Total Tayangan Halaman

Translate

Jumat, 17 Agustus 2012

Merdeka ... atau ... mati?!

Tujuh belas Agustus, tanggal keramat bagi bangsa Indonesia. Rasanya aneh bila sebagai bagian dari rakyat Indonesia tak mengetahui tanggal bersejarah ini, terlebih biasanya jauh-jauh hari gema momen Agustus-an sudah berdengung sebelum tanggal Tujuh Belas itu sendiri, meski tahun ini gemanya tak seramai tahun-tahun sebelumnya mengingat tahun ini Tujuh Belas Agustus bertepatan dengan Ramadhan dan hanya berjarak beberapa hari saja menjelang Hari Raya Idul Fitri, sehingga kebanyakan anak bangsa lebih sibuk menyiapkan momen Idul Fitri.

Unik juga sebenarnya, mengingat bagi umat muslim, Idul Fitri berarti hari kemenangan, pas sekali dengan makna dari tanggal Tujuh Belas Agustus itu bagi bangsa Indonesia sebagai hari yang menandai kemerdekaan bangsa Indonesia yang artinya juga merupakan hari kemenangan. Kemenangan bangsa Indonesia dalam upaya panjangnya merebut kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing. Kemenangan bangsa ini dalam memperjuangkan harkat martabat bangsa ini sebagai negeri baru yang berdaulat. Kemenangan bangsa ini dalam meraih entitas baru sebagai bangsa merdeka yang memiliki hak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain. Dengan status baru sebagai negara merdeka, maka Indonesia memiliki kebanggaan untuk berdiri sejajar sama tinggi dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya.

Enam puluh tujuh tahun sudah berlalu sejak Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya ke seluruh dunia. Enam puluh tujuh tahun lalu Indonesia sempat mengguncang dunia. Sebuah negeri kecil di belahan Khatulistiwa yang begitu berani menetapkan garis hidup mereka sendiri. Berani memperjuangkan legalitasnya untuk hidup setara dengan bangsa lain sebagai bangsa merdeka. Berani menjadi pionir bagi negeri-negeri jajahan lain dalam memperjuangkan hak mereka sebagai manusia merdeka. Indonesia kala itu memang merupakan negeri impian. Indonesia, sang jamrud Khatulistiwa menyebarkan aroma semerbak ke seluruh penjuru dunia. Negeri indah, kaya raya, yang selama ratusan tahun tak berdaya melawan raksasa imperialis namun  memiliki tekad baja seperti Daud melawan Goliath. Indonesia menjelma menjadi legenda kepahlawanan yang membuat bangsa-bangsa lain berani berjuang membebaskan diri dari cengkeraman imperialis.

Merdeka. Kata berjuta makna yang dipekikkan bangsa ini enam puluh tujuh tahun lalu dengan rasa penuh haru. Impian yang menjadi nyata. Sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki nilai sama dengan bangsa lain. Memiliki hak yang sama dengan bangsa lain sebagai negara merdeka. Itulah impian dari bangsa ini saat memproklamirkan kemerdekaannya enam puluh tujuh tahun lampau. Ironisnya, kata 'merdeka' itu masih tetap menjadi impian bagi negeri ini sekalipun sudah enam puluh tujuh tahun lamanya menyatakan diri sebagai negara merdeka.

Lantas apakah itu merdeka? Menjelang usianya yang ke-enam puluh tujuh, Indonesia yang dulu merupakan negeri impian dengan keberaniannya dalam memperjuangkan haknya sebagai manusia merdeka seperti para penjajahnya, kini bagaikan macan ompong dengan sejuta problem nasional yang sepertinya kian hari kian menumpuk bahkan keutuhan negeri ini yang terkenal dengan jajaran pulaunya dari Sabang sampai Merauke terancam terkoyak. Merdeka yang dulu dengan penuh kebanggaan dipekikkan bangsa ini kini bagaikan kata tanpa arti bagi jutaan anak bangsa ini yang masih mengais asa di bumi merdeka ini? Nyatanya pula kemerdekaan kini hanya tinggal jargon kosong. Lagu Hari Merdeka yang merupakan lagu wajib setiap perayaan Tujuh Belas Agustus pun tak lagi terasa keindahan dan kedalaman makna syairnya. Merdeka rupanya hanyalah kalimat mantera yang sejak dulu senantiasa membuai bangsa ini karena nyatanya negeri ini masih saja terjajah. Diperbudak oleh kerakusan, kearoganan, kemunafikan, kepicikan yang sebenarnya merupakan sifat dasar dari manusia. Sayang memang, enam puluh tujuh tahun lalu, para pendiri bangsa ini dengan kebesaran hati mereka bersatu padu memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dari cengkeraman imperialis, namun sedihnya ternyata musuh utama bukanlah raksasa imperialis itu tapi hati manusia bangsa ini sendiri. Raksasa imperialis berhasil dihancurkan, tapi malangnya musuh utama bangsa ini yakni setan kekuasaan tetap membelit negeri ini hingga makna kemerdekaan itu bagaikan setitik cahaya di ujung lorong panjang nan kelam. Merdeka... atau... mati?! Entah sampai kapan pekik ini harus terus dikumandangkan bangsa yang telah menghirup udara merdeka ini akan terus didengungkan. Merdeka... atau... mati?!, renungan yang senantiasa menghias negeri ini bahkan hingga di hari jadinya yang ke- enam puluh tujuh. Entah perlu berapa puluh tahun lagikah bagi bangsa ini untuk benar-benar merasakan makna hakiki dari merdeka?

Tidak ada komentar: