Total Tayangan Halaman

Translate

Kamis, 15 Agustus 2013

Review Novel: The Devil's Alternative - Frederick Forsyth

Untuk: Selvia Lusman, yang novelnya kuculik sebelum ia sendiri sempat membacanya

Posisi Maxim Rudin, Presiden Uni Soviet sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis Soviet tengah berada di ujung tanduk. Pasalnya kegagalan panen gandum akibat masalah teknis dari proses penciptaan benihnya akan membawa Soviet dan negara-negara persemakmurannya berada di ambang kelaparan besar. Yefrem Vishnayev, ahli teori partai tengah mengincar posisi Rudin telah berhasil mendekati beberapa pihak dan bersiap menjatuhkan Rudin atas krisis panen ini. Masalah yang dihadapi Rudin sesungguhnya bukan hanya soal krisis gandum yang akan membawa Soviet menuju bencana kelaparan. Dokter kepercayaannya telah memberitahunya bahwa ia mengidap penyakit parah. Leukimia yang mempertipis jangka waktu hidupnya di dunia. Karena kondisi kesehatannya inilah, Rudin sebenarnya telah mempersiapkan pensiunnya dan berencana menyerahkan tampuk kekuasaannya pada orang kepercayaannya, Vassili Petrov. Tapi bila lawannya mengetahui kondisi kesehatannya ditambah krisis gandum yang mengancam bencana kelaparan nasional, bisa jadi masa pensiunnya takkan terjadi sesuai harapannya. Bisa jadi ia akan mengalami nasib terhina seperti pendahulunya, Malenkov yang jatuh dalam hina, begitu pun yang terjadi dengan Khrushchev, sementara Brezhnev membuat semuanya menereka-nerka hingga menit-menit terakhir.

Kondisi kesehatan Rudin ini hanya diketahui oleh dua orang kepercayaannya, Yuri Ivanenko, orang yang dipercaya Rudin untuk mengisi posisi pimpinan puncak KGB, walau Ivanenko yang kebarat-baratan menimbulkan kecurigaan di kalangan partai komunis yang sangat anti kapitalisme dan membuatnya memiliki banyak musuh yang ingin menghancurkannya. Posisinya sebagai Kepala KGB yang tugasnya memata-matai tak hanya warga Soviet tapi juga para petingginya, membuat Ivanenko sudah tahu kondisi kesehatan Rudin. Seorang lagi adalah Vassili Petrov, Kepala Bagian Organisasi Partai dari Sekretariat Jenderal, yang dipercaya Rudin sebagai penggantinya, diberitahu langsung oleh Rudin mengenai kondisi kesehatannya. Selain dua orang tersebut, Rudin masih memiliki seorang lagi pendukungnya dalam politbiro melawan kelompok Vishnayev yaitu Dimitri Rykov, Menteri Luar Negeri veteran yang memihak Rudin karena tak bisa ke mana-mana lagi.

Sementara Vishnayev, sang ahli teori partai ini memiliki dukungan penuh dari Marsekal Nikolai Kerensky, Menteri Pertahananan sekaligus Kepala Pasukan Merah. Sebenarnya Vishnayev tak memiliki pendukung yang sangat loyal selain Kerensky, tak seperti Rudin yang bisa sepenuhnya yakin pada Ivanenko dan Petrov, tapi Vishnayev berhasil membujuk beberapa anggota politbiro lainnya untuk mendukungnya, di antaranya adalah Menteri Pertanian, Komarov yang gara-gara kealpaannya, membuat panen gandum Soviet terancam gagal.

Untuk mengantisipasi bencana kelaparan, hanya ada satu pilihan, meminta bantuan dari musuh besar Soviet, Amerika Serikat. Opsi inilah yang terpaksa ditawarkan Rudin dalam rapat politbiro yang setengah dari anggotanya telah siap sedia menjatuhkannya. Membeli gandum dari Amerika Serikat, berarti akan ada konsensus-konsensus yang pasti akan dipaksakan pihak Amerika Serikat pada pemerintah Uni Soviet. Dan salah satu konsensi yang pasti akan dipaksakan oleh pihak Amerika Serikat adalah pembatasan persenjataan Soviet. Sebuah langkah mundur bagi Soviet, tapi bencana kelaparan yang mengancam di depan mata jauh lebih mengerikan dan mungkin akan berakibat pada kehancuran Soviet. Vishnayev tak menyukai usulan Rudin yang berarti akan mempermalukan Soviet. Ia dan Kerensky pun menawarkan opsi lain. Melakukan perang besar-besaran di Eropa Barat yang bila berhasil ditaklukkan Soviet, akan dapat membantu Soviet terhindar dari bencana kelaparan besar-besaran. Tapi kemungkinan keberhasilan dari perang ini tak bisa dipastikan. Bisa jadi Amerika Serikat tidak akan rela dan tinggal diam membiarkan Soviet yang pada akhirnya justru akan membawa kehancuran bagi Soviet sendiri. Suara pun terbelah. Vishnayev mengusulkan pemungutan suara. Hasilnya sangat ketat. Kubu Rudin mengumpulkan tujuh suara, unggul satu suara dari kubu Vishnayev.  Rudin baru saja lolos dari lubang jarum. Tapi ia sadar, masa pensiun nyaman yang didambakannya harus diupayakan sekuat tenaganya.

Sementara itu, Amerika Serikat sendiri lewat satelit Condor miliknya sebenarnya telah mengetahui bahwa ada yang tak beres dengan gandum di ladang-ladang Uni Soviet. Tapi memenuhi permintaan pembelian gandum dari Uni Soviet bukanlah hal yang mudah untuk diputuskan. Presiden Amerika Serikat, William Matthews pun menggelar rapat internal dengan melibatkan penasihat keamanannya, Stanislaw Poklewski, Robert Benson dari CIA, dan Myron Fletcher, kepala analis urusan gandum Soviet dari Kementerian Pertanian. Poklewski yang merupakan keturunan Yahudi dan telah lama memendam rasa bencinya pada Soviet yang berlaku tak ramah pada keturunan Yahudi-Soviet, lebih suka bila Amerika tak menjual gandumnya secara mudah pada Soviet. Ia mengusulkan untuk melakukan "pemerasan" pada Soviet, terlebih melihat data yang ada, panen gandum Soviet benar-benar mengkhawatirkan, ia meyakinkan Presiden Matthews bahwa persediaan gandum Amerika yang tengah melimpah bisa menjadi senjata ampuh untuk menekan dan melucuti Soviet habis-habisan.

Di lain kisah, Kedutaan Inggris di Moskow mengalami masalah. Salah seorang Sekretaris Bagian Perdagangan Kedutaaan Besar Inggris di Moskow, Harold Lessing, yang sebenarnya merupakan agen intelijen Inggris ambruk akibat pendarahan lambung. Sir Nigel Irvine, Direktur Jenderal SIS, badan intelijen Inggris di London langsung dikabari. Posisi Lessing sangat penting karenanya harus segera dicari penggantinya. Seorang nama disodorkan. Adam Munro.

Ada satu peraturan di lembaga intelijen bagi tiap personilnya untuk terus memperbaharui data pribadi mereka. Adam Munro bukanlah pengecualian, tapi ada sebuah rahasia yang disimpannya dan tak ditulisnya dalam perkembangan data pribadinya. Di masa lalunya, Munro saat bekerja di Reuters sempat menjalin kisah asmara dengan seorang gadis Soviet di Jerman. Namun saat tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Timur hampir jadi, kekasih Munro ini tak bisa meninggalkan keluarga dan mengkhianati negaranya. Ia pun memilih pergi meninggalkan Munro. Kisah cinta sedihnya inilah yang disimpan Munro bagi dirinya sendiri dan tak pernah diungkapkan pada siapa pun.

Suatu hari di musim panas, Munro benar-benar tak menyangka ketika ia bertemu kembali dengan Valentina, kekasihnya yang meninggalkannya di Berlin dulu itu. Valentina sudah menikah tapi suaminya telah meninggal dunia. Ia memiliki seorang anak bernama Sasha. Berkat bantuan dari paman mendiang suaminya, Valentina bisa bekerja sebagai sekretaris di politbiro. Dan berkat bantuan paman mendiang suaminya ini pula, Valentina bisa menjalani kehidupan yang lebih baik di Soviet. Tapi Valentina merasa tidak bahagia. Ia mengungkapkan pada Munro mengenai apa yang didengarnya dalam rapat politbiro. Tentang rencana paman mendiang suaminya yang ternyata adalah Marsekal Nikolai Kerensky, sang Kepala Pasukan Merah sekaligus Menteri Pertahanan, untuk melakukan perang besar-besaran menyerang Eropa. Secara rahasia, Valentina memberikan transkrip rapat politbiro pada Munro untuk disampaikan pada pemerintahnya dan berharap pihak Barat bisa menggagalkan rencana paman mendiang suaminya ini. Pertemuan-pertemuan rahasia antara Munro dan Valentina pun kerap terjadi. Valentina secara rutin memberikan transkrip rapat politbiro pada Munro. Dalam salah satu transkrip itu juga mencakup masalah krisis panen gandum yang akan membawa bencana kelaparan bagi Soviet. Munro memberi nama sandi Bulbul untuk Valentina.

Sudah bukan rahasia bila SIS dan CIA kerap saling bertukar informasi. Berita yang didapat Munro dari Bulbul merupakan harta tak ternilai bagi kedua badan intelijen ini. Presiden Matthews dan jajarannya yang semula masih ragu dan memilih akan menekan habis Rudin sebelum menyetujui permintaan pembelian gandum dari Soviet, tercengang mendengar rencana gila Kerensky yang berniat membuat Eropa kembali ke masa gelap seperti masa Hitler dulu. Dalam transkrip yang dikirimkan Bulbul itu terungkap pula konspirasi yang diatur Vishnayev dan Kerensky untuk menjatuhkan Rudin. Bila Rudin jatuh dan Vishnayev yang menggantikannya, berarti Kerensky bisa melakukan rencana gilanya ala Hitler itu. Dan itu bukan hanya akan menjadi bencana regional tapi akan berdampak global. Amerika tak bisa tinggal diam. Tak ada pilihan lain. Amerika Serikat harus membantu Rudin. Walau tetap harus ada konsensus di balik penyetujuan menjual gandumnya pada pihak Soviet, tapi Amerika Serikat memilih bersikap lunak pada Rudin demi menjaga agar posisi Rudin tak jatuh ke tangan maniak gila macam Vishnayev.

Pertemuan bilateral antara Uni Soviet dan Amerika Serikat digelar. Dipilihlah negara yang netral untuk melangsunngkan pertemuan besar ini, dan pilihan jatuh pada Irlandia. Pemerintah Irlandia pun menyatakan kesiapannya untuk menggelar pertemuan ini yang akan dilangsungkan di Dublin. Walau pembicaraan kedua pihak berlangsung alot, tapi keduanya nyaris mencapai kesepakatan yang mana kesepakatan itu akan disebut dengan nama Traktat Dublin. Di tengah pertemuan ini, terjadi hal di luar dugaan. Yuri Ivanenko, sang Kepala KGB tewas ditembak oleh dua orang Ukraina keturunan Yahudi. Bila hal ini diketahui secara luas, keutuhan Uni Soviet di ambang bencana. Ukraina yang sejak lama tak rela dengan pendudukan Soviet memang sudah seperti api dalam sekam bagi Soviet. Namun selain Ukraina, ada banyak daerah pendudukan Soviet lainnya yang sudah gerah dengan kekejaman Soviet. Polandia, Rumania, Georgia, merupakan beberapa di antaranya yang memendam hasrat memerdekakan diri dari pendudukan Soviet. Dan bila pembunuhan terhadap Kepala KGB yang sangat ditakuti ini sampai tersiar luas, bisa dipastikan akan ada huru-hara besar, dan Pasukan Merah sekalipun takkan sanggup mengatasi kondisi tersebut. Untuk itu kematian Ivanenko pun dirahasiakan. Meski begitu, Rudin tak bisa menyembunyikan hal ini dari politbiro. Kali ini posisi Rudin benar-benar di ujung tanduk. Ia sudah tak lagi memiliki kartu as menghadapi Vishnayev.

Rahasia kematian Ivanenko memang berhasil ditutupi Soviet dengan mengatakan bahwa sang Kepala KGB itu tengah dirawat di sebuah klinik karena terkena serangan jantung. Seluruh dunia yang tak tahu menerima saja berita ini. Tapi ada sekelompok patriotis Ukraina yang sangat tahu keadaan sebenarnya tak ingin tinggal diam dengan kebohongan ini. Kedua orang yang membunuh Ivanenko itu rupanya salah satu dari kelompok patriotis ini. Adapun ketua kelompok ini adalah Andrew Drake yang merupakan warga negara Inggris keturunan Ukraina. Meski lahir dan dibesarkan di Inggris, Andrew Drake yang sebelumnya bernama Andriy Drach, mewarisi kebencian akan Soviet dari ayahnya yang  merupakan pemberontak Ukraina yang sangat beruntung karena bisa lolos dan hidup tenang di Inggris. Ibunda Drach sendiri tak menyukai propaganda kebencian yang ditanamkan suaminya pada putranya ini. Setelah kematian suaminya, ibu Drach mengubah nama keluarga mereka menjadi Drake dan mengganti nama Andriy dengan Andrew.

Andrew Drake yang ternyata tak pernah bisa melupakan kebencian yang ditanamkan ayahnya pada Soviet menemukan waktu yang tepat untuk membalas dendam pada Soviet saat melihat sebuah berita tentang seorang asing yang hampir tewas setelah sekian hari terapung-apung dalam sebuah perahu layar sebelum akhirnya diselamatkan oleh awak kapal Garibaldi yang tengah beralyar di pantai timur Turki. Orang tersebut belakangan diketahui bernama Miroslav Kaminsky, seorang pemberontak Ukraina yang berhasil melarikan diri. Dari Kaminsky inilah Drake mengetahui tentang David Lazareff dan Lev Mishkin, dua orang keturunan Yahudi yang amat benci pada Soviet dan telah berkali-kali mengajukan ijin pergi dari Soviet menuju Israel tapi tak pernah disetujui Soviet karena kedua ayah mereka sempat tertangkap dalam foto tengah menghadiri acara pemberontakan terhadap pemerintahan Soviet. Sebuah skenario pun disusun. Drake mengajak pula seorang keturunan Ukraina lainnya. Azamat Krim, seorang warga negara Kanada keturunan suku Tartar yang juga sangat membenci Soviet. Kedua teman Yahudi Kaminsky, Lazareff dan Mishkin akan membunuh Ivanenko, Kepala KGB, lalu mereka secepat mungkin berusaha melarikan diri dari Soviet ke Israel, di sana mereka akan mengadakan jumpa pers dan mengungkapkan bahwa mereka telah membunuh sang Kepala KGB itu, berita ini akan menjadi pukulan telak bagi pemerintah Soviet. Untuk mendukung operasi ini dibutuhkan dana yang besar, Drake dan Krim pun merencanakan merampok sebuah bank yang nantinya dana tersebut akan digunakan mereka untuk membeli senjata bagi Lazareff dan Mishkin.

Pembunuhan terhadap Kepala KGB berhasil dilaksanakan tapi masalah muncul saat kedua pembunuhnya ini berencana melarikan diri. Keduanya sudah berhasil membajak Aeroflot bermesin ganda, Tupolev 134, pesawat Soviet yang sedianya akan melakukan penerbangan domestik dari Lvov menuju Minsk tapi dipaksa oleh Lazareff dan Mishkin untuk berbelok ke barat tapi bahan bakarnya hanya cukup sampai Berlin. Saat Kapten Rudenko berniat mendaratkan pesawatnya di Berlin Timur yang masih masuk kawasan Soviet, kedua pembajak ini segera sadar dan memaksa sang kapten untuk naik kembali, tapi kepanikan membuat keadaan makin parah. Dalam kepanikan itu, tanpa sengaja Mishkin menembak Kapten Rudenko hingga tewas. Kendali pesawat digantikan oleh seorang kopilot yang masih muda dan ketakutan di bawah todongan senjata kedua pembajak tersebut. Sebenarnya Tupolev yang tengah dibajak ini saat melintas di Warsawa sempat dikepung enam pesawat tempur Soviet Mig-23 yang berbasis di Polandia. Sang Menteri Pertahanan, Nikolai Kerensky pun telah mendapat laporan tapi ia pikir hal ini bisa jadi skandal akhir yang akan menjatuhkan Rudin di mata politbiro, maka tak ada tindakan apa-apa yang dilakukan terhadap Tupolev yang tengah dibajak itu. Adalah seorang polisi bandara dari Berlin Barat yang akhirnya menembak ban pesawat yang tengah melayang oleng di atas rumah-rumah di luar pagar lingkungan bandara, karena mengira ini adalah salah satu bentuk lain dari serangan Soviet. Tupolev yang tengah dibajak itupun jatuh di basis Angkatan Udara Amerika Serikat di Berlin Barat.

Penahanan Lazareff dan Mishkin oleh pihak Berlin Barat ini memunculkan polemik internasional. Rudin yang akhirnya tahu bahwa kedua pembajak itu adalah pembunuh sang Kepala KGB kepercayaannya, ingin keduanya dikembalikan ke Soviet untuk menerima pembalasan dendamnya. Tapi pihak pemerintah Federal Jerman tak bisa begitu saja menyerahkan keduanya kepada Soviet mengingat posisi jatuhnya adalah di kawasan Berlin Barat walaupun pesawat yang dibajak mereka adalah pesawat Soviet dan seluruh penumpangnya pun merupakan warga Uni Soviet, pun penembakan terhadap Kapten pesawat itu terjadi di kawasan udara Soviet. Pertimbangan lainnya, keduanya adalah warga keturunan Yahudi yang amat dibenci Soviet sehingga pihak Federal Jerman tak bisa begitu saja membiarkan kedua pembajak malang itu dihukum secara tidak adil di Soviet. Rudin yang geram pun mengancam Presiden Amerika Serikat, William Matthews, agar mendesak pemerintah Federal Jerman untuk mengembalikan kedua pembajak itu ke tangan Soviet, apalagi pesawat Tupolev yang dibajak itu jatuh di Pangkalan Angkatan Udara Amerika Serikat di Berlin Barat. Pilihan yang ditawarkan oleh Rudin pada Matthews adalah serahkan kedua pembajak itu kepada Soviet atau Traktat Dublin batal. Amerika Serikat pun kebingungan. Walaupun sebenarnya Rudin akan menghadapi bencana besar yang mungkin berujung pada pelengserannya bila Traktat Dublin itu batal yang artinya pengiriman gandum dari Amerika Serikat pun batal, tapi bagi Rudin akan lebih mengerikan akibatnya bila sampai kedua pembajak itu lepas dari Soviet dan mengungkapkan mengenai pembunuhan yang dilakukan mereka terhadap Kepala KGB.

Gagalnya pembajakan yang dilakukan Lazareff dan Mishkin yang sedianya akan melarikan diri ke Israel dan bukannya mendekam di penjara Berlin Barat ini pun menjadi keprihatinan rekan sekelompoknya. Dalam kebingungan ini, Andrew Drake, pemimpin dari gerakan rahasia ini menemukan cara lain untuk menyelamatkan dua rekannya hingga sampai ke Israel dan mengumumkan pembunuhan yang mereka lakukan sesuai rencana. Mereka akan membajak sebuah kapal tanker penuh muatan minyak menuju Belanda. Pembajakan atas kapal tanker bernama Freya inilah yang menjadi polemik internasional karena jutaan ton minyak yang dibawa kapal tanker ini bila sampai benar-benar ditumpahkan oleh para pembajaknya ini akan menimbulkan dampak lingkungan serius di lima daerah pantai Eropa Barat. Segala upaya dilakukan untuk menyelamatkan Freya. Pasukan Khusus bahkan sudah disiapkan Inggris untuk mengambil alih Freya dari para pembajak. Amerika Serikat pun telah memerintahkan kapal tempurnya yang kebetulan berada di sana untuk menembak dan menenggelamkan Freya bila sudah tak ada opsi lain. Sementara itu di dalam kapal tanker itu juga terjadi perang psikologis antara kapten dari kapal tanker itu, pelaut Norwegia, Thor Larsen dengan Andrew Drake yang menggunakan nama samaran Svoboda, sebuah kata dalam bahasa Ukraina yang berarti kebebasan.

Di antara drama pembajakan ini, sepertinya tak ada solusinya ini selain memenuhi permintaan para pembajaknya, untuk mengirimkan Lazareff dan Mishkin ke Israel. Tapi bila hal ini yang dilakukan maka posisi William Matthews, Presiden Amerika Serikat akan sulit, Traktat Dublin yang digadang-gadang akan menjadi warisan dari akhir masa pemerintahannya yang akan membuatnya dikenang karena berhasil membawa perdamaian dunia akan kandas. Presiden Amerika Serikat pun mencoba mencari tahu mengapa Presiden Soviet, Maxim Rudin begitu ngotot memaksa pengembalian kedua pembajak keturunan Yahudi itu dan mengorbankan karirnya sendiri. Presiden Matthews pun meminta Perdana Menteri Inggris, Joan Carpenter mencari tahu lewat Bulbul apa yang sebenarnya tengah terjadi. Tapi demi mencari jawaban ini bayarannya amat mahal bagi Adam Munro. Ia harus kehilangan Valentina alias Bulbul untuk kedua kalinya. Munro yang marah pada kedua pemimpin dunia itu yang telah membuatnya harus kehilangan kembali wanita yang dicintainya mengorbankan karirnya sebagai agen intelijen, tapi ia memberikan solusi yang akhirnya berhasil menyelamatkan Presiden Uni Soviet dan Amerika Serikat. Namun di ujung kisah, Munro menemukan kebenaran yang sama sekali tak disangkanya. Sebuah kenyataan sebenarnya mengenai wanita yang dicintainya itu.

Catatan: Frederick Forsyth memang sangat piawai dalam meramu cerita mengenai spionase yang diramu dengan intrik-intrik politik internasional tingkat tinggi. Begitu pun kisah dalam novel The Devil's Alternative ini, tapi menurut pendapat pribadiku sendiri, novel ini tak semenarik The Fourth Protocol. Meski begitu, seperti karya-karya Frederick Forsyth lainnya, dalam novelnya ini, pembaca akan benar-benar dibuat tercengang dengan ending yang sama sekali tak terduga. Sedikit catatan juga untuk penerbit Serambi, yang menerbitkan novel The Devil's Alternative terjemahan Indonesia ini, ada beberapa terjemahan kata ganti orang pertama dan kedua yang rasanya tak pas. Kelihatannya penerjemahnya kebingungan memilih penggunaan kata ganti orang pertama dan kedua yang pas. Ada dalam satu paragraf, yang merupakan percakapan antara Svoboda dengan Kapten Thor Larsen, Svoboda sampai menggunakan dua kata ganti orang pertama, Saya dan Aku dalam pembicaraan tersebut terhadap orang yang sama, seperti yang tercetak di halaman 538:

"Kamu orang yang berani, Thor Larsen," katanya. "Tapi tak ada yang berubah. Aku masih dapat menumpahkan setiap ton minyak mentah dari kapal ini dengan pompanya sendiri dan sebelum selesai separuhnya, angkatan laut di luar sana akan menembak Freya dan menyelesaikan tugasnya. Kalau pihak Jerman melanggar janjinya lagi, itulah yang akan saya lakukan pukul sembilan nanti."

Juga dalam satu paragraf yang juga merupakan bentuk percakapan, sampai ada dua kata ganti orang kedua, Kamu dan Anda.

Tapi ada satu kalimat yang mengesankan bagiku yang terdapat dalam halaman 100. Kalimat ini merupakan potongan pidato yang diucapkan oleh pujangga modern paling terkemuka Ukraina, Ivan Dzuba pada 29 September 1966 dekat Kiev, di celah Babi Yar tempat di mana 50.000 lebih orang Yahudi dibantai oleh SS Nazi pada 1941-1942, dan tempat ini dipilih Dzuba untuk mengucapkan pidatonya yang ditujukan untuk mengkritisi semua bentuk tirani baik Nazisme maupun Fasisme seperti yang dilakukan Soviet yang menghancurkan semangat manusia secara brutal.

"Oleh karena itu, seharusnya kita nilai setiap masyarakat," katanya, "bukan dari prestasi teknisnya semata, melainkan dari posisi serta maknanya bagi manusia, dari nilainya bagi martabat serta nurani manusia."

Akankah Damai Tercipta di Mesir?


Peristiwa berdarah kembali terjadi di Mesir. Sejak pelengseran terhadap Presiden Muhammad Mursi oleh aksi militer pada 3 Juli silam, Mesir memang belum juga memperlihatkan tanda-tanda kedamaian meski pemerintahan baru Mesir sudah dibentuk, tapi aksi-aksi unjuk rasa pro - Mursi yang dimotori Ikhwanul Muslimin, kelompok pendukung Presiden terguling Muhammad Mursi masih terus berlangsung hingga mengakibatkan bentrok antara pasukan keamanan Mesir dengan pendukung Mursi.

Tapi aksi kekerasan yang terjadi, Rabu (14/8) kemarin bisa dibilang merupakan peristiwa paling berdarah sepanjang krisis politik Mesir belakangan ini. Aksi kekerasan dimulai ketika polisi huru hara Mesir menyerbu dua tenda darurat yang penuh dengan pendukung Mursi dan membuldoser tempat tersebut, membuat publik terkenang pada kejadian berdarah di Lapangan Tiananmen, tahun 1989 silam yang dilakukan militer China terhadap demonstrasi mahasiswa pejuang pro-demokrasi di negeri berjuluk negeri tirai bambu yang saat itu masih sangat tertutup dari dunia luar.

Kejadian di Mesir hampir serupa. Walau mendapat serangan dari petugas keamanan namun para pengunjuk rasa, yang menilai pihak keamanan Mesir telah melanggar Hak Asasi Manusia terhadap para demonstran yang melaksanakan aksi demonstrasi damai, tetap menolak beranjak bahkan menghadang jalan buldozer hingga mengakibatkan ratusan orang tewas dan sebagian besar lainnya luka-luka.

Sebelumnya pemerintah Mesir melalui siaran televisi negara, Nile TV, telah menetapkan masa darurat pada Rabu dimulai pukul 16.00 waktu setempat. Masa darurat ini akan berlaku selama satu bulan.

Selain itu pemerintah Mesir juga memberlakukan jam malam di Kairo dan di 11 provinsi lainnya di antaranya, Giza, Alexandria, Sinai Utara, Sinai Selatan, dan Suez. Seperti masa darurat, jam malam ini pun ditetapkan akan berlaku selama satu bulan. Pemberlakuan jam malam ini dilakukan untuk mengatasi aksi kekerasan yang menyebar ke seluruh penjuru negeri setelah polisi membubarkan pengunjuk rasa pro-Mursi di Kairo. Jam malam ini dimulai dari pukul 19.00 sampai pukul 06.00 waktu setempat dan semua pelanggaran atas jam malam, berdasarkan pengumuman pemerintah, akan berujung pada hukuman penjara. Agaknya hal inilah yang memicu insiden berdarah pada Rabu kemarin itu.

Penetapan masa dan darurat dan jam malam ini agaknya mendapat tentangan pula dari Wakil Presiden Mesir, Mohammed ElBaradei. Ia memperkirakan keadaan ini akan membuat situasi di Mesir semakin memburuk. Rabu (14/8) kemarin, ElBaradei telah mengirimkan surat pengunduran dirinya kepada Presiden Interim Mesir, Adly Mansour.

ElBaradei adalah penerima nobel asal Mesir. Ia pernah diusulkan menjadi perdana menteri oleh Presiden sementara Mesir, Adly Mansour tapi mendapat tentangan keras dari kubu Islamis yang dimotori Ikhwanul Muslimin sebelum akhirnya ditetapkan sebagai Wakil Presiden Urusan Luar Negeri.

Saat masa pemerintahan Mursi, ElBaradei dikenal sebagai tokoh oposisi Mesir yang menentang pemerintahan Muhammad Mursi dan bahkan bersama sejumlah tokoh oposisi lainnya, ia kerap memotori aksi unjuk rasa menentang pemerintahan Mursi hingga akhirnya Mursi digulingkan dari kekuasaannya lewat aksi militer pada 3 Juli silam.

Dalam pernyataannya saat mengumumkan pengunduran dirinya, Rabu kemarin, ElBaradei mengungkapkan ia tak bisa menentang hati nuraninya melihat setiap tetes darah yang harus ditumpahkan atas keputusan yang sama sekali ditentangnya.

"Saya tidak bisa terus menanggung beban atas keputusan yang tidak saya setujui dan saya akui konsekuensinya. Saya tidak bisa bertanggung jawabn atas setiap tetes darah," ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Dalam aksi berdarah Rabu kemarin ini, menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Mesir sekitar 235 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Namun Ikhawanul Muslimin yang menyebut serangan itu sebagai pembantaian, mengklaim angka korban tewas mencapai lebih dari dua ribu jiwa.

Di antara jumlah orang yang tewas terdapat pula wartawan-wartawan asing yang meliput insiden berdarah Rabu kemarin itu. Di antaranya yang tewas adalah juru kamera Sky News, Inggris, Mick Deane dan seorang wartawati dari Gulf News, Habiba Abdel Azas seperti yang dilaporkan oleh ketua editornya, Francix Matius pada CNN. Sementara seorang wartawan Reuters, Asman Waguih juga dikabarkan tertembak saat meliput bentrok ini.

Insiden Rabu berdarah ini juga menewaskan putri petinggi Ikhwanul Muslimin, Mohammed al-Beltagni yang baru berusia tujuh belas tahun bernama Asmaa al-Beltagni. Dilaporkan Asmaa tewas dalam bentrokan di lapangan Rabaa al-Adawiya oleh juru bicara Ikhwanul Muslimin, Gehad al-Haddad. Asmaa dikabarkan tertembak di dada dan punggungnya.

Perdana Menteri Mesir, Hazel el Beblawi dalam siaran di televisi menyampaikan penyesalannya atas jatuhnya korban jiwa dalam insiden tersebut, ia berjanji keadaan darurat nasional akan segera dicabut. Meski begitu, ia tak bisa menyalahkan penyerbuan yang dilakukan pihak keamanan dan menyatakan hal itu harus dilakukan demi keamanan, walau ia juga mengakui bukanlah keputusan mudah untuk membubarkan pendukung Mursi dengan paksa.

Sementara itu banyak pihak mengecam insiden berdarah yang terjadi di Mesir, Rabu kemarin itu. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon hingga pemerintah Amerika Serikat mengecam keras keputusan pemerintah Mesir menggunakan aksi kekerasan untuk membubarkan pengunjuk rasa pendukung Muhammad Mursi. Amerika Serikat lewat juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest menyatakan penyesalan atas insiden berdarah di Mesir itu. Menurut Earnest, kekerasan hanya akan makin mempersulit Mesir untuk mencapai stabilitas dan demokrasi. Ia juga mengingatkan bahwa aksi kekerasan oleh pihak keamanan Mesir itu bertentangan dengan janji pemerintah sementara Mesir dalam mengusahakan rekonsiliasi. Earnest juga mendesak pemerintah dan semua pihak di Mesir untuk menahan diri dari tindakan kekerasan dan menyelesaikan perbedaan pendapat ini dengan damai.

Di dalam negeri Mesir sendiri, saling lempar kesalahan masih terus terjadi. Naguib Sawiris, miliarder Mesir yang menyokong partai anti-Mursi, Free Egyptian Party, menyatakan partainya memiliki rekaman video yang memperlihatkan anggota Ikhwanul Muslimin menembaki penduduk sipil dan polisi dengan menggunakan senapan mesin.

"Jadi siapa pun yang ingin menyebutnya sebuah demonstrasi damai akan salah," tuding Sawiris.

Namun pernyataan Sawiris ini mendapat bantahan dari Ahmed Mustafa, Jurubicara Ikhwanul Muslimin yang mengatakan pada CNN London bahwa yang berusaha ditampilkan Sawiris itu adalah sebuah video orang bertopeng dengan senjata. Menurutnya kejadian yang terjadi justru sebaliknya, adalah para polisi yang melempar peledak ke dalam klinik darurat yang menangani para korban.

Salah satu saksi yang menolak disebutkan namanya melaporkan pada CNN bahwa para dokter di rumah sakit darurat dipaksa meninggalkan tempat dengan todongan senjata dari pasukan keamanan.

Sumber baru CNN di Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan, para pendukung Mursi menyerang tiga kantor polisi. Dari pihak keamananan Mesir, menurut laporan Menteri Dalam Negeri Mesir, Mohammed Ibrahim, 43 orang petugas keamanan Mesir tewas. Jumlah korban tewas dari pasukan keamanan Mesir tersebut terdiri dari 18 orang polisi termasuk dua orang jenderal dan dua kolonel, 15 polisi, 9 wajib militer, dan satu orang pegawai sipil polisi.

Entah siapa yang sebenarnya berkata jujur dan siapakah yang berdusta. Namun yang pasti, gejolak Mesir tidak akan selesai sebelum semua pihak mau berkepala dingin, berpikir rasional, tanpa menyertakan ego masing-masing akan kekuasaan, karena apa yang dipertaruhkan terlalu besar. Darah dari rakyat Mesir sendiri. Hal ini pula yang menjadi keprihatinan dan kekecewaan ElBaradei saat mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden Mesir.

"Sayangnya, mereka yang mendapatkan keuntungan dari apa yang terjadi hari ini adalah mereka yang menyerukan kekerasan dan teror, kelompok ekstremis."