Total Tayangan Halaman

Translate

Kamis, 15 Agustus 2013

Akankah Damai Tercipta di Mesir?


Peristiwa berdarah kembali terjadi di Mesir. Sejak pelengseran terhadap Presiden Muhammad Mursi oleh aksi militer pada 3 Juli silam, Mesir memang belum juga memperlihatkan tanda-tanda kedamaian meski pemerintahan baru Mesir sudah dibentuk, tapi aksi-aksi unjuk rasa pro - Mursi yang dimotori Ikhwanul Muslimin, kelompok pendukung Presiden terguling Muhammad Mursi masih terus berlangsung hingga mengakibatkan bentrok antara pasukan keamanan Mesir dengan pendukung Mursi.

Tapi aksi kekerasan yang terjadi, Rabu (14/8) kemarin bisa dibilang merupakan peristiwa paling berdarah sepanjang krisis politik Mesir belakangan ini. Aksi kekerasan dimulai ketika polisi huru hara Mesir menyerbu dua tenda darurat yang penuh dengan pendukung Mursi dan membuldoser tempat tersebut, membuat publik terkenang pada kejadian berdarah di Lapangan Tiananmen, tahun 1989 silam yang dilakukan militer China terhadap demonstrasi mahasiswa pejuang pro-demokrasi di negeri berjuluk negeri tirai bambu yang saat itu masih sangat tertutup dari dunia luar.

Kejadian di Mesir hampir serupa. Walau mendapat serangan dari petugas keamanan namun para pengunjuk rasa, yang menilai pihak keamanan Mesir telah melanggar Hak Asasi Manusia terhadap para demonstran yang melaksanakan aksi demonstrasi damai, tetap menolak beranjak bahkan menghadang jalan buldozer hingga mengakibatkan ratusan orang tewas dan sebagian besar lainnya luka-luka.

Sebelumnya pemerintah Mesir melalui siaran televisi negara, Nile TV, telah menetapkan masa darurat pada Rabu dimulai pukul 16.00 waktu setempat. Masa darurat ini akan berlaku selama satu bulan.

Selain itu pemerintah Mesir juga memberlakukan jam malam di Kairo dan di 11 provinsi lainnya di antaranya, Giza, Alexandria, Sinai Utara, Sinai Selatan, dan Suez. Seperti masa darurat, jam malam ini pun ditetapkan akan berlaku selama satu bulan. Pemberlakuan jam malam ini dilakukan untuk mengatasi aksi kekerasan yang menyebar ke seluruh penjuru negeri setelah polisi membubarkan pengunjuk rasa pro-Mursi di Kairo. Jam malam ini dimulai dari pukul 19.00 sampai pukul 06.00 waktu setempat dan semua pelanggaran atas jam malam, berdasarkan pengumuman pemerintah, akan berujung pada hukuman penjara. Agaknya hal inilah yang memicu insiden berdarah pada Rabu kemarin itu.

Penetapan masa dan darurat dan jam malam ini agaknya mendapat tentangan pula dari Wakil Presiden Mesir, Mohammed ElBaradei. Ia memperkirakan keadaan ini akan membuat situasi di Mesir semakin memburuk. Rabu (14/8) kemarin, ElBaradei telah mengirimkan surat pengunduran dirinya kepada Presiden Interim Mesir, Adly Mansour.

ElBaradei adalah penerima nobel asal Mesir. Ia pernah diusulkan menjadi perdana menteri oleh Presiden sementara Mesir, Adly Mansour tapi mendapat tentangan keras dari kubu Islamis yang dimotori Ikhwanul Muslimin sebelum akhirnya ditetapkan sebagai Wakil Presiden Urusan Luar Negeri.

Saat masa pemerintahan Mursi, ElBaradei dikenal sebagai tokoh oposisi Mesir yang menentang pemerintahan Muhammad Mursi dan bahkan bersama sejumlah tokoh oposisi lainnya, ia kerap memotori aksi unjuk rasa menentang pemerintahan Mursi hingga akhirnya Mursi digulingkan dari kekuasaannya lewat aksi militer pada 3 Juli silam.

Dalam pernyataannya saat mengumumkan pengunduran dirinya, Rabu kemarin, ElBaradei mengungkapkan ia tak bisa menentang hati nuraninya melihat setiap tetes darah yang harus ditumpahkan atas keputusan yang sama sekali ditentangnya.

"Saya tidak bisa terus menanggung beban atas keputusan yang tidak saya setujui dan saya akui konsekuensinya. Saya tidak bisa bertanggung jawabn atas setiap tetes darah," ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Dalam aksi berdarah Rabu kemarin ini, menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Mesir sekitar 235 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Namun Ikhawanul Muslimin yang menyebut serangan itu sebagai pembantaian, mengklaim angka korban tewas mencapai lebih dari dua ribu jiwa.

Di antara jumlah orang yang tewas terdapat pula wartawan-wartawan asing yang meliput insiden berdarah Rabu kemarin itu. Di antaranya yang tewas adalah juru kamera Sky News, Inggris, Mick Deane dan seorang wartawati dari Gulf News, Habiba Abdel Azas seperti yang dilaporkan oleh ketua editornya, Francix Matius pada CNN. Sementara seorang wartawan Reuters, Asman Waguih juga dikabarkan tertembak saat meliput bentrok ini.

Insiden Rabu berdarah ini juga menewaskan putri petinggi Ikhwanul Muslimin, Mohammed al-Beltagni yang baru berusia tujuh belas tahun bernama Asmaa al-Beltagni. Dilaporkan Asmaa tewas dalam bentrokan di lapangan Rabaa al-Adawiya oleh juru bicara Ikhwanul Muslimin, Gehad al-Haddad. Asmaa dikabarkan tertembak di dada dan punggungnya.

Perdana Menteri Mesir, Hazel el Beblawi dalam siaran di televisi menyampaikan penyesalannya atas jatuhnya korban jiwa dalam insiden tersebut, ia berjanji keadaan darurat nasional akan segera dicabut. Meski begitu, ia tak bisa menyalahkan penyerbuan yang dilakukan pihak keamanan dan menyatakan hal itu harus dilakukan demi keamanan, walau ia juga mengakui bukanlah keputusan mudah untuk membubarkan pendukung Mursi dengan paksa.

Sementara itu banyak pihak mengecam insiden berdarah yang terjadi di Mesir, Rabu kemarin itu. Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon hingga pemerintah Amerika Serikat mengecam keras keputusan pemerintah Mesir menggunakan aksi kekerasan untuk membubarkan pengunjuk rasa pendukung Muhammad Mursi. Amerika Serikat lewat juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest menyatakan penyesalan atas insiden berdarah di Mesir itu. Menurut Earnest, kekerasan hanya akan makin mempersulit Mesir untuk mencapai stabilitas dan demokrasi. Ia juga mengingatkan bahwa aksi kekerasan oleh pihak keamanan Mesir itu bertentangan dengan janji pemerintah sementara Mesir dalam mengusahakan rekonsiliasi. Earnest juga mendesak pemerintah dan semua pihak di Mesir untuk menahan diri dari tindakan kekerasan dan menyelesaikan perbedaan pendapat ini dengan damai.

Di dalam negeri Mesir sendiri, saling lempar kesalahan masih terus terjadi. Naguib Sawiris, miliarder Mesir yang menyokong partai anti-Mursi, Free Egyptian Party, menyatakan partainya memiliki rekaman video yang memperlihatkan anggota Ikhwanul Muslimin menembaki penduduk sipil dan polisi dengan menggunakan senapan mesin.

"Jadi siapa pun yang ingin menyebutnya sebuah demonstrasi damai akan salah," tuding Sawiris.

Namun pernyataan Sawiris ini mendapat bantahan dari Ahmed Mustafa, Jurubicara Ikhwanul Muslimin yang mengatakan pada CNN London bahwa yang berusaha ditampilkan Sawiris itu adalah sebuah video orang bertopeng dengan senjata. Menurutnya kejadian yang terjadi justru sebaliknya, adalah para polisi yang melempar peledak ke dalam klinik darurat yang menangani para korban.

Salah satu saksi yang menolak disebutkan namanya melaporkan pada CNN bahwa para dokter di rumah sakit darurat dipaksa meninggalkan tempat dengan todongan senjata dari pasukan keamanan.

Sumber baru CNN di Kementerian Dalam Negeri Mesir mengatakan, para pendukung Mursi menyerang tiga kantor polisi. Dari pihak keamananan Mesir, menurut laporan Menteri Dalam Negeri Mesir, Mohammed Ibrahim, 43 orang petugas keamanan Mesir tewas. Jumlah korban tewas dari pasukan keamanan Mesir tersebut terdiri dari 18 orang polisi termasuk dua orang jenderal dan dua kolonel, 15 polisi, 9 wajib militer, dan satu orang pegawai sipil polisi.

Entah siapa yang sebenarnya berkata jujur dan siapakah yang berdusta. Namun yang pasti, gejolak Mesir tidak akan selesai sebelum semua pihak mau berkepala dingin, berpikir rasional, tanpa menyertakan ego masing-masing akan kekuasaan, karena apa yang dipertaruhkan terlalu besar. Darah dari rakyat Mesir sendiri. Hal ini pula yang menjadi keprihatinan dan kekecewaan ElBaradei saat mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden Mesir.

"Sayangnya, mereka yang mendapatkan keuntungan dari apa yang terjadi hari ini adalah mereka yang menyerukan kekerasan dan teror, kelompok ekstremis."

Tidak ada komentar: