyebutkan namanya hingga ia ditangkap adalah juru tiknya di ormas tempatnya bernaung dulu saat masih menjadi guru. Tapi rupanya orang ini pun terpaksa menyebutkan namanya karena tak tahan disiksa secara intensif. 

Tak tunggu waktu lama, Mawa juga merasakan interogasi dan siksaan yang serasa akan membawa sukmanya terlepas dari raganya. Ia dipaksa memberitahu nama-nama temannya yang lain. Tapi Mawa tetap bertahan tak memberitahu apapun walau ia disiksa hingga tubuh kurusnya serasa akan hancur. Namun Mawa melupakan satu hal. Saat ditangkap ia mengenakan kemeja yang di sakunya terdapat surat Hanja yang dititipkan padanya untuk Acong seorang pedagang kaya raya. Hanja adalah buronan yang cukup penting, namunMawa tak terlalu mengenal Acong, ia hanya pernah sekali datang ke rumahnya. Acong sangat simpatik dan bersedia membantu kondisi ekonominya. Tapi saat Mawa menceritakan hal ini pada Hanja, ia dilarang menghubungi Acong lagi kecuali bila keadaannya kepepet. Mawa khawatir petugas yang menginterogasinya akan menanyainya soal keberadaan Hanja dan Acong. Ia pun menulis surat pada Nio dan meminta kekasihnya ini menghubungi Hanja dan teman-temannya yang lain. Tapi ternyata Hanja tetap tertangkap juga. 

Di kemudian hari, Mawa banyak mendapat bantuan dari Hanja. Saat bertahun-tahun mendekam dalam sel, Hanja banyak menolongnya dengan memberi ransum, kiriman makanan yang dibawa istrinya saat berkunjung. Makanan di penjara bukan hanya sedikit tapi juga tak pernah memenuhi gizi para tahanan yang dianggap PKI, sehingga banyak yang akhirnya menderita di penjara akibat diare atau kekurangan gizi. 

Mawa tak memiliki keluarga di Jakarta. Semua anggota keluarganya ada di Bali, ia hanya memiliki Nio. Tapi Nio lama sekali tak mengunjunginya. Padahal kunjungan Nio sangat dinantikannya karena setiap narapidana yang dikunjungi artinya akan mendapat tambahan makanan bergizi. Di masa-masa inilah Hanja berbaik hati membagi ransumnya dengan Mawa. 

Namun ada masa di mana Mawa sangat marah pada Hanja karena Hanja menjebaknya dan membuatnya harus mengkhianati Acong. Tanpa ia ketahui sebelumnya, ia dibawa oleh para petugas ke sebuah rumah yang kemudian dikenalnya sebagai rumah Acong. Ternyata Hanja yang telah memberitahu soal keberadaan Acong ini tapi ia mengatur agar Mawa yang dibawa oleh petugas ke rumah Acong seolah-olah Mawa-lah yang berkhianat. 

Mawa kemudian dipaksa untuk mengetuk rumah Acong. Saat itu putri bungsu Acong yang membukakan pintu untuknya. Karena ia dikenal oleh keluarga Acong, maka mereka tak curiga tapi kemudian para tentara masuk dan menangkap Acong. Saat itu Mawa merasa sangat bersalah ketika melihat tatapan putri bungsu Acong yang masih kecil itu menatapnya dengan pandangan menusuk seolah memakinya sebagai pengkhianat. Di sini Mawa marah sekali pada Hanja yang telah membuatnya sebagai pengkhianat. 

Bertahun-tahun lamanya Mawa dan tahanan politik lainnya hidup dalam ketidakpastian di dalam penjara. Mereka tak pernah menjalani proses persidangan yang sebenar-benarnya. Mereka tiba-tiba saja diangkut dari rumah mereka lantas diinterogasi dan disiksa lalu dimasukkan ke dalam tahanan. Bersama tahanan lainnya, Mawa berkali-kai dipindah dari penjara yang satu ke penjara lainnya. Dari sel yang satu ke sel lainnya. Setiap hari mereka hanya bisa bertanya-tanya tanpa mendapat jawaban yang pasti alasan sebenarnya mereka ditahan dan kapan mereka bisa menghirup kembali udara kebebasan. 

Ada kisah-kisah miris yang diceritakan dalam buku ini untuk menggambarkan perlakuan tak manusiawi yang diterima para tahanan ini. Saat mereka dibiarkan kelaparan, mereka dipaksa direndahkan harkatnya hingga melakukan hal-hal paling gila di luar kewarasan membuat hati tersentak rasa ngilu. 

Contohnya kisah salah seorang tahanan yang lebih rela direndahkan derajatnya daripada harus menjadi cecunguk demi mengenyangkan perutnya sendiri, berikut ini: 

"Ia memancing anak tikus dengan ikan asin. Benar-benar gila. Ia telentang di lantai kakus, telapak tangannya diisi ikan asin. Nah, begitu anak tikus itu menggigit ikan asin, ia genggaman tangannya, bayi tikus itu dimasukkan ke mulut dan ditelannya." 

Cara bertutur dalam novel ini memang terkadang tak mudah dipahami. Terkadang penulis menggunakan istilah-istilah yang mungkin populer di jamannya sehingga sedikit sulit dipahami untuk masa kini. Perasaan emosional penulis juga terasa nyata berbaur dengan kisah dalam novel ini. Ada bab-bab yang mengalir dengan kalimat-kalimat lembut tapi di bab-bab lainnya emosi meletup-letup sang penulis tergambar nyata. Namun bagaimanapun novel ini memberi gambaran mengenai masa-masa gelap yang pernah dialami bangsa ini bahwa pada satu masa negara sempat alpa melindungi rakyatnya dari rasa ketidakadilan. Pada satu masa negara sempat melegalkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang ironinya dinyatakan demi menegakkan nilai kemanusiaan itu sendiri!