Total Tayangan Halaman

Translate

Sabtu, 27 Februari 2010

Who Will Be The 2010 World Champion?


Tinggal beberapa minggu lagi, musim balap F1 2010 akan dimulai. Rasanya gak sabar deh, semua perasaannya jadi satu. Senang karena bisa liat Schumi lagi tapi juga takut juara dunia tujuh kali ini bakal dipermalukan habis-habisan sama juniornya, meski aku yakin dengan semua kemampuan dan pengalaman Schumi mestinya The Legend yang satu ini takkan mudah dihancurkan begitu saja.

Tapi di sisi lain aku juga ingin melihat Jenson berhasil membuktikan kembali kepiawaiannya dengan mempertahankan gelar dunia yang didapatnya tahun lalu di Brazil. Tak mudah memang, terlebih meski satu juara dunia telah pergi dari F1 tapi ia mendapat tantangan yang super berat dari juara dunia tujuh kali yang kini membela untuk bekas timnya tahun lalu belum lagi dua kali juara dunia dari Spanyol yang kini nangkring di kelompok kuda jingkrak. Tapi yang lebih berat tentu saja tantangan dari rekan setimnya, si anak emas bos tim barunya. Si dua kali juara dunia dari Spanyol saja sampai hengkang dari silver arrows gara-gara gak tahan dianaktirikan, entah bagaimana nasib Jenson nantinya.

Kalau waktu tahun 2004, saat Schumi bersama "kuda jingkrak" merahnya bersaing dengan Button, dengan mantap aku masih tetap mendukung Schumi yang tengah mengincar gelar ke-7nya meski dalam hati aku tetap merasa bingung karena tak rela juga Button tak berhasil memenangkan satu GP pun meski menjadi penantang serius Schumi, tapi aku berpikir Button masih memiliki banyak waktu untuk bisa meraih gelar bila nanti Schumi pensiun dengan menggondol sepuluh gelar dunia. Tapi nyatanya dua tahun berikutnya Schum kesulitan bahkan ia harus meninggalkan F1 tanpa berhasil menggenapkan gelarnya menjadi delapan.

Kini dengan kembalinya Schumi ia memiliki kesempatan untuk meraih gelar dunia ke-8nya yang tertunda, meski pastinya akan sangat sulit. Sekarang Button juga telah berhasil meraih gelarnya, tapi akan lebih baik bagi The Britton ini untuk mempertahankan gelar dunianya. Dan tak banyak lagi yang waktu yang dimiliki Button untuk meraih kesempatan kedua, ketiga, atau bahkan keempat. Jadi, dengan menipisnya waktu, Button atau Schumi, aku jadi bingung yang mana akan kudukung dengan sepenuh hatiku. Yang pasti, aku pasti akan bersukaria bila mereka berdua bisa meraih hasil paling optimal. Yang jelas, siapa pun di antara mereka yang berhasil meraih gelar dunia, pastinya mereka layak mendapatkannya.

Persaingan 2010 memang pasti akan sangat ketat terlebih dengan keberadaan satu lagi kuda hitam yang sangat tangguh, Sebastian Vettel dari Red Bull Racing sehingga menambah panas perebutan gelar dunia 2010 ini.

Crash.net membuat polling mengenai siapa yang kira-kira akan merebut gelar dunia 2010 nanti. Awalnya kupikir, Schumi akan meraih hasil yang lumayan tapi tak disangka, jagoanku yang satu ini malah masih kalah dari Lewis Hamilton dengan hanya meraih 13.94% dukungan dari responden. Yang paling nestapa adalah Jenson, sang juara dunia 2009 yang hanya dipercaya oleh 4.5% pendukungnya untuk mempertahankan gelar dunianya. Si juara dunia dua kali yang tahun ini akan memulai debutnya dengan tim Maranello yang malah meraih dukungan terbesar. Tapi, itu kan cuma polling, belum tentu juga hasil di lintasan akan seperti ini, namanya juga prediksi. Jadi lebih baik menunggu musim balap dimulai aja deh. Saat mesin balap F1 mulai bergemuruh, persaingan menuju podium tertinggi di ajang jet darat ini pun pastinya akan makin menggebu. Tinggal aku akan kembali menjerit-jerit di depan tv meneriakkan nama Schumi dan Button. Go Schumi! Go Button!


Senin, 22 Februari 2010

The Wild and Tame

Kedua juara dunia asal GBR ini memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Stewart meski terkenal cukup cerewet dengan kampanye safety-nya tapi bukan berarti ia urakan seperti Hunt yang terkenal playboy dan sangat menarik minat kaum hawa ini. Meski Hunt hanya berhasil mengantungi satu gelar dunia dan tak sesukses Sir Jackie yang sukses mengantongi tiga gelar, tapi perannya sebagai komentator F1 di BBC, setelah ia pensiun dari F1 sebagai pembalap, telah membawa banyak fans baru F1 ke jagat jet darat ini.


5. Jackie Stewart


pic taken from here 

Sir Jackie Stewart merupakan pembalap Great Britain yang meraih gelar dunia terbanyak. Meski Jackie Stewart terkenal sebagai pioneer yang menyadarkan pelaku F1 betapa pentingnya keselamatan di ajang olahraga ini, tapi bukan berarti Jackie merupakan pengecut yang takut menantang bahaya. Ia bahkan berhasil meraih poin pada debutnya di F1.

Dunia otomotif sebenarnya bukan hal yang asing bagi juara dunia F1 tiga kali yang sempat dianggap menderita dyslexia ini sehingga ia mengalami kesulitan dalam pendidikan formalnya. Keluarga Jackie memiliki bisnis sebagai dealer mobil Jaguar. Selain itu, ayahnya adalah seorang pembalap motor amatir dan kakaknya, Jimmy Stewart ternyata  juga seorang pembalap yang cukup memiliki reputasi meski hanya di tingkat lokal dan pernah membalap untuk Ecurie Ecosse yang nantinya juga memiliki andil dalam karir balap Jackie. Meski bakat Jimmy tak sehebat adiknya tapi ia pernah sempat merasakan balapan di GP Inggris pada 1953 tapi sayangnya, balapannya harus berakhir setelah ia melintir di Copse karena hujan.

Walaupun ayah dan kakaknya telah menjajal dunia balap, tapi Jackie justru lebih tertarik dengan pertandingan menembak. Saat ia berumur 13 tahun, ia sukses menjuarai lomba menembak di Clay Pigeon yang kemudian membawanya menjadi atlet menembak dan sempat bertanding mewakili Inggris di luar negeri. Bahkan Jackie sempat bersaing untuk meraih tempat di team regu menembak Inggris untuk olimpiade pada tahun 1960.

Ketertarikannya pada dunia otomotif muncul saat ia magang sebagai mekanik di usaha mobil milik keluarganya.

Setelah tampil di beberapa ajang balapan, bakat Stewart pun ternyata menarik perhatian banyak pihak. Salah satunya adalah Ecurie Ecosse. Stewart tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padanya. Ia sukses menjadi juara di Goodwood. Pada tahun 1963, ia sukses mengumpulkan empat kemenangan, satu kali juara kedua, dan hanya enam kali gagal finish.

Bakat pemuda kelahiran Milton pada 11 Juni 1939 ini membuat manager track Goodwood menghubungi Ken Tyrell yang kemudian benar-benar terkesan dengan hasil test Stewart dimana ia tampil sangat kencang dan mengalahkan Bruce McLaren. Tanpa buang waktu, Tyrell langsung menawari Stewart untuk bergabung dengan teamnya di Formula Three.

Pada debut Stewart di ajang Formula Three bersama Tyrell ia sudah tampil mengesankan. Di Snetterton yang basah ia tampil dominan dan secara mengejutkan memimpin 25 detik hanya dua lap sebelum meluncur menuju garis finish dan merebut kemenangan. Terkesan dengan penampilan Stewart tersebut, Cooper pun menawarkan kursi balap F1 untuk Stewart tapi tak seperti pebalap muda pada umumnya yang takkan menyia-nyiakan kesempatan demi menjajal F1, The Scottish yang satu ini malah menolaknya. Ia malah memilih untuk menambah lebih banyak pengalaman di F3 bersama Tyrell.

Orang bilang, kesempatan tak datang dua kali karena itu sebaiknya kita memanfaatkan kesempatan yang datang pada kita. Tapi Stewart setelah menolak kesempatan pertamanya untuk naik kelas ke F1, sekali lagi ia menolak kesempatan tersebut, padahal kali ini yang menawarinya adalah seorang Colin Chapman. Kala itu Chapman dan Jim Clark terkesan saat Stewart menjajal Lotus 33-Climax, padahal Chapman dan Clark kabarnya bukanlah orang yang mudah terkesan, jadi tak heran bila Chapman langsung kesengsem dengan bakat pemuda Skotlandia ini sehingga merasa layak memberikan sebuah kursi balap di F1 untuknya tapi Stewart malah menolak tawaran istimewa tersebut. Namun Stewart menerima untuk bergabung dengan tim Formula 2 Lotus. Dari sini terlihat, Stewart merupakan orang yang lebih suka menimba pengalaman dan ilmu setahap demi setahap yang pada akhirnya membuatnya menjadi salah satu pebalap F1 terbaik sepanjang masa.

Setelah dua kali melepaskan kesempatan untuk meramaikan keriuhan Formula One, Stewart akhirnya memulai debutnya di F1 pada 1965 di Kyalami, South Africa bersama tim BRM. Pada debutnya ini Jackie berhasil meraih satu poin setelah finish di tempat keenam.

Kesadaran Stewart akan pentingnya standar keselamatan di F1 muncul ketika ia terjebak di dalam kokpit mobilnya yang telah basah oleh bahan bakarnya yang bocor di Spa-Francorchamps.

Saat itu balapan di GP Belgia berlangsung ketika hujan turun dengan sangat deras sehingga mengakibatkan banyak terjadi kecelakaan, tak terkecuali Stewart yang tengah melaju 266km/j ketika mengalami kecelakaan. Tangki bahan bakarnya robek sehingga mengakibatkan bahan bakarnya memenuhi kokpitnya sementara Stewart terjebak dalam mobilnya. Tak ada satupun petugas di sirkuit yang bisa membantunya keluar dari mobilnya karena tak memiliki peralatan yang bisa digunakan untuk membantu Stewart sementara situasi yang dihadapi Stewart saat itu benar-benar menegangkan. Dengan bahan bakarnya yang bocor dan ia sendiri telah basah kuyup oleh bahan bakar yang menggenangi kokpitnya membuat ia sangat rentan dan sedikit saja percikan api bisa mengakibatkan bencana besar dan mengantarkan Stewart ke alam baka.

Dalam ketegangan itu, Graham Hill, rekan setimnya di BRM dan Bob Bondurat, yang juga mengalami kecelakaan di dekat situ berusaha mengeluarkan Stewart dari mobilnya dengan menggunakan kunci pas yang dipinjam dari penonton karena marshall tak memiliki alat tersebut. Setelah Stewart akhirnya bisa dikeluarkan dari mobilnya, masalah ternyata tak langsung selesai. Saat itu tak ada tenaga medis yang senantiasa siaga selama balapan berlangsung untuk memberikan pertolongan pertama yang diperlukan saat kecelakaan terjadi sehingga Stewart yang telah dibaringkan di atas usungan digeletakkan begitu saja di atas lantai yang dipenuhi oleh puntung-puntung rokok yang berserakan sambil menunggu ambulance tiba.

Setelah ambulance tiba pun, Stewart tak bisa segera dilarikan ke rumah sakit terdekat di Liege karena ternyata supir ambulance nya tersesat dan tak bisa menemukan arah ke rumah sakit. Akhirnya Stewart dilarikan ke Inggris dengan pesawat jet pribadi. Bayangkan, Stewart harus menanti pertolongan medis dalam kecemasan luar biasa mengingat ia telah basah kuyup oleh bakan bakarnya yang bocor sambil menatap ngeri puntung-puntung rokok yang berserakan di sekitarnya sambil berharap dalam hati semoga tak ada orang bodoh yang ceroboh meninggalkan puntung rokoknya masih menyala dan melemparnya begitu saja sehingga bisa saja mengenainya dan menciptakan ledakan yang mungkin tak tak sedahsyat bom atom di Nagasaki atau Hiroshima, tapi setitik api tersebut bisa membuat Stewart menjadi daging panggang. Atau bayangkan betapa gemas dan nestapanya Stewart meratapi nasibnya saat supir ambulance tersesat sehingga akhirnya ia harus diterbangkan kembali ke Inggris. Dua puluh lima menit lamanya ia harus terbaring tak berdaya di dalam mobilnya dan setelah ia berhasil dikeluarkan dari mobilnya, ia masih harus terbaring di antara puntung rokok yang berserakan menanti ambulance yang kemudian tak bisa mengantarkannya ke rumah sakit.

Sejak kejadian di Spa tersebut, Stewart bersama Louis Stanley, bos tim BRM gencar menyarakan kampanye keselamatan di F1, mendesak agar penyelenggara F1 menyediakan emergency services dan meningkatkan keselamatan di sekitar trek dengan memasang barrier yang bisa meminimalkan dampak yang harus dihadapi pebalap saat kecelakaan. Stewart bahkan sampai membawa dokter pribadi ke setiap balapannya mengingat pentingnya peran seorang tenaga medis dalam memberikan pertolongan pertama. Bayangkan apa yang akan terjadi pada Ralf Schumacher yang dua kali mobilnya terbang bebas setelah membentur tembok pembatas saat GP Amerika kalau saja tingkat keselamatan di F1 belum seperti saat ini? Atau yang paling fresh, bagaimana kira-kira nasib Massa setelah mengalami kecelakaan parah di sesi qualifikasi GP Hungaria pada 2009 lalu seandainya saja F1 tak memiliki tenaga medis seperti pada masa Stewart yang harus tergeletak tak berdaya menanti ambulance tiba?

Selain masalah tenaga medis dan peningkatan keselamatan di sekitar trek, Stewart juga mendesak penggunaan seat belt dan helm full face. Stewart bahkan mendesak para pemilik sirkuit untuk memodernisasi trek mereka sampai-sampai ia mengorganisasi rekan-rekannya sesama pebalap untuk memboikot balapan di Spa-Frnacorchamps dan Nurburgring sampai pihak pengelola sirkuit tersebut memperbaiki barrier, area run-off, dan fasilitas medis.

Entah sudah berapa banyak pebalap berbakat yang harus menemui ajalnya dengan tragis akibat menimnya tingkat keselamatan dan kesadaran akan pentingnya tingkat keselamatan bagi para pelaku olahraga ini. Dan untungnya F1 memiliki Stewart yang memiliki otak lebih waras yang bukan hanya mengumbar keberanian. Berkat Stewart, Fromula One kini menjadi jauh lebih aman dan kita lalu berpikir seandainya saja F1 sudah memperhatikan keselamatan sejak dulu, mungkin F1 takkan kehilangan banyak pebalap-pebalap terbaiknya yang harus mati muda karena sikap masa bodoh para pengelola sirkuit yang tak memperhatikan keselamatan pebalap dan penonton.

Belajar dari pengalaman ketika ia harus terjebak dalam mobilnya sementara marshall tak memiliki peralatan yang memadai sampai-sampai harus meminjam kunci pas dari penonton membuat Stewart juga selalu membawa kunci pas di setiap balapan dan memasangnya di bawah setirnya untuk berjaga-jaga kalau-kalau alat tersebut dibutuhkan.

Tentu saja kampanye Stewart tersebut tak mendapatkan apresiasi dari para pemilik sirkuit, penyelenggara balapan, dan bahkan beberapa pebalap. Tapi Stewart tak gentar dalam menyuarakan pendapatnya mengenai keselamatan di F1 tersebut walau tak sedikit yang mencelanya dan menganggapnya pengecut, bagaimana pun F1 memang merupakan olahraga berbahaya yang sangat dekat dengan kematian dan seolah bila seorang pebalap tewas saat membalap merupakan sebuah kebanggaan layaknya seorang pahlawan yang gugur dalam medan perang.

Namun Stewart tak mempedulikan apapun anggapan orang tentangnya. Ia sadar bahwa tindakannya ini tak menyenangkan bagi beberapa pihak. Mengenai hal ini, ia mengatakan bahwa mungkin saja ia bisa menjadi juara dunia yang jauh lebih terkenal jika ia selalu mengatakan hal-hal yang ingin didengar oleh orang lain (dalam hal ini para pengelola sirkuit dan penyelenggara balapan). Dan jika ia tak serius mengkampanyekan keselamatan demi smua pihak, ia mungkin akan mati karena kecelakaan saat balapan tapi tentunya ia akan jauh lebih terkenal. Dan ini benar-benar anggapan yang menyedihkan. Apakah seorang pebalapharus tewas dulu karena buruknya sistem keamanan di sirkuit untuk mendapatkan nama besar? Dan semakin tragis kecelakaan yagn menimpa seorang pebalap mungkin akan membuat si pebalap bernasib malang itu akan menjadi jauh lebih terkenal.

Namun jika keselamatan tidak menjadi titik perhatian yang serius bagi para penyelenggara F1, entah bagaimana nasib F1 sekarang. Mungkin F1 memang menarik dengan tingginya resiko dan bahaya yang dihadapi tapi F1 pastinya akan terkenal sebagai olahraga perenggut nyawa pebalap-pebalap terbaiknya dan sirkuit-sirkuit F1 hanya akan dikenal sebagai tempat angker yang merenggut nyawa para pebalap dan menjadi tempat persemayaman para pebalap dan penonton yang terkena apes, ikut tewas bersama pebalap pujaannya seperti yang terjadi dengan 15 penonton di Monza yang ikut tewas bersama Wolfgang Graf Berghe von Trips saat GP Italia 1961.

Bagaimana pun miringnya pandangan pihak-pihak yang tak suka dengan kampanye keselamatan Stewart tapi tak sepantasnya keberanian Stewart menghadapi bahaya maut dipertanyakan karena Stewart telah membuktikan diri sebagai pebalap hebat yang telah berkali-kali menaklukkan Nurburgring yang pada masa itu merupakan salah satu sirkuit maut dan paling berbahaya di F1 dan kerap menelan nyawa para pebalapnya saat bertarung di sana. Lauda bahkan nyaris menemui ajalnya setelah mengalami kecelakaan fatal di sirkuit tersebut pada 1976, luka bakar di wajahnya adalah kenang-kenangan yang didapatnya dari sana dan menandakan betapa menakutkannya Nurburgring. Dan Stewart telah tiga kali menaklukkan sirkuit maut ini.


Namun seperti Clark yang tak menyukai Spa meski ia berhasil meraih kemenangan 4 kali berturut-turut di sirkuit favorit kebanyakan pebalap itu, Stewart pun tak menyukai Nurburgring meski ia berhasil menjadi juara di Nurburgring ini tigal kali. Satu kali bersama Matra pada 1968 dan dua kali ia menaklukkan Nurburgring di atas Tyrell-nya pada 1971 dan 1973. Bahkan kemenangannya di Nurburgring 1973 merupakan kemenangan terakhirnya dan menggenapkan catatan kemenangannya di F1 sebanyak 27 kali.

Bahkan pada 1968 ia berhasil menaklukkan Nurburgring dalam keadaan yang tidak prima. Saat itu ia membalap dengan lengan yang patah yang didapatnya saat turun di ajang F2. Tim memberikan penyangga plastik di setirnya agar pergelangan tangannya tak terlalu terbebani tapi Stewart malah meminta penyangga setirnya dilepas demi mendapatkan feeling yang lebih baik saat mengerem. Dengan keadaan lengannya patah dan di tengah hujan deras yang membasahi sirkuit, Stewart berhasil tampil gemilang dan menjadi juara dengan selisih waktu lebih dari empat menit. Jadi siapa pula yang berani meragukan keberanian Stewart?

Namun Stewart sendiri mengakui ketakutannya setiap kali harus membalap di Nurburgring. "Nothing gave me more satisfaction than to win at the Nurburgring and yet, Ia was always afraid," ujar Stewart dan ia tak pernah merasa perlu menambah satu lap di Nurburgring untuk merayakan kemenangannya.

Stewart mengakui bahwa saat ia keluar dari rumahnya untuk menghadapi GP Jerman yang diadakan di Nurburgring, ia selalu menghentikan mobilnya di ujung jalan lalu menoleh ke belakang dan lama ia  menatap jalan yang telah dilaluinya tersebut sambil berpikir apakah ia bisa kembali ke rumah dengan selamat. "I was never sure I'd come home again," kata Stewart menggambarkan ketakutannya.

Memasuki musim 1973, Stewart memutuskan untuk pensiun dari F1 pada akhir musim itu tapi kecelakaan parah yang menimpa rekan setimnya, Francois Cevert di Watkins Glen saat sesi latihan GP USA membuat Stewart memutuskan untuk pensiun lebih cepat dengan menyisakan satu race lagi dan merelakan kesempatannya menggenapkan statistik 100 kali balapannya dan hanya mencatat 99 kali balapan saja.

Namun bila melihat F1 sekarang ini semua pihak akhirnya menyadari betapa berharganya apa yang telah diperjuangkan Stewart dalam mengupayakan keselamatan di F1 yang berimbas pada keselamatan di jalan raya karena metode keselamatan di F1 telah diadopsi pula dalam peningkatan keselamatan di jalan raya. F1 benar-benar berhutang banyak pada pria Skotlandia ini.

Sekarang ini bahkan Formula One meski masih merupakan olahraga yang cukup berbahaya dan sangat dekat dengan bahaya kematian tapi dengan beragam regulasi dan atribut-atribut pengamanan tak hanya F1 menjadi tontonan yang menarik dan penonton dapat menyaksikan aksi seru para pahlawannya tanpa harus meregang nyawa. Begitu pun dengan pebalap, meski harus menggeber mobilnya dengan kecepatan 360 km/j dan seringkali terjadi kecelakaan parah tapi untungnya kematian bukan lagi merupakan momok yang menakutkan bagi pebalap dan penonton. Yang terutama F1 tak perlu kehilangan banyak pebalapnya yang berbakat akibat kecelakaan tragis yang merenggut nyawa pebalap-pebalap hebat seperti Wolfgang "Taffy" von Traps, Ronnie Peterson, Alberto Ascari, Gilles Villeneuve, Ayrton Senna, dan banyak lagi pebalap hebat lainnya yang harus pergi terlalu cepat tanpa memiliki kesempatan lebih untuk membuktikan kemampuannya.

Perjuangan Stewart dalam meningkatkan standar keselamatan di F1 merupakan warisan terbesar dari seorang Sir Jackie Stewart, juara dunia F1 tiga kali bagi olahraga yang sangat dicintainya ini.

Setelah pensiun dari F1, Sir Jackie pernah mendirikan sebuah tim F1 yang dinamai sesuai dengan namanya, Stewart GP sebagai langkah persiapan bagi putranya, Paul Stewart, seandainya sukses menapaki karir balapnya hingga ke F1. Tapi sayangnya karir balap putra juara dunia tiga kali ini mandek dan tak secemerlang dirinya. Timnya sendiri, Stewart GP meski hanya bisa bermain di papan tengah tapi setidaknya timnya ini sempat meraih satu kali kemenangan lewat Johnny Herbert. Bahkan akibat kemenangan tunggal Stewart GP ini, yang entah kebetulan atau tidak terjadi di Nurburgring saat gelaran GP Eropa 1999, Frank Williams yang  menganggap Stewart GP takkan pernah memenangi balapan kalah taruhan sehingga bos tim Williams yang sangat disegani di F1 ini harus memakai celana kotak garis-garis khas Skotlandia.

Debut          : South Africa 1965
Start            : 99 kali
Juara Dunia  : 1969, 1971, & 1973
Poin             : 360
Menang        : 27
Pole             : 17
Fastest Lap  : 15


6. James Hunt
pic taken from here 

Pebalap McLaren flamboyan yang satu ini meski memiliki karir F1 yang cukup pendek sebagai pebalap tapi memiliki pengaruh yang cukup besar untuk Formula One. Hunt lah yang pertama kali menemukan bakat pebalap legendaris Ferrari, Gilles Villeneuve saat mengikuti ajang Formula Atlantic di Trois Rivieres pada 1976. Hunt kemudian memberitahukan bakat besar Gilles ini pada Teddy Mayer, Managing Directior McLaren yang kemudian membawa GV memuali debutnya di F1 bersama McLaren pada 1977, tapi GV kemudian malah lebih terkenal bersama Ferrari. Hubungan Hunt dengan Villeneuve sendiri tetap berjalan dengan sangat baik. Villeneuve seringkali memberikan nasihat dan dukungan bagi Hunt sepanjang karirnya, itu sebabnya Hunt merasa sangat sedih dan kehilangan saat Villeneuve tewas di Zolder pada 1982.

Peran Hunt sebagai komentator F1 di BBC setelah ia pensiun sebagai pebalap juga tak bisa dipandang sebelah mata, meski ia sedikit slengean hingga membuat Murray Walker, komentator kawakan F1 jengkel dan tak nyaman bekerja sama dengannya tapi justru perbedaan keduanya ternyata saling melengkapi dan disukai oleh pemirsa sehingga duet ini tetap dipertahankan hingga maut yang akhirnya memisahkan mereka.

James Simon Wallis Hunt lahir di Belmont, Sutton, Surey pada 29 Agustus 1947. Ayahnya adalah seorang pialang saham yang sukses. Hunt dikenal sebagai anak yang hiperaktif dan cenderung pemberontak. Ia menjalani pendidikan dasarnya di Westerleigh School di Hastings, East Sussex dan kemudian melanjutkan di Wellington College di Crowthorne, Berkshire dan tengah belajar untuk menjadi dokter ketika pada hari ultahnya yang ke-18 ia diajak oleh temannya menonton balapan di Silverstone. Hunt langsung jatuh hati pada olahraga ini dan mulai bermimpi untuk menjadi juara dunia. Namun orang tuanya tak menyukai impian Hunt tersebut.

Hunt berhasil memulai karir balapnya bersama tim Hesketh yang didirikan oleh "The Good Lord", julukan Hunt terhadap Lord Hesketh, seorang bangsawan muda eksentrik yang sebenarnya tak terlalu mengenal dunia balap tapi memutuskan untuk membangun sebuah tim balap dan memilih Hunt sebagai "superstar"nya, julukan yang diberikan oleh Lord Hesketh untuk Hunt dan ternyata Hunt memang menjadi seorang superstar di dunia balap. Terlebih saat terjadi insiden antara Hunt dengan Dave Morgan pada 3 Oktober 1970 di Crystal Palace ketika Hunt masih bertarung di Formula Three. Waktu itu di lap terakhir Morgan berusaha untuk menyalip Hunt dari sisi luar di South Tower Corner, Hunt tentu saja tak rela begitu saja memberikan tempatnya pada Morgan sehingga ia berusaha menutup celah yang bisa memberi ruang bagi Morgan untuk merebut tempat Hunt, tapi akibatnya mereka malah saling bertabrakan dan mengakibatkan Hunt harus kehilangan dua ban mobilnya. Hunt sangat marah, ia pun keluar dari mobilnya yang terparkir di tengah trek dengan hanya dua ban saja. Hunt langsung mendatangi Morgan dan mendorongnya hingga jatuh ke lantai. Sikapnya inilah yang kemudian mendatangkan cemooh atas dirinya, Hunt pun mendapat julukan baru, Hunt The Shunt.

Bersama tim Hesketh, Hunt akhirnya memulai debut F1 nya di GP Monaco pada 3 Juni 1973. Keberadaan Hunt bersama Hesketh awalnya tak terlalu dipandang, bahkan mereka menjadi bahan lelucon di F1 namun setelah tunggangannya yang didesain oleh Harvey Postlewaite ini tampil kompetitif dan berhasil finish kedua di GP USA pada 1973 membuat tim ini mulai mendapat perhatian dan disegani terlebih setelah Hunt berhasil tampil cantik dan sukses mengalahkan Niki Lauda untuk meraih kemenagan GP pertamanya di Zandvoort, Belanda pada 1975. Tahun itu Hunt bahkan berhasil meraih tempat keempat di klasemen pembalap, tapi sayangnya keberadaan tim Hesketh di Formula One mulai terancam akibat kesulitan finansial dan mereka tak bisa menemukan sponsor untuk mendanai tim sehingga penampilan Hunt dan Hesketh pada tahun berikutnya mulai menurun.

Menjelang tahun 1976 harapan untuk Hunt meraih mimpinya saat ultahnya yang ke-18 itu mulai terlihat setelah Emerson Fitipaldi meninggalkan McLaren untuk bergabung dengan Copersucar-Fittipaldi, tim yang didirikan oleh kakaknya, Wilson Fittipaldi sehingga tim Silver Arrows kemudian merekrut Hunt untuk menggantikan posisi Emmo.

Di tahun pertamanya bersama McLaren itu, Hunt tampil gemilang di atas M23-nya. Meski mengalami kesulitan di beberapa GP tapi dengan kecelakaan fatal yang menimpa Niki Lauda di GP Jerman sehingga jagoan Ferrari ini harus absen di dua seri, membuat Hunt memiliki kesempatan untuk memperkecil selisih poinnya dengan bintan Maranello tersebut dan membuka peluangnya meraih gelar dunia.

Mendekati race terakhir, di Fuji, Jepang, perolehan poin Hunt hanya selisih tiga poin saja dari Lauda. Tapi balapan di GP Jepang nyaris saja batal akibat cuaca yang tak mendukung hingga membuat para pebalap enggan turun membalap karena sirkuit yang terlalu licin dan berbahaya. Namun berkat lobi Ecclestone dengan para pebalap, akhirnya balapan tetap berlangsung meski hujan lebat masih mengguyur Fuji. Kesempatan Hunt untuk meraih gelar dunia makin terbuka lebar setelah Lauda gagal melanjutkan lomba. Hunt hanya perlu finish minimal di posisi keempat. Hunt sempat memimpin lomba sebelum bannya kempes sehingga ia harus masuk pit, tapi ia berhasil finish di posisi ke-3 dan meraup empat poin, cukup untuknya merebut gelar dunia dari Lauda dengan selisih hanya satu poin dari pebalap pebalap Austria itu.

Musim 1977 tak sebaik tahun sebelumnya untuk Hunt. M26-nya malah bermasalah di awal musim sehingga Hunt sendiri apatis menghadapi musim tersebut ditambah masalah reabilitas membuat Hunt tak bisa mengulangi kesuksesannya pada musim sebelumnya dan hanya bisa pasrah ketika gelarnya direbut kembali oleh Lauda. Meski begitu, Hunt masih sempat mencuri beberapa kemenangan di musim 1977 ini. Salah satunya adalah kemenangannya di GP Jepang, tempat di mana ia sukses menggondol gelar dunianya pada tahun sebelumnya. Tapi sayangnya kemenangannya di GP Jepang yang ternyata menjadi kemenangan terakhirnya tersebut harus tercoreng oleh ulahnya sendiri yang tak menghadiri acara penyerahan trophy juara sehingga membuat publik Jepang kecewa saat melihat hanya ada Patrick Depailler yang finish di posisi ketiga berdiri seorang diri di podium sementara sang juara GP, Hunt dan Carlos Reuteman yang finish di belakang Hunt sudah ngacir begitu lomba telah usai.

Hunt masih membalap bersama McLaren untuk musim 1978 tapi kemudian ia bergabung dengan tim Wolf, namun sayangnya Hunt tak pernah lagi memenangi lomba hingga saat GP Monaco 1979, Hunt merasa sudah kehilangan gairah balapnya dan memutuskan untuk mundur dari F1. Tapi ternyata Hunt tak bisa benar-benar pergi meninggalkan F1 yang sudah telanjur dicintainya ini sehingga ia menerima tawaran BBC untuk menjadi komentator bersama Murray Walker, profesi yang dijalaninya hingga ia meninggal akibat serangan jantung pada 1993.

Awalnya Hunt tak terlalu menganggap serius profesinya sebagai komentator, ia bahkan menenggak dua botol anggur selama tampil sebagai komentator hingga Murray Walker tak menyukainya tapi seiring waktu, seperti Hunt mencintai perannya sebagai balapan, akhirnya Hunt pun mulai bisa menerima profesi barunya tersebut, bahkan ia sangat menikmati perannya ketika ia memberi kritikan super pedas terhadap pebalap yang melakukan kesalahan konyol saat balapan dan komentar-komentar tajamnya inilah yang membuatnya disukai oleh pemirsa.

Namun Hunt yang berjiwa pemberontak ini terkenal juga suka berpenampilan apa adanya. Jika saja Hunt hidup di masa F1 modern seperti sekarang ini di mana masalah citra dan image sangat diperhatikan, pastinya ia akan membuat pusing staf humas McLaren. Bayangkan saja, bagaimana sulitnya bagian Humas McLaren memberikan keterangan ketika Hunt menghadiri pertemuan dengan para sponsor yang berpakaian rapi dengan jas dan kemeja sementara si pebalap yang suka tampil nyeleneh ini datang dengan mengenakan jeans dan bertelanjang kaki pula. Apalagi, pebalap yang diidolakan oleh ex pebalap McLaren, Kimi Raikkonen ini juga kabarnya suka memakai mariyuana dan sering berpesta di klab malam.

Namun di luar gaya hidupnya yang kontroversial itu, kisah pribadi Hunt sebenarnya cukup menyedihkan. Meski Hunt terkenal playboy tapi pebalap yang juga terkenal cukup piawai bermain squash dan tenis ini, dua kali harus menghadapi kegagalan dalam pernikahannya. Pernikahan pertamanya dengan seorang model, Suzy Millar harus berakhir setelah sang model meninggalkannya karena kepincut Richard Burton, aktor yang tujuh kali dinominasikan untuk menyabet Oscar tapi tak pernah sukses memboyong piala kebanggaan sineas film Hollywood tersebut.

Dari pernikahan keduanya, Hunt dikarunia dua orang anak, salah satunya adalah Freddie Hunt, yang mengikuti jejaknya sebagai pebalap.

Perceraian Hunt membuat juara dunia 1976 ini tenggelam dalam depresi hingga ia menjadi pecandu alkohol, tapi untungnya Hunt akhirnya bisa bangkit. Hunt kemudian menjalin hubungan baru dengan seorang wanita bernama Helen. Namun tragisnya, hanya beberapa jam setelah melamar Helen, di usianya yang ke-45 Hunt tewas akibat serangan jantung di rumahnya di Wimbledon akibat serangan jantung pada tahun 1993. Jenazah Hunt kemudian dikremasi di Putney Vale Crematorium.

Karir Hunt di F1 memang terbilang sangat singkat. Ia hanya menjalani 6 musim balap dan membela tiga tim namun bersama McLaren, barulah Hunt bisa mewujudkan mimpinya meraih gelar dunia. Namun meski singkat, Hunt telah memberikan warna tersendiri di F1 dan perannya sebagai komentator F1 setelah ia pensiun pun telah membawa F1 ke komunitas yang lebih luas.

Kematiannya tentu saja membuat banyak pihak merasa kehilangan terutama adalah sahabatnya, Niki Lauda yang pada masa awal karir mereka berdua pernah saling berbagi kamar di sebuah flat di London. "For me, James was the most charismatic personality who's ever been in Formula One," ujar Lauda mengenang Hunt.

Debut          : Monaco 1973
Start            : 92
Juara Dunia  : 1976 (bersama McLaren)
Poin             : 179
Menang       : 10
Pole             : 14
Fastest Lap  : 8

Minggu, 21 Februari 2010

Button Tercepat di Jerez

Source : www.crash.net

Jerez F1 test times - day four: 20 February

Reigning F1 World Champion Jenson Button puts his new McLaren-Mercedes MP4-25 on top of the pile for the first time as pre-season 2010 testing wraps up at Jerez in southern Spain
Full lap times at the conclusion of day four of testing at Jerez in Spain.

1. Jenson Button McLaren-Mercedes 1m 18.871s 108 laps
2. Robert Kubica Renault 1m 19.114s 117 laps
3. Kamui Kobayashi Sauber-Ferrari 1m 19.188s 117 laps
4. Vitantonio Liuzzi Force India-Mercedes 1m 19.650s 80 laps
5. Nico Rosberg Mercedes 1m 20.061s 130 laps
6. Fernando Alonso Ferrari 1m 20.436s 137 laps
7. Jaime Alguersuari Scuderia Toro Rosso-Ferrari 1m 21.053s 139 laps
8. Mark Webber Red Bull-Renault 1m 21.194s 87 laps
9. Nico Hulkenberg Williams-Cosworth 1m 21.919s 137 laps
10. Timo Glock Virgin-Cosworth 1m 22.433s 28 laps
11. Jarno Trulli Lotus-Cosworth 1m 23.470s 141 laps


Weather: Dry and cool.

Rabu, 17 Februari 2010

The Lotus Guns


Clark & Hill di bagian belakang tampak Damon Hill, putra Graham Hill tengah menguap. Gbr diambil dari forum.detik.com

Meski Graham Hill pernah hengkang dari Lotus dan kemudian meraih gelarnya bersama BRM tapi Hill kemudian kembali ke Lotus, tim yang telah memberinya kesempatan memperlihatkan bakatnya di F1 dan bersama Lotus, Hill bahkan berhasil meraih gelar dunia keduanya. Sementara Jim Clark merupakan ikon Lotus sampai ia wafat dalam sebuah ajang F2, Clark tak pernah membalap untuk tim lain selain Lotus, sehingga tak heran jika Colin Chapman, sang bos Lotus merasa sangat terpukul dan kehilangan atas kematian legenda F1 yang satu ini. Di era F1 klasik, duet Lotus ini merupakan pembalap yang sangat disegani terlebih dengan inovasi Chapman yang telah mengubah wajah F1 membuat Lotus menjadi tim perkasa yang ditakuti sekaligus disegani oleh lawan-lawan mereka.

3. Graham Hill 

pic taken from this site


Juara dunia dua kali yang juga merupakan ayah dari Damon Hill, yang sukses mengikuti jejaknya dan meraih gelarnya pada  1996 ini memulai debut F1nya di GP Monaco 1958. Keterlibatan pembalap yang menurut George Harrison, salah satu personil The Beatles, merupakan pria Inggris sejati ini ke ajang balapan bisa dibilang cukup terlambat. Pada umur 21 tahun, Hill yang memiliki selera humor yang diwarisinya dari ayahnya yang seorang pialang saham ini dipanggil untuk bergabung dengan Angkatan Laut.

Setelah ia keluar dari Angkatan Laut, suatu hari ia melihat iklan Universal Motor Racing Club yang menawarkan untuk mencoba mengelilingi Brands Hatch dengan bayaran 5 shilling. Hill tertarik dengan iklan tersebut dan mencobanya. Segera saja Hill langsung jatuh cinta pada olahraga ini. Sejak itu ia berusaha untuk menjadi pembalap tapi jalan yang harus ditempuhnya tak mudah.

Hill kemudian bergabung dengan Lotus tapi bukan sebagai pembalap melainkan sebagai mekanik dengan bayaran satu pound sehari. Hill mencoba membuajuk Chapman untuk mengijinkannya membalap dengan salah satu mobil balapnya tapi Chapman tak pernah memberikannya kesempatan. Meski mungkin ada sedikit rasa putus asa dan kecewa dengan penolakan Chapman tapi Hill tak kenal menyerah untuk menggapai mimpinya.

Kegigihannya ternyata membuahkan hasil. Chapman yang akhirnya menyerah pada tekad kuat Hill memberikan Hill kesempatan memulai debutnya bersama Lotus pada tahun 1958. Monaco lah yang beruntung menjadi saksi pertama keperkasaan Hill. Di tempat ini Hill bahkan sukses menjuarai GP Monaco sebanyak lima kali, rekor yang kemudian berhasil dipecahkan puluhan tahun kemudian oleh Ayrton Senna yang sukses meraih kemenangan keenamnya di Monaco pada 1993.

Tahun-tahun pertama Hill sebagai pembalap di Lotus tak terlalu mengesankan dengan banyak kegagalan mesin yang dialaminya sehingga ia meninggalkan Lotus dan bergabung bersama BRM pada 1960. Dua tahun kemudian, ia sukses meraih kemenangan GP pertamanya di Zandvoort, Belanda dan di tahun itu pula ia sukses menggondol gelar juara dunia pertamanya.

Pada 1967 Hill kembali ke Lotus dan membawa semua pengetahuan juga kunci sukses yang didaptnya dari BRM ke tim pertamanya ini dan ikut membantu pengembangan Lotus 49 yang spektakuler dan menjadi salah satu mobil terbaik di jagad Formula One.

Setelah kematian Jim Clark di Hockenheim, Hill pun dengan serta merta menjadi ujung tombak Lotus dalam meraih kesuksesan. Keberhasilan Hill meraih gelar dunia pada 1968 berhasil menghapus luka Lotus akibat kematian Clark. Namun di GP Amerika 1969 Hill mengalami kecelakaan parah yang menyebabkan kakinya patah dan mempengaruhi karir balapnya karena sejak itu meski Hill telah pulih tapi ia tak lagi bisa mencapai level kesuksesan seperti sebelum kecelakaan itu menimpanya.

Namun begitu, Hill sukses menjuarai ajang balap ketahanan mobil Le Mans pada 1972 sehingga ia dijuluki Triple Crown of motorsport di mana ia sukses menjuarai 3 ajang balapan berbeda, F1, Le Mans, dan ajang Indy 500.

Pada tahun 1971 Hill pindah ke Brabham dan ia berhasil memenangi sebuah ajang non championship di Silverstone. Tapi Hill tak begitu lama berada di Brabham. Dengan maraknya pembalap-pembalap F1 yang mendirikan tim F1 sekaligus menjadi pembalapnya, Hill pun mendirikan tim F1nya yang diberi nama Embassy Hill F1 team pada 1973 dengan menggunakan sasis dari tim Shadow dan Lola. Tapi sayangnya ia tak cukup berhasil. Mobilnya bahkan gagal dalam sesi kualifikasi di GP Monaco 1975 sehingga tim F1 nya tak pernah turun balapan di F1. Ironis mengingat GP MOnaco sebenarnya merupakan tempat yang sangat istimewa untuk Hill. Ia memulai debutnya di sirkuit jalan raya ini bahkan ia berhasil menjuarai GP Monaco sebanyak lima kali tapi di GP Monaco ia malah gagal membawa mobil dengan tim bertajuk namanya sendiri. Akhirnya ia pun mengakhiri karir balapnya di tempat di mana ia memulai debutnya ini. Dan seolah makin mengukuhkan betapa grand prix di negara monarki ini sangat istimewa bagi Hill, tercatat ia memenangi GP terakhirnya juga di sirkuit ini pada tahun 1969.

Setelah Hill pensiun dari F1, ia memutuskan untuk memfokuskan diri mengurus timnya Embassy Hill dan menggembleng pembalap muda asuhannya, Tony Brise. Suatu hari pada 29 November 1975, di tengah cuaca yang sangat berkabut, saat kembali dari sesi ujicoba di sirkuit Paul Richard, pesawat yang dipiloti Hill mengalami kecelakaan, pesawatnya terjatuh di Arkley Golf Course di London Utara. Hill beserta seluruh penumpang pesawatnya termasuk Tony Brise, pembalap muda potensial asuhan Hill dan manajer timnya, Ray Brimble serta designer timnya, Andy Smallman. Dua orang mekaniknya yang juga ikut serta dalam penerbangan naas itu, Tony Alcock dan Terry Richards pun ikut tewas.

Setelah kematian Hill, namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Silverstone dan di salah satu tikungan di Brands Hatch untuk menghormatinya.

Di Arkley Golf Course, tempat di mana pesawatnya terjatuh dan menewaskannya beserta kru Embassy Hill dalam kecelakaan pesawaat itu,  terdapat sebuah tanda peringatan untuk mengenang kejadian naas tersebut yang telah merenggut nyawa Graham Hill, seorang juara dunia F1 dua kali.

              
Meski mendekati akhir hidupnya, Hill mengalami kegagalan dalam karir balapnya tapi tak bisa diragukan bahwa Hill merupakan pembalap yang sangat istimewa dan berbakat yang sangat mencintai balapan seperti ia mencintai hidupnya.

"I'm an artist, the track is my canvas, and the car is my brush."

Hill adalah salah satu sosok langka di F1. Sikapnya yang rendah hati dan pantang menyerah, sifat yang diwarisinya dari ibunya ini memiliki berbagai pengalaman yang amat kaya sebelum terjun ke dunia balap. Berlatar belakang militer di mana ia sempat menjadi bagian angkatan laut Inggris dan ikut dalam perang dunia kedua. Pebalap yang lahir di London pada tanggal 15 Februari 1929 dengan nama lengkap Norman Graham Hill ini juga merupakan seorang multitalented. Ia pernah bergabung dengan London Rowing Club di mana ia bertemu dengan wanita yang kemudian menjadi istrinya, Bette. Selain itu, Hill juga diketahui piawai bermain drum dan pernah bergabung dalam sebuah band bernama Boy Scout band. Paduan bakat yang unik, balap dan musik, yang kemudian menurun ke putranya, Damon Hill.

Namun kenyataan bahwa ia belum pernah mengendarai mobil sampai berumur 24 tahun membuat ia dipandang sebelah mata tapi belakangan kemampuannya di belakang setir malah mengundang decak kagum banyak pihak. Gabungan dari sikap pantang menyerahnya, sifat humorisnya, kerendahan hatinya, yang menjadi barang langka bagi pembalap-pembalap F1 jaman sekarang, dan talentanya membuat Hill menjadi salah satu pembalap terhebat yang pernah dimiliki oleh ajang jet darat paling mutakhir di dunia ini.

Debut          : GP Monaco 1958
Start            : 176
Juara Dunia: 1962 (bersama BRM) dan 1968 (bersama Lotus)
Poin            : 289
Menang      : 14
Pole            : 13
Fastest Lap : 10


4. Jim Clark  
 pic taken from this site

 Jim Clark, pembalap berdarah Skotlandia ini terlahir dengan nama James Clark Jr., pada 4 Maret 1936. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara sekaligus anak laki-laki satu-satunya . Jim Clark merupakan pembalap tersukses pada era F1 klasik di mana ia menjadi pembalap dengan gelar GP (25) dan pole position (33) yang lebih banyak daripada pembalap F1 lainnya pada masa itu. Tentu saja rekor tersebut akhirnya bisa dipatahkan di masa F1 modern, tapi di era F1 klasik di mana tingkat keselamatan pembalap masih sangat minim dan teknologi belum berkembang secanggih sekarang dengan dana berlimpah dari sponsor-sponsor brand terkenal di dunia, tentunya keberhasilan Clark tersebut layak mendapatkan apresiasi.

Orang tua Clark sebenarnya menentang kegemaran Clark mengikuti balapan tapi Clark yang sudah kadung jatuh cinta pada olahraga ini tetap memilih jalur ini sebagai pilihan karirnya. Clark sendiri memulai karir balapnya di ajang rally lokal dan berbagai ajang balapan lainnya hingga pada tahun 1958 ia bertemu dengan Colin Chapman yang terkesan dengan bakat pemuda Skotlandia ini sehingga bersedia memberikan kursi untuknya di Formula Junior yang terus berkembang hingga merajai F1 pada era enam puluhan.

Kelihaian Clark dipadu dengan kejeniusan Colin Chapman bukan hanya membuat Lotus perkasa dan ditakuti oleh lawan-lawannya namun duet maut ini telah membawa warna baru dalam Formula One. Chapman, seorang inovator yang jenius dan banyak menciptakan terobosan-terobosan revolusioner di F1 dan menjadi salah satu pioner dalam perkembangan teknik di F1. Paduan Champman yang memiliki pandangan visioner dengan ketenangan serta kecerdikan Clark telah membawa keduanya menjadi salah satu tokoh terbesar F1. Hanya maut yang akhirnya memutuskan hubungan kerjasama pembalap dan sang visioner ini. Clark yang hingga akhir hayatnya hanya membalap untuk Lotus sepertinya makin mengokohkan duet yang terjalin di antara dirinya dengan Chapman tersebut. Clark bagaikan seorang aktor profesional yang handa dan mampu mengejewantahkan imajinasi dari sang sutradara yaitu Chapman di atas panggung Formula One, tak heran bila keduanya terasa begitu padu dan menjadi momok bagi lawan-lawannya di F1.

Pada awal-awal karir Clark di F1 sempat diwarnai tragedi berdarah sehubungan dengan tabrakan maut antara dirinya dengan Wolfgang von Trips di Monza 1961 yang berujung pada kematian pembalap Ferrari itu dan ikut menyeret 15 penonton yang ikut tewas akibat kecelakaan tersebut.

Clark memulai debut F1 nya di Zandvoort,Belanda pada 1960, tempat yang memiliki arti spesial bagi Clark. Empat kali ia berhasil menaklukkan GP Belanda dan pada 1967 ia memenangi GP Belanda pada debutnya bersama Lotus 49 yang spektakuler itu. Mobil yang awalnya diragukan Clark karena memiliki banyak masalah.

Tapi kemenangan pertama Clark adalah di Spa Franchorchamps pada tahun keduanya di F1. Yang membuat kemenangan pertamanya itu terasa sangat istimewa karena Clark memulai balapannya dari grid belakang. Selepas start, Clark langsung melesat melibas delapan mobil sekaligus dan terus melaju hingga akhirnya ia meraih kemenangan pertamanya itu.

Meski Clark mengaku tak terlalu menyukai balapan di Spa, Belgia karena sirkuit ini telah merenggut banyak teman-temannya. Pada tahun 1958, tahun pertamanya membalap di Spa untuk ajang sportscar, ia menyaksikan rekannya, Archie Scott-Brown tewas. Pada balapan keduanya di Spa tahun 1960, giliran Alan Stacey, rekan setimnya dan Chris Bristow yang meregang nyawa ditambah lagi kecelakaan saat latihan yang menimpa Stirling Moss dan membuatnya cedera semakin menambah trauma Clark terhadap sirkuit yang merupakan favorit kebanyakan pembalap F1 masa kini di mana tingkat keselamatan telah amat diperhatikan. Walau Spa telah membuat Clark trauma sehingga tak terlalu menyukai sirkuit ini namun Clark sukses merebut empat kemenangan di tempat ini sepanjang tahun 1962-1965.

Mungkin yang paling mengesankan dari serangkaian kemenangan Clark di Spa adalah pada 1964 selain kemenangan pertamanya pada 1962. Saat itu Clark hanya mampu meraih P4 pada babak kualifikasi sementara Dan Gurney merih pole disusul oleh Graham Hill dan Jack Brabham. Menjelang akhir race, balapan makin seru. Hill dan Gurney yang tengah bertarung meraih kemenangan tiba-tiba saja kehabisan bahan bakar. Clark pun tak bisa terlalu berharap banyak dengan mobilnya ketika tunggangannya pun ternyata mengalami nasib serupa dengan Gurney dan Hill, namun Clark sempat membawa mobilnya yang melaju pelan melintasi garis finish. Ia sendiri belum menyadari bahwa ia sukses memenangi balapan hari itu. Ia malah berhenti di samping Gurney, satu-satunya pembalap yang membuat Clark gentar, dan membahas soal lomba hari itu. Clark baru menyadari ia berhasil menjuarai balapan pada saat pengumuman pemenang. Benar-benar lomba yang menguras bukan hanya fisik dan mental para pebalapnya tapi juga bahan bakar mereka hingga tetes terakhir.

Clark juga pernah mengalami masalah dengan bahan bakarnya ketika bertarung di GP Italia 1967. Iamemulai startnya dari pole dan tengah memimpin lomba ketika bannya tiba-tiba bocor sehingga ia harus masuk pit untuk mengganti bannya dan kehilangan banyak waktu. Keluar dari pit, ia bergabung kembali di posisi ke-6 dan terus memacu tunggangannya hingga mulai mendekati Brabham dan Surtees pada lap terakhir tapi kali ini Dewi Fortuna tak berpihak pada pembalap Skotlandia yang terkenal sangat lembut dan tak pernah berkata kasar ini. Menjelang akhir race, Lotus 49 Clark kekurangan bahan bakar, meski tertatih-tatih tapi ia berhasil mencapai garis finish di tempat ketiga.

Meski karir Clark di F1 cukup cemerlang tapi ia kerap lebih memilih absen dari F1 dan memilih balapan di ajang lain. Clark pernah memilih absen balapan di GP Monaco demi meraih kemenangan di Indy 500 di mana ia juga mencatat sejumlah prestasi luar biasa di ajang ini. Pada tahun 1963, tahun dimana ia meraih gelar juara dunia F1 pertamanya, ia juga sukses di ajang Indy 500 dan menjadi Rookie of The Year di ajang tersebut. Pada tahun 1965, ia malahan sukses mengawinkan gelar dunia F1 keduanya dengan gelar dunianya di Indy 500 melalu Lotus 38-nya.

Kepiawaian Clark di atas lintasan basah pun tak bisa diragukan seperti yang diperlihatkannya di Nurburgring 1962. Meski ia tak berhasil memenangi balapan tapi di atas sirkuit basah itu, Clark sukses finish di tempat ke-4, padahal ia memulai balapannya dari barisan belakang. 

Meski mungkin kemampuan teknik Clark tak sehebat Brabham ataupun rekan setimnya Hill yang pernah menjadi mekanik di timnya, tapi apa yang dilakukan Clark saat GP Inggris 1965 ketika Lotusnya mengalami kebocoran oli menunjukkan bahwa ia ternyata juga piawai dalam mengatasi berbagai masalah teknik yang mendera tunggangannya. Sepanjang balapalan, Clark mengatasi kebocoran tersebut dengan mengatur mesinnya selama berbelok ke kanan agar kebocoran oli berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa Clark merupakan pembalap yang bukan hanya sekadar bisa membalap saja tapi juga mampu berpikir cepat mengatasi masalah yang mendera jet daratnya untuk meraih hasil maksimal.

Tahun 1966, setahun setelah ia tampil perkasa dan berhasil menyabet gelar dunianya yang kedua, merupakan masa-masa kelamnya. Bukan saja ia harus kehilangan gelar dunianya tapi di tahun itu, ia juga putus dengan kekasihnya, Sally Stokes dan tak lama Sally menikah dengan pembalap asal Belanda, Ed Swart. 

Pada 1968, Clark sukses mengalahkan Juan Manuel Fangio dan merebut kemenangan di GP South Africa, sayangnya kemenangannya itu ternyata menjadi kemenangan terakhirnya sebelum ia tewas saat membalap di Hockenheim.

Saat itu, mestinya Clark turun di sebuah ajang sportscar di Brands Hatch, tapi ia malah memilih balapan F2 di Hockenheim. Di lap kelima, Lotus-nya mengalami kecelakaan. Clark menghembuskan nafas terakhirnya sebelum sempat sampai ke rumah sakit. Seandainya saja saat itu, Clark memilih turun di Brands Hatch mungkin ia takkan mengalami kecelakaan naas yang merenggut nyawanya itu, tapi Clark adalah pecinta balapan sejati yang tak gentar dengan bayangan kematian yang menghantuinya dan rekan-rekan seprofesinya. Seperti Hill, ia sangat mencintai balapan seperti ia mencintai hidup. 

Kematian Clark menjadi akhir dari duet Clark-Chapman yang merupakan simbol sukses F1 pada era 1960-an. Kepergian Clark ini tentu saja sangat memukul bosnya sekaligus sahabat terbaiknya, Colin Chapman yang mengaku sangat kehilangan dengan kematian Clark ini. Namun bukan hanya Chapman yang kehilangan, seluruh publik F1 pun merasa sangat kehilangan dengan pria Skotlandia yang sangat disukai sekaligus disegani baik kawan maupun lawannya karena pribadinya yang kalem dan tenang. 

Sama seperti Hill, Clark juga merupakan salah satu sosok pembalap yang sangat rendah hati. Bahkan Clark tak pernah takut mengungkapkan perasaan takutnya terhadap pebalap lain yang lebih kencang darinya. Meski saat itu semua menganggap Clark merupakan pebalap tercepat tapi pada ayahnya yang kemudian diungkapkan oleh ayahnya kepada publik setelah Clark meninggal, bahwa pebalap Lotus ini ternyata merasa gentar terhadap Dan Gurney, satu-satunya pembalap yang kecepatannya membuat Super Clark merasa gentar. 

Uniknya dari 72 balapan yang 25 diantaranya berhasil dimenangkan olehnya itu tercatat hanya sekali ia meraih podium kedua yaitu di Nurburgring 1963.

Karir Clark di F1 memang bisa dibilang cukup singkat tapi dalam waktu yang singkat itu banyak prestasi yang berhasil ditorehkannya. Tak heran bila kematiannya kemudain membuat dunia F1 sangat berduka dan kehilangan. Hal yang dirasakan oleh Chris Amon yang mengungkapkan betapa F1 benar-benar kehilangan sosok yang luar biasa ini. "If it could happen to him, what chance do the rest of us have? I think we all felt that. It seemed like we'd lost our leader," ungkap Amon. 

Bagiku sendiri, Clark merupakan salah satu pembalap era klasik yang sangat ingin kujumpai seandainya saja ada yang berhasil menciptakan mesin waktu.

Debut          : Zandvoort, Belanda 1960
Start            : 72
Juara Dunia: 1963 & 1965 (bersama Lotus)
Poin            : 274
Menang      : 25
Pole            : 33
Fastest Lap : 28



Senin, 08 Februari 2010

The Speed Admirers

Kecintaanku pada Formula 1 memang bermula dari Michael Schumacher, tapi setelah aku makin mengenal F1, ternyata kudapati betapa banyaknya pembalap-pembalap luar biasa dari Inggris bahkan dari sekian banyak juara dunia sepuluh di antaranya bernaung dalam kesatuan Great Britain. Hatiku pun terusik ingin mencari mengenai kesepuluh pembalap luar biasa ini dan meskipun tulisanku ini mungkin masih banyak kekurangan atas data tapi kuberanikan untuk menampilkan tulisan ini demi apresiasiku pada pembalap-pembalap luar biasa ini. Dan inilah "The 10th British Warriors", para pemuja kecepatan yang tak gentar dengan bayangan kematia ini yang akan kurangkum dalam lima bagian. 

pic taken from this site
1. Mike Hawthorn (1958)
Kalau saja Peter Collins tidak memberikan mobilnya kepada Juan Manuel Fangio di GP Italia 1956 yang mengalami masalah menjelang garis finish hingga akhirnya pembalap Argentina itu meraih gelar dunia keempatnya dari lima gelar yang berhasil dikoleksinya sepanjang karirnya, bukan tak mungkin Collins akan menjadi juara dunia pertama asal Inggris tapi sejarah telah tercatat. Fangio berhasil meraih lima gelar sebelum akhirnya pensiun dari F1 sementara Collins, sang gentleman sejati yang lebih mementingkan kepentingan tim di atas kepentingan pribadi ini, tak mengoleksi satu gelar dunia pun meski hal itu tak berarti ia bukanlah pembalap hebat.
 
Hawthorn lah yang akhirnya berhasil membuat sejarah baru bagi Inggris dalam kancah olahraga ini ketika ia akhirnya berhasil meraih gelar dunianya pada 1958 bersama Ferrari. Prestasi yang luar biasa mengingat pada musim itu, ia hanya memenangi satu GP saja sementara saingannya, Stirling Moss telah mengumpulkan empat kemenangan tapi hasil yang terjadi di GP Portugis memberikan Hawthorn gelar dunia dengan hanya selisih satu poin lebih unggul dari Moss. 
 
Pembalap yang terkenal selalu mengenakan dasi kupu-kupu dalam setiap penampilannya itu lahir di Mexborogh, Yorkshire, Inggris, pada tanggal 10 April 1929 dengan nama lengkap  John Michael Hawthorn. Sebelum bergabung dengan F1, putra pedagang mobil ini telah banyak mengikuti ajang balapan lain salah satunya di Le Mans di mana pada 1955 ia berhasil menjadi juara di lomba balap ketahanan mobil tersebut.

Hawthorn memulai debutnya di F1 pada GP Belgia 1952 dan seperti Schumi yang meraih juara GP pada tahun keduanya di F1, begitu pun halnya dengan Hawthorn. Ia berhasil meraih gelar juara GP pertamanya di Reims, Perancis pada 1953 dan di tempat ini pula Hawthorn juara GP terakhirnya sebelum ia memutuskan pensiun dari F1 dan menjadikan Monaco sebagai balapan terakhirnya.

Pada 1958 ia bergabung dengan Ferrari yang kemudian berhasil membawa Hawthorn meraih gelar juara dunia sekaligus menjadi pembalap Inggris pertama yang menjadi juara dunia F1. Tahun yang istimewa bagi Hawthorn dengan tunggangan yang istimewa, terlebih kabarnya Ferrari Dino 246, tunggangannya yang telah mengantarnya meraih gelar dunia itu merupakan mobil impian para pembalap F1 di masa itu.

Sayangnya di akhir musim 1958, setelah ia meraih gelar dunia, Hawthorn memutuskan pensiun dari F1. Dan tragisnya di awal tahun 1959 tepatnya pada tanggal 22 Januari, Hawthorn dikabarkan tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di Guilford, Inggris ketika ia tengaha menggeber Jaguarnya yang telah dimodifikasi dan dijuluki "The Merceater" yang menurut Hawthorn dalam buku biografinya, Challenge Me The Race, takkan ada yang bisa menandingi kecepatan mobilnya tersebut.

Tragis memang akhir kisah hidup juara dunia pertama asal Inggris ini yang menemui ajalnya justru ketika ia telah pensiun dari olahraga ekstrem yang begitu dekat dengan hawa kematian itu. Namun betapapun, pencapaian Hawthorn di F1 kiranya tetap manis untuk dikenang, terutama ketika ia memenangi GP pertamanya di Reims, Perancis pada 1953 ketika ia bertarung sangat ketat dengan Fangio. Bahkan saking panasnya pertarungan saat itu, mereka sampai sepuluh kali bertukar posisi sebagai pemimpin lomba hingga di lap 57, Hawthorn berhasil merebut posisi pertama hingga akhir race dan berhasil menjuarai lomba dengan selisih sedetik lebih cepat dari Fangio sementara Froilan Gonzales yang finish di belakang Fangio terpaut 0.4 detik dari pembalap Argentina itu dan lebih cepat 3.2 detik dari Alberto Ascari yang finish di tempat keempat. Benar-benar race yang sangat mendebarkan dengan selisih waktu yang sangat tipis. Setipis batas kecepatan yang dipujanya dengan kematian yang senantiasa mengintip.

Atas pencapaian Hawthorn, namanya pun diabadikan menjadi sebuah nama sebuah jalan di Farnham, kota di mana ia tinggal hingga saat ia menemui ajalnya.

Debut           : GP Belgia 1952
Start             : 47
Juara Dunia  : 1958 (bersama Ferrari)
Poin             : 112,64
Menang        : 3
Pole             : 4
Fastest Lap  : 6

pic taken from this site
2. John Surtees (1964)

Meski hanya satu kali menjadi juara dunia, tapi John Surtees merupakan satu-satunya pembalap yang sukses meraih gelar di ajang balapan roda dua dan roda empat. Di ajang balapan roda dua, bahkan boleh jadi nama Surtees sangat melegenda meski mungkin koleksi gelar juara dunianya di MotoGP boleh jadi kalah banyak dengan Valentino Rossi. Setidaknya Surtees telah tiga kali mengantungi glear dunia di balapn motor 350cc yaitu pada sepanjang tahun 1958-1960 sementara di ajang 500cc yang merupakan ajang paling bergengsi dalam dunia balap roda dua itu, Surtees sukses mengoleksi empat gelar dunia yaitu pada 1956, 1958, 1959, dan 1960, yang artinya sepanjang tahun 1958-1960 ia sukses mengawinkan gelar dunianya pada dua macam seri balap roda dua itu. 

Pada tahun 1960 di usianya yang ke-26, ia hijrah dari balapan roda dua ke roda empat. Debutnya di F1 dimulai bersama Lotus saat membalap di GP Monaco.

John Surtees yang lahir pada 11 Februari 1934 di Tatsfield, Surrey, Inggris ini sendiri telah mengenal dunia motorsport sejak kecil. Hal yang tak mengherankan mengingat ayahnya adalah seorang dealer sepeda motor di daerah selatan London. Bahkan waktu kecil ia dan ayahnya pernah memenangi lomba balap tapi sayangnya mereka didiskualifikasi setelah pihak penyelenggara mengetahui usia Surtees yang masih terlalu belia dan tak sesuai dengan batas usia minimal peserta. 

Saat ia berumur 15 tahun barulah ia bisa mengikuti berbagai ajang blapan. Bahkan ia sempat menjadi headline pada 1951 ketika ia bertarung dalam sebuah balapan di Thruxton di mana ia saat itu ia memberikan perlawanan sengit pada bintang Norton, Geoff Duke. Penampilannya itu dengan serta merta membuat banyak pihak tertarik hingga akhirnya ia bergabung dengan Norton dan kemudian pindah ke MV Agustas ketika Norton mengalami masalah finansial dan rencana keikutsertaan mereka dalam ajang balapan tersebut pun jadi tak jelas. 

Kepiawaian Surtees di ajang balap roda empat ternyata tak kalah spektakuler dengan di balapan roda dua. Terbukti di balapan keduanya di F1 bersama Lotus, ia berhasil finish kedua di GP Inggris dan meraih pole position pada balapan ketiganya di GP Portugis. Tahun 1961, ia pindah membela tim Cooper dan pada 1962 bersama Reg Parnell Racing. Pada tahun 1963 akhirnya ia bergabung ke Ferrari dan meraih gelar dunianya bersama tim kuda jingkrak itu pada tahun 1964.

Kecintaanya pada balapan dan kecepatannya bahkan tak tergoyahkan meski ia mengalami kecelakaan di Ontario, Kanada pada 1965 saat menjajal Lola T70. Ajang Can Am dan Le Mans pun pernah disambangi pemuja kecepatan yang satu ini. Tapi sayangnya di ajang lomba ketahanan itu ia mengalami kekecewaan terhadap Ferrari yang menandemkannya dengan Ludovico Scarfiotti padahal pembalap yang dijuluki "Big John" ini lebih suka berpartner dengan Mike Parkes, akibatnya Surtees pun memutuskan keluar dari Ferrari dan pada tahun 1967 Surtees membela tim pabrikan Jepang, Honda.

Bersama tim pabrikan Jepang ini, Surtees berhasil meraih kemenangan di GP Italia ketika ia sukses mengalahkan Denny Hulme  dengan selisih 0.2 detik. Memang ia dan Honda tak berhasil meraih gelar dunia tapi pabrikan besar asal Jepang itu sangat menghargai semua kontribusi Surtees yang telah membantu HOnda pada awal-awal keikutsertaannya di ajang balap paling spektakuler sedunia ini.

Pada 1970, Surtees mendirikan tim balapnya sendiri yang tak hanya berlaga di F1 tapi juga turut serta di ajang Formula 2 dan Formula 5000. Meski tak sesukses Jack Brabham tapi TS 9 besutan tim F1 miliknya sendiri itu berhasil finish ke-5 di Zanvoort, Belanda pada 1971. 

Surtees mengakhiri karier F1-nya di GP Italia 1973 bersama TS 14. Secara keseluruhan, tim Surtees berhasil mengumpulkan 5 poin dari 19 kali keikutsertaan mereka di F1. 

Putra Surtees, Henry Surtees pun sempat menjadi penerusnya di olahraga yang memuja kecepatan ini sebelum tewas di sebuah ajang F2 pada 19 Juli 2009 di Brands Hatch.Tragisnya ia dan istrinya, Jane tengah menyaksikan lomba itu ketika putranya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Tentu saja hal itu memberikan luka mendalam pada juara dunia 1964 ini tapi nyatanya hal itu tak membuatnya membenci olahraga ini. Surtees pernah pula menjadi bos tim Inggris di ajang A1 GP dari tahun 2005-2007. 

Atas semua pencapaian Surtees, ia pun mendapatkan penghargaan dari pihak kerajaan dengan memberikan gelar kebangsawanan padanya. Ia memang telah mendapatkan banyak dari olahraga ini tapi ia juga telah kehilangan sesuatu yang sangat besar dalam hidupnya di olahraga yang dicintainya ini tapi Surtees tak pernah kehilangan jiwanya sebagai pemuja kecepatan sejati. 

Debut         : GP Monaco 1960
Start           : 112
Juara Dunia : 1964 (bersama Ferrari)
Poin            : 40 (poin secara keseluruhan karirnya di ajang otosport adalah 180 poin)
Menang      : 6
Pole            : 8
Fastest Lap : 11





Minggu, 07 Februari 2010

Kalender F1 2010

Tiap tahun aku selalu menantikan bulan Maret karena di bulan itu, musim balap F1 dimulai. Terlebih tahun ini Michael Schumacher, jagoanku yang telah membuatku jatuh cinta pada F1 kembali beraksi jadi sudah pasti tahun 2010 ini Formula One akan makin istimewa untukku terlebih, Jenson Button, meteor yang hampir pudar akhirnya berhasil meraih gelar dunianya musim lalu. Makin luar biasa lagi, Button yang telah hijrah ke McLaren dan tempatnya digantikan Schumi tapi keduanya menggunakan mesin Mercedes. Ditambah, rekan setim Button adalah si juara dunia 2008, jadi musim 2010 menurutku akan menjadi musim paling kompetitif sepanjang aku mengikuti ajang ini sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Untuk itu, aku ingin berbagi dengan semua pecinta Formula One, jadwal balap musim 2010 ini yang kuambil dari jendelanya BBC.

Bahrain Grand Prix,
Sakhir, 14 March, 2010
 
Australian Grand PrixAlbert Park, Melbourne, 28 March 2010

Malaysian Grand Prix
Sepang, 4 April 2010

Chinese Grand Prix
Shanghai, 18 April 2010
 
Spanish Grand PrixCircuit de Catalunya, 9 May 2010

Monaco Grand Prix
Monte Carlo, 16 May 2010

Turkish Grand Prix
Istanbul Park, 30 May 2010

Canadian Grand Prix
Circuit Gilles Villeneuve, Montreal, 13 June 2010

European Grand Prix
Valencia, 27 June, 2010

British Grand Prix
Silverstone, 11 July, 2010

German Grand Prix
Hockenheim, 25 July 2010

Hungarian Grand Prix
Hungaroring, 1 August 2010

Belgian Grand Prix
Spa-Francorchamps, 29 August 2010

Italian Grand Prix
Monza, 12 September 2010

Singapore Grand Prix
Singapore, 26 September 2010

Japanese Grand Prix
Suzuka, 10 October 2010

South Korean Grand Prix
Yeongam, 24 October 2010

Brazilian Grand Prix
Interlagos, Sao Paulo, 7 November 2010

Abu Dhabi Grand Prix
Yas Marina, 14 November 2010

Sabtu, 06 Februari 2010

Survey F1-LG


Buat para F1 freaks, ada survey nih hasil kerjasama F1 racing dengan LG. Hadiahnya lumayan juga lho, $1000 berupa voucher untuk produk LG. Berminat? Coba aja klik site ini. So, show up how much do you admire F1....

Senin, 01 Februari 2010

Banteng Muda Torro Rosso

Scuderia Torro Rosso - Ferrari : 8 poin

Pic taken from here

Berbeda dengan musim 2008, di mana Torro Rosso untuk pertama kalinya berhasil menjuarai balapan, tahun 2009 tandukan banteng muda ini tak mampu menggetarkan jagad F1. Waktu itu, lewat Sebastian Vettel, Torro Rosso, yang merupakan bekas tim Minardi, tim gurem yang tak pernah meraih kemenangan sepanjang keikutsertaannya di F1, tapi di GP Italia 2008, Torro Rosso berhasil memenangi GP pertama mereka dan membuat publik mulai tertarik pada si banteng merah ini.

Musim 2009, setelah Sebastian Vettel naik kelas, dan membalap untuk 'kakak' Torro Rosso, Red Bull, bisa dibilang keberadaan Torro Rosso tak lagi sespektakuler musim 2008 itu meski tim ini diperkuat oleh Sebastian Bourdais, si jawara Champcar.

Di pertengahan musim, Bourdais yang tak memperlihatkan hasil mengesankan akhirnya digantikan oleh Jaime Alguersuari. Tapi penampilan Alguersuari ternyata tak cukup mengesankan juga yang mampu membuat Torro Rosso berkilat.

Secara keseluruhan, penampilan Torro Rosso memang tak bisa dikatakan bagus. Hal ini berbeda sekali dengan penampilan 'kakak' mereka yang berhasil meraih posisi sebagai runner up, sangat kontras dengan posisi mereka sebagai juru kunci dan hanya mampu meraih 8 poin dari 18 seri balapan.

23. Sebastian Buemi : 6 poin

Pic taken from here

Sebagai pengganti Vettel, penampilan Buemi memang tak terlalu sebrilian Vettel tapi perolehan yang dicapainya hingga akhir musim tak terlalu buruk juga. Tiga kali ia berhasil lolos hingga Q3. Pada balapan pembuka di Melbourne, ia berhasil meraih dua poin pertama setelah Trulli terkena penalti. Di GP China ia berhasil meraih P 10 di sesi kualifikasi dan di race ia sukses naik 2 peringkat sehingga layak mendapatkan satu poin yang tersisa.

Di Suzuka, Jepang, ia kembali berhasil lolos Q3 dan memulai start di posisi ke-10 tapi tak seperti di GP China, di Jepang ia harus mengakhiri balapannya lebih cepat karena mobilnya mengalami masalah. Namun keberuntungannya kembali bersinar di GP Brazil di mana ia lagi-lagi sukses lolos ke Q3 dah berhasil meraih posisi start di P 6 namun sayangnya ia tak berhasil mempertahankan posisinya, melorot 1 posisi akhirnya ia hanya berhasil finish di P7, tambahan dua poin untuknya.

Di GP penutup pun ia sukses meraih satu poin terakhir untuk musim 2009 menggenapkan perolehan poin keseluruhannya menjadi 6 poin dan membuatnya berada di peringkat ke-16 klasemen pembalap. Hasil yang menjanjikan bagi Buemi untuk menyongsong musim 2010.

24. Sebastian Bourdais : 2 poin

Pic taken from here

Sebelum masuk ke F1, nama Bourdais sebagai jawara Champ car sangat menjanjikan. Tak dinyana, karir F1 Bourdais malah hanya seumur jagung.

Seperti musim 2008, penampilan Bourdais di 2009 juga tak terlalu mengesankan. Tiga kali ia gagal finish yaitu di GP Spanyol, Inggris, dan Jerman. Meski kegagalannya di GP Inggris dan Jerman lebih disebabkan karena masalah teknik. di Turki, ia terlihat kepayahan dengan mobilnya sehingga ia menjadi yang paling buncit melibas garis finish. Sementara di Malaysia, ia tak berhasil memanfaatkan kesempatan ketika rekan setimnya mengalami kesulitan. Di negeri Melayu itu, ia hanya mampu finish di urutan ke-10, di belakang Felipe Massa.

Di Australia ia cukup beruntung. Seperti rekan setimnya, Bourdais pun turut diuntungkan dengan penalti yang diterima Trulli sehingga posisi finishnya dinaikkan menjadi ke-8, ia pun sukses meraih satu poin pertamanya di race pembuka. Keberuntungan kembali menaunginya di Monaco. Lagi-lagi ia sukses merebut satu poin sehingga ketika ia didepak oleh timnya dan posisinya digantikan Jaime Alguersuari, ia telah berhasil mengumpulkan dua poin dari 9 kali penampilannya di musim 2009.

25. Jaime Alguersuari : 0 poin

Pic taken from here

Menggantikan Sebastian Bourdais di GP Hungaria, Alguersuari hanya mampu meraih tempat paling buncit di start namun di race ia berhasil finish di depan rekan setimnya. Di GP Eropa, ia cukup beruntung karena posisi juru kunci diemban pembalap Ferrari, Luca Badoer yang menggantikan Massa. Di Hungaria, ia berhasil finish di depan rekan setimnya dan di Valencia, ia juga beruntung, meski ia tak sukses menangguk poin, tapi ia berhasil membawa mobilnya hingga ke garis finish sementara rekan setimnya harus lebih cepat mengakhiri balapan setelah mengalami masalah dengan remnya.

Di Belgia, keberuntungan Alguersuari mulai memudar. Di awal lap ia sudah harus terlibat kecelakaan sehingga balapannya pun harus segera berakhir. Kesialannya kembali terulang di GP Italia dan Jepang. Di Jepang, lagi-lagi ia mengalami kecelakaan dan di Italia, balapannya harus berakhir karena masalah gearbox. Hingga akhir musim, Alguersuari tak berhasil meraih satu poin pun.