Total Tayangan Halaman

Translate

Sabtu, 12 Desember 2015

Review Novel : Di Bawah Bendera Merah

Penulis : Mo Yan 
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta 
Tebal : xvi + 144 halaman 
ISBN : 978-979-024-410-8 

Buku ini bisa dibilang merupakan otobiografi atau semacam memoir dari secuil bagian kisah hidup Mo Yan, peraih Nobel Sastra 2012 yang disusun seperti novel. Dalam buku ini Mo Yan mengisahkan tentang masa-masa sekolahnya hingga ia menjadi penulis. Nama asli Mo Yan adalah Guan Moye. Saat Mo Yan masih kecil, orangtuanya melarangnya membicarakan isi pikirannya bila berada di luar karena kondisi revolusi politik di China, itulah sebabnya, ia kemudian memilih nama Mo Yan sebagai nama pena. Nama Mo Yan memiliki makna “Jangan Bicara”. 

Lahir dari keluarga miskin di Kabupaten Gaomi Timur, di mana tempat ini menjadi latar belakang dari karya-karyanya termasuk karyanya yang paling terkenal, Sorgum Merah yang diterbitkan pada tahun 1987, karya inilah yang mengantarkannya meraih Nobel Sastra 2012. Mo Yan terpaksa drop out dari sekolah hanya karena gurunya menuduhnya telah mengolok-oloknya. Namun sebagai anak yang haus belajar, Mo Yan tetap menyelinap ke sekolah walau berkali-kali ia diseret keluar dari sekolah. Tak lulus sekolah, Mo Yan masuk ke militer, demi mengangkat derajat hidup keluarganya; dari sinilah garis hidup Mo Yan mulai berubah. Lewat jalur inilah, ia akhirnya bisa melanjutkan sekolahnya hingga akhirnya ia memulai karirnya sebagai penulis. 

Ada tiga tokoh yang memiliki benang merah selain Mo Yan sendiri dalam buku ini. He Zhiwu, Lu Wenli, keduanya adalah teman sekelas Mo Yan dan Guru Liu, yang mendapat julukan Liu Kodok karena bentuk fisik mulutnya yang lebar. Guru Liu menuduh Mo Yan sebagai biang kerok yang telah memberinya julukan ini murka dan memaksa Mo Yan keluar dari sekolah. Mo Yan sendiri bermulut besar sama seperti Guru Liu, oleh karenanya ia merasa senasib dan menganggap tuduhan gurunya ini tidak benar. Namun gurunya tidak percaya dan tetap mengeluarkan Mo Yan dari sekolah. Di kemudian hari Mo Yan menulis cerita berjudul “Mulut Besar” yang didasari oleh kisah nyata hidupnya. Mo Yan tetap mengendap-endap, mencari celah untuk masuk sekolah meskipun berkali-kali ia dipaksa keluar oleh anak-anak yang lebih besar yang ditempatkan di pintu sekolah oleh Guru Liu untuk melemparkan Mo Yan bila muncul ke sekolah. 

Di kelas Mo Yan ada anak lain yang juga drop out dari sekolah bernama He Zhiwu, namun kasus dan sikap mereka berbeda sekali. Suatu hari guru bahasa mereka menyuruh mereka menulis karangan dengan topik “Impianku”. Mo Yan waktu itu masih bersekolah. Profesi idaman anak-anak lelaki di sana saat itu adalah menjadi supir truk. Truk yang paling memikat mereka adalah Gaz 51 yang sangat cepat. Kelebihan lain Gaz 51 yang mempesona mereka adalah karena truk buatan Soviet ini merupakan salah satu truk yang pernah digunakan Soviet untuk bertempur di Perang Dunia II bahkan truk yang dikemudikan oleh ayah Lu Wenli, teman sekelas mereka ini memiliki beberapa lubang bekas terkena peluru. 

Nah, sudah tentu saat diminta menulis karangan mengenai impian mereka, seluruh anak laki-laki di kelas menulis impian mereka adalah menjadi supir truk. Tapi ada salah satu anak yang menulis dengan gaya berbeda. Alih-alih menulis impiannya menjadi supir truk seperti teman-temannya, anak ini menulis: “Aku tidak punya impian lain- aku hanya punya sebuah impian-impianku adalah menjadi ayah Lu Wenli.” Tentu saja saat guru mereka membacakan karangan ini seisi kelas langsung dipenuhi gelak tawa. Lu Wenli, teman sebangku Mo Yan yang namanya disebut-sebut tentu saja merasa malu. Gadis malang ini pun hanya bisa menangis karena malu. Si penulis bernama He Zhiwu, siswa yang bisa dibilang agak angkuh dan memiliki kepercayaan diri tinggi. Guru mereka mendesak Zhiwu mengatakan alasan dan maksudnya menulis seperti itu, alih-alih menjawab, Zhiwu malah melakukan tindakan seolah menantang, hingga gurunya berang dan memaksanya bergulir keluar kelas. Bergulir yang dimaksud adalah ia menggulung tubuhnya, menekuk lututnya ke dada, seperti bola dan kemudian bergulir ke luar kelas. Gurunya sebenarnya hanya menyuruh Zhiwu ke luar kelas, namun anak ini malah keluar sekolah dengan aksi penuh gaya. 

Mo Yan sempat bertemu dengan kembaran Gaz 51 yang dikemudikan ayah Lu Wenli di resimennya saat ia masuk militer. Saat di militer inilah garis hidup Mo Yan mulai berubah. Saat di militer ia mengikuti ujian masuk Jurusan Sastra di Institut Seni Tentara Pembebasan Rakyat dan diterima. Meski ia drop out dari sekolah, namun ia berhasil masuk kuliah di Universitas Beijing. Ia kemudian mulai menulis cerpen. Cerpen pertamanya berjudul “Ibu” selain itu ia juga menulis naskah drama enam babak berjudul Perceraian. Setelah berkali-kali naskahnya ditolak, akhirnya ” Malam Musim Semi Berhujan" menjadi cerpen pertamanya yang diterbitkan di majalah. Setelah itu cerpen berikutnya, “Prajurit Jelek” kembali diterbitkan. Tahun 1984 novel pendek pertamanya yang diberi judul Lobak yang Tembus Pandang diterbitkan. Namanya makin dikenal lewat karya fenomenalnya, Sorgum Merah yang belakangan difilimnkan dengan sutradara Zhang Yimou dan dibintangi Gong Li. 

Saat pembuatan film Sorgum Merah di kampong halamannya, Gaomi Timur, Mo Yan melihat sebuah truk yang digunakan oleh kru film tersebut mirip sekali dengan Gaz 51 yang pernah dikendarai oleh ayah Lu Wenli. Dari berita yang pernah didengar Mo, truk tersebut telah dibeli He Zhiwu. Tapi setahunya Zhiwu telah pergi ke Mongolia dan ia mengira truk itu dibawa Zhiwu ke Mongolia. Belakangan Zhiwu yang sudah menjadi pengusaha sukses menceritakan pada Mo bahwa truk itu memang telah dibelinya. Jadi bisa dibilang di antara mereka hanya Zhiwu-lah yang benar-benar mewujudkan impian seperti yang mereka tulis di karangan mereka. Zhiwu membeli truk tersebut dengan harapan bisa menikah Lu Wenli. Namun Wenli kala itu sudah bertunanan dengan Wang Jianjun, anak Wakil Sekretaris Partai. Zhiwu tahu bahwa Jianjun, yang akan dinikahi Wenli adalah playboy busuk yang suka mabuk dan melakukan kekerasan, karenanya meski tahu Wenli telah bertunangan, ia tetap melamar Wenli, tapi Wenli menolaknya dan lebih memilih menikah dengan Jianjun. Patah hati ditolak Wenli, Zhiwu pergi ke Mongolia. Gas 51 yang telah dibelinya dari ayah Wenli dititipkan di rumah ayahnya yang sempit, belakangan truk itupun dijual Zhiwu ke kru film. Di Mongolia inilah Zhiwu mendapatkan kekayaannya. Ia kemudian menikah dengan seorang wanita keturunan asing dan dikaruniai tiga orang anak. 

Suatu hari Wenli mendatangi Zhiwu. Suaminya meninggal dalam suatu kecelakaan. Wenli mempertanyakan perasaan Zhiwu padanya dan apakah tawaran pernikahan yang diajukannya dulu masih berlaku. Meski Zhiwu mencintai Wenli namun rupanya ia masih belum lupa penolakan Wenli dulu, terlebih sekarang ia telah menikah. Dengan sedikit “kejam” dia menegaskan pada Wenli bahwa ia bisa saja menikahi Wenli tapi tidak sebagai istri sah melainkan hanya sebagai simpanannya. Wenli yang sebenarnya memiliki sifat serupa dengan Zhiwu, sedikit angkuh dan memiliki harga diri tinggi tentu saja menolak tawaran Zhiwu. Belakangan muncul kabar Wenli menikah dengan Guru Liu, guru mereka dulu yang pernah mengusir Mo Yan keluar dari sekolah. Saat mendengar kabar ini, Zhiwu kembali patah hati, dengan membawa dua bungkus rokok dan dua botol minuman keras ia pergi ke tanah kosong tempat dimana ia mengutarakan kekagumannya akan Wenli kepada ayahnya untuk menyepi dan mengusir kesedihan dan penyesalannya. 

Ketika Mo Yan diminta menjadi juri suatu acara pencarian bintang berbakat, ia bertemu dengan Wenli, teman sebangkunya saat sekolah dulu. Wenli yang sebenarnya meminta bertemu dengan Mo Yan. Dalam kesempatan itu Mo menanyakan kabar Guru Liu yang sudah menikah dengan Wenli. Namun Guru Liu ternyata sudah meninggal dunia. Setelah berbasa-basi, akhirnya Wenli mengutarakan tujuannya bertemu Mo. Ia meminta bantuan Mo untuk meloloskan putrinya dengan Guru Liu yang ikut dalam acara pencarian bintang berbakat di mana Mo Yan menjadi salah satu jurinya. Wenli sebenarnya seorang yang memiliki harga diri tinggi, namun demi putrinya ia rela merendahkan dirinya melakukan tindakan kotor seperti itu. Mo sendiri menyadari hal ini. Namun samar-samar saat melihat foto putrid Wenli yang disodorkan kepadanya, ia ingat anak ini merupakan salah satu bintang yang mendapat pujian dari juri lainnya. Namun untuk lebih meyakinkan Wenli, ia mengirimkan SMS kepada Kepala Lu, penyelenggara acara tersebut dan memperlihatkan kepada Wenli SMS balasan dari Kepala Lu. Ternyata Liu Huanhuan, anak Wenli dan Guru Liu merupakan salah satu yang paling berbakat di acara tersebut. Air mata Wenli pun mengalir saat membaca SMS tersebut. Ia merasa terharu. Hidupnya selama ini terasa terjal dan berat tapi ternyata masih terdapat buah manis di balik kesulitan hidup yang dijalaninya. 

Catatanku: Membaca buku ini aku merasa Mo Yan memang piawai dalam bercerita. Terlebih dalam merangkai benang merah di antara para tokohnya. Meski buku ini merupakan kisah hidupnya, tapi pastinya sulit mengurai benang-benang kenangannya yang begitu berwarna untuk diungkapkan dalam sebuah buku. Dalam buku ini kita disuguhkan beragam ironi seolah menegaskan nasib orang takkan pernah bisa diterka. Mo Yan yang harus drop out sekolah, namun ternyata ia bisa meraih kesuksesan sebagai penulis dan bahkan mendapatkan Nobel Sastra. Lewat Zhiwu, kita juga diperlihatkan sosok seorang yang tak kenal menyerah. Sama seperti Mo Yan, ia juga drop out dari sekolah, namun berkat kenekatan dan kemampuan berpikirnya, ia berhasil menjadi pengusaha kaya raya, tapi ia gagal mendapatkan cinta yang didambakannya sejak sekolah karena keliru menganalisa hatinya sendiri. Dan melalui Lu Wenli, kita seperti disuguhi kisah drama yang dramatis. Saat sekolah, ia menjadi gadis paling cantik, profesi ayahnya menjadi pujaan teman-teman sekelasnya, namun hidupnya demikian berat. Namun di ujung kisah ia akhirnya ada pula hal manis dari hidupnya yang sulit itu. Seolah mengingatkan pada kita untuk tak pernah berhenti berharap. Toh hidup bukan hanya sehari. Dan hidup tak melulu berisi karang terjal. 

Sabtu, 05 Desember 2015

Resensi Novel : Sorgum Merah

Resensi Novel : Sorgum Merah

Penulis : Mo Yan
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Tebal : 548 halaman
ISBN : 978-602-290-006-1

Novel ini berkisah mengenai kehidupan sebuah keluarga dalam tiga generasi. Melalui tokoh "aku" yang hingga akhir tak terkuak identitas lengkapnya, mengalirlah kisah perjalanan hidup kakek dan ayahnya di jaman perang dengan bumbu kehidupan asmara mereka.

Sang ayah yang bernama Douguan masih berumur lima belas tahun saat mengikuti Komandan Yu Zhan'ao, ayah angkatnya yang belakangan terungkap bahwa ia adalah ayah kandungnya, berperang gerilya melawan penjajahan Jepang di Gaomi Timur.

Komandan Yu di masa-masa sebelum perang bisa dibilang merupakan bajingan kelas wahid. Ayahnya meninggal saat masih kecil. Sepeninggal ayahnya, ibunya memiliki hubungan dengan seorang pendeta Buddha. Ia tak menyukai pendeta Buddha tersebut. Suatu malam ia membunuh kekasih ibunya tersebut. Saat mengetahui kekasihnya tewas, ibu Yu Zhan'ao bunuh diri sehingga Yu menjadi yatim piatu. Ia pergi meninggalkan kampungnya dan bekerja serabutan menjadi tukang angkut peti mati dan tandu pengantin.

Saat menjadi tukang angkut tandu pengantin inilah ia bertemu dengan Dai Fenglian, gadis cantik yang akan dinikahkan dengan Shan Bianlang, anak keluarga kaya pengusaha arak yang menderita lepra. Tanpa sengaja Zhan'ao memegang kaki mungil Fenglian yang diikat, sebuah tradisi "kejam" di masa lalu yang mengharuskan anak perempuan diikat kakinya agar kakinya mungil dan cantik. Kejadian tak sengaja ini ternyata menerbitkan perasaan saling menyukai di antara keduanya.

Demi membebaskan wanita yang dicintainya dari tragedi hidup bersama penderita kusta, Zhan'ao membunuh Shan Bianlang dan ayahnya, Shan Tingxiu. Saat itu Fenglian tengah berada di rumah orangtuanya. Namun tetap saja ia menjadi tersangka utama atas kematian suami dan mertuanya. Dalam pengadilan yang kacau balau, akhirnya Fenglian lolos dari jerat hukum, kecurigaan dialihkan ke Leher Berbintik, ketua bandit yang sangat ditakuti. Di kemudian hari Zhan'ao membunuh Leher Berbintik.

Kematian suami dan mertuanya membuat Fenglian kini menjadi pemilik penyulingan arak keluarga Shan. Dalam menjalankan usaha ini ia dibantu Paman Arhat yang sudah lama bekerja untuk keluarga Shan. Saat tentara Jepang datang ke Gaomi Timur Laut, Paman Arhat yang setia ini tewas dikuliti tentara Jepang.

Hubungan Fenglian dan Zhan'ao mengalami kerikil saat Zhan'ao selingkuh dengan Gairah, gadis pelayan Fenglian. Zhan'ao memilih pergi dan tinggal bersama Gairah di desa tetangga yang bernama Celah Air Garam. Fenglian pun membalas perbuatan Zhan'ao. Ia menjalin hubungan dengan Mata Hitam, pemimpin genk, Kelompok Besi. Mendengar hal ini, Zhan'ao pergi menemui Mata Hitam dan bertarung, hasilnya keduanya seimbang. Fenglian yang terharu memilih kembali bersama Zhan'ao namun menolak tinggal satu atap dengan Gairah, madunya.

Kedamaian di Gaomi Timur Laut terusik saat tentara Jepang datang. Sebelumnya, tentara Jepang terlebih dahulu membantai penduduk di Celah Air Garam. Dalam pembantaian ini, Gairah yang tengah mengandung bersama putrinya menjadi korban kekejaman tentara Jepang. Zhan'ao saat itu tengah berada di rumah Fenglian.

Zhan'ao kemudian membentuk pasukan gerilya-nya melawan Jepang. Douguan, putranya dengan Fenglian yang masih belia turut mendampingi ayahnya berperang gerilya. Dalam sebuah pertempuran yang sangat heroik, pasukan Zhan'ao semuanya tewas. Hanya ia dan Douguan yang selamat. Dalam pertempuran itu, Fenglian turut tewas saat tengah mengantarkan makanan untuk pasukan Zhan'ao. Kematian Fenglian ini menimbulkan kesedihan mendalam bagi Zhan'ao. Hubungannya dengan Fenglian yang belakangan dihiasi perselisihan akibat perselingkuhan keduanya seolah sirna. Menatap jazad Fenglian dengan senyum tersungging di wajahnya yang cantik dan muda membuat Zhan'ao tersadar, Fenglian adalah cinta sejatinya.

Perang makin keras. Zhan'ao bukan hanya berperang dengan Jepang, tapi belakangan ia juga terlibat perang dengan pasukan lainnya. Dalam masa sulit ini ada kisah di mana Douguan dan pasukan kecilnya harus bertempur melawan kumpulan anjing yang memakan bangkai nyawa manusia yang tewas dalam pertempuran. Saat itu Zhan'ao tengah sakit keras. Nyawa Douguan sendiri nyaris berakhir saat bertempur dengan salah satu anjing terpintar dalam kumpulan itu.

Dalam masa-masa perang ini Douguan menemukan wanita yang nantinya akan menjadi jodohnya. Namun perang pula yang sempat memisahkan keduanya. Tak dikisahkan bagaimana akhirnya keduanya bertemu kembali, namun pembaca bisa diyakini mereka akhirnya bersatu lewat tutur tokoh "aku" yang merupakan anak dari mereka.

Meski di bagian-bagian akhir novel ini berisi beberapa kisah-kisah mitos yang terasa aneh, namun secara keseluruhan cerita dalam novel ini sangat menawan. Dengan gaya tutur yang menarik, kita takkan bosan untuk membaca hingga akhir. Penokohan yang kuat dan diksi yang menarik menjadi salah satu daya pikat dari novel ini. Salah satu yang juga istimewa dalam novel ini, menurutku, adalah kemampuan Mo Yan mengisahkan keindahan dan keluhuran cinta sama fasihnya dengan kekejaman dan kerakusan manusia akan nafsu dan kuasa yang tak kekal. Beberapa kalimat bisa sangat puitis seperti di halaman 453 "matahari terbenam menerangi awan sore dan menyinari tanah hitam yang merintih...", tapi di bagian lain, Mo Yan bisa saja menggunakan kalimat yang sedikit vulgar namun tetap memiliki keindahan kata yang memikat. Di bagian akhir, Mo Yan menyisipkan kisah tragis dalam perang di manapun, pahlawan perang yang pada akhirnya harus mati di tangan bangsanya sendiri. Lewat kisah seorang tua bernama Geng Tua, yang mengalami delapan belas tusukan oleh tentara Jepang, namun ia tetap hidup secara ajaib, setelah perang usai, ia malah terabaikan. Hidup lewat belas kasih pemerintah. Namun suatu hari jatah ransum-nya tiba-tiba saja terhenti. Saat ia menuntut hak-nya ke gedung komite, ia diabaikan hingga akhirnya mati kedinginan di depan gedung komite.

Sabtu, 07 November 2015

Review Novel : All The Flowers In Shanghai

Penulis : Duncan Jepson
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Tebal : 476 halaman
ISBN : 978-979-024-388-0

Xiao Feng atau Feng-Feng merupakan putri kedua dari sebuah keluarga kelas menengah yang tak pernah diperhatikan keberadaannya. Ibunya sangat berambisi menjadi bagian dari kalangan kelas atas. Demi mencapai ambisinya ini, ibunya telah mempersiapkan kakak Xiao Feng agar dapat menikah dengan pemuda kaya. Sementara Xiao Feng yang tak diharapkan menikah karena harus mengurus kedua orangtuanya saat mereka tua nanti, seperti bayangan di balik kemilau kakaknya.
 
Meski tak diperhatikan namun Xiao Feng justru menikmati kehidupannya. Berbeda dengan kakaknya yang selalu disibukkan dengan acara pesta dansa untuk menarik perhatian pemuda kaya, Xiao Feng justru lebih suka mengunjungi taman-taman di sekitar rumahnya bersama kakeknya. Dari kakeknya ini, Xiao Feng mengetahui berbagai nama latin bunga-bungaan yang mereka temui. Bahasa yang sukar dimengerti tapi berbekas dalam benak Xiao Feng.
 
Kehidupan penuh kebebasan ini tiba-tiba berubah tatkala kakaknya yang sudah dipersiapkan untuk menikah dengan seorang pemuda dari keluarga Sang yang kaya raya mendadak jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Pihak keluarga Sang yang sudah menyebarkan undangan tak mau kehilangan muka danbersikukuh pesta pernikahan harus tetap diselenggarakan. Maka Xiao Feng harus menggantikan kakaknya menikahi Sang Xiong Fa, putra pertama, ahli waris keluarga Sang itu. Namun hati Xiao Feng ternyata sudah tertambat pada Bi, seorang pemuda miskin, anak penjahit baju pengantin kakaknya yang belakangan menjadi baju pengantinnya.

Hidup sebagai menantu keluarga Sang tak memberi kebahagiaan bagi Xiao Feng. Dalam tekanan untuk melahirkan seorang putra pewaris keluarga Sang, jiwa Xiao Feng memberontak. Di dalam hatinya munculkebencian dan keinginan untuk membalas dendam pada ibu dan almarhum kakaknya yang telah membuatnya terjebak dalam pernikahan yang tak diingininya ini. Pada mertuanya yang telah menekannya untuk melahirkan pewaris. Pada suaminya yang telah menciptakan teror terhadapnya setiap malam demi mendapatkan seorang putra sebagai penerus garis keturunan keluarga Sang. Ia memutuskan bila anak yang dikandungnya laki-laki, maka ia akan merawatnya tapi bila anak yang dikandungnya seorang perempuan, maka ia akan memberikan anaknya itu pada keluarga miskin.

Saat tiba waktunya melahirkan, ia tak mengijinkan siapapun mendampinginya kecuali Yan, pelayan pribadinya. Ternyata anaknya perempuan, tanpa melihat apalagi memeluknya, ia meminta pelayannya memberikan anak yang baru dilahirkannya itu kepada keluarga miskin. Kepada suami dan mertuanya, ia mengatakan ia keguguran.

Sejak hari itu Xiao Feng memutuskan untuk berubah. Ia tak mau lagi tunduk pada siapapun. Bahkan dengan cerdiknya, ia menyalahkan ibu mertuanya yang telah membuatnya keguguran sehingga ibu mertuanya yang sejak awal selalu mempersulitnya tak bisa lagi berkutik. Ia juga tak mau lagi tunduk dan membiarkan suaminya menerornya setiap malam hanya demi mendapatkan seorang putra.

Xiao Feng yang semula pemalu memutuskan keluar dari kepompongnya. Ia ingin menjalani hidup seperti kakaknya dulu. Ia belajar bersolek, belanja sepatu dan baju-baju bagus dan rajin mengikuti pesta-pesta dansa. Ia juga mulai mendapat respek dari ayah mertuanya karena berhasil membuat Xiong Fa, yang rendah diri menjadi sosok berbeda dengan kepribadian kuat seperti dambaan ayahnya. 

Ayah mertua Xiao Feng makin menyayanginya saat mengetahui Xiao Feng hamil lagi. Kali ini anak yang dilahirkan Xiao Feng adalah laki-laki. Ia benar-benar puas karena telah berhasil menuntaskan tugasnya memberikan keluarga Sang seorang pewaris. Tapi masalahnya bayi yang dilahirkannya cacat. Ayah dan ibu mertuanya menganggap bayinya tak layak menjadi pewaris keluarga Sang dan mendesak Xiong Fa membuang putranya dan menikah lagi dengan wanita lain yang bisa melahirkan seorang putra. Tapi ternyata Xiong Fa tak mau menuruti keinginan orang tuanya. Ia memutuskan untuk tetap merawat putranya yang diberi nama Sang Lu Meng.

Suatu hari Xiong Fa menumpahkan perasaannya pada Xiao Feng bahwa sekalipun anak yang dilahirkan Xiao Feng adalah perempuan, ia akan tetap bahagia. Malah ia lebih suka memiliki anak perempuan. Mendengar ini Xiao Feng ingin menjerit dan menceritakan pada Xiong Fa bahwa anak pertama mereka adalah perempuan. Diliputi perasaan menyesal Xiao Feng meminta Yan, pelayan pribadinya untuk mencari anak perempuannya tapi tentu saja hal itu mustahil. 

Seiring waktu Lu Meng mulai besar. Ia tumbuh menjadi anak yang tangguh meski cacat. Sementara perang mulai berkecamuk. Jepang datang menguasai Shanghai. Suatu hari datanglah seorang gadis pelayan bernama Yu. Ia ditugaskan mengurus Lu Meng. Keduanya sangat akrab. Xiao Feng tak suka melihat keakraban anaknya dengan seorang gadis pelayan. Ia makin membenci Yu saat suatu hari melihat Yu tengah bersama suaminya. Dalam keadaan kalap ia memukuli Yu dengan ikat pinggangnya. Ia makin murka saat Lu Meng, putra kesayangannya malah melindungi gadis pelayan itu. 

Kemarahan dan kebencian yang terpendam di dalam hatinya terhadap Yu, si gadis pelayan serta rasa sakit hati atas pengkhianatan suami dan putra semata wayangnya yang malah lebih membela seorang pelayan membuat Xiao Feng menarik diri dan hidup terasing. Hingga suatu hari ia menemukan sebuah kenyataan yang jauh lebih menyakitkan. Kemarahan dan kebenciannya pada Yu malah berbalik menjadi kacau balau saat rahasia kelamnya tersingkap. Rasa marah dan bencinya kini berbalik menjadi rasa malu, sedih, menyesal, dan berbagai rasa yang membuatnya melarikan diri dari rumahnya. Meninggalkan suami dan anaknya.

Keluar dari rumah keluarga Sang, hidup Xiao Feng tidaklah mudah. Ia harus bekerja keras dan di bawah rezim partai komunis yang berkuasa atas China usai perang melawan Jepang makin membuat hidup Xiao Feng bertambah sulit. Suatu hari, di musim dingin yang berat, ia menerima sepucuk surat yang membuatnya sadar bahwa ia harus menghadapi masa lalunya. Dalam keadaan sekarat karena musim dingin yang berat, Xiao Feng mulai menulis surat mengisahkan kisah hidupnya untuk putri yang telah dicampakkannya.

Catatanku: Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan cerita dalam novel ini yang tak sesuai dengan bayanganku yang terpesona saat membaca sinopsisnya saat browsing di internet. Meski begitu, untuk mengisi waktu luang, novel ini lumayan bisa membunuh waktu. Tak terlalu membosankan meski tak bisa dibilang istimewa.

Senin, 18 Mei 2015

Review Novel : Bleachers (Sang Pelatih)

Review Novel : Bleachers (Sang Pelatih)
Penulis : John Grisham
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 208 halaman

Neely Crenshaw, seorang quarterback terbaik yang pernah dimiliki regu football Messina Spartan, sebuah regu football kebanggaan kota kecil Messina terpaksa harus mengakhiri karir cemerlangnya akibat sebuah kecelakaan saat tengah bertanding. Tempurung lutut Neely hancur. Bintang Neely yang semula merupakan idola Amerika perlahan memudar. Namun di Messina, nama Neely tetap harum seperti juga nama pelatih football, Eddie Rake yang telah menemukan dan mengasah bakatnya hingga menjadi seorang quarterback handal.

Bagi kota kecil Messina, Eddie Rake sudah bagaikan dewa yang begitu dipuja kebanyakan penduduk Messina yang begitu tergila-gila pada football karena Eddie Rake telah memuaskan dahaga mereka akan kemenangan. Di tangan Eddie Rake, tim Spartan yang semula tak dikenal menjadi tim yang amat ditakuti lawan. Di bawah kepemimpinan Rake, Spartan pernah meraih kemenangan 89 kali berturut-turut. Namun demi kemenangan ini, Rake melatih murid-muridnya dengan tingkat disiplin yang amat tinggi. Suatu hari salah satu murid Rake tewas akibat latihan keras yang diberikan Rake. Masalahnya murid yang tewas ini adalah keponakan salah seorang petinggi Dewan Pendidikan di Messina. Rake dipecat dari kursi pelatih Spartan. Rakyat Messina terbelah. Ada yang mendukung pemecatan Rake tapi tak sedikit pula yang tak menyetujui pemecatan Rake ini. Rake sendiri, di dalam hatinya amat menyesali kematian Scotty Reardon, muridnya.

Saat Rake dipecat karir football Neely sudah berakhir. Ia sudah lama meninggalkan Messina dan enggan kembali ke kampung halamannya ini. Namun saat Rake tengah sekarat akibat kanker yang dideritanya, Neely memutuskan kembali ke Messina. Kota kecil yang akan selalu memujanya sebagai salah satu pahlawan Spartan.

Neely seperti juga para mantan pemain Spartan lainnya memilih berada di lapangan football yang bernama Rake Field, nama yang diberikan penduduk Messina untuk menghormati Eddie Rake, menunggu berita kematian pelatih mereka sambil mengenang masa lalu, pertandingan-pertandingan yang pernah mereka jalani sekaligus juga mengenang perlakuan Rake selama melatih mereka. Saat tenggelam dalam kenangan mereka ini, ada perasaan benci sekaligus kagum dalam diri para pemain ini terhadap mantan pelatih mereka. Bagi Neely dan kawan-kawan seangkatannya, mereka takkan pernah bisa melupakan kejuaraan tahun 1987, kejuaraan yang telah membawa Neely Crenshaw menjadi legenda Spartan. Pertandingan yang dipenuhi kekerasan, pertengkaran dan misteri mengenai patahnya hidung Neely dengan ketidakhadiran Rake dan tim pelatih di lapangan seusai istirahat babak pertama dimana Spartan dibantai lawan. Rake baru muncul menjelang pertandingan akan berakhir, menyaksikan dari pinggir lapangan para pemainnya berhasil menciptakan mujizat, bangkit dari kematian dan meraih kemenangan besar. Tapi tak seperti pada umumnya, seusai kemenangan spektakuler itu, Neely dan kawan-kawannya berlari ke dalam kamar ganti, mengunci pintu dan tak mengijinkan siapapun masuk tak terkecuali pelatih mereka, Eddie Rake, karena kemenangan itu diraih mereka tanpa Rake.

Namun kisah Rake tak melulu soal kedisiplinannya dalam melatih para pemain Spartan. Meski tak piawai mengungkapkan sisi manusiawinya, Rake toh tetap memiliki perhatian terhadap mantan anak didiknya, di antaranya Nat Sawyer, kawan seangkatan Neely yang belakangan berani menyatakan diri sebagai homoseks, hal yang tentunya membuatnya dikucilkan, tapi berkat Rake, toko bukunya tetap memiliki pengunjung. Saat Neely dirawat di rumah sakit usai kecelakaan di lapangan football yang membuat karir football-nya berakhir, Rake juga menyempatkan datang. Tak piawai mengucapkan kalimat penghiburan, Rake hanya mengungkapkan penyesalannya dan berharap seandainya ia tak pernah memperkenalkan football pada Neely, dan Neely meski memiliki hubungan yang kaku dengan pelatihnya ini, namun dapat merasakan ketulusan hati pelatihnya.

Kembali ke Messina bagi Neely nyatanya bukan hanya berisi kenangan akan football, Spartan, dan Eddie Rake. Messina juga memberi kenangan pada Neely akan cinta pertamanya sekaligus kenangan akan kebodohan khas anak SMU. Meski merasa khawatir, Neely memberanikan diri mendatangi rumah Cameron Lane, gadis yang pernah dicintainya tapi setelah ia meraih ketenaran sebagai kapten Spartan, ia malah mendepak dan mempermalukan Cameron demi mendapatkan Brandy Skimmel alias Screamer. Pilihan yang belakangan disesali Neely. Setelah karir football Neely berakhir, Screamer meninggalkannya demi mengejar mimpinya menuju Hollywood. Mimpi Screamer memang menjadi kenyataan tapi bukan film yang akan memenangkan Oscar, sebaliknya Screamer kini hanyalah pemain film dewasa dengan nama Tessa Canyon. Seperti dugaan Neely, ternyata Cameron juga kembali ke Messina. Tak seperti Neely, kehadiran Cameron di Messina bukan untuk memberi penghormatan pada Eddie Rake. Seperti segelintir orang di Messina yang bukan penggemar football, Cameron sangat membenci olahraga yang sangat dipuja sebagian besar penduduk Messina itu. Kehadiran Cameron di Messina lebih untuk memberi penghiburan bagi Mrs. Lila Rake, mantan guru pianonya yang adalah istri Eddie Rake. Meski penerimaan Cameron terhadap kedatangannya tak bisa dibilang ramah, namun Neely tetap bertahan untuk meminta maaf atas perlakuannya dulu. Cameron yang kini telah bersuami dan memiliki dua orang anak masih marah dengan perlakuan Neely dulu padanya tapi ia menganggap semua itu hanyalah bagian dari masa lalu.

Berita itu akhirnya datang juga. Berita kematian Eddie Rake. Duka menyelimuti Messina. Rake Field dipilih menjadi tempat untuk upacara pelepasan Eddie Rake. Penduduk Messina memenuhi lapangan football kebanggaan mereka ini untuk memberikan penghormatan terakhir pada sosok mantan pelatih yang telah memberikan banyak kemenangan bagi kota kecil ini. Tiga orang mantan pemain Rake dipilih untuk memberikan pidato pelepasan, salah satu yang terpilih adalah Neely Crenshaw. Air mata dan kenangan akan Eddie Rake berbaur menjadi satu dan saat semua berakhir, Neely mendapati kesadaran baru. Seperti yang dikatakan Cameron, masa-masa keemasannya telah berakhir. Ia bukan lagi seorang pahlawan. Masa lalu adalah masa lalu, dan ia hidup di masa kini. Messina tetaplah kota kecil yang sebagian besar penduduknya tergila-gila pada football dan Neely Crenshaw adalah bagian di dalamnya.

Novel ini adalah novel pertama John Grisham yang pernah kubaca yang bukan bertema hukum. Entah apakah sebelumnya Grisham pernah menulis novel lain yang tidak bertema hukum, tapi ini adalah novel non hukum pertama Grisham yang pernah kubaca. Meski tak terlalu paham dengan istilah-istilah football Amerika yang memenuhi novel ini, tapi gaya tutur Grisham dan plot cerita dalam novel ini bagiku tetap menarik seperti bila ia menulis novel bertema hukum. Tema yang ringan dan isinya yang tak terlalu tebal, membuat novel ini lumayan juga untuk mengisi waktu luang. Di bagian akhir digambarkan skema lapangan dan susunan pemain football, mungkin untuk menguatkan penjelasan bagi yang benar-benar awam terhadap olahraga favorit Amerika ini. Bagiku sendiri skema tersebut tetap tak membuatku memahami olahraga ini. Meski begitu cerita ini tetap menarik walau kita sama sekali tak memahami satupun istilah olahraga football Amerika yang menjadi tema novel ini.

Selasa, 28 April 2015

Resensi Buku : Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman - Warisan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid

Editor : Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : xviii + 182 hlm

Berbicara tentang Gus Dur adalah juga berbicara tentang perjalanan bangsa ini menuju babak baru reformasi yang kini tampak tak jelas arahnya. Namun Gus Dur ternyata sudah jauh-jauh hari mengkhawatirkan ketidakjelasan arah reformasi saat babak baru itu memulai lembaran awalnya.

Berbicara tentang Gus Dur adalah juga berbicara tentang pluralisme bangsa ini. Meski tumbuh dalam keluarga santri yang sangat kental keislamannya namun ia tak pernah antipati pada kelompok keyakinan yang berbeda dengannya.

Gus Dur sepertinya tak pernah kehabisan topik. Kemampuan pikirnya sangat luas jangkauannya. Ia juga merupakan penulis yang produktif bahkan di saat periode Orde Baru dimana mengemukakan pendapat masih memiliki banyak keterbatasan dan belenggu. Topik tulisan Gus Dur juga beragam tak melulu soal politik dan agama, tapi ia juga sangat piawai dalam menulis ulasan soal sepakbola. Dan buku ini merupakan kumpulan tulisan Gus Dur yang pernah dimuat dalam harian Kompas. Dibagi dalam empat bagian yang mengupas soal Agama Islam Dan Negara di bagian pertama, kepemimpinan politik di bagian kedua. Sementara di bagian ketiga berisi kumpulan tulisan Gus Dur mengenai kepemimpinan moral spiritual terhadap Romo Mangunwijaya, Gus Miek, Kiai Achmad Shiddiq dan Tuan Guru Faisal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Terakhir, di bagian keempat merupakan tulisan-tulisan Gus Dur mengenai politik dan demokrasi.

Sub judul buku ini, Warisan Pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid, agaknya sangatlah tepat, karena Gus Dur dan segala pemikirannya merupakan warisan bagi negara ini yang tengah berada dalam kebimbangan di tengah alur reformasi yang kehilangan arahnya. Buku ini sendiri saat cetakan pertamanya pada Oktober 1999 adalah saat ketika Gus Dur ditetapkan sebagai Presiden ke-4 republik ini. Pada cetakan ketiganya di Januari 2010, satu dasawarsa kemudian, buku ini tetap layak menjadi refleksi perjalanan bangsa ini.

Membaca buku ini sebenarnya tak terlalu sampai harus membuat kening berkerut, walau pada beberapa tulisan yang ditulis pada masa Orde Baru di mana ada pengekangan dalam menyatakan pendapat sehingga kalimat yang digunakan tak terlalu gamblang tersurat, namun Gus Dur tetap lugas dalam menyatakan opininya. Secara pribadi, aku paling suka membaca mengenai pandangan Gus Dur soal politik negeri Jiran yang tercantum dalam dua bagian. Di bagian pertama, bab 5 dengan judul: Anwar, UMNO, Dan Islam di Malaysia, Gus Dur membahas pandangannya soal Anwar Ibrahim yang semula merupakan "putra mahkota" Mahathir Mohamad, sangat islami karena pernah aktif sebagai ketua ABIM namun kemudian ia masuk ke lembaga kepemudaan UMNO yang membuatnya sangat melayu tapi juga tak meninggalkan keislamannya, sangat cocok seperti Mahathir Mohamad yang juga sangat Islam dan sekaligus sangat melayu, sehingga tak heran bila ia digadang-gadang akan menggantikan Mahathir sebagai Perdana Menteri Malaysia, tapi apa mau dikata, sejarah kemudian berkata lain. Anwar Ibrahim malah kemudian menjadi musuh Mahathir dan didakwa dalam kasus sodomi dan korupsi.

Sementara dalam bagian kedua di bab 10 dengan judul: Anwar, Mahathir, Dan Kita di Indonesia, Gus Dur menuliskan bagaimanapun kasusnya, ia tak ingin terjebak dalam politik negeri Jiran tersebut. Ia tak ingin terjebak dalam dukung-mendukung soal mana yang benar. Namun saat diminta turut mendukung surat protes atas penangkapan Anwar Ibrahim oleh Pemerintah Malaysia yang diajukan Adnan Buyung Nasution, Gus Dur bersedia setelah dalam surat tersebut dicantumkan kalimat "Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri dan mantan Menteri Keuangan" karena menurut Gus Dur dengan pencantuman kalimat tersebut ia tidak berpihak kepada siapapun dalam sengketa antara Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohamad.

Di bab ketiga yang membahas sosok kepemimpinan moral spiritual tampak jelas kesahajaan Gus Dur dalam menerima bahkan yang mungkin tak sepaham dengannya. Gus Dur sebagai tokoh nasional sangat terbuka atas berbagai pandangan walau keislamannya tak perlu disangsikan lagi. Tak heran walau sempat tak sependapat dengan Tuan Guru Faisal, pemimpin besar NU di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan jelas Tuan Guru Faisal menyatakan pada keluarganya bahwa jika ia meninggal maka orang pertama di Jakarta yang harus di beritahu adalah K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan bukan PBNU-nya.

Bagian yang juga menarik dari buku ini adalah ketika Gus Dur yang berani mengemukakan pandangan yang pastinya ia sadari, kontroversial, seperti ketika ia mengemukakan pandangan secara konstitusional bahwa nonmuslim bisa saja menjadi presiden negeri ini. Tentu saja pernyataannya menjadi kontroversial, karena secara tak tertulis ada janji di antara tokoh awal bangsa yang salah satunya adalah kakek dari Gus Dur sendiri mengenai syarat menjadi presiden tapi Gus Dur walau mengetahui hal ini tapi ia lebih berpegang pada apa yang tertulis, dan ini sahih juga, bahwa dalam konstitusi dalam hal ini Undang Undang Dasar tak ada aturan soal syarat agama keyakinan tertentu untuk menjadi presiden. Gus Dur juga mengingatkan jika ingin murni berdemokrasi maka bangsa ini harus pula siap pada wacana yang tertulis secara konstitusional soal ini.

Juga menarik adalah penjelasan Gus Dur soal dwifungsi ABRI yang sangat berjaya di masa Orde Baru. Pula menarik disimak soal Pertemuan Ciganjur, di masa-masa awal reformasi yang mana salah satu tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Gus Dur sendiri. Penjelasan Gus Dur soal Dialog Nasional yang direncakannya dengan mempertemukan mantan Presiden Soeharto dengan Presiden (saat itu) B.J. Habibie dan Menhankam/Pangab (saat itu) Wiranto untuk kejelasan arah bangsa agar tak menuju pada apa yang ditakuti semua pihak sebagai perang saudara, tapi sayangnya rencananya ini gagal. Dari tulisan ini tampak jelas betapa Gus Dur adalah tokoh sejati yang dibutuhkan negeri ini. Tokoh yang bisa mengatasi kepentingan pribadinya untuk sebuah kepentingan yang jauh lebih besar. Kepentingan bangsa. Tapi sayangnya pemikirannya ini tak selalu dipahami sehingga ia mendapat pertentangan keras. Setelah membaca buku ini tercenung dalam hati, masih adakah sosok negarawan sejati seperti Gus Dur yang benar-benar berpikir dan bertindak sebenar-benarnya bagi negara dan bukan nafsu pribadi akan kekuasaan?