Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 24 Mei 2013

F. Scott Fitzgerald dan Zelda Fitzgerald = Sebuah Romansa: Hidup, Cinta, dan Tragedi

"Show me a hero and I'll write you a tragedy", kalimat sarkastis ini diucapkan oleh F. Scott Fitzgerald, novelis asal Amerika Serikat. 

Apakah Anda pernah menonton The Great Gatsby yang diperankan Robert Redford dan kini dirilis ulang dengan Leonardo DiCaprio sebagai pemeran utamanya? Nah, kisah film tersebut merupakan adaptasi dari novel berjudul sama, The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald dan menjadi salah satu novel klasik Amerika.

Atau pernahkah Anda menonton film berjudul Midnight in Paris yang diperankan Owen Wilson? Nah, jika Anda pernah menonton film ini, Anda pasti ingat adegan di mana Owen Wilson yang bermimpi novelnya bisa diterbitkan secara ajaib ia bisa dibawa ke suatu tempat dan bertemu seniman-seniman dan penulis hebat masa lampau macam Salvador Dali, Ernest Hemingway, Gertrude Stein, dan pasangan suami istri F. Scott dan Zelda Fitzgerald.

Belum lama ini tersiar kabar catatan tulisan tangan F. Scott Fitzgerald dipublikasikan di internet. Dalam catatan tersebut tercantum rapi baik catatan kehidupan Fitzgerald, macam buku harian, hingga catatan mengenai pendapatan yang diterimanya dari penerbitan bukunya termasuk The Great Gatsby juga uang yang diperolehnya saat The Great Gatsby dibawa ke layar lebar. Namun meski ia terbilang terkoordinasi dalam membuat catatan seperti ini sayangnya gaya hidup pasangan Fitzgerald ini terbilang boros. 

Mereka lalu pergi ke Perancis di mana mereka bertemu Ernest Hemingway dan Gertrude Stein. Scott lantas bersahabat dengan Hemingway namun antara Hemingway dan Zelda ada permusuhan. Keduanya saling membenci dan mencela. Hemingway menganggap kegilaan Zelda-lah yang membuat suaminya sulit keluar dari kecanduannya akan alkohol. Sementara Zelda tak kalah benci pada Hemingway yang dianggapnya sok. Karena dekatnya hubungan Hemingway dengan Scott, suatu kali Zelda menuduh Scott dan Hemingway adalah homoseksual. Untuk menyanggah tuduhan Zelda itu maka Scott bermain dengan wanita penghibur sehingga menimbulkan kecemburuan pada Zelda. Pada suatu pesta Scott kembali membangkitkan kecemburuan Zelda dengan bersikap begitu akrab dan dekat dengan Isadora Duncan dan mengacuhkan Zelda sehingga Zelda sengaja menjatuhkan dirinya sendiri, terjun dari tangga di pesta itu. 

Kisah Zelda sendiri bagai kisah tragis para wanita cantik dalam mitologi Yunani. Sebagai anak bungsu dari Hakim di Alabama, hidup Zelda Sayre tak berkekurangan. Sementara Scott Fitzgerald lahir dari keluarga kelas menengah imigran Irlandia. Saat bertemu Zelda, Scott tergila-gila padanya. Mereka bertunangan tapi karena tak yakin Scott yang saat itu tak memiliki pekerjaan tetap bahkan novelnya ditolak oleh penerbit, bisa memenuhi kebutuhan finansialnya maka Zelda memutuskan hubungan mereka. Scott pulang ke rumahnya, menyelesaikan revisi novelnya lalu mengirimkan kembali ke penerbit, kali ini novelnya diterima dan novelnya ternyata laris manis. Scott kembali melamar Zelda dan kali ini Zelda menerimanya dan mereka pun menikah.

Tapi seiring waktu hubungan mereka memburuk. Saat di Paris, Zelda pernah berselingkuh dan meminta cerai dari Scott saat Scott tengah mengalami tekanan untuk menghasilkan novel yang sebagus novel terdahulunya, The Great Gatsby yang fenomenal. Permintaan cerai Zelda membuat Scott murka lalu mengurung Zelda hingga akhirnya tentara muda, selingkuhan Zelda meninggalkan Paris.

Di Paris Zelda mulai terobsesi pada balet. Saat masih belia Zelda memang pernah belajar menari. Sayangnya usia Zelda tak lagi memberi banyak kesempatan baginya untuk bersinar dalam seni tari, meski begitu Zelda terus berlatih hingga kelelahan. Keseimbangan mentalnya terganggu. Zelda pun mulai dirawat dan didiagnosa menderita schizoprenia, jenis gangguan jiwa yang membuat penderitanya mengalami halusinasi dan delusi.

Meski sempat keluar dari rumah sakit jiwa dan pasangan Fitzgerald ini kembali ke Amerika, kejiwaan Zelda kembali terganggu setelah kematian ayahnya hingga ia kembali dirawat di rumah sakit jiwa. Di sini ia mulai menulis Save Me the Waltz, sebuah novel sekaligus semi autobiografi mengenai kehidupannya dengan Scott Fitzgerald di Perancis. Saat membaca novel tulisan istrinya ini, Scott murka dan menuduh Zelda mencuri idenya karena ternyata Scott pun tengah menulis novel terbarunya, Tender Is the Night yang isinya tentang pernikahannya dengan Zelda. Scott memaksa Zelda merevisi Save Me the Waltz dan meminta dokter yang merawat Zelda untuk melarangnya menulis lagi.

Pada kenyataannya Scott ternyata kerap mencuri kisah dari buku harian Zelda untuk dijadikan bahan novel-novelnya, bahkan sejak novel pertamanya, This Side of Paradise. Dalam novel terbaiknya, The Great Gatsby, Scott bahkan menggunakan kalimat yang diucapkan Zelda saat melahirkan putri semata wayang mereka, Frances Scott "Scottie" Fitzgerald sebagai salah satu dialog di novelnya itu.

Saat diminta me-review novel The Beautiful And Damned karya suaminya, Zelda mengungkapkan bahwa Scott telah mencuri buku hariannya dan menjadikan kisah-kisah dalam buku hariaannya itu sebagai bahan cerita di novelnya. 

Setelah novel keempatnya, Tender Is the Night yang seperti novel semi autobiografi Zelda, Save Me the Waltz, mengadopsi kisah dalam pernikahan mereka, gagal di pasaran, kehidupan pasangan Fitgerald kian sulit. Sementara Zelda dirawat di rumah sakit jiwa, Scottie, anak mereka masuk ke sekolah berasrama, Scott mulai mencoba peruntungan di Hollywood. Ia mendapat kontrak 1000 dolar seminggu dari perusahaan film MGM. Di Hollywood ini Scott tanpa sepengetahuan Zelda terlibat affair dengan seorang kolumnis film bernama Sheilah Graham. Ia bahkan meninggal dunia pada 21 Desember 1940 di apartemen Sheilah karena serangan jantung. Tujuh tahun tiga bulan kemudian Zelda Fitzegerald juga meninggal dunia menyusul suaminya saat rumah sakit jiwa tempatnya dirawat mengalami kebakaran. Ia tewas bersama delapan wanita lainnya di rumah sakit jiwa tersebut.

1. Francis Scott Fitzgerald
Terlahir dengan nama Francis Scott Key Fitzgerald pada 24 September 1896 di Saint Paul, Minnnesota dari pasangan kelas menengah imigran Irlandia - Katolik. Namanya diambil dari nama sepupu keduanya yang terkenal, Francis Scot Key yang tiga kali menggubah Lagu Kebangsaan. Fitzgerald diberi nama tersebut sebagai bentuk kebanggaan atas leluhur dari ayahnya. Nama Scott juga diambil dari nama kakak perempuannya, Louis Scott, satu dari dua kakak perempuannya yang meninggal tak lama sebelum kelahirannya.

Scott pernah menulis tentang kematian dua kakak perempuannya ini yang membuatnya menjadi seorang penulis, "Well, tiga bulan sebelum aku lahir, ibuku kehilangan dua orang anaknya.... Kurasa sejak itulah aku mulai menjadi penulis."

Meski sepupu keduanya memberi kebanggaan bagi keluarga besar Fitzgerald tak demikian halnya dengan seorang sepupu Scott lainnya, Mary Surratt yang dihukum gantung pada 1865 karena dianggap ikut dalam konspirasi pembunuhan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln.

Edward Fitzgerald, ayah Scott semula merupakan pengusaha furnitur di St. Paul tapi setelah gagal ia pun beralih profesi sebagai salesman di Procter & Gamble di New York. Sedangkan nama ibu Scott adalah Mollie (McQuillan). Keduanya merupakan penganut Katolik.

Scott melewati sebagian besar fase pertama masa kecilnya di Buffalo, New York namun antara Januari 1901 dan September 1903, ia sempat tinggal di Syracuse, New York sebelum akhirnya kembali ke Bufallo, New York hingga tahun 1908.

Scott disekolahkan di sekolah Katolik, 1st Holy Angels Convent (1903-1904) yang terletak di Buffalo bagian Barat, kini sekolah tersebut sudah ditutup. Setelah itu Scott melanjutkan sekolahnya di Nardin Academy dari 1905-1908. Sejak sekolah, Scott sudah menunjukkan minatnya dalam dunia sastra.

Pada 1908 Edward, ayah Scott dipecat dari Procter & Gamble sehingga ia harus membawa keluarganya kembali ke Minnesota. Scott lantas melanjutkan pendidikan formalnya di St. Paul Academy di tanah kelahirannya, St. Paul dari 1908-1911. Di sini, tulisan pertamanya, sebuah cerita detektif dipajang di koran sekolahnya. Saat itu ia baru berumur tiga belas tahun.

Saat berumur 15 tahun, Scott disekolahkan ke sekolah Katolik bergengsi, Newman School, sebuah sekolah persiapan menuju universitas, di Hackensack, New Jersey. Di sini ia bertemu dengan Bapa Sigourney Fay yang menyadari bakat besar Scott dalam menulis dan mendorong Scott untuk mewujudkan ambisinya dalam dunia sastra.

Lulus dari Newman School, Scott memutuskan masuk Universitas Princeton untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang penulis. Di sini ia bertemu dan kemudian bersahabat dengan Edmund Wilson (dari angkatan 1916) yang di kemudian hari menjadi penulis dan kritikus sastra. Setelah kematian Scott, Zelda mengirimkan novel Scott terakhir Scott yang belum selesai ditulis, The Love of the Last Tycoon pada Edmund Wilson untuk diedit dan menjadikan buku tersebut sebagai salah satu karya peninggalan F. Scott Fitzgerald. Selain Wilson, di Princeton ini, Scott juga bertemu dan berteman dengan John Peale Bishop (dari angkatan 1917 yang seangkatan dengan Scott). Di masa ini Scott mengasah bakatnya dengan menulis naskah dan lirik untuk drama musikal the Princeton Triangle Club. Ia juga menjadi kontributor di majalah humor Princeton Tiger dan Nassau Literary Magazine. 

Kegiatan menulisnya mempengaruhi nilai akademisnya dan membuatnya mendapat masa percobaan (academic probation). Pada 1917 Scott memilih drop out dari kuliahnya dan bergabung dalam angkatan bersenjata Amerika Serikat dan diangkat sebagai letnan dua di infanteri. Khawatir bilamana ia tewas dalam pertempuran, Scott bergegas menulis novel pertamanya, "The Romantic Egotist" dan mengirimkan novelnya ini ke perusahaan penerbitan Charles Scribner's Sons, sayang novelnya ditolak meski mendapat catatan atas keasliannya dan pujian ini yang mendorong Scott dalam berkarya di masa mendatang.

Pada Juni 1918 Scott dikirim ke Camp Sheridan, dekat Montgomery, Alabama. Di sinilah ia bertemu dan langsung jatuh cinta pada Zelda Sayre, putri dari hakim Pengadilan Tinggi Alabama.

2. Zelda Sayre
Zelda Sayre lahir pada 24 Juli 1900 di Montgomery, Alabama. Ia merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Ibunya, Minerva Buckner "Minnie" Machen (1860-1958) menamainya Zelda dari nama dua tokoh cerita. Yang pertama cerita karangan Jane Howard "Zelda : A Tale of the Massachusetts Colony" (1866) dan yang kedua adalah karya dari Robert Edward Francillon "Zelda Fortune" (1874). Tokoh Zelda dalam kedua kisah tersebut merupakan seorang gipsi.

Sebagai anak bungsu, ia sangat dimanja ibunya namun ayahnya, Anthony Dickinson Sayre (1858-1930) - seorang hakim Pengadilan Tinggi Alabama dan pemimpin ahli hukum Alabama - adalah orang yang tegas dan disiplin.

Berbeda dengan latar belakang keluarga Scott yang berasal dari kelas menengah asal Irlandia, sementara leluhur Zelda merupakan pendatang pertama yang menetap di Long Island kemudian pindah ke Alabama sebelum Perang Sipil. Paman Zelda, John Tyler Morgan, merupakan anggota senat dan kakek dari pihak ayahnya, Willis Benson Machen adalah senator Amerika Serikat dari Kentucky.

Zelda memiliki satu kakak laki-laki, Anthony Dickinson Sayre, Jr., dan empat orang kakak perempuan. Saat kecil, Zelda sudah luar biasa aktif. Ia suka menari, ia berlatih balet dan menyukai kegiatan di luar ruangan. Ia sangat cemerlang namun tak tertarik dengan pelajaran-pelajarannya sementara kegiatan baletnya berlanjut hingga sekolah lanjutan atas. Sebagai remaja, Zelda terbilang cukup "liar" untuk anak gadis terutama di masa itu. Ia peminum, perokok, dan kerap menghabiskan seluruh waktunya bersama anak laki-laki. Kegiatan tari Zelda tak berkembang sementara gaya hidupnya yang lebih sering mendapat sorotan. Sebuah surat kabar pernah mengomentari salah satu penampilan tarinya dengan mengutip perkataannya sendiri bahwa ia hanya peduli pada "pria dan renang." Pernah ada rumor yang mengatakan bahwa ia pernah berenang tanpa mengenakan sehelai benang pun. Meski tingkah Zelda yang 'binal' merusak status sosialnya sebagai wanita dari daerah Selatan dan mengejutkan orang-orang di sekitarnya tapi reputasi ayahnya tetap aman. Gaya hidup hedonis Zelda agaknya terlihat jelas dari kalimat di bawah foto kelulusannya dari sekolah menengah tingkat atas: 
Mengapa kita harus bekerja, bila
kita bisa meminjam
mari pikirkan saja hari ini dan tak perlu
khawatirkan hari esok.

Suatu kali Zelda bertemu dengan tentara muda, letnan dua infanteri F. Scott Fitzgerald yang terpesona akan kecantikannya.

3. Pernikahan
Sebagai seorang gadis cantik dan populer, banyak pria yang tertarik pada Zelda Sayre dan persaingan ini membuat Scott lebih gigih untuk menaklukkan hati Zelda. Pada 7 September, Scott mencatat bahwa ia telah jatuh cinta. Pada siapa? Tentu saja pada putri bungsu hakim Anthony Dickinson Sayre.

Tiap hari Scott menelpon Zelda dan saat libur ia datang ke Montgomery untuk menemui Zelda. Pertemuan pertama mereka di stasiun kereta (belakangan Scott menggunakannya di "The Great Gatsby"). Scott mengatakan pada Zelda tentang rencananya untuk terkenal. Zelda yang telah memuja Scott memperlihatkan buku hariannya yang di kemudian hari diklaim Zelda hilang tak lama setelah pernikahan mereka tapi saat membaca novel-novel karya Scott, ia merasa tak asing dengan ceritanya karena Scott rupanya telah mengambil kisah-kisah dalam buku harian Zelda sebagai bahan novelnya.

Di sela-sela kisah romantikanya dengan Zelda terjalin, Scott sempat merevisi novelnya yang pernah ditolak penerbit dan berharap kali ini ia akan sukses, tak dinyana novel revisinya ini pun ditolak oleh Scribners untuk kali kedua. 

Perang berakhir pada 1918 tanpa sekalipun Scott sempat diterjunkan ke medan perang dan pada 14 Februari 1919 Scott dipecat dari militer, ia pergi ke New York mencoba mencari pekerjaan yang cukup bagus sehingga ia bisa menikahi Zelda. Ia mendapat pekerjaan di perusahaan advertising. Saat di New York ia tinggal di 200 Claremont Avenue.

Scott dan Zelda masih saling berkirim surat dan pada Maret 1920 Scott mengirim cincin ibunya untuk melamar Zelda. Namun hubungan mereka ini tak mendapat persetujuan baik dari keluarga maupun keluarga Zelda. Keluarga Zelda tak menyukai kebiasaan Scott menenggak minuman keras ditambah lagi mereka tak menyukai Scott karena beragama Katolik. 

Sementara itu usaha Scott untuk mendapat kesuksesan di bidang periklanan belum juga membuahkan hasil. Zelda merasa tak yakin bisa hidup dengan gaji Scott yang kecil sehingga ia memutuskan pertunangan mereka.

Setelah diputuskan Zelda, Scott kembali ke rumah orangtuanya di 599 Summit Avenue di St. Paul untuk merevisi novelnya, The Romantic Egoist dan mengubah judulnya menjadi This Side of Paradise yang berkisah tentang generasi pasca Perang Dunia Pertama. Kondisi finansial Scott yang parah saat itu membuatnya sampai mengambil pekerjaan memperbaiki mobil.

Bintang F. Scott Fitzgerald mulai bersinar. Novelnya kali ini diterima Scribner's pada musim gugur 1919. Merasa gembira, pada November, Scott langsung pergi ke Montgomery untuk mengabarkan hal ini pada Zelda. 

Setelah novel pertama Scott ini diterima oleh penerbit, Zelda menerima kembali lamaran Scott. Selagi This Side of Paradise belum diterbitkan, pada musim gugur sampai musim dingin 1919 Scott menulis beberapa cerita untuk majalah-majalah. Melalui agen Harold Ober di antara kegiatan menulis novel, ia juga menulis kisah-kisah fiksi populer yang menghasilkan banyak uang. Kebanyakan tulisan Fitzgerald ini dikirimkan ke The Saturday Evening Post hingga Scott dijuluki "Post Writer" - Penulis Post.

This Side of Paradise diterbitkan pada 26 Maret 1920. Dalam semalam Scott yang kala itu berumur dua puluh empat tahun menjadi selebriti baru. Zelda tiba di New York pada 30 Maret dan pada 3 April 1920 F. Scott Fitzgerald dan Zelda Sayre melangsungkan pernikahan mereka dalam sebuah pesta pernikahan sederhana di Katedral St. Patrick.

Kesuksesan This Side of Paradise membawa Scott dan Zelda menjadi selebritis New York. Pasangan Fitgerald ini menjalani hidup glamour. Mereka memilih tinggal di Baltimore Hotel dan Commodore Hotel. Tingkah mereka selalu saja menjadi pemberitaan salah satunya adalah aksi Zelda yang suatu kali pernah menceburkan diri ke air mancur di Union Square. Dorothy Parker pernah menceritakan saat pertama kali bertemu pasangan Fitzgerald ini, ia melihat mereka duduk di atas atap taxi. Tak ayal tingkah mereka ini selalu menjadi perbincangan. Meski begitu, kebebasan dan pancaran kemudaan yang mereka tampilkan, kehidupan yang tanpa beban membuat banyak orang ingin bertemu mereka. Meski kehidupan sosial mereka dipenuhi dengan alkohol namun koran-koran New York mentahbiskan Zelda dan Scott Fitzgerald sebagai ikon muda dan sukses dari generasi Jazz Age, generasi baru pasca Perang Dunia Pertama yang muncul pada 1920-an dan berakhir pada masa Great Depression - Depresi Berat-
yang melanda Amerika dan dunia akibat krisis ekonomi parah. Di masa Jazz Age ini musik jazz dan dansa menjadi populer. Jazz Age bukan hanya melanda Amerika Serikat saja tapi juga Inggris dan Perancis.

Pada Hari Valentine 1921, Scott tengah mengerjakan novel keduanya, The Beautiful and Damned saat Zelda mengetahui bahwa ia hamil. Mereka melakukan kunjungan pertama mereka ke Eropa sebelum akhirnya memutuskan tinggal di rumah keluarga Scott di St. Paul, Minnesota hingga bayi mereka lahir.

Bayi perempuan mereka lahir pada 26 Oktober 1921 dan diberi nama Frances "Scottie" Fitzgerald. Saat mengetahui bayinya perempuan, Zelda mengatakan, "Aku senang ia perempuan. Kuharap akan menjadi anak perempuan yang cantik dan bodoh - itu adalah hal terbaik bagi seorang gadis di dunia ini, cantik tapi sedikit bodoh." Kalimat Zelda ini digunakan oleh Scott dalam dialog tokohnya, Daisy Buchanan di The Great Gatsby saat melahirkan bayi perempuannya.

Zelda tak pernah tertarik dengan pekerjaan rumah tangga sehingga pasangan muda ini mempekerjakan seorang pengasuh anak untuk mengasuh putri semata wayang mereka. Mereka juga mempekerjakan dua orang pekerja untuk membersihkan rumah dan mencuci baju. 

Di awal 1922 Zelda lagi-lagi menyadari kalau ia mengandung anak keduanya tapi ia tak pernah melahirkan anak keduanya. Ini sehingga muncul dugaan ia telah menggugurkan kandungannya. Pada bulan Maret Scott mencatat dalam jurnalnya, "Zelda dan kegugurannya." Kejadian ini juga turut menjadi bagian dalam novel kedua Scott, The Beautiful and Damned di mana tokoh utama wanitanya, Gloria merasa yakin kalau ia tengah hamil kemudian tokoh prianya, Anthony menyarankannya untuk menggugurkan anaknya tersebut tapi kemudian bagian usulan Anthony ini dihapus karena pilihan aborsi ini akan merusak image dari Gloria, si tokoh wanita.

Sewaktu The Beautiful and Damned akan diterbitkan, Zelda diminta New York Tribune untuk memberikan review atas novel terbaru suaminya ini. Dalam kesempatan inilah meski dibalut dengan canda tapi Zelda menyatakan bahwa Scott telah mencuri buku hariannya dan menggunakannya sebagai materi untuk novelnya. 

Pernyataan ini menimbulkan perdebadatan di kalangan akademisi yang sampai pada kesimpulan bahwa Zelda merupakan kolaborator Scott secara de facto. Dari pernyataannya itu pula Zelda mendapat banyak tawaran dari majalah-majalah lain. Pada Juni, Zelda Fitzgerald menulis artikel "Eulogy On the Flapper" yang diterbitkan di Majalah Metropolitan. Nancy Milford, penulis biografi Zelda Fitzgerald menyatakan bahwa essai karya Zelda Fitzgerald itu merupakan suatu bentuk pertahanan Zelda terhadap eksistensinya sendiri.

Kegiatan tulis menulis Zelda terus berlanjut. Ia menulis beberapa artikel dan cerita pendek. Ia juga membantu Scott menulis naskah drama The Vegetable. 

Pada musim gugur 1922 kelurga kecil ini pindah ke Great Neck, Long Island agar lebih dekat dengan Broadway. Keuangan Fitzgerald mulai bermasalah. Mereka dililit banyak hutang. 

Meskipun Scott memiliki hasrat besar dalam menulis novel, pada kenyataannya hanya novel pertamanya saja yang terbilang sukses tapi seiring waktu dengan gaya hidup mewah pasangan Fitzgerald ini sebagai selebriti tentu saja keadaan finansial mereka kian memburuk. Scott sampai meminjam uang pada agennya, Harold Ober dan editornya di Scribner, Maxwell Perkins. Ketika Ober memutuskan tak lagi mau memberi bantuan finasial untuknya, Scott memutuskan hubungan dengan agennya sekaligus teman lamanya ini. Tapi belakangan Scott dengan sepenuh hati meminta maaf dengan menulis sebuah cerita pendek berjudul "Financing Finnegan".

Scott mencoba menulis beberapa cerita pendek untuk memberesi tagihan-tagihannya tapi karya-karyanya tak terlalu berhasil. Sebuah karya satir politik tulisannya yang berjudul "From President to Postman" gagal. Sementara dalam tekanan seperti ini kecanduan Scott akan alkohol semakin meningkat. 

4. Kehidupan di Paris
Dalam keadaan tertekan atas beban finansialnya, pasangan Fitzgerald ini memutuskan pergi ke Paris pada 1924.

Perubahan suasana ini memberikan inspirasi baru bagi Scott untuk menulis. Ia bersiap menulis novel terbarunya yang pada akhirnya menjadi novel terbaiknya, The Great Gatsby. 

Paris merupakan fase paling berpengaruh dalam perkembangan Fitzgerald. Setiba di Paris mereka tinggal di French Riviera. Selagi Scott tengah menulis The Great Gatsby, istrinya, Zelda bertemu dan memiliki hubungan dekat dengan pria lain. Seorang pilot muda asal Perancis, Edouard Jozan. Keduanya sering menghabiskan waktu petang mereka dengan berenang di pantai dan malamnya berdansa di kasino. 

Enam minggu kemudian, Zelda meminta cerai dari Scott. Tentu saja hal ini menerbitkan amarah Scott, ia mengunci Zelda di rumah mereka sampai Zelda melupakan permintaan cerainya. Sementara itu Jozan sama sekali tak tahu kalau Zelda telah meminta cerai dari Scott. Tak lama kemudian Jozan meninggalkan Riviera dan tak pernah lagi bertemu dengan pasangan Fitzgerald ini. 

Belakangan pada Jozan mengatakan pada Milford, penulis biografi Zelda, "Mereka berdua sama-sama membutuhkan drama, mereka menciptakan drama itu dan sebisanya mereka menjadikan diri mereka sebagai korban dalam imajinasi mereka yang tak jelas dan tak sehat itu." 

Dalam "A Life In Letters" terdapat surat Scott kepada Ludlow Fowler yang menyinggung insiden Jozan ini. Ia mengatakan ilusinya yang hilang dalam The Great Gatsby sebagai kehilangan akan keyakinannya pada Zelda, buku tersebut melukiskan aspek penting dalam dramatisasi akan cintanya dan Zelda, hubungan dan perpecahan mereka, pemulihan keadaan finansial dan akhirnya penghianatan dalam insiden Jozan. "Aku merasa sudah tua juga, musim panas ini... terbebani oleh novel ini - hilangnya ilusi-ilusi seolah memberikan beberapa warna pada dunia dan kau tak lagi peduli apa yang benar dan mana yang salah selama mereka berperan dalam menciptakan keajaiban." 

Setelah pertengkaran itu pasangan ini tetap bisa tampil di hadapan kawan-kawannya dan terlihat bahagia. Namun di bulan September, Zelda mengalami overdosis obat tidur. Pasangan ini tak pernah membicarakan insiden ini dan menolak membahas soal apakah overdosis itu adalah upaya Zelda bunuh diri atau bukan. Scott memilih untuk berkonsentrasi pada novelnya dan akhirnya pada Oktober ia berhasil menyelesaikan The Great Gatsby. Tapi kegetiran Scott terlihat dalam untaian kalimat di buku catatannya, "September 1924 itu, aku tahu sesuatu telah terjadi dan takkan pernah bisa diperbaiki." 

The Great Gatsby masih berupa draft saat insiden Josan bulan Juli 1924 itu, ketikannya baru diserahkan ke Scribner's pada akhir Oktober.

Mereka berusaha memperbaiki hubungan mereka sekaligus merayakan selesainya novel The Great Gatsby ini dengan melakukan wisata ke Roma dan Capri tapi nyatanya mereka tetap tak bisa menemukan kebahagiaan itu malahan Zelda terserang colitis dan pada saat sakit inilah Zelda mulai melukis.

Sekembalinya ke Paris, mereka berkenalan dengan penulis muda berbakat, Ernest Hemingway. Lewat Hemingway-lah pasangan Fitzgerald ini bisa bertemu dan berkenalan dengan komunitas ekspatriat dari Amerika di Paris seperti Gertrude Stein, Alice B. Toklas, Robert McAlmon dan yang lainnya. Scott masuk dalam kelompok Lost Generations, istilah yang dipopulerkan Gertrude Stein bagi anak-anak muda pasca Perang Dunia Pertama. Selain Scott ada beberapa nama seniman besar lain dalam jajaran Lost Generations ini di antaranya Ernest Hemingway dan T.S. Eliot.

Hubungan Scott dan Hemingway sangat dekat dan mereka menjadi teman akrab tapi tidak demikian halnya dengan Zelda. Sejak pertemuan pertama baik Zelda maupun Hemingway saling tak menyukai satu sama lain. Secara terang-terangan Zelda meledek penampilan Hemingway dan menyebut Hemingway "sok" dan sebaliknya Hemingway bahkan mengatakan pada Scott bahwa istrinya ini gila. Tapi agaknya Scott tak bisa membantah pendapat Hemingway atas istrinya karena Zelda tanpa malu mengisahkan cerita perselingkuhannya dengan Jozan pada Hemingway dan istrinya Hadley. Namun mengenai akhir dari kisah perselingkuhannya dengan Jozan ini baik Scott maupun Zelda tak menceritakan secara sejujurnya. Mereka mengatakan bahwa affair tersebut berakhir ketika Jozan memutuskan bunuh diri padahal kenyataannya Zelda-lah yang berusaha bunuh diri hingga overdosis obat tidur.

Keakraban Scott dengan Hemingway membuat Zelda meledek Scott dan mengatakan Scott seorang homoseksual dan memiliki hubungan sejenis dengan Hemingway. Untuk membuktikan kejantanannya bahwa orientasi seksualnya masih normal, Scott tidur dengan seorang PSK dan Zelda menemukan kondom yang dibeli Scott dan membuat Zelda cemburu. Tambahan lagi di suatu pesta Scott mengacuhkannya dan terlihat sangat akrab berbincang dengan Isadora Duncan, penari jenius yang terkenal tak suka mengenakan alas kaki saat menari, dibakar cemburu, Zelda nekad menjatuhkan dirinya sendiri dari atas tangga saat pesta itu.

4. Zelda dan Schizophrenia
Kesuksesan Scott sebagai penulis menerbitkan perasaan dalam diri Zelda untuk menunjukkan eksistensinya. Dalam usia 27 tahun Zelda mulai terobsesi dengan balet, tarian yang sebenarnya sudah cukup akrab dengannya karena ia sudah belajar balet sejak kecil dan ia pernah mendapat pujian atas bakat menarinya ini saat masih kecil tapi sayangnya Scott tak mendukung hasrat istrinya menjadi penari profesional dan menganggapnya buang-buang waktu saja.

Nyatanya memang dengan usia Zelda yang 27 tahun ini terbilang terlambat untuk secara total terjun sebagai penari profesional, namun Zelda yang sudah terobsesi tak mau undur dan setiap hari berlatih secara ekstrem. Ia berlatih tari delapan jam setiap hari yang mengakibatkan kelelahan secara fisik dan psikis. 

Impian Zelda menjadi penari profesional nyaris terwujud pada September 1929 kala ia diundang untuk bergabung dengan sekolah balet San Carlo Opera Ballet Company di Naples tapi justru saat impiannya ini sudah di depan mata, Zelda justru merasa gamang dan menolak tawaran ini. 

Pada 1930 Zelda masuk sanatorium di Perancis setelah selama sebulan menjalani observasi, pengobatan dan konsultasi dengan salah satu psikiater terkemuka di Eropa, Dokter Eugen Bleuler yang kemudian mendiagnosa Zelda menderita skizophrenia yang mana penderitanya kerap mengalami gangguan halusinasi dan delusi. Karena menolak dirawat di rumah sakit di luar Paris, maka Zelda akhirnya dipindahkan ke sebuah klinik di Montreux, Swiss. Namun kemudian Zelda dipindah lagi ke sebuah panti rehabilitasi jiwa di Prangins di tepi Danau Geneva. Pada September 1931 Zelda keluar dari panti rehabilitasi ini dan bersama Scott pulang ke Montgomery, Alabama karena ayahnya, Hakim Sayre tengah sekarat. Scott mengumumkan bahwa ia akan pergi ke Hollywood dan mertuanya itu meninggal dunia saat Scott sudah pergi ke Hollywood. Sepeninggal ayahnya, kejiwaan Zelda kembali terganggu, ia pun kembali harus masuk ke klinik rehabilitasi mental.

Pada 1932 Zelda dirawat di klinik Phipps di Rumah Sakit John Hopkins di Baltimore. Selagi dirawat kreativitas Zelda malah berkembang. Pada enam minggu pertamanya di klinik, dia menulis novel pertama sekaligus terakhirnya, Save Me the Waltz dan mengirimkannya ke Maxwell Perkins, editor di Scribner's, penerbit yang biasa menerbitkan novel-novel Scott.

Saat Scott membaca naskah novel Zelda, ia amat murka. Save Me the Waltz merupakan semi autobiografi yang mengisahkan kehidupan rumah tangga Fitzgerald. Save Me the Waltz mengisahkan seorang putri hakim dari daerah Selatan, seperti Zelda, yang bernama Alabama Beggs yang menikah dengan David Knight, seorang pelukis terkenal. Pasangan ini tinggal di Connecticut dan kemudian tinggal di Perancis, seperti yang terjadi pada Scott dan Zelda Fitzgerald. Namun seperti Zelda, tokoh wanita dalam novelnya ini, Alabama Beggs melarikan kekecewaannya terhadap pernikahannya ke balet. Meski ia dikatakan tak memiliki peluang tapi ia terus berlatih keras hingga akhirnya tiga tahun kemudian ia berhasil menjadi penari utama di perusahaan opera. Tapi Alabama jatuh sakit karena kelelahan. Kisah dalam novel ini ditutup dengan kembalinya pasangan ini ke keluarga sang tokoh utama wanita di daerah Selatan karena ayah si wanita tengah sekarat. Novel ini menggambarkan perjuangan
Alabama seperti juga yang dirasakan Zelda yang berusaha menunjukkan eksistensinya demi mendapatkan respek dari suaminya.

Membaca novel istrinya ini, Scott berang dan menganggap Zelda mencuri materi untuk novel terbarunya, Tender Is the Night yang rupanya juga mengambil kisah pernikahan mereka dan kehidupan mereka saat di Perancis. Scott lalu memaksa Zelda merevisi beberapa bagian dalam novelnya. Ia juga meyakinkan para dokter di klinik kejiwaan tempat istrinya dirawat agar tak lagi menulis apapun termasuk mengenai hubungan mereka yang disebut Scott sebagai "materi"-nya.

Tender Is the Night sendiri baru diterbitkan pada 1934. Keberhasilan The Great Gatsby membuat ekspektasi yang dibebankan pada Scott untuk novel berikutnya sangatlah besar. Karenanya Tender Is the Night memunculkan perhatian besar. Opini terhadap novel terbaru Scott ini campur baur, namun banyak yang menganggap novel Scott kali ini tak sesuai dengan harapan mereka. 

Tender Is the Night yang mengambil setting cerita di Perancis tahun 1920-an ini berkisah tentang Dick Diver, psikiatri brilian Amerika yang menikah dengan pasien gangguan mental yang kaya raya. Penjualan novel ini tak sebaik seperti yang diharapkan. Meski tema dan latar kisah novel karya Scott dan Zelda ini bisa dibilang serupa karena memang mengisahkan pernikahan dan kehidupan mereka saat di Paris namun gaya bahasa Zelda dinilai tak seperti Scott. Gaya menulis Zelda dipenuhi kata-kata yang berbunga-bunga dan metafora yang kompleks. Save Me the Waltz juga dinilai lebih sensual menurut pengamat sastra, Jacqueline Tavernier - Courbin. Sama seperti Tender Is the Night karya Scott, novel Zelda ini pun penjualannya tak terlalu menggembirakan. Cemoohan Scott yang menuduhnya melakukan plagiat dan menganggapnya sebagai "penulis kelas tiga" membuyarkan semangatnya. Save Me the Waltz menjadi satu-satunya novel karya Zelda. Menjelang ajalnya Zelda sempat menulis sebuah novel lain tapi tak sempat diselesaikannya. 

Meski Zelda tak pernah lagi menulis tapi ia aktif melukis. Sepanjang pertengahan tahun 1930-an, Zelda menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa. Selama itu pula ia rajin melukis dan pada 1934 lukisannya dipamerkan. Namun dalam buku tamu, Zelda mengungkapkan kekecewaannya atas respon yang diterimanya terhadap karya seninya. The New Yorker bahkan menggambarkan lukisan-lukisannya itu hanya merupakan sisa-sisa dari apa yang disebut Jazz Age. 

Pada 1936 kejiwaan Zelda semakin buruk. Scott lalu memindahkannya ke Highland Hospital di Asheville, Carolina Utara. Sementara Scott kembali ke Hollywood. Ia mendapat kontrak dari perusahaan film televisi MGM sebesar seribu dollar seminggu, nilai yang amat fantastis pada masa itu. Di masa inilah, tanpa sepengetahuan istrinya, Scott menjalin affair dengan kolumnis gosip di Hollywood, Sheilah Graham. 

Sekali waktu Scott pernah bertengkar dengan Sheilah pada 1938. Scott lantas pergi ke Asheville menemui istrinya. Semula Zelda bersama grupnya di rumah sakit berencana pergi ke Kuba tapi Zelda ketinggalan. Akhirnya Scott dan Zelda memutuskan pergi ke sana sendiri. Tapi ternyata perjalanan itu menjadi malapetaka. Sejak itu Scott tak pernah lagi menemui Zelda hingga akhir hayat mereka. Kemarahannya pada Zelda bertambah saat putri semata wayang mereka, Scottie dikeluarkan dari sekolah asramanya pada 1938 dan Scott menyalahkan Zelda untuk hal ini. Belakangan Scottie akhirnya diasuh keluarga Ober, agen dari Scott namun Scott tetap menjalankan fungsinya sebagai ayah melalui surat dan berusaha tetap memperhatikan pendidikan Scottie tambahan pula nama besar Scott tetap berguna untuk nilai sosial putrinya.

5. Kematian
Pada 1939 MGM mengakhiri kontraknya dengan Scott. Lepas dari MGM, Scott tetap menulis skenario dan menjadi penulis lepas. Ia mendapat banyak uang saat masih bekerja untuk MGM yang memungkinkannya melunasi hutang-hutangnya namun karena masa depresi hebat yang melanda saat itu, Scott tetap tak bisa menabung. 

Sementara itu Scott yang sudah menjadi pecandu alkohol sejak masih sekolah ini makin dalam tenggelam dalam kecanduannya terhadap alkohol. Akibat kebiasaannya menenggak minuman ini menimbulkan masalah kesehatan bagi Scott sejak akhir 1930-an. Scott menderita tuberkulosis yang menurut Arthur Mizener, penulis biografinya, Scott terserang tuberkulosis ringan pada 1919 dan 1929. Namun yang merenggut nyawa Scott bukanlah penyakit ini.

Di akhir 1930-an Scott sempat dua kali mendapat serangan jantung. Serangan pertama dialaminya saat di Toko Minuman Keras Schwab. Dan serangan jantung keduanya adalah di malam 20 Desember 1940, saat itu ia dan Sheilah Graham tengah menghadiri pementasan perdana This Thing Called Love yang dibintangi Rosalind Russell dan Melvyn Douglas. 

Sehari kemudian, pada 21 Desember 1940 Scott kembali terkena serangan jantung yang kali ini merenggut nyawanya. Ia tewas di apartemen kekasihnya, Sheilah Graham.

Pemakamannya dihadiri sekitar 20-30 orang. Salah seorang pelayat, Dorothy Parker di antara isakannya menggumamkan kalimat yang dikutipnya dari novel laris Scott, The Great Gatsby. Putri semata wayangnya, Frances "Scottie" Fitzgerald Lanahan Smith yang saat itu berusia 19 tahun dan editornya, Maxwell Perkins turut menghadiri pemakamannya. Sementara istrinya, Zelda Fitzgerald tidak menghadiri pemakamannya di Rockville, Maryland. 

Zelda sebenarnya telah keluar dari Ashville pada Maret 1940 setelah tak ada perkembangan selama dirawat. Saat itu usianya sudah 40 tahun. Namun ia tidak kembali pada Scott yang saat itu masih hidup bersama kekasihnya, Sheilah Graham. Meski begitu mereka masih rajin saling berkirim surat sampai Scott meninggal karena serangan jantung pada 21 Desember 1940. 

Sebelum wafat, Scott tengah mengerjakan novel terakhirnya, The Love of the Last Tycoon. Setelah Zelda membaca manuskrip pekerjaan suaminya yang belum selesai ini, ia menulis surat ke kritikus sastra, Edmund Wilson, yang pernah menjadi kawan Scott saat kuliah di Princeton. Wilson setuju mengedit karya terakhir F. Scott Fitzgerald ini.

Usai membaca novel terakhir suaminya yang belum usai itu, Zelda pun memutuskan mulai menulis lagi. Ia menulis novel barunya yang diberinya judul "Caesar's Things." Pada Agustus 1943 ia kembali harus masuk ke Highland Hospital, Ashville, namun ia masih tetap mengerjakan novelnya selama dirawat. Seperti ia tak bisa menghadiri pemakaman Scott, ia juga tak bisa menghadiri pernikahan putrinya, Scottie.

Suatu malam pada 10 Maret 1948 terjadi kebakaran di rumah sakit tempat Zelda dirawat. Api berkobar dari dapur rumah sakit dan dengan cepat menyebar hingga melalap sayap utama rumah sakit. Sembilan orang wanita tewas dalam kebakaran ini termasuk di antaranya Zelda Fitzgerald yang terkunci dalam sebuah ruangan, tengah menanti terapi kejut listrik.

Seperti suaminya, novel terakhir Zelda pun tak berhasil dirampungkan karena maut keburu menjemputnya. Novel terakhir Zelda ini tak pernah dipublikasikan.

Scott dan Zelda Fitzgerald dimakamkan di Rockville, Maryland. Sebenarnya makam mereka tidak di komplek pemakaman keluarganya, namun berkat usaha putri mereka, Scottie yang berhasil membujuk keluarga besar ayahnya, maka mereka akhirnya bisa juga dikuburkan bersama keluarga Fitgerald lainnya di Pemakaman Katolik Santa Maria. Pada batu nisan mereka terdapat kalimat terakhir dari The Great Gatsby: "So we beat on, boats against the current, borne back ceaselessly into the past." 

Usai kematian kedua orangtuanya, Scottie, putri semata wayang mereka dengan bijak tak ingin menyalahkan satu pun dari kedua orang tuanya. Ia tak sependapat bila dikatakan kecanduan ayahnya terhadap alkohol-lah yang menyebabkan ibunya sampai harus masuk ke rumah sakit jiwa. Begitu pun, ia tak setuju bila dikatakan ibunya-lah yang telah membuat ayahnya kecanduan alkohol.

Sejak 1939 hingga akhir hayatnya di 1940, Scott menulis cerita dan mengolok-olok dirinya sendiri melalui karakter ciptaannya, Pat Hobby. Sebanyak tujuh belas cerita pendeknya lalu dijadikan satu dan diterbitkan dengan judul "Kisah-kisah Pat Hobby", kumpulan cerita pendeknya ini menuai banyak komentar positif. Kisah-kisah Pat Hobby lalu ditampilkan dalam majalah The Esquire sejak Januari 1940 hingga Juli 1944 walau sang penulisnya telah tiada.

Di saat-saat akhir hidupnya, Scott merasa kecewa dengan hidupnya. Ia merasa telah melakukan banyak kesalahan. Rasa frustasinya semakin dalam saat melihat karir menulis sahabatnya, Ernest Hemingway melesat. Scott wafat dengan membawa rasa kekecewaannya itu tapi tak lama usai kematian dirinya dan istrinya, Zelda, keingintahuan publik terhadap pasangan Fitzgerald ini meningkat. F. Scott Fitzgerald disejajarkan dengan deretan penulis-penulis berbakat dan terkenal dari Amerika. Bahkan novelnya, The Great Gatsby dinobatkan sebagai salah satu dari karya sastra klasik Amerika dan pada abad ke-21 novel ini sudah dicetak jutaan kali dan menjadikan The Great Gatsby sebagai novelnya yang paling laris. The Great Gatsby bahkan menjadi bacaan wajib di banyak Sekolah Menengah Atas. Saat The Great Gatsby diterbitkan pertama kali, T.S. Eliot, sastrawan asal Amerika yang hijrah ke Inggris bahkan sampai memuji dan menulis surat untuk Scott. Novel ini juga telah berkali-kali pula diadaptasi ke dalam film dan yang terbaru adalah film The Great Gatsby besutan Baz Luhrmann dengan pemeran utamanya, Leonardo di Caprio sebagai Jay Gatsby di mana film ini menjadi film pembuka di Festival Film Cannes pada 15 Mei 2013 yang lalu.

New York Times dalam editorialnya usai kematian Scott menuliskan pujian atas F. Scott Fitzgerald dan menyatakan F. Scott Fitzgerald jauh lebih baik dari yang diketahuinya seraya menambahkan betapa lewat karyanya ia telah mempengaruhi sebuah generasi. Scott bahkan dinilai telah menginterpretasi dan memandu generasi tersebut.

Adapun Zelda Fitzgerald, setelah buku biografinya karya Nancy Milford diterbitkan banyak yang memandang bahwa Zelda Fitzgerald berperan serta dalam karir kepenulisan suaminya. Bahkan tindakan arogansi suaminya yang mengontrol karir menulisnya, membuat Zelda Fitzgerald pada 1970-an sebagai ikon pergerakan wanita yang mendobrak tekanan dari budaya patriarki.

Walau Zelda mengalami gangguan jiwa namun Zelda dianggap sebagai seniman multi talenta. Ia dikenal sebagai penari, penulis dan pelukis. Banyak lukisan-lukisan yang dihasilkannya saat ia dirawat di klinik rehabilitasi mental dan lukisan-lukisan ini pada 1950-1960-an dikubur oleh ibunya karena tak menyukainya dan menganggapnya sebagai aib bagi keluarga mereka. Tapi belakangan para peneliti seni mulai mengumpulkan karya-karya seni Zelda Fitzgerald dan bahkan lukisan-lukisannya ini dipamerkan di Amerika Serikat dan Eropa.

Pada 1989 dibuka museum F. Scott dan Zelda Fitzgeraled di Montgomery, Alabama. Museum ini adalah rumah yang mereka sewa pada 1931-1932. Museum ini merupakan salah satu dari sedikit tempat yang menyimpan lukisan-lukisan Zelda.

Nama Zelda juga diabadikan sebagai nama jalan di tanah kelahirannya, Montgomery, Alabama. Jalan tersebut bernama Zelda Road.

Selasa, 07 Mei 2013

Kejahatan Kemanusiaan, Sebuah Repetisi


Benjamin Franklin, Presiden Amerika Serikat tewas ditembak pada 17 April 1790 di Philadelphia dalam usia 84 tahun. Ia dibunuh karena upayanya menghapuskan sistem perbudakan yang merupakan hal yang umum di abad ke-18. Berpuluh-puluh manusia dari daratan Afrika dibawa dengan kapal laut untuk dijadikan budak di Amerika dan Eropa. Namun bagi Franklin hal ini merupakan kejahatan kemanusiaan.

Pada 1789 ia menulis dan mempublikasikan beberapa essai yang menentang praktek perbudakan ini. Franklin bukan hanya memperjuangkan pembebasan perbudakan ini tapi ia juga mengupayakan agar budak-budak dari Afrika ini mendapatkan kembali hakikat mereka sebagai manusia dan memperjuangkan hak mereka untuk menjadi warga negara yang artinya mereka memiliki identitas yang semestinya sebagai manusia.

Usaha Franklin untuk melepaskan belenggu perbudakan melewati jalan panjang berliku. Pada 3 Februari 1790 petisi pembebasan perbudakan ditandatangani. Tapi petisi itu baru bisa dibawa ke senat pada 15 Februari 1790. Tindakan Franklin untuk memuliakan derajat kemanusiaan ini tentu saja mendapat tentangan dari banyak pihak. Hingga akhirnya keberanian Franklin berakhir di ujung bedil. Ia tewas tapi semangat dan nilai-nilai luhurnya terhadap kemanusiaan itu tetap menyala.

Seabad kemudian muncullah tokoh yang memiliki kemurnian pikiran dan jiwa seperti Franklin yang akhirnya bisa mewujudkan harapan Franklin. Ia adalah Abraham Lincoln. Terlahir dari keluarga miskin tapi Lincon bisa mendapat pendidikan yang baik hingga ia menjadi seorang ahli hukum dan pemimpin partai. Bukan itu saja pencapaiannya. Pada 1830 ia menjadi legislator negara bagian Illinois dan menjadi anggota Majelis Rendah atau House of Representatives selama tahun 1840an. Puncak karirnya adalah saat ia menjadi memenangkan nominasi sebagai Presiden dari Partai Repblik pada 1860. Namun karena ia sangat menentang perbudakan, isu yang amat sensitif dan ditentang masyarakat dari daerah Selatan yang pengusaha-pengusaha kapas di sana banyak mendapatkan keuntungan dengan sistem perbudakan dan merasa dirugikan bila perbudakan dihapuskan tak rela memberi dukungan pada Lincoln. Meski begitu Lincoln mendapat dukungan penuh dari daerah Utara.

Perjuangan Lincoln memperjuangkan kesetaraan bagi tiap manusia termaktub dalam Proklamasi Emansipasi - Emansipation Proclamation pada 1863 dan tak hanya sampai di situ, ia bahkan mendorong konstitusi Amerika Serikat untuk mengesahkan Amandemen ketiga belas yang akhirnya berhasil membebaskan perbudakan di seluruh Amerika Serikat pada Desember 1865. Tindakan Lincoln menghapuskan perbudakan ini berujung pada meletusnya Perang Sipil pada 12 April 1861. Perang saudara ini berlangsung selama empat tahun, tiga minggu dan enam hari. Pada 9 Mei 1865 tercapai deklarasi perdamaian antara kubu Utara (Union) yang merupakan kubu Lincoln dengan Selatan (Konfederasi) dengan kemenangan besar terjadi di pihak Utara atau pasukan Union. Dengan kemenangan kubu Lincoln maka upaya Lincoln memperjuangkan kesetaraan demi pemuliaan harkat dan martabat manusia sendiri pun berhasil. Perbudakan dihapuskan tapi pejuangan Lincoln demi nilai-nilai luhur kemanusiaan ini berakibat pada kematiannya. Abraham Lincoln tewas dibunuh John Wilkes Booth, seorang mantan aktor yang menjadi pendukung dan partisan kubu Konfederasi pada 14 April 1865.

Dua tokoh besar telah rela mengorbankan nyawanya demi kemuliaan nilai-nilai kemanusiaan tapi ironisnya masih ada saja ada pribadi yang lebih suka menghinakan harkat dan martabatnya sebagai manusia dengan merendahkan harkat dan manusia lainnya.

Sudah ratusan tahun berselang sejak perjuangan Franklin dan Lincoln tapi ternyata praktek perbudakan itu tak sepenuhnya terhapus. Jum'at kemarin hanya berselang dua hari dari peringatan Hari Buruh sedunia, muncul berita di Tangerang, Banten terjadi praktek perbudakan dan penganiayaan terhadap 34 orang buruh di pabrik pembuatan panci dan kuali aluminium.

Sebelum bekerja, mereka dijanjikan upah besar sesuai dengan aturan Upah Minimum Kota Tangerang sebesar 2,2 juta rupiah, tapi saat di sana dikatakan bahwa mereka hanya akan dibayar sebesar tujuh ratus ribu rupiah per bulan. Namun pada kenyataannya upah sebesar tujuh ratus ribu rupiah itu pun tak dibayarkan selama tujuh bulan. Bukan hanya tak digaji, bahkan para buruh tersebut kerap mengalami penyiksaan bila mereka melakukan kesalahan. 

Pabrik tersebut sudah beroperasi sejak tahun 2000 dan menurut kesaksian para buruh di sana, ada keterlibatan dari oknum aparatur negara seperti kepala desa atau lurah di sana, Brimob dan TNI. Dalam keterangan yang dihimpun oleh Komnas HAM dari tetangga sekitar pabrik juga menyatakan bahwa kerap terlihat keberataan oknum aparat keamanan negara. Namun hal ini dibantah keras oleh pihak kepolisian yang menyatakan tak ada fakta keterlibatan anggotanya dalam kasus perbudakan di Tangerang ini. Polisi saat ini masih mendalami keterlibatan lurah atau kepala desa dalam kasus ini. 

Berita perbudakan ini bukan hanya mengejutkan tapi juga merupakan tamparan bagi pemerintah republik ini. Betapa kemiskinan kerap kali dimanfaatkan segelintir pihak untuk menista nilai kemanusiaan dan memperlakukan manusia lain secara tak layak. Juga merupakan tamparan bagi pemerintah betapa bobroknya mental aparatur negara dan betapa nilai-nilai luhur ini begitu mudahnya dihancurkan atas nama keagungan nilai materi. Jika benar ada keterlibatan oknum aparat penegak hukum dan keamanan negera maka betapa ironisnya negeri hukum ini. Aparat penegak hukum dan keamanan yang seyogyanya mengayomi dan melindungi rakyat malah turut andil dalam praktek yang mendegradasi nilai moral dan kehormatan nilai-nilai kemanusiaan. 

Perbudakan di abad ke-21, abad yang dinilai sebagai abad teknologi. Abad yang mungkin juga bisa dimaknai puncak peradaban manusia menjelajah kemampuan berpikirnya menembus titik limit tertinggi untuk menguasai alam semesta. Tapi ironisnya ternyata di abad serba canggih ini masih ada pula yang tega menggadaikan nuraninya demi sebuah keangkuhan diri bertakhta di atas singgasana materi dengan mengorbankan nilai-nilai luhur kemanusiaan. 

Dalam prakteknya memang meski perbudakan sudah terhapuskan namun walau tak setelanjang aksi perbudakan di pabrik di Tangerang, masih ada aksi perbudakan dalam wajah berbeda, seperti upah murah dan minimnya jaminan keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Dan semua ini bermuara pada masih banyaknya rakyat miskin di negeri ini. Kemiskinan seharusnya bukanlah suatu kehinaan dan tak seharusnya pula kemiskinan menjadi dalil bagi pihak manapun untuk menista nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya kekayaan materi bukan pula suatu kemuliaan yang mentahbiskan pihak manapun merasa berhak untuk menginjak nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam pemuliaannya di atas singgasana gelimang harta materi dengan mengoyak-ngoyak hakikat luhur manusia lain. Karena pada dasarnya manusia yang mencapai kemuliaan adalah dia yang dapat menghargai manusia lain dan tanpa itu manusia tersebut takkan dapat mencapai kemuliaannya sebagai sebuah karya agung Sang Pencipta.