Total Tayangan Halaman

Translate

Rabu, 17 Januari 2018

BERUNTUNG GIE MATI MUDA

“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah…” Catatan Harian Soe Hok Gie, 20 Agustus 1968.

Entah apa yang akan dirasakan Soe Hok Gie seandainya saja ia masih hidup….

Gie, jiwa yang selalu gelisah dan mencari keadilan. Cerdas, berani, dan kritis. Gie yang  begitu membenci pemerintahan Orde Lama bahkan berani mencerca Presiden Soekarno manakala ia melihat seorang bapak tua memakan kulit mangga tak jauh dari Istana Negara, kediaman Sang Presiden. 

Gie begitu gemas melihat kelaparan merajalela sampai-sampai seorang tua memakan kulit mangga padahal tak jauh dari sana, mungkin Sang Presiden tengah bersenang-senang dengan istri-istrinya yang cantik.

Gie membenci korupsi yang merajalela di masa Orde Lama. Ia bahkan sampai menulis, “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”

Gie menjadi salah satu motor dari serangkaian aksi mahasiswa bersama massa pasca peristiwa berdarah di malam 30 September 1965 yang berujung jatuhnya Soekarno dari tampuk kekuasaannya sebagai Presiden Seumur Hidup. Orde Lama tumbang dan Orde Baru tumbuh bersama Letkol Soeharto, panglima KOSTRAD, saat itu, pengemban SUPERSEMAR yang naik posisi hingga menjadi Presiden selama 32 tahun.

Tumbangnya Orde Lama dan bangkitnya Orde Baru ternyata tak membuat jiwa Gie yang selalu gelisah itu menjadi tenang. Jiwanya kembali terusik manakala begitu banyak pembantaian terjadi dengan dalih menumpas habis Partai Komunis Indonesia dan pengikutnya hingga ke akar-akarnya karena dianggap sebagai dalang dari peristiwa berdarah di malam 30 September 1965 tersebut. 

Gie membenci ideologi Komunis. Ia bahkan bersuara lantang meminta penghapusan Partai Komunis Indonesia dari bumi nusantara ini. Namun, jiwa Gie yang selalu gelisah sungguh terusik manakala pembantaian ini begitu massif, bukan hanya pentolan, pengikut atau simpatisan partai berlambang palu arit itu yang mengalami pembantaian.  Namun tak sedikit pula, mereka yang tak ada kaitannya dengan  partai tersebut ikut terseret dalam pembantaian. Masyarakat nusantara yang terkenal ramah ini mendadak menjadi  beringas dan menjadi mesin pembunuh tanpa nurani. 

Pena tajam Gie kembali mengkritisi situasi yang dianggap Gie tidak adil tersebut. Kekritisan Gie ini bahkan sempat membuat jiwanya terancam. Namun Gie tak pernah mampu diam. Ia tetap kritis. Karena ia tak pernah mampu mengkhianati hati nuraninya. 

Seandainya Gie masih hidup hingga kini, mungkin jiwa Gie akan kembali gelisah. Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi takkan pernah mampu memadamkan kegelisahan Gie. Seandainya Gie masih hidup hingga kini, mungkin ia akan lebih terasing. Generasinya yang dengan lantang diyakininya sebagai generasi yang akan menumpas generasi tua yang korup nyatanya justru ikut terbenam dalam lumpur korupsi dan kepalsuan yang  begitu dibenci Gie.

Seperti yang dikatakan Gie, di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Aku sendiri ragu bila Gie memilih yang kedua. Mungkin Gie akan sangat kecewa dan jiwanya jauh lebih gelisah tapi Gie pasti lebih memilih mati daripada harus menggadaikan idealismenya.

Beruntung Gie mati muda. Bersama Idhan, ia tewas dalam dekapan Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Lebih beruntung lagi, abu, sisa-sisa jasadnya disebarkan di gunung Pangrango, meski jasadnya sempat dimakamkan di TPU Tanah Abang. 

Ah, betapa irinya aku pada Gie yang mati muda….

Senin, 01 Januari 2018

Sebuah Catatan Akhir Tahun

*Ditulis pada Minggu, 31 Desember 2017.

Tahun 2017 hanya tinggal hitungan jam. 

Hanya sesaat lagi semua yang terjadi selama 12 bulan ini akan menjadi kenangan.

Tahun ini adalah tahun penuh kejutan bagiku.

Ada banyak air mata tertumpah berbanding lurus dengan jumlah tawa yang menemani langkahku di tahun ini. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku masih mendewakan pengalaman sebagai guru terbaik dalam hidupku, namun tahun ini begitu banyak pengalaman aneh bin ajaib yang membuatku tersungkur, nyaris terjerembab namun toh nyatanya aku masih tetap tegak berdiri.

Tahun ini aku mengalami banyak kehilangan tapi ternyata menemukan banyak hal-hal berharga yang menambah kaya kotak harta kehidupanku. 

Aku sempat merutuk dan mempertanyakan keadilan Tuhan di sepanjang langkahku di tahun ini seperti tahun-tahun silam, kala kakiku terasa pedih menapaki kerikil kehidupanku. 

Aku kehilangan pekerjaan. Mencoba berdagang, belajar menjadi bos walau hanya bertahan sebulan saja. Mendapat pekerjaan baru, tapi ternyata tak sesuai harapan. Aku menangis mempertanyakan maksud Tuhan dengan semua yang terjadi.

Tuhan tak menjawab. Atau mungkin menjawab namun tak sesuai keinginanku hingga hatiku yang degil terus mempertanyakan Tuhan. 

Namun di penghujung tahun, aku menemukan banyak hal. Nyatanya Tuhan tak pernah bungkam. Ada yang mengatakan padaku bahwa Tuhan memperhitungkan dan akan membalas semua usaha yang telah kita lakukan dengan ikhlas karena Tuhan tak pernah berhutang. 

Ternyata di balik air mata yang tercurah pun, Tuhan sisipkan tawa yang menghiasi hari. 

Aku percaya bahwa malam tak selamanya malam. Pagi akan kembali datang. Gelap tak selamanya bertahta karena akan tiba saatnya matahari bersinar menerangi setiap sudut paling gelap sekali pun. Begitu pun sebaliknya. Kala terang berkuasa, seharusnya pula aku bersiap pada gelap yang telah siap mengintip menggantikan terang. 

Badai yang terjadi saat ini mungkin saja ternyata merupakan rangkaian pelangi di masa depan. Ini selalu yang menjadi keyakinanku. Namun entah mengapa, belakangan ini, di bulan-bulan terakhir tahun 2017 ini, aku seperti kehilangan pegangan ini. Aku malah terus menerus merutuk dan meratapi nasibku yang seperti terdampar di pulau terpencil di antara kumpulan makhluk pemangsa. Aku merasa terjebak dengan pekerjaan baruku. Aku frustasi dengan keadaan yang jauh dari harapanku. Aku merasa terpuruk hingga melupakan esensi dari semua yang terjadi. Aku gagal menerapkan pedoman hidup yang selama ini kupegang. 

Aku terlampau asyik merutuk dan meratap, namun untungnya Tuhan membuatku melihat dan mendengar. Nyatanya Tuhan tak pernah meninggalkanku. Ia hadir lewat sahabat dan teman-temanku yang membuatku perlahan melihat satu persatu lapisan warna pelangi. Meski terkadang mereka gemas dengan sikap ngeyel dan gaya tengilku, toh mereka tetap menerimaku sebagai bagian dari harmoni warna pelangi itu. Di titik ini aku menyadari betapa beruntungnya diriku. 

Sebelum tahun berganti, ingin kupanjat syukur pada Tuhan atas hari-hari yang tak selalu indah, namun tetap berharga untuk dijalani. Ingin kuucapkan pula syukurku atas kehadiran sahabat-sahabatku yang mengajarkanku bahwa segaris warna menjadi indah kala bergabung dengan warna lain dalam harmoni pelangi. Meski kami memiliki kekurangan dan perbedaan namun bila kami lebih melihat pada kelebihan pihak lain dan apalah artinya perbedaan? Bukankah pelangi indah karena berbeda warna? 

Tahun yang baru tak menjamin perjalanan jauh lebih mudah. Tuhan pun tak pernah menjanjikan jalan yang selalu lurus, namun kupercaya Tuhan tak pernah ingkar pada janjinya untuk tetap setia pada orang yang sepenuhnya berharap pada-Nya.

Thank you to all my very best friend that shine in my darkest day and cherish my gloomy day... 

Happy new year all... God Bless Us... love yaa...

Sabtu, 01 Juli 2017

Kisah Si Pohon Besar

Sebatang pohon besar, berdiri anggun menatap langit. Meski tak seluas langit namun si pohon besar memiliki kuasa atas hidup makhluk-makhluk kecil yang bernaung padanya. 

Ada rumput-rumput kecil, ilalang dan beberapa rumpun-rumpun tanaman merambat yang menikmati keteduhan dari kerimbunan dedaunan si pohon besar namun tetap mendapat limpahan sinar sang surya demi proses fotosintesisnya. 

Pun ada cacing-cacing dalam tanah yang menikmati gemburnya tanah di sekitar akar-akar gemuk si pohon besar. Seperti gemuknya akar-akar itu, demikian pula cacing-cacing tanah yang begitu menikmati kekayaan unsur hara dari tanah gembur tempat si pohon besar berpijak.

Hei, lihat! Ada pula sarang semut di sana... wuih... semut-semut besar dan kecil begitu nyaman membangun sarang bagi ratu mereka. Hiiii... gatal sekujur badan melihat koloni makhluk kecil yang giat bekerja ini. 

Seperti semut, burung-burung pun gemar membangun sarang di atas dahan-dahan kokoh si pohon besar. Meski terkadang si anak kost ini nakal, mematuk-matuk induk semangnya, namun si induk semang merasa terhibur tatkala mendengar senandung merdu burung-burung yang menumpang di dahannya.

Si pohon besar bersahabat dengan angin. Terkadang angin sepoi-sepoi berhembus, membisikkan rayuan maut yang membuat daun-daun rimbun si pohon besar terlena, melengut seperti anak kecil menikmati gula-gula. 

Hujan juga sahabat si pohon besar. Seperti angin sepoi-sepoi yang lembut mengipasi kegerahan si pohon besar disengat sinar mentari, rinai lembut air hujan yang menetesinya membuat dedaunan hijaunya riuh berpesta. 

Namun seperti musuh dalam selimut, terkadang angin dan hujan berkolaborasi, bersekutu dengan petir dan halilintar, mencoba menaklukkan si pohon besar yang tetap berdiri anggun menatap langit. 

Berkali-kali kolaborasi angin dan hujan tak membuahkan hasil. Si pohon besar tetap tegak berdiri. Sementara kumpulan makhluk hidup di sekitar si pohon besar bersyukur atas ketangguhan si pohon besar. 

Namun seperti Korea Utara yang mengerut ketakutan tatkala saudara kandungnya, Korea Selatan bersekutu menggelar latihan perang bersama paman dari negeri nun jauh di seberang samudra, Amerika Serikat, begitu pula si pohon besar. Namun tak seperti Korea Utara yang lantas ngamuk tak jelas dan sok pamer membuang rudal, syukur-syukur kalau berhasil sehingga membuat negeri matahari terbit, tetangganya itu ikut ketar-ketir, lha, kalau rudal-nya malah seperti kerupuk bantet, bukannya melesat perkasa malah seperti balon kempes, sambil mengeluarkan bunyi pssssstttttt..., bukannya malah bikin malu saja? 

Ah, si pohon besar ini mungkin keturunan bangsawan sehingga ia emoh mengikuti tingkah kekanakan bocah ingusan, berponi lucu, anak sekaligus cucu pemimpin besar negeri ginseng bagian utara itu. Si pohon besar berjiwa anggun dan aristokrat. Ia percaya bahwa segala sesuatu ada masanya. 

Dan ternyata masanya itupun tiba juga. 

Seperti pemanah amatir yang bila terus-menerus berlatih nyatanya berhasil pulalah menembak seekor rusa yang berlari kencang. Demikian pun kolaborasi angin dan hujan di malam gelap basah berangin itu. Sesekali kilatan petir dan halilintar menghiasi langit, menambah efek dramatis seperti di panggung Broadway kala menampilkan Romeo yang memilih bunuh diri karena mengira Juliet, pujaan hatinya telah wafat. 

Si pohon besar tumbang, menimpa beberapa rumput kecil di bawahnya juga beberapa bagian tanaman merambat di sekitar ikut tertindih tubuh besarnya. Semua kehidupan di sekitar si pohon besar seketika nyaris terhenti. 

Namun seperti roda pedati yang terus berputar. Ternyata kehidupan terus berjalan. Life must go on

Kehidupan di sekitar si pohon besar kacau-balau, namun berusaha move on, tak mau menangis berlebihan meratapi tumbangnya si pohon besar. Mereka mencari kehidupan baru di tempat yang lain. 

Sementara si pohon besar rebah dengan anggunnya sambil tetap memandangi langit.

Jumat, 30 Juni 2017

Demi Sebuah Mimpi

Tak ada pesta yang tak berakhir. Tak ada perpisahan tanpa perjumpaan. Tawa mendampingi pertemuan namun tangis acap mengiringi perpisahan. Namun perpisahan tak selalu berarti akhir. Karena garis akhir adalah juga garis awal. 

Tak terasa Juni berakhir. Tantangan menulis random yang awalnya kuikuti secara iseng saja ternyata telah mengikatku menjadi lebih disiplin dalam menulis. Membaca karya teman-teman dalam tantangan ini membuka wawasanku betapa mimpi tak selalu absurd. 

Lega karena nyatanya sampai juga di garis finish, meski terseok-seok dan kerap dikejar-kejar sahabatku yang begitu rutin menulis bahkan saat hari baru saja berganti, ia sudah menyetor tulisan baru. Namun lega ini bercampur rasa aneh dalam hati, mungkin euforia, hingga saat sahabatku mengajakmu untuk tetap menulis setiap hari, kebiasaan yang mulai terbentuk berkat tantangan ini, aku langsung bilang yes, meski di hari-hari mendatang, mungkin kemalasanku kembali datang. 

Mengejar mimpi memang tak mudah seperti syair lagu Hero yang dilantunkan Mariah Carey. "Lord knows dreams are hard to follow, but don't let anyone tear them away. Hold on there will be tomorrow, in time you'll find your way...."

Lewat tantangan ini kebiasaan baru mulai terbentuk. Semoga saja kebiasaan baru ini melekat kuat dalam diriku untuk terus menulis. Seperti Isadora Duncan yang mengabdikan hidup dan matinya untuk terus menari, bahkan tewas secara mengenaskan akibat tercekik syal-nya, namun saat ajal menjelang itu pun ia terlihat seolah tengah menari. 

Tidak, aku tak berharap menemui akhir tragis seperti Isadora Duncan. Namun sejak lama aku berharap bisa mengabdikan hidup dan matiku untuk menulis. Seperti Isadora Duncan yang tak bisa meninggalkan tarian, semoga pula aku memiliki tekad kuat untuk terus membiarkan jemariku menarikan seluruh alam pikirku ke dalam bentuk nyata tulisan.