Total Tayangan Halaman

Translate

Selasa, 28 April 2015

Resensi Buku : Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman - Warisan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid

Editor : Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : xviii + 182 hlm

Berbicara tentang Gus Dur adalah juga berbicara tentang perjalanan bangsa ini menuju babak baru reformasi yang kini tampak tak jelas arahnya. Namun Gus Dur ternyata sudah jauh-jauh hari mengkhawatirkan ketidakjelasan arah reformasi saat babak baru itu memulai lembaran awalnya.

Berbicara tentang Gus Dur adalah juga berbicara tentang pluralisme bangsa ini. Meski tumbuh dalam keluarga santri yang sangat kental keislamannya namun ia tak pernah antipati pada kelompok keyakinan yang berbeda dengannya.

Gus Dur sepertinya tak pernah kehabisan topik. Kemampuan pikirnya sangat luas jangkauannya. Ia juga merupakan penulis yang produktif bahkan di saat periode Orde Baru dimana mengemukakan pendapat masih memiliki banyak keterbatasan dan belenggu. Topik tulisan Gus Dur juga beragam tak melulu soal politik dan agama, tapi ia juga sangat piawai dalam menulis ulasan soal sepakbola. Dan buku ini merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang pernah dimuat dalam harian Kompas. Dibagi dalam empat bagian yang mengupas soal Agama Islam Dan Negara di bagian pertama, kepemimpinan politik di bagian kedua. Sementara di bagian ketiga berisi kumpulan tulisan Gus Dur mengenai kepemimpinan moral spiritual terhadap Romo Mangunwijaya, Gus Miek, Kiai Achmad Shiddiq dan Tuan Guru Faisal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Terakhir, di bagian keempat merupakan tulisan-tulisan Gus Dur mengenai politik dan demokrasi.

Sub judul buku ini, Warisan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid, agaknya sangatlah tepat, karena Gus Dur dan segala pemikirannya merupakan warisan bagi negara ini yang tengah berada dalam kebimbangan di tengah alur reformasi yang kehilangan arahnya. Buku ini sendiri saat cetakan pertamanya pada Oktober 1999 adalah saat ketika Gus Dur ditetapkan sebagai Presiden ke-4 republik ini. Pada cetakan ketiganya di Januari 2010, satu dasawarsa kemudian, buku ini tetap layak menjadi refleksi perjalanan bangsa ini.

Membaca buku ini sebenarnya tak terlalu sampai harus membuat kening berkerut, walau pada beberapa tulisan yang ditulis pada masa Orde Baru di mana ada pengekangan dalam menyatakan pendapat sehingga kalimat yang digunakan tak terlalu gamblang tersurat, namun Gus Dur tetap lugas dalam menyatakan opininya. Secara pribadi, aku paling suka membaca mengenai pandangan Gus Dur soal politik negeri Jiran yang tercantum dalam dua bagian. Di bagian pertama, bab 5 dengan judul: Anwar, UMNO, Dan Islam di Malaysia, Gus Dur membahas pandangannya soal Anwar Ibrahim yang semula merupakan "putra mahkota" Mahathir Mohamad, sangat islami karena pernah aktif sebagai ketua ABIM namun kemudian ia masuk ke lembaga kepemudaan UMNO yang membuatnya sangat melayu tapi juga tak meninggalkan keislamannya, sangat cocok seperti Mahathir Mohamad yang juga sangat Islam dan sekaligus sangat melayu, sehingga tak heran bila ia digadang-gadang akan menggantikan Mahathir sebagai Perdana Menteri Malaysia, tapi apa mau dikata, sejarah kemudian berkata lain. Anwar Ibrahim malah kemudian menjadi musuh Mahathir dan didakwa dalam kasus sodomi dan korupsi.

Sementara dalam bagian kedua di bab 10 dengan judul: Anwar, Mahathir, Dan Kita di Indonesia, Gus Dur menuliskan bagaimanapun kasusnya, ia tak ingin terjebak dalam politik negeri Jiran tersebut. Ia tak ingin terjebak dalam dukung-mendukung soal mana yang benar. Namun saat diminta turut mendukung surat protes atas penangkapan Anwar Ibrahim oleh Pemerintah Malaysia yang diajukan Adnan Buyung Nasution, Gus Dur bersedia setelah dalam surat tersebut dicantumkan kalimat "Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri dan mantan Menteri Keuangan" karena menurut Gus Dur dengan pencantuman kalimat tersebut ia tidak berpihak kepada siapapun dalam sengketa antara Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohamad.

Di bab ketiga yang membahas sosok kepemimpinan moral spiritual tampak jelas kesahajaan Gus Dur dalam menerima bahkan yang mungkin tak sepaham dengannya. Gus Dur sebagai tokoh nasional sangat terbuka atas berbagai pandangan walau keislamannya tak perlu disangsikan lagi. Tak heran walau sempat tak sependapat dengan Tuan Guru Faisal, pemimpin besar NU di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan jelas Tuan Guru Faisal menyatakan pada keluarganya bahwa jika ia meninggal maka orang pertama di Jakarta yang harus di beritahu adalah K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan bukan PBNU-nya.

Bagian yang juga menarik dari buku ini adalah ketika Gus Dur yang berani mengemukakan pandangan yang pastinya ia sadari, kontroversial, seperti ketika ia mengemukakan pandangan secara konstitusional bahwa nonmuslim bisa saja menjadi presiden negeri ini. Tentu saja pernyataannya menjadi kontroversial, karena secara tak tertulis ada janji di antara tokoh awal bangsa yang salah satunya adalah kakek dari Gus Dur sendiri mengenai syarat menjadi presiden tapi Gus Dur walau mengetahui hal ini tapi ia lebih berpegang pada apa yang tertulis, dan ini sahih juga, bahwa dalam konstitusi dalam hal ini Undang Undang Dasar tak ada aturan soal syarat agama keyakinan tertentu untuk menjadi presiden. Gus Dur juga mengingatkan jika ingin murni berdemokrasi maka bangsa ini harus pula siap pada wacana yang tertulis secara konstitusional soal ini.

Juga menarik adalah penjelasan Gus Dur soal dwifungsi ABRI yang sangat berjaya di masa Orde Baru. Pula menarik disimak soal Pertemuan Ciganjur, di masa-masa awal reformasi yang mana salah satu tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Gus Dur sendiri. Penjelasan Gus Dur soal Dialog Nasional yang direncakannya dengan mempertemukan mantan Presiden Soeharto dengan Presiden (saat itu) B.J. Habibie dan Menhankam/Pangab (saat itu) Wiranto untuk kejelasan arah bangsa agar tak menuju pada apa yang ditakuti semua pihak sebagai perang saudara, tapi sayangnya rencananya ini gagal. Dari tulisan ini tampak jelas betapa Gus Dur adalah tokoh sejati yang dibutuhkan negeri ini. Tokoh yang bisa mengatasi kepentingan pribadinya untuk sebuah kepentingan yang jauh lebih besar. Kepentingan bangsa. Tapi sayangnya pemikirannya ini tak selalu dipahami sehingga ia mendapat pertentangan keras. Setelah membaca buku ini tercenung dalam hati, masih adakah sosok negarawan sejati seperti Gus Dur yang benar-benar berpikir dan bertindak sebenar-benarnya bagi negara dan bukan nafsu pribadi akan kekuasaan?